03. Untukmu dan untukku
02 Mei 2020
"Namaku Kim Yohan. Senang bertemu denganmu."
Jika ada satu hal yang berhasil menyita seluruh perhatianku selama kurang lebih satu minggu, hal itu pasti bukanlah gaya rambut baru Choi Yoojung yang terlalu mencolok untuk tidak menjadi perhatian, maupun Kapten Ri yang sedang booming-booming-nya saat ini. Bukan. Bukan kedua hal itu yang membuatku menjelma menjadi patung lilin dadakan di dalam kelas Kim Namjoon Seonsaengnim, melainkan entitas seseorang yang lima menit lalu melewati kelasku.
Aku memergokinya karena kalau boleh jujur, kelas Namjoon Seonsaengnim super duper membosankan. Kalau tidak ngantuk, mungkin memerhatikan punggung tegap yang tengah menggoreskan spidol hilam ke whiteboard itu bisa membuat semua orang pusing. Jadi jangan salahkan diriku kalau aku mengatakan bahwa pemandangan kakak kelas yang tengah bermain sepak bola di luar pintu sana seribu kali jauh lebih menarik dari pada kelas Namjoon Seonsaengnim. Kemudian tiba-tiba saja Kim Yohan lewat dan membuat tatapan mata kami bertemu, lalu...
"CHOI YENA!"
Oh, tentu saja semuanya akan terasa mengerikan saat dia menyadarinya. Sebelum sempat menatapnya, aku menyempatkan diri membuang tatapan mata penuh benci ke seluruh teman-teman kelasku. Teman, katanya. Munafik. Mereka adalah teman sejatiku kalau mereka berani membelaku di depan monster bertindik itu.
Bahkan Choi Yoojung saja pura-pura menyalin catatan di papan tulis. Andai saja Namjoon Seonsaengnim tahu apa yang sebenarnya ditulis gadis itu, pasti sekarang nasibnya sama denganku.
Yah, hukuman Namjoon Seonsaengnim memang khas. Semua orang akan tahu saat melihatmu tengah sibuk menyemproti daun-daun tanaman hias kecil yang ada di luar kelas. Seperti yang kulakukan saat ini.
Badannya tinggi tegap, telinganya bertindik, dan tatapan matanya tajam. Satu lagi, otaknya seencer kalkulator. Sayangnya hobinya sangat berbanding terbalik. Laki-laki macho yang menyebut dirinya pecinta bunga. Kepala sekolah tidak pernah lupa menyebut nama Kim Namjoon Seosaengnim saat mengingatkan semua warga sekolah bahwa kita harus menyayangi tanaman-tanaman hias kecil yang indah ini. Beliau juga selalu menyelipkan kalimat kebanggan pada Namjoon Seonsaengnim yang digadang-gadang adalah sang jenius pencetus ide untuk menanam beberapa tanaman hias yang diletakkan di luar semua kelas.
Indah memang, terakhir setahun yang lalu. Setelahnya, bahkan sekarang saja sekolah ini sudah seperti rumah Tarzan. Serius, kenapa mereka tidak membuat seragam dari daun saja sekalian biar lebih terkesan alami?
Saat semprotan terakhirku selesai, bersamaan dengan itu bel tanda istirahat berbunyi nyaring. Aku meletakkan botol semprotan—nyaris melemparkannya—ke dekat pot dan masuk ke dalam kelas dengan langkah berat. Pertama, aku lelah, dan kedua, melihat cengiran Yoojung membuat perutku mulas.
"Munafik," bisikku tertangkap jelas oleh pendengarannya.
Bukannya marah, Yoojung malah mengapit lenganku erat-erat. "Ayolah, kalau kau jadi aku kau pasti akan takut juga," belanya. Gadis itu mencondongkan badannya lebih dekat, berbisik, "Tadi saja aku hampir ketahuan tidak mencatat."
Aku melepas tangannya ogah-ogahan. "Yah, setidaknya kau tahu diri."
"Nah, gitu dong. Mau ke kantin, tidak?"
"Tidak." Aku memilih duduk kembali di kursiku dan menggapai ponsel di loker bawah meja. "Kau sendirian saja."
Meski perhatianku fokus pada layar ponsel, wajah memberengut Yoojung masih bisa tertangkap oleh ujung mataku. "Kalian menyebalkan, kau tahu?"
Tidak perlu berpikir lama untuk menyadari maksud dari 'kalian' yang disebutkan oleh Yoojung adalah aku sendiri, Yena, dan adikku, Yeonjun. Hari ini aku sedang tidak mood untuk menemaninya antre makanan di kantin, dan hari ini Yeonjun sudah resmi berpacaran dengan Hwang Yeji (baiklah sebenarnya sejak lima hari yang lalu). Otomatis kami yang tadinya sering—dan hampir selalu—makan bertiga, menjadi berpisah.
Aku diam saja, tidak membalas kekesalan Yoojung. Kecuali aku memilih untuk perang adu mulut.
Suasana canggung ini diselamatkan oleh ajakan dari Kang Mina. Aku tidak tahu sejak kapan mereka dekat tapi yang jelas aku lega bahwa setidaknya Yoojung memiliki teman untuk pergi ke kantin. Terserah nanti ketika mereka makan Yoojung akan membicarakanku dengan nada sebal pada Kang Mina atau bagaimana. Yang jelas sebenarnya suasana hatiku sudah memburuk semenjak tadi pagi, ditambah hukuman dari Namjoon Seonsaengnim membuatku benar-benar ingin memukul kepalaku sendiri dengan pot tanaman hias.
Tanganku mengutak atik isi pesan dalam ponsel, barangkali dari lima pesan untuk Jihoon, semuanya gagal terkirim karena sinyal atau pulsa. Tapi nyatanya semua pesanku masuk dalam daftar terkirim. Itu artinya Jihoon tidak—atau belum membalas pesanku.
Kurasa tidak.
Aku mendengus sebal, nyaris membanting ponsel ke atas meja saat tahu-tahu sebuah tangan terulur meletakkan piring kertas berisi makanan berwarna merah yang dilapisi plastik dengan rapi. Aku mendongak dan memastikan bahwa aku benar-benar terkejut.
"Selamat pagi, Choi Yena."
Si laki-laki manis berdiri dari jarak kurang satu meter di depanku. Dia mengangkat tangannya yang satu lagi.
Ratusan kalimat protes atau bahkan sekadar penolakan sudah ada di ujung lidah, namun yang kukeluarkan justru, "Terima kasih."
Ucapan terima kasihku mungkin terdengar seperti izin baginya untuk bergerak lebih leluasa karena sekarang laki-laki itu sudah berhasil mendudukkan patatnya di kursi sebelahku. Bukan kursi Yoojung, tapi kursi di sebelahku yang ditempati oleh Kim Sohye.
Daripada risih selalu melihat entitas Kim Yohan disekitarku (yang entah mengapa justru terkesan bahwa dia memang sengaja berada di sekitarku), aku lebih risih dengan fakta bahwa aku bukanlah gadis lajang yang bisa didekati oleh sembarangan laki-laki. Aku takut Jihoon akan tahu.
Yohan membuka bungkus plastik pada piring kertasnya, sumpitnya mengambil sesuatu yang aromanya berhasil mengundang selera makanku. Aku melakukan hal serupa. Siapa yang bahkan tidak menyukai tteokbokki[8]?
Kami berdua makan dalam diam. Tidak ada suara yang keluar dari bibir kami kecuali suara khas kepedasan akibat saus gochujang[9] yang omong-omong begitu lezat.
Aku meletakkan piring kertas kosong ke atas meja dan menenggak habis air mineral bekalku. Yohan melakukan hal yang sama dengan menenggak habis air mineral miliknya. Laki-laki itu terkekeh pelan melihat wajahku. Aku heran setengah mati. Tapi Yohan hanya menggeleng pelan saat aku menatapnya ingin tahu.
"Aku tidak melihatmu di kantin, jadi aku memutuskan membeli sesuatu agar kau bisa makan." Entah itu hanya alasan atau dia ingin membuka pembicaraan.
Aku tidak memintamu melakukannya. Tapi lagi-lagi yang keluar dari mulutku adalah, "Terima kasih."
"Sama-sama," jawabnya, tersenyum. Apa dia tidak capek tersenyum terus? "Kemarikan milikmu, akan kubuang sekalian aku kembali ke kelas."
"Tidak usah." Aku menghentikannya. "Biar aku saja."
Tapi Yohan keburu sudah berdiri. "Tidak apa-apa, tidak usah sungkan."
Aku menatapnya lama. Terlalu bingung dan terlalu terkesan. Keduanya bercampur aduk menjadi satu dalam kepalaku. Aku jadi penasaran Kim Yohan itu sebenarnya apa.
Kenapa kau melakukan ini semua?
Seolah bisa membaca isi pikiranku, laki-laki itu berkata lirih sebelum sosoknya menghilang di balik pintu kelas.
"Aku melakukan semua ini untukmu dan untukku."
***
To: Jihoonie
Aku sudah pulang.
Pesan itu kukirim sejam yang lalu, tepat setelah bunyi bel tanda pulang berdering nyaring. Namun hingga kakiku kesemutan menunggu tanpa kepastian, sosok Park Jihoon tak kunjung datang. Dia bahkan tidak membalas pesanku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Jihoon. Yang jelas setelah menangkap nada penuh kekesalan kemarin sore, aku jadi sulit menghubunginya hari ini. Maksudku, setidaknya, kalau dia kesal, ungkapkan semuanya padaku agar aku mengerti.
Jika dia tidak bisa menjemputku seperti biasanya, setidaknya kabari supaya aku bisa pulang naik taksi atau apa. Sungguh perilakunya membuat ujung hidungku gatal karena ingin menangis.
Saat aku berniat untuk meneleponnya, tiba-tiba sebuah helm tersodor di depanku. Aku selangkah mundur ke belakang karena saking terkejutnya. Aku bahkan tidak merasa mendengar suara deru motor, dan tahu-tahu sosok Kim Yohan sudah ada di hadapanku naik sebuah motor ninja hitam.
"Mau pulang bersamaku?"
Hanya ada dua kalimat yang sewajarnya kulontarkan padanya. Antara "Aku tidak mau." Atau "Baiklah."
Tapi ujung lidahku terasa kelu. Ujung hidungku semakin gatal. Dan entah bagaimana kedua pandanganku memburam begitu saja. Aku tidak bisa menolak ataupun mengiyakannya. Aku tidak bisa menggeleng atau mengangguk padanya. Aku bahkan tidak bisa membuat tanganku sendiri terulur untuk menyambut helm itu.
Yang terjadi selanjutnya adalah aku menangis, membuat Yohan terkejut. Laki-laki itu menjatuhkan helm dalam tangannya dengan gerakan paling dramatis yang pernah ada, lalu turun dari motornya dan menarik punggungku. Dia membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Mendekapku erat.
Sumpah setelah mengenal Kim Yohan, itu adalah kali pertama aku melihatnya terkejut. Dan itu karenaku.
Kenapa kau melakukan ini padaku?
Sekali lagi, seolah bisa membaca isi pikiranku, laki-laki itu tertawa pelan dan bergumam, "Aku melakukan semua ini untukmu..." pelukannya mengerat. "...dan untukku."
.
.
.
[8] Tteokbokki = kue beras pedas khas Korea
[9] Gochujang = pasta pedas/saus pedas ala Korea (setahuku ini saus yang dipakai buat tteokbokki, dan mungkin bisa juga untuk olahan lainnya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top