02. Aku akan berjuang
03 September 2025
Aku memandang bintang di langit-langit kamar sembari membayangkan sebuah senyuman manis yang takkan pernah terlupakan. Jika telinga orang-orang sudah lelah mendengar kalimat don't judge a book by its cover, maka dengan senang hati aku akan menambah kelelahan mereka dengan bergumam pelan, "Don't judge a book by its cover."
First impression itu penting. Ya, siapa bilang tidak? Bawa kepadaku orangnya dan akan kugetok kepalanya dengan wajan. Bagaimana bisa ada orang yang tidak mementingkan first impression? Lucu sekali jika ada.
First impression itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kau mengenal luar dalam setelah first impression yang begitu memukaukanmu, atau bahkan mengejutkanmu.
Seribu kali berpikir selama lima tahun terakhir, aku tidak pernah tidak dibuat takjub oleh satu kehadiran manusia paling penting dalam hidupku. Satu manusia unik, yang tidak bisa kutemukan pada diri orang lain. Hanya dia, dan selamanya akan seperti itu.
"Jika rindu, pandangi saja bintang di langit," lirihku pelan, nyaris seperti bisikan angin lalu.
Jika aku mengatakan pada tahun 2020 setiap pasang mata akan merasa kesulitan untuk mencari keberadaan bintang di langit dengan mata telanjang, bagaimana bisa aku mengatakan pada tahun 2025 bintang akan terlihat memancar sangat indah di angkasa? Itu konyol. Dan lebih konyol lagi jika aku tetap kukuh tanpa melupakan keberadaanku di Seoul.
Aku mengangkat tangan, mencoba meraih cahaya bintang dari fosfor. Bersamaan dengan itu, pandanganku memburam. Aku buru-buru menggelengkan kepala, mengusir pikiran galau itu dalam benakku. Sebelum membiarkan diriku terlalu hanyut dalam nuansa kerinduan, aku segera bergegas bangkit dari rebahan, memaksakan tungkaiku berjalan ke arah meja belajar dan menghidupkan lampu.
Sebuah catatan lusuh di atas meja menarik perhatianku. Buku yang selama ini kubiarkan terkunci di dalam loker meja selama tiga tahun, yang hari ini kukeluarkan dengan hati berdebar-debar. Tanganku mengusap pelan sampulnya, dan seketika itu setetes air mataku jatuh menghantam sampul. Astaga. Aku buru-buru menengadah, menyuruh air mata sialan ini untuk segera menguap. Aku tidak suka menangis. Aku tidak suka menjadi lemah.
Yohan 2020
Dua sudut bibirku tertarik, mengukir senyum tipis. Aku membuka halaman satu, dan menemukan foto seseorang yang begitu menyesakkan untuk dipandang.
"Aku merindukanmu."
Saat hendak membuka halaman berikutnya, seseorang menerobos masuk ke dalam kamarku, membuatku nyaris jantungan.
"Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu?! Kau mau membuat jantungku melompat keluar?!" teriakanku tidak membuatnya berkedip, apalagi takut.
"Nuna, dia sudah menunggumu di bawah," jawabnya acuh.
Tapi aku malah salah fokus pada kumis dan jenggotnya yang menebal. "Kapan terakhir kali kau bercukur?"
Dia mengacuhkanku lagi, "Kalau tidak ada urusan lagi aku mau pergi. Yeji sudah menungguku."
BRAK!
"Choi—" kata-kataku terhenti oleh debaman pintu yang tertutup. Aku menghela napas panjang dan beranjak keluar kamar.
Park Jihoon yang terlihat bosan menunggu di ruang tamu seketika berdiri begitu melihatku. Spontanitasnya sungguh memberitahuku bahwa pantatnya sudah kepanasan karena duduk terlalu lama. Aku memberikan tatapan paling merasa bersalahku. Duh, terlalu merindukan laki-laki lain malah menimbulkan perasaan aneh, semacam perasaan merasa bersalah.
"Maaf ya membuatmu menunggu lama."
Jihoon menggeleng cepat. "Tidak apa-apa, lagipula pestanya masih satu jam lagi."
Aku sudah berjanji pada Jihoon akan menemaninya menjadi pasangan di pesta ulang tahun kakak sepupunya, Park Sooyoung. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi aku tahu kalau Jihoon adalah tipe orang yang gampang terbawa perasaan oleh kalimat penolakan (dan lagipula aku juga sedang merasa kurang kerjaan), jadi well... yeah... aku menyetujuinya.
Bibirku hendak membuka untuk mengucapkan sebuah kalimat, tapi dia mendahuluiku, "Kau..." kedua pipinya merona, disusul oleh usapan pelan pada tengkuknya. Dan aku sudah bisa menebak kalimat apa yang akan dia lontarkan berikutnya, "...terlihat cantik."
Nah, 'kan. Khas Jihoon sekali. Suka memuji.
Dan tidak khas diriku sama sekali karena aku tidak tersanjung.
Aku tersenyum seraya mengangguk kecil. "Terima kasih. Kita pergi sekarang?"
***
Pesta ulang tahun Sooyoung eonni[7] bukan pesta yang digelar secara mewah di sebuah gedung atau apalah. Pestanya hanya pesta perayaan kecil-kecilan yang dihadiri oleh keluarga, kerabat, serta teman-teman terdekatnya saja. Karena Jihoon adalah keluarganya, maka secara otomais dia datang. Dan karena aku diajak oleh Jihoon, maka aku dipersilakan masuk ke rumah bergaya minimalis yang unik ini.
Kami berdua disambut oleh sang empunya pesta secara langsung. Sooyoung eonni terlihat begitu cantik dengan gaun mini berwarna birunya. Aku tidak mengatakan bahwa dia gendut. Tapi Sooyoung eonni memiliki proporsi tubuh yang fantastis menurutku, atau lebih tepatnya yakni seksi.
"Terima kasih sudah datang," ucap Sooyoung eonni riang sembari memelukku dan Jihoon bergantian dengan satu tangan, karena tangan yang satunya sibuk dengan segelas anggur putih. "Wine?" tawarnya sembari mengangkat gelasnya tinggi.
"Baiklah," setuju Jihoon.
Tapi tidak denganku. "Aku tidak."
Jihoon memutar lehernya secepat kilat ke arahku, sementara Sooyoung eonni hanya mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Sebelum mereka berdua berpikiran yang tidak-tidak, aku segera beralasan, "Kedua orangtuaku sedang pergi ke rumah nenek di kampung, jadi aku tidak bisa mabuk. Aku harus memasak makan malam untuk adikku. Bisa-bisa dia akan mati kelaparan nantinya, hahaha."
Tidak lucu, tapi mereka ikut tertawa. Tertawa cangung, tentu saja.
Mungkin jika dibiarkan seperti ini terus, lama-lama Jihoon dan Sooyoung eonni juga akan mati kutu menanggapiku. Sooyoung eonni bergegas memanggil seseorang yang kebetulan sedang berdiri di dekat meja yang berisi beraneka macam minuman. Dia memberi kode 'dua' dengan tangannya tinggi-tinggi. Dan gadis di ujung sana mengangguk patuh.
Seorang gadis cantik dengan rambut panjang sepunggung datang sembari membawa dua gelas anggur putih. Satu diserahkannya pada Jihoon, dan satu lagi diserahkannya padaku. Saat aku hendak menolak, tatapan kami bertemu.
Kami berdua sama-sama terkejut.
"Choi Yena?"
"K-Kang Hyewon?"
***
Kami berdua berdiri bersebelahan di balkon lantai dua rumah Sooyoung eonni dengan canggung. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Kang Hyewon tengah menempelkan bibir merahnya ke bibir gelas dan meminum sedikit isinya. Sementara aku hanya memegang gelas anggur putihku tanpa melakukan apa-apa.
"Apa kabar?"
"Bagaimana kabarmu?"
Aku terkejut, begitupula dengannya. Kami berdua sama-sama tertawa.
"Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat," katanya penuh percaya diri.
Bibirku berkedut saat menjawab, "Aku juga."
Entah dia hanya berbasa-basi atau memang dia benar-benar ingin tahu tentangku. Gadis itu memutar badannya sembilan puluh derajat menatapku dan menumpukan salah satu lengannya pada pagar pembatas. "Kudengar kau sudah selesai sidang?"
Aku meliriknya singkat sebelum kembali melempar pandang ke arah kolam renang yang berwarna biru di bawah kami. "Ya. Lancar. Kau sendiri?"
Hyewon menenggak anggur putihnya dengan gaya paling anggun yang pernah kutahu. Ekspresinya berubah aneh dalam beberapa saat namun kembali normal dengan cepat. "Aku akan meneruskan gelar masterku di Oxford. Aku kembali ke Korea hanya sebentar, demi Sooyoung eonni. Kau tahu 'kan kalau Sooyoung eonni juga lulusan Oxford? Kami sama-sama tergabung di kelompok khusus mahasiswa dari Korea dan yah lalu kami menjadi akrab dengan begitu mudahnya."
Gadis ini berkata selancar aliran air Sungai Han tanpa memedulikan apakah aku peduli atau tidak. Tapi demi kesopansantunan aku hanya mengangguk-angguk seolah paham, padahal sebenarnya tidak yakin.
Aku menimang-nimang apakah sebaiknya aku menenggak habis segelas anggur putih dalam genggamanku ini dan segera enyah dari hadapannya atau bagaimana saat tahu-tahu tangan Hyewon merebut gelas dalam tanganku dan menenggak habis isinya. Aku terlalu terkejut oleh perlakuannya dan mundur selangkah ke belakang.
Hyewon tertawa pelan selesai meminum milikku. "Kalau kau tidak mau bilang saja."
Tadinya, kalau kau tidak ada. Tanpa sadar aku mendengus.
"Kenapa?"
Aku buru-buru merubah ekspresi wajahku sebelum Hyewon tersinggung lebih jauh. "Tidak, hanya saja agak pilek," kataku pura-pura menarik ingus.
Hyewon menelusuri ekspresiku. Dia bersedekap dada. "Kau masih belum bisa mabuk?"
"Tidak! Siapa bilang?"
Gadis itu tersenyum miring. "Kau mengatakannya barusan."
Aku mengembuskan napas panjang. "Aku—"
"Kalau kebiasaanmu itu tidak kau hilangkan, kau akan terperangkap dalam rasa bersalah selamanya, kau tahu?"
"Rasa bersalah ap—"
"Kau tidak bisa mabuk karena Kim Yohan, 'kan?"
Deg.
Jantungku mencelos. "Apa?"
Dia mendekat selangkah padaku. "Kalau mau cepat-cepat move-on, lakukan hal sebaliknya, Yena-ssi."
"Tunggu, Kang Hyewon, apa maksudmu—"
"Pacarmu datang."
Tepat selesai berkata seperti itu, tiba-tiba Jihoon muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Laki-laki itu menghampiriku dan Hyewon (maksudku, tentu saja menghampiriku) sembari mengacungkan dua kertas persegi panjang yang dipegangnya tinggi-tinggi. "Sooyoung Nuna benar-benar gila. Lihat suvenirnya, tiket bioskop!"
Aku tidak bisa terpana, pikiranku sedang melayang ke tempat lain. Sebelum sempat menghentikan langkah Hyewon yang pergi meninggalkan tempatnya, Jihoon sudah berdiri di dekatku dengan mata berbinar. "Kau mau nonton, 'kan?"
"Kau tidak bisa mabuk karena Kim Yohan, 'kan?"
Kata-kata Hyewon terus terngiang-ngiang dalam benakku.
"Yena-ya?"
"Jangan mabuk lagi. Aku saja menjaga dirimu, kenapa kau malah merusaknya?"
"Choi Yena!" Jihoon mengguncang lenganku.
"Ah, ya?" aku tersentak.
"Kau mau menemaniku nonton?" ulangnya, nadanya berubah menjadi sebal.
"Jihoon aku..." aku mendesah panjang. "Aku mau pulang saja, ya? Kepalaku pusing."
***
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Kasur empuk bukan tempat yang tepat untuk menghilangkan pening di kepalaku. Aku duduk di depan meja belajar, kembali membuka buku catatan yang kutinggalkan selama tiga tahun itu. Membuka halaman yang tidak sempat kubuka tadi.
Tiba-tiba saja pandanganku memburam dan napasku tercekat. Aku benci menjadi lemah, tapi aku tidak bisa apa-apa jika tubuhku ingin menjadi lemah sementara pikiranku tidak. Dan pada akhirnya aku hanya akan menyiksa diriku sendiri karena terus memaksa bahwa diriku kuat padahal kenyataannya justru sebaliknya.
Aku melirik kalender yang kulingkari dengan spidol merah pada sebuah tanggal. Catatan kecil di bawahnya nyaris tak terbaca tapi aku menghapalnya. Saat fungsi kinerja otakku sudah kembali normal, aku bergegas membuka laptop.
Sudah kuputuskan. Jika kau pergi, maka aku hanya harus mencari.
"Takdir itu terkesan lemah. Jika bisa berjuang sampai berhasil, kenapa tidak?"
Baiklah Kim Yohan.
Aku akan berjuang sampai berhasil.
Kenapa tidak?
.
.
.
[7] Eonni = kakak, diucapkan oleh wanita kepada wanita yang lebih tua
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top