01. Kim Yohan
Park Jihoon mematikan mesin motornya. Tatapan matanya yang kupandang dari kaca spion mengisyaratkanku bahwa kita sudah sampai di tempat tujuan. Aku nyaris melompat turun dari motor sembari mencengkeram pelan pundaknya. Melepas helm, menyodorkan ke pemiliknya, lantas memberikan kiss bye padanya terasa seperti jadwal sekolah yang kuhapal dengan jelas di benakku.
"Nanti pulang jam berapa?" suaranya sedikit tidak jelas dari balik helm, tapi aku masih bisa mengartikannya—atau sudah hapal pertanyaan itu di luar kepala.
"Seperti biasa," jawabku sembari menarik dua sudut bibir. "Sudah sana, nanti terlambat."
Laki-laki itu lantas menutup kaca helmnya dan bergegas menghidupkan kembali mesin motor. Meski aku tidak dapat mengetahui bagaimana ekspresinya di balik helm, tapi aku yakin dia tengah tersenyum. Seperti biasa, ya, Jihoon memang murah senyum.
Usai punggungnya menghilang di belokan ujung sana, aku berbalik untuk memasuki sekolah. Baru kira-kira tiga langkah dari tempatku berdiri tadi, sebuah suara melengking memanggil namaku disusul tangan mungil yang memeluk pinggangku erat.
Choi Yoojung mengecup pipiku super kilat. Aku terlalu terpana untuk sekadar merencanakan tonjokkan pada tulang pipinya yang kata orang-orang imut.
"Jangan lakukan itu lagi," kataku datar, nyaris seperti robot.
"Kenapa? Kita kan sahabat—"
Aku meliriknya bengis.
"—juga saudara sepupu. Hei, Choi Yena, kau ingat bukan kemarin aku masih curhat masalah Park Woojin? Kau pikir setelah keputusasaan penolakan surat cinta itu aku bakal berubah pikiran untuk menyukaimu? Hell no. Kalaupun aku memilih untuk menjadi lesbian, Kim Doyeon seratus kali lipat lebih baik dari—hmmptthh!"
Bukan karena ocehan Yoojung yang ingin kumusnahkan dari muka bumi ini (jujur, aku rasanya mau mencopot kedua telingaku. Yoojung serius lebih berisik dari speaker acara kampanye pemilu), tapi karena perasaanku tidak enak tiba-tiba.
Tidak apa-apa jika itu hanya sekadar tatapan mata biasa, atau mungkin tatapan mata penuh penilaian (yang biasanya dilakukan oleh anak gadis dengan dandanan menor yang hobinya berjalan mengelilingi sekolah sampai ke sudut-sudutnya). Tapi tatapan mata itu sangat menyakitiku. Napasku jadi sesak. Tanpa sadar aku menekan dada terlalu kuat.
Yoojung mendorong tanganku. "Kau kenapa?" tanyanya khawatir. Nadanya turun satu oktaf.
Aku menarik tangan Yoojung, berjalan cepat ke arah kelas. Dalam perjalanan, Yoojung terus memprotes bahwa jalanku terlalu cepat sampai dia kesusahan menyamai langkah kakiku. Gadis itu juga memekik-mekik tidak jelas, mengatakan bahwa berulang kali kakinya tersandung batu. Entah dia hanya membual atau kakinya memang menabraki batu transparan.
Begitu sampai di kelas, Yoojung menghempaskan tanganku kasar. "Demi Tuhan, kau ini kenapa?!"
Bong Jaehyun yang tengah sibuk menyalin sesuatu di buku catatan mendongak ke arah kami. Begitu juga dengan Kim Jibeom yang sedang sibuk menghapus tulisan di papan tulis agak terperanjat dengan pekikan Yoojung. Sisanya terlihat tidak peduli.
Aku terdiam sejenak, mencoba mengatur napasku yang ngos-ngosan. "Kau kenal anak laki-laki tadi tidak?"
Raut muka Yoojung berubah. "Yang mana?"
"Yang sedang bersama dua temannya. Laki-laki yang memakai jaket denim."
Yoojung mengerutkan kedua alisnya dalam. Tapi sedalam apapun alis itu berkerut, gadis itu tetap menggelengkan kepala. "Kalau kau tidak ingat, kau menarikku terlalu cepat sehingga aku tidak memerhatikan sekitarku."
Bahuku merosot turun. Percuma bertanya pada Yoojung. Gadis itu memang tidak pernah memerhatikan hal sampai ke detail-detailnya. Jika saja ada kecoa yang hidup di dalam kaos kakinya mungkin dia tidak akan peduli. Dengan langkah gamang aku berjalan ke arah tempat dudukku. Yoojung mengekori. Selain fakta menyebalkan kalau kami adalah sahabat—entahlah Yoojung sendiri yang memutuskannya—dan juga saudara sepupu, kami adalah teman satu bangku. Semua itu Yoojung yang memutuskan.
Bukan ide bagus juga bukan ide buruk. Selama itu tidak merugikanku, menurutku sih tidak apa-apa. Tapi rasa-rasanya sekarang aku ingin menarik ulang pikiran bodohku itu. Bagaimana mungkin Choi Yoojung tidak merugikanku?
Dari bel tanda masuk berbunyi hingga kalimat penutup yang dilontarkan oleh Han Seungwoo seonsaengnim[3] setelah ocehan panjangnya seputar persamaan dua variabel selesai, aku tidak bisa fokus sama sekali. Pikiranku terhanyut pada sepasang mata tajam yang begitu menyakitkan. Tidak, secara akal sehat aku tidak akan sakit hanya dengan tatapan mata seperti itu. Walau entah kenapa dadaku terasa sesak juga pada akhirnya, tapi tatapan mata itu seperti—
"Hoi!" Yoojung menyadarkanku. Aku sedikit terperanjat. "Aku memanggilmu belasan kali. Kau sakit, ya? Memang benar sepertinya. Hari ini kelakuanmu aneh, kau tahu? Mau kupanggilan Yeonjun atau mau kuantar ke UKS?"
"Tidak apa-apa," jawabku, menggeleng kuat-kuat. "Ada apa?"
Yoojung bersedekap dada. "Mau ke kantin atau tidak?"
Saat aku hendak menolak ajakan itu, tahu-tahu perutku berbunyi. Cengiran konyolku dibalas dengan putaran mata menyebalkan ala Choi Yoojung.
"Kalau lapar sih bilang saja. Ayo berdiri! Kudengar ada menu baru di kantin yang enak! Traktir aku, ya?"
Hadeh, dasar Choi Yoojung.
***
"Choi Yena psssttt!"
Aku melihatnya lagi.
"Hoi Choi Yena!"
Tatapan mata tajam itu.
"Choi Yena! Hoi!"
Tatapan kami bertemu.
"Choi—"
Laki-laki itu menarik salah satu sudut bibirnya.
Deg.
"NUNA[4]!"
Aku terperanjat. "Ya? Apa? Kau mau lagi nasiku?"
Yoojung dan Yeonjun mendesah bersamaan.
"Sudah kubilang kan, Nuna-mu ini sedang tidak sehat."
"Kau mau pulang? Biar aku yang izinkan ke guru." Yeonjun menatapku khawatir. "Atau istirahat di UKS. Nanti pulang bersamaku saja."
"Mana mau dia kalau tidak dengan Park Jihoon-nya itu." Yoojung mencuri sosis dari nampan makan siangku. Aku membiarkannya.
Omong-omong soal Park Jihoon, aku hampir lupa kalau aku harus mengabarinya bahwa ada pelajaran tambahan hari ini. Kim Namjoon seonsaengnim tidak bisa hadir pada kelas sehabis istirahat, jadi jamnya diganti sepulang sekolah nanti. Menyebalkan, memang, tapi guru itu terlalu mengerikan untuk dibantah.
Aku mengambil ponsel dari dalam saku, lantas mengetikkan beberapa kata untuk kukirim pada satu kontak bernama Jihoonnie.
"Rasanya kalau tidak mengabari Jihonnie kau bisa mati ya?" celetuk Yoojung setelah baru kusadari sedari tadi mengintip isi ponselku.
"Teruskan saja sana makanmu!" kudorong dahinya menjauh.
"Yoojung-a[5], kau tidak iri pada Yena Nuna apa?" Yeonjun menunjuk Yoojung dengan sumpit. "Usiamu sudah terlalu tua untuk bisa dikatakan murni belum pernah berpacaran."
"Tunggu saja sampai kabar kencanku dengan Woojin kau dengar. Kupastikan kau akan sujud menyembah jempol kakiku."
Yeonjun berdecih. "Aku berani bertaruh Shindeong ahjussi[6] saja tidak mau denganmu."
Aku tertawa, menyetujui perkataan Yeonjun.
"Lalu kau sendiri?" Yoojung tidak mau kalah, menunjuk tajam Yeonjun dengan dagu. "Bergandengan tangan dengan gadis saja tidak pernah sok-sokan menyuruhku berpacaran."
"Kemarin dia menembak adik kelas, Hwang Yeji," sahutku.
"Lalu?" Yoojung menatapku dengan tatapan "Kau berbohong, 'kan? Tidak mungkin bocah ingusan seperti Yeonjun bisa berpacaran dengan si cantik Hwang Yeji."
Aku mengendikkan bahu. "Tanya saja pada orangnya tuh di depanmu."
Yoojung melempar tatapan pada Yeonjun. Yang ditatap balas memeletkan lidah. Aku tertawa.
Yoojung ganti mendorong jidatku. Dan kurasa ini lebih kasar dari yang kulakukan barusan. "Keterlaluan kalian ini. Lagipula kalau Woojin memang tidak mau, masih banyak juga laki-laki tampan yang mau denganku."
"Contohnya?"
Yoojung mendelik ke arahku, sebelum matanya mengitari isi kantin. "Nah, seperti laki-laki itu. Omong-omong sepertinya dia menyukaiku," Yoojung tertawa kepedean lalu melanjutkan, "Dari tadi dia tidak berpaling dariku."
Atau mungkin dariku.
Hatiku mencelos saat melihat siapa yang dimaksud oleh Yoojung. Laki-laki itu. Laki-laki yang ternyata masih menatap ke arahku. Entah apa yang begitu menarik dalam diriku sampai-sampai dia tidak bisa berpaling. Apa wajahku aneh? Apa ada sesuatu di rambutku? Apa pakaianku lusuh? Kurasa tidak.
"Yeonjun-a."
Yeonjun bergumam menyahut panggilanku, tapi tatapannya masih sibuk dengan ponsel di tangan.
"Kau kenal dia?" aku menatap laki-laki itu takut-takut. Takut dia menyadari bahwa aku sedang membicarakannya. Tapi sepertinya laki-laki itu memang menyadarinya.
Yeonjun menatap ke arah mana mataku memandang, kemudian kembali menatapku. "Anak pindahan."
Pantas saja asing. "Siapa namanya?"
Yeonjun memasang raut muka paling aneh saat tengah mengingat-ingat sesuatu. "Kim... ah tadi Doyeon mengatakannya padaku. Tunggu sebentar... Kim..."
"Kim?"
"Ya, marganya Kim. Sebentar, Nuna, biarkan aku mengingat-ingat."
"Baiklah."
"Kim..." Yeonjun menggigit bibir. "...Kim—"
"Yohan."
Sebuah tangan terulur di depanku. Aku mendongakkan wajah dan terkesiap melihat laki-laki itu tengah berdiri di dekat meja kami, menatapku. Dapat kudengar tarikan napas terkejut dari Yoojung dan Yeonjun.
Tangannya masih mengambang di udara, belum kusambut.
"Namaku Kim Yohan."
Suara lembutnya terasa menggelitik gendang telingaku, membuat tanganku terangkat tanpa sadar untuk menyambut uluran tangannya.
Saat aku menyambut uluran tangan itu, aku menyadari tangannya basah oleh keringat. Sekali lagi, aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi dalam tatapan mata itu. Apa yang tengah dia pikirkan. Dan yang tengah dia sembunyikan.
Namun, aku tidak menemukan apa-apa.
.
.
.
[3] Seonsaengnim = guru
[4] Nuna/Noona = kakak, diucapkan oleh laki-laki kepada wanita yang lebih tua
[5] –a/-ah = panggilan akhiran kepada orang sepantaran/akrab (informal). Formal = -ssi
[6] Ahjussi/Ajeossi = paman, ditujukkan kepada orang asing, bukan keluarga
.
.
.
Mohon koreksi pada penerjemahanku ya, itu hanya sedikit pengetahuanku dari membaca banyak literatur dan menonton drama/film Korea. Jika salah silakan koreksi. Terimakasih.
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top