00. Menurutmu, takdir itu apa?

Kim Yohan, kau percaya takdir?

Menurutmu, takdir itu apa?

Kim Yohan, aku percaya takdir. Menurutku takdir adalah jalan hidup yang harus kulalui, mau atau tidak. Takdir itu seperti benang tak kasat mata yang dibuat oleh Tuhan, melilit erat di sekujur tubuh tiap orang—dalam hal ini aku membicarakan dirimu dan diriku juga—yang sudah digariskan dengan pasti bagaimana masa depannya kelak. Takdir itu ada. Dan takdir itu nyata.

Sejujurnya, aku tidak pernah memercayai takdir. Jika itu tentang Yeonjun yang memukul kepalaku dengan kamus Bahasa Inggris, maka aku membenci takdirku yang terlahir sebagai kakak kembarnya.

Kami hidup bermusuhan. Dia membenciku. Begitu juga denganku, membencinya. Pertengkaran kami terus berlanjut hingga kami berdua duduk di kelas kedua sekolah menengah. Waktu itu aku sangat marah padanya karena dia mencari gara-gara dengan menyembunyikan seragam olahragaku di mesin cuci. Hingga akhirnya aku melakukannya.

Kedua telapak tanganku menekan kuat dadanya. Ketika itu kami ada di lantai dua, di dalam kamarnya, saat aku mendorongnya jatuh dari jendela. Tubuhnya jatuh menghantam pot bunga keramik milik Ibu. Masih begitu membekas dalam memoriku saat seisi rumah memekik nyaring dan dengan kalap membawa tubuh Yeonjun yang penuh darah ke rumah sakit. Sementara aku mengunci diri di dalam kamar, menangis kencang dan memaki takdir berulang kali.

Jika takdir itu adil, kenapa aku harus hidup bersaudara dengan si-menyebalkan-biang-onar-Choi-Yeonjun yang notabene adalah adik kembarku? Jika memang takdir itu adil, kenapa seolah-olah aku yang jahat di dunia ini? Aku hampir membunuh adikku. Aku adalah korban yang beralih menjadi seorang penjahat di sini.

Namun, ketukan di pintu kamar membuatku tersadar, bahwa takdir itu memang baik. Tuhan tidak pernah memberikan takdir yang kejam, setidaknya padaku. Ketika kulihat sosok Ibu masuk ke dalam kamar dengan mata merah, aku berpikir mungkin itu adalah saat terakhirku. Mungkin Ibu akan menamparku, mencekikku, atau lebih parah lagi karena aku telah melukai anak laki-laki kesayangan milik keluarga ini satu-satunya.

Tapi nyatanya tidak.

Ibu beringsut mendekap erat tubuhku, mengelus kepalaku pelan sembari berulang kali membisikkan kata, "Tidak apa-apa."

Aku menangis dengan kencang sembari meremas kuat kemeja ibukku. Isak tangisku begitu memilukan. Aku bahkan sakit mendengarnya sendiri.

"Tidak apa-apa. Yeonjun tidak apa-apa. Eomma[1] dan Appa[2] tidak marah pada Yena. Semua ini bukan salah Yena."

Mulai saat itu, aku percaya takdir. Detik itu juga, hubunganku dengan Yeonjun membaik. Kami saling mengutarakan permintaan maaf, saling berpelukan, dan saling berjanji akan selalu penjadi penolong satu sama lain.

Itu adalah cerita perjalanan hidupku saat aku mulai percaya pada takdir.

Bagaimana denganmu, Kim Yohan? Kau juga, 'kan? Kau juga memercayai takdir, bukan, sama sepertiku?

Kim Yohan, kau harus percaya dengan takdir.

Kenapa?

Karena aku percaya takdir mempertemukan kita. Mempertemukan aku dan kau.

Semoga benar. Semoga kita berdua terlilit benang tak kasat mata yang sama.

Semoga saja.

.

.

.

[1] Eomma/Eommoni = ibu

[2] Appa/Abeoji = ayah

.

.

.

Fanfiction ini adalah keikutsertaanku dalam ajang #NgabubuRead challenge yang diselenggarakan oleh FanficIndonesia. Ayo ramaikan!

Enjoy!

-Milleny Aprilia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top