Bab 3 Yogyakarta 4 Tahun Yang Lalu

"Sakit," jeritan yang amat kencang hingga membangunkanku dari heningnya malam. Begitu jelas kata itu dilontarkan. Aku bahkan tidak menganggap hal itu hanyalah mimpi.

Ketika aku mencari asal suara itu, tanpa aku sadari tubuhku membatu tepat di sebuah celah pintu. Aku tidak habis pikir suara itu berasal dari kedua orang tuaku. Mereka sedang melakukan pertikaian yang tidak aku ketahui. Akupun tidak sanggup melihat pertikaian itu. Kubungkam mulutku dengan kedua tangan sangat kencang, supaya tidak mengeluarkan suara tangisan. Dengan spontan kulangkahkan kakiku ke belakang. Terus melangkah hingga menjauhi kamar itu.

Yang bisa aku lakukan hanyalah memeluk sebuah guling sangat erat. Menahan tangis yang nyaris tak bisa kubendung. Mendengar pertikaian ini yang terus berlanjut membuat kantuk pergi meninggalkanku.

Ketika fajar keluar dari tempat persembunyiannya, pertikaian yang terjadi di antara mereka mereda. Aku tahu kenapa, karena ketika fajarlah biasanya aku terbangun dari tidurku. Jadi menurut pemikirinku mereka menutupi permasalahan itu dariku.

"Rika ayo bangun, nak," perintah ayah sambil meraba raut wajahku, "kamu habis nagis ya?

Dengan cepat kugelengkan kepala mentidakkan, "enggak kok yah, siapa yang nangis!"

"Habis mimpi buruk ya?"

"Iya," menundukkan kepala, "baru kali ini Rika mimpi serem, sangat serem"

Ibu hanya tersenyum kepadaku layaknya keluarga yang harmonis. Kami sarapan bersama, bercanda di pagi hari, berpamitan dan juga kecup sana sini dilakukan seperti biasa.

Satu hal yang tidak bisa kulupakan ketika sampainya di depan pintu gerbang sekolah. Ingatan ketika melihat begitu lebamnya tangan kiri ibu pada saat itu, membuat hatiku tertusuk. Aku tahu, karena ketika aku menundukkan kepala di saat berpamitan tidak sengaja ku lihat kancing tangan ibu yang tidak terpasang. Aku ingin memansangkannya namun segera kugagalkan. Ku lihat warna merah keungu-unguan di kulit putih mulus milik ibu.

***

Sekolah kami akan di gunakan sebagai tempat ajang perlombaan yang biasa di lakukan di setiap tahunnya. Berbagai macam perlombaan di adakan di sana. Aku di tunjuk sebagai perwakilan para siswi untuk menjadi salah satu calon peserta dalam perlombaan seni lukis.Betapa senangnya aku.

"Rika harus menang" sorakku dalam hati. Aku ingin membanggakan kedua orang tuaku, sekaligus kakakku yang berada di Minang Kabau sedang melakukan penelitian. Mereka pasti senang jika aku memenangkan perlombaan ini. Terutama ayah, karena ayahlah yang sangat mendukungku dalam hal ini.

Aku selalu teringat kata-kata ayah yang membuatku menjadi semangat sekaligus bangga kepadanya.

Pernah suatu ketika aku bertanya kepada ayah, "gimana ya caranya buat lukisan jadi hidup?"

"Ya, Rika harus belajar lebih giat. Jangan hanya terus meniru contoh gambar milik orang, tapi cobalah melukis dari apa yang Rika lihat dalam keseharian" kata ayah kepadaku.

"Tapi, yah, "menundukkan kepala, "Rika sudah lama kehabisan cat air" sahutku kepada ayah lemas.

"Kenapa Rika nggak bilang sama ayah? Coba Rika kasi tahu ayah, pasti ayah belikan. Ya sudah besok ayah belikan ya"

"Hemm" sahutku mengiyakan. Aku tahu pada saat itu keuangan ayah sedang menipis karena itu aku tidak memberitahukan kepadanya. Namun di sisi lain aku bangga. Demi keperluan pendidikan terutama hal yang menyangkut prestasi anak-anaknya ayah seperti tidak mengalami kerisauan dalam hal ekonomi.

Dari situlah aku termotivasi dan juga ingin membanggakan kedua orang tuaku terutama ayah.

"Teeeet" menandakan jam perlombaan telah usai serta pemenang telah di umumkan. Akupun pulang dengan penuh bangga. Aku ingin mengejutkan kedua orang tuaku namun itu semua tidak bisa kulakukan.

Keinginanku untuk membanggakan kedua orang tuaku kini hanyalah cahaya kecil bagaikan kunang-kunang. Mereka melakukan pertikaian yang lebih dari apa yang ku lihat pada waktu itu.

Aku hanya mendengarkan pertikaian mereka tepat di bawah jendela. Akupun mengerti, apa yang telah di permasalahkan. Aku juga baru menyadari mengapa ibu akhir-akhir ini mengatakan "ingat Yogya terakhir jangan macam-macam". Disaat kami bercanda di ruang keluargapun ibu menyelipkan kalimat itu.

Kini aku paham apa yang terjadi. Semua ini di karenakan ulah ayah yang menduakan ibu. Aku hanya tidak bisa menerima semua itu. Setelah apa yang di perbuat oleh ayah. Aku baru menyadari jika ayah sendari dulu telah menduakan ibu. Bahkan setiap kali ayah beserta kami anggota keluarganya di mutasikan karena salah satu syarat dari pekerjaan yang harus di tanggung ayah, dia selalu mencari wanita lain.

"Kenapa aku baru mengetahui hal ini?" ucapku menggerutu dalam hati.

Apa yang aku lakukan selama ini sampai-sampai tidak mengetahui masalah ini. Yang ku ketahui hanyalah   sebuah luka tepat di ujung kaki, lebam dan lainnya, yang jika kutanya kepadanya kenapa bisa sampai terluka ibu hanya tersenyum hangat kepadaku. Kenapa aku tidak menyadarinya. Kenapa mereka memendam permasalahan kni di balik sepengetahuanku.

Kenapa aku baru menyadarinya jika ibu sudah tersiksa oleh kelakuan ayah selama ini. Bahkan luka yang ada dalam lubuk hati, sendari dulu yang di derita ibu tidak kunjung tertutup. Mengetahui semua itu akupun tidak bisa menampung tangis lebih lama.

"Hentikan" teriakku kepada mereka, "kenapa kalian selalu begini?"

"Kenapa kamu pulang sekarang, Rika?" cemas, "kamu sakit nak?" tanya mereka kepadaku.

"Rika dengan bangga akan menunjukkan bakat yang susah payah Rika raih kepada kalian. Rika sengaja tidak memeritahukan ayah dan ibu kalau Rika mengikuti perlombaan," emosiku mulai pecah, "tapi apa, inikah sambutan sang juara ketika sampai di rumah? Sungguh menyakitkan" teriakku sembari berlari menuju Jalan Raya. Dan menjatuhkan hadiah beserta uang yang akan ku berikan kepada mereka.

Akupun terus berlari dan berlari, menjauhi mereka. Kehilangan akal kenapa aku di lahirkan sampai- sampai bus besar hampir menabrakku.

"Kamu pingin mati, Rika?" menarik tangan serta dengan serentak mereka memelukku, "apa yang kamu lakukan" teriak ibu kepadaku penuh amarah.

Aku hanya terdiam meneteskan air mata. Tidak habis pikir aku melakukan ini semua. Betapa bodohnya aku.

"Ayah, ibu..." penglihatanku memudar

***

Ketika aku sadar ayah dan ibu memelukku dengan erat dan berjanji tepat di hadapanku. Mereka tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi terutama ayah. Karena bagi ayah akulah anak berharga dalam hidupnya. Akupun terharu mendengarkan perkataan mereka.

"Rika sayang kalian"

Beberapa hari menunggu perawatan, akhirnya aku boleh pulang. Aku senang hal ini telah berlalu. Namun ibu memberitahukanku jika ayah akan di mutasikan ketempat yang lebih jauh. Jadi ibu memilih intuk tinggal dikampung halamannya.

"Asyiiik, kita akan bersama lagi seperti dulu kan bu di kampung halaman" ucapku senang

"Iya Rika  tapi ayah kamu tidak. Karena ayah harus bekerja mencari nafkah untuk kita"

Mendengar semua itu senyumku mulai menudar.

"Oh gitu ya bu, baiklah" sahutku penuh senyuman kepada ibu. Bermaksud menyembunyikan kesedihan. Dan sepertinya aku berhasil mengelabui ibu.

Namun di tengah perjalanan.

"Rika, tenang saja ayah, ibu, dan juga kamu gadis kecil ayah akan bersama di kampung halaman," bisik ayah kepadaku, "ayah cuma bohongin ibu kalau ayah nggak ikut pindah. Biar suprice gitu. Shiitt"

Aku mengangguk dan keceriaanku bangkit kembali. Sekian lamanya kami melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia entah mengapa ibuku mengetahui rahasia antara aku dan ayah.

"Gagal deh, habisnya Rika sih pake ngelindur segala kalau tidur" aku hanya cengengesan sambil menggaruk kepala.

Setelah 2 tahun menempati kampung halaman ayah jatuh sakit. Ia dibawa ke sebuah rumah sakit sebut saja A yang ada di Surabaya. Semua biaya di tanggung oleh pihak kantor.

Namun aku tidak boleh ikut karena pada saat itu aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Akupun terus berdo'a. Dan tidak lupa selalu menghubungi ibu karena aku ingin bicara kepada ayah.

"Assalamu'alaikum yah. Ini Rika, ayah pasti sembuh kan? Ayah pasti pulang ke rumah dan bermain bersama Rika lagi kan? Jawab yah?" terus menanyakan, "Rika ingin sekali memeluk ayah, Rika ingin jalan bersama-sama seperti dulu, Rika sayang ayah. Dan hal yang paling Rika inginkan Rika ingin memeluk ayah duluan karena sejak dulu ayahlah yang selalu memeluk Rika. Jadi cepat sembuh ya yah. Rika sayang ayah dari lubuk hati yang paling dalam" dengan ucapan terputus-putus karena suara tangisan. Namun tetap tidak ada jawaban. Karena ibu mengatakan ke padaku bahwa ayah sedang kritis. Akhirnya ku cukupkan sampai di sini telponku kepada ayah.

Hari esoknya ketika aku menelpon ibu, ia mengatakan bahwa ayah akan di pindahkan ke rumah sakit sebut saja B di karenakan batas pembayaran dari kantor sudah membengkak. Maksudnya sudah melebihi dari ketentuan yang sudah di berikan kantor. Apa daya ibuku mengiyakan saja. Namun aku tetap bisa berbicara kepada ayah yang isinya sama seperti sebelumnya.

Hari selanjutnya ketika aku hendak berbicara hal yang sama kepada ayah, aku di kejutkan. Karena pada saat ini ayah menjawab teleponku. Walaupun tidak begitu jelas yang di katakan ayah tapi aku senang.

Malam itu aku tinggak bersama Nenek dari ibuku. Disana aku begitu senang dan ceria. Karena aku telah mendengarkan suara ayah dari telepon. Pastilah pertanda baik.

Tidak lama kemudian pamanku baru pulang dari pengajian dan hendak memberikan jajanan kepadaku. Namun aku mendengar perkataan yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

"Mbuk, Farhan meninggal" kata paman kepada Nenek.

Aku menggelengkan kepala tidak percaya, "siapa paman yang meninggal?"

Sambil memegang kepalaku paman berkata, "ayah Rika meninggal, nak!" ujar paman kepadaku serius.

Aku berlari memasuki kamar yang sudah di sediakan untukku. Ku telepon ibu untuk memastikan  hal ini. Bagiku ini tidak masuk akal karena hanya beberapa jam setelah aku dan ayah menelpon.

"Ibu ap..." tanyaku terputus ketika mendengar suara tangis dari ibu.

"Iya Rika, sudah dulu ya"

"Kenapa, kenapa ayah," ucapku dalam hati, "ya allah hidupkanlah ayah hamba kembali, Rika sangat yang kepada ayah"

Badanku sudah tidak sanggup menerima semua itu. Anehnya ketika aku memohon kepada sang illahi badanku menjadi lemah tak berdaya. Pandanganku kabur dan akhirnya akupun tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa saat akupun terjaga. Aku terkejut sejak kapan aku berada di rumah kediaman dan sudah banyak kerumunan orang. Merekapun menuntunku kepada ibu yang di dekatnya adalah mayat ayah yang tertup dengan kain kafan.

"Jadi ini bukan mimpi" tanyaku dalam hati. Ku buka kain kafan itu sampai leher untuk melihat mayat ayah yang tergeletak di depan mata.

"Ayah..." teriakku sembari ingin memeluk erat tubuh ayah. Namun mereka menghentikan aksiku.

"Jangan Rika, awas air matamu nanti menetes ke tubuh ayahmu!" perintah beberapa orang yang menghentikanku.

"Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya ingin memeluk ayah, tapi kenapa mereka menahanku. Air mata? Apanya yang salah dengan air mata" gerutuku dalam hati.

Namun beberapa saat ketika tenagaku terkuras merekapun melepaskanku. Aku menurugi mereka bahwa aku tidak akan memeluk ayah.

Dengan sisa tenaga yang aku miliki, aku berdiri dengan kedua lututku. Dan berkata, "jika Rika di suruh memilih antara oleh-oleh dan ayah maka Rika akan memilih, ayah. Jika Rika disuruh memilih antara bintang dengan ayah maka Rika akan memilih ayah. Begitu seterusnya. Karena apa ayah lah yang sangat memperhatikan Rika, Ibu dan kakak. Terutama disaat Rika butuh pelukan seseorang ayahlah yang selalu memelukku!" ujarku kepada ayah.

"Tapi ayah telah tiada, pergi meninggalkan kami. Lalu siapa yang akan memeluk Rika disaat membutuhkan pelukan?" Semua menangis mendengar ucapanku.

"Selamat jalan ayah, Rika akan selalu berdo'a untuk ayah, You is my father forever."  kataku  kepada ayah berbisik.

"Walaupun aku mengikhlaskan kepergiannya tapi kenapa hatiku terus menagis" kataku dalam hati, ketika menyaksikan jasad ayah di masukkan ke liang kubur bersama ibu di sampingku sembari memelukku dan meneteskan air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top