08. Merasa Terusik


| Dewasa kini, rasanya lebih seru mencoba hal baru. Belajar untuk mengartikan sebuah pengalaman hidup. Jatuh dan bangun hanya perlu paham untuk sedikit lebih bisa bertahan |

-si

Jangan terus bertanya, diam saja karena aku benar-benar malas harus membalas pertanyaanmu.

-dari Belind untuk Yio

-😍HAPPY READING GUYS😍-


Tiga hari yang lalu, Aku mengumpulkan biodata pendaftaran anggota balet dewasa di ruang sanggar seni. Bahkan, belum sepenuhnya hilang kesempatan untuk belajar balet ketika kita sudah beranjak dewasa.

Balet terlihat rumit bagi kita yang belum mengenalnya dengan baik. Memang diperlukan latihan yang konsisten sejak anak-anak beranjak 5 tahun. Namun, tidak ada kata terlambat bagi siapa saja yang ingin mencoba berlatih balet di usia berapapun. Asal tujuannya hanya untuk bersenang-senang sekedar mencoba menekuni hobi yang tertunda.

Bukan lagi di sebut profesional, bahkan tidak akan pernah menjadi bintang Swan Lake atau The Nutcracker. Tetapi, kita masih bisa mencapai satu langkah lebih jauh ke depan ketika kita bisa tekun, disiplin dan mempunyai semangat untuk terus mencobanya.

Jadi, ayo ambil sepatu pointe kamu. Mari kita mulai kelas pemula bagi balet dewasa.

Kak Nisa-ketua sanggar seni sekolah Widya Bakti, mengumpulkan anggota baru bagian dari salah satu ekstrakulikuler seni yaitu balet. Ingin mengucapkan sambutan selamat datang dan selamat menjadi bagian dari keluarga seni dalam dekade dua tahun ke depan.

Aku senang, duduk bersila di samping jejeran anak-anak lain yang belum ku kenali tentunya. Namun, aku berkenalan dengan Kiky, anak perempuan kelas X IPS 4 yang duduk di samping kiriku.

Masing-masing dari kami, sangat memperhatikan dengan cermat sambutan dan juga pengenalan awal tentang balet, ada juga yang sebagian menuliskan apa yang barusan ia dengar ke dalam bukunya.

"Baiklah, Kak Nisa nggak mau panjang lebar berdiri di sini, sekali lagi selamat dan senang kalian telah memilih balet untuk menjadi pengisi waktu pulang sekolah kalian. Teruslah berlatih dan jangan pernah putus asa ketika mencoba hal baru sekalipun itu terlihat sulit, bahkan ada asa yang terlalu tinggi untuk di raih tetapi cukup mudah ketika kita lewati dengan sedikit peluh, itulah yang dinamakan life dan valuable experience."

Semua anak di sanggar seni bertepuk tangan begitu juga diriku. Sangat menyentuh hati dan memang cocok menjadi ketua sanggar seni dengan cabang seni lainnya yang tumbuh dalam satu wadah yang disebut seni.

"Kak Nisa panutan ya emang." Kiky membisikkan itu kepadaku ketika sorak tepuk tangan masih terdengar memenuhi sanggar seni yang tidak terlalu besar, karena kedap suara jadi suara nyaring masih bisa terdengar sayup-sayup.

Aku mengangguk, terus melihat ke arah Kak Nisa yang kini turun melalui jalan samping kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan oleh anak-anak senior balet, bisa disebut anggota yang mempersiapkan pengenalan singkat bagi anggota baru yang kini sudah bergabung dengan balet.

Kini, mic diambil alih oleh pemandu acara yang sudah memegang secarik kertas yang mungkin berisi pengumuman penting untuk di dengarkan.

"Jadi gimana nih teman-teman?? Ada yang bingung kapan hari mulai kita latihan dasar balet??" Seru-nya kemudian anak-anak menyahut, "iya kak."

"Oke-oke, jadi kita ada latihan dengan pelatih balet setiap dua minggu sekali di akhir pekan. Kalian juga bisa pakai sanggar seni ini untuk berlatih ditemani kakak-kakak yang di samping kanan kalian," sambungannya dengan menunjuk deretan kakak senior di sisi samping.

Kakak senior tersenyum ada juga yang say hai, begitu menambah antusias kami tak sabar ingin berlatih.

"Kalau kalian juga mau tahu lebih jauh tentang balet jangan sungkan untuk bertanya ya! Bisa juga chat personal ke kakak yang kalian mungkin sudah kenal dekat, tanya sama aku juga bisa hehe." Begitu jelasnya.

Kami mengangguk paham, setelah itu acara selesai dan disambung oleh pengenalan dengan anggota secara jabat tangan.

Anggotanya semua anak perempuan, jadi lebih aman dan nyaman karena sesama jenis.

Bisa dibayangkan kan, ketika berlatih balet dengan pakaian balet-leotard, yang terkesan pas body sehingga setiap pasang mata lelaki tak akan bisa beralih darinya.

Sebelum acara itu terjadi, aku sudah diberi tahu oleh kakak kelas yang waktu itu berdiri di depan lorong memberi brosur kepadaku. Bahkan kita juga sudah bertukar kontak satu sama lain.

Kak Diana namanya, dia juga sudah berjanji kepadaku akan meminjamkan buku tentang balet yang ia punya. Katanya dia juga belajar balet dari buku itu sewaktu dulu masih duduk di jenjang menengah pertama.

Aku seperti mendapatkan keluarga baru kedua setelah teman sekelasku yang baru. Apalagi, anak-anak yang lain cantik dan anggun sekali dengan postur tubuh kecil sama sepertiku. Bahkan, kami terlihat mudah akrab dan kini malah saling bertukar pengalaman ketika belajar balet di sisi samping sanggar seni dengan duduk melingkar dan kedua telinga kami sudah siap mendengarnya dengan cermat.

Sanggar seni yang memiliki jam masing-masing disetiap cabang seni, berjalan dengan waktu yang sudah ditetapkan di awal. Jadi, walau ruangan tidak terlalu besar masih dapat digunakan untuk menampung anggota sesuai porsi masing-masing waktu sehingga tidak terbentur kala sedang latihan atau proses gladi resik ketika akan mengadakan pentas.

Bahkan, satu ruangan ini sudah di bagi tempat untuk masing-masingnya.

Band berada di sisi pojok kanan depan, Karawitan di sisi belakang kanan, Balet di sisi belakang kiri dengan kaca besar yang mengitari dinding itu, namun terkhusus Tari bebas menggunakan bagian tengah ruangan untuk berlatih karena memerlukan tempat yang sedikit luas jadi dibuat fleksibel saja untuk anggota grup tari.

Sangat tertata dengan saling kerja sama antar ketua cabang seni hingga terbentuk sebuah ekstrakulikuler yang setiap saat mewakili sekolah dalam ajang lomba ataupun pertunjukan seni.

Baik, perjalanan baru Anne akan dimulai dan tertulis sebagai anggota baru balet. Ketika masa kecil impian itu sirna atas tidak diberinya izin oleh sang Ayah karena takut bila anaknya mengalami cidera mengingat masih terlalu kecil untuk anak berumur 5 tahun berlatih hal yang menurutnya riskan bila terjadi kesalah pahaman gerak yang bisa berakibat fatal.

Menuju dewasa ini, Ayahku sudah mengizinkan untuk belajar banyak tentang arti hidup bahkan membiarkan aku berkenalan atau mengikuti apa saja yang ingin aku coba begitu itu balet.

Keinginan anak bila tidak mendapat dukungan dari orang tua hanya akan berakhir naas dan juga kita harus mengubur dalam-dalam mimpi yang sudah kita ingin lakukan di usia muda kemudian beralih dengan mimpi lain walau bukan itu yang sebenarnya kita mau.

Tidak apa, jalan terbaik selalu diberikan oleh orang tua sebagai penunjang bakat dan minat kita sebagai pemberi kuasa dan memberi media apa untuk membentuk keinginan atau mimpi kita itu.

Jangan menyalahkan jalan yang kita susuri sekarang walau itu bertolak belakang dengan keinginan kita. Di waktu luang, kita masih bisa belajar sendiri mengenai mimpi awal kita atau bisa mengundang guru les seperti yang aku lakukan di masa laluku ketika aku beranjak sekolah dasar.

Tidak ada yang mengetahui itu, kecuali guru les baletku, aku diam-diam belajar balet ketika pulang sekolah walau hanya 20 menit setiap harinya.

Kini, aku tidak usah bersembunyi dibalik impianku menjadi seorang balerina walau aku sedikit melupakan tarian itu ketika menginjak bangku putih biru.

Kak Diana bersama kakak senior lainnya pasti akan membantuku dan juga pelatih baruku nantinya.

-yio&anne-

Ulfa dan Galuh tercengang mendengar aku ikut balet dan sudah menjadi anggota resmi ketika kemarin dilantik oleh kakak senior di sanggar seni sepulang sekolah.

Pantas, ketika Ulfa mengajaknya pergi mencari baju pesta dia tolak karena alasan itu.

"Kok nggak bilang dari awal si Lind?" Tarik Ulfa yang kepo karena niatku ikut balet.

"Itu mimpiku Fa, sejak kecil."

"Yang benar Lind?" Galuh kali ini juga ikutan kepo.

"Heem."

Kedua temanku ini sama kepo dan kagetnya ketika mengetahui yang sebenarnya. Bahkan ketika Ulfa melihatku pertama kali masuk kelas, dia berfikir kalau aku itu model, padahal cuma anak biasa dengan mimpi balet yang sempat terpendam.

"Jadi bukan model ya?" Ulfa cemberut, bisa saja dia meminta foto denganku sebanyak-banyaknya sebelum orang lain tahu bahwa aku adalah seorang model majalah remaja, namun dugaannya salah.

"Bukan Fa." Gelengku dengan senyum kecil.

"Oh, gitu ya." Ulfa tercengir dengan menggaruk kepal yang sebenarnya tidak gatal sebagai bentuk aksinya yang sok tahu itu.

"Yang penting semua udah jelas, sekarang ayo kantin!!" Ulfa kali ini berdiri menggebrak meja antusiasnya dengan makanan tak bisa menahan untuk segera memesan satu mangkok bakso dari Mang Jalu yang terkenal enak dan murcer alias murah di antero Widya Bakti.

"Kalian duluan deh, aku mau ke toilet dulu." Ucapku memberi perintah.

"Oke, sekalian di pesenin seperti biasa gak?" Tanya Galuh yang sangat pengertian kepadaku.

"Boleh Luh, makasih ya."

Aku berjalan keluar dengan tujuan yang berbeda, turun melalui tangga dan berbelok ke arah toilet khusus wanita.

Saat aku keluar langkahku terhenti karena ponselku bunyi seperti tanda ada pesan masuk. Saat ku buka ternyata dari kak Diana, dia memberi tahu kalau bukunya sudah di bawa, buku yang akan dia pinjamkan kepadaku. Dan nanti saat istirahat ke dua, dia menyuruhku menemuinya di ruang perpustakaan. Setelah ku balas menyetujui hal itu, langkah ku lanjutkan menuju kantin yang selalu ramai oleh anak lainnya yang juga lapar dan ingin segera mendapatkan pesanan makanan.

Ku hampiri Ulfa dan Galuh yang sudah duduk dan memulai makan karena memang sudah lapar dan juga pas waktu makan siang tiba.

Oh iya, mereka juga sudah tahu tentang kedekatanku dengan Yio-ketua geng YGS yang terkenal cakep sekaligus single tapi bagiku dia tetap menyebalkan dan misterius.

Bahkan ketika aku mendapat sedikit info dari mereka berdua tentang Yio, aku segera menyudahi dan menyuruh mereka untuk membicarakan hal lain saja asal bukan Yio aku akan ikut nimbrung deh.

"Lind, kamu tuh harusnya bersyukur ya, Kak Yio itu idaman seantero Widya Bakti tau." Jelas Ulfa waktu itu karena menyayangkan sikapku yang judes bahkan menolak mentah cowok menyebalkan yang kebanyakan perempuan memuja dan ingin dijadikan pacar olehnya-aku pengecualiannya lagi.

"Kak Yio juga ketua futsal, malah belum lama menjuarai turnamen melawan 3 sekolah sekaligus, Lind masa kamu nolak dia sih?" Ulfa lagi-lagi menyayangkan, andai dia yang diajak Kak Yio berpacaran sudah ia terima bahkan ketika pertama kali tahu bahwa dialah laki-laki incaran para wanita.

"Fa, udah deh masak bahas Kak Yio terus."

"Kamu mungkin belum tahu sikap dia aslinya kayak gimana, jadinya kamu belum bisa nyimpulin."

"Emang dia seperti apa?" Malah Ulfa bertanya lagi. Kan sudah ku bilang jangan bahas dia terus, si Ulfa kenapa sih.

"Pokoknya nyebelin banget."

"Tukang maksa lagi,"

"Apalagi tuh.." belum juga selesai, ucapan itu sudah di dahului oleh orang yang sungguh tidak ingin aku lihat batang hidungnya, siapa lagi coba kalau nggak Yio sama dua teman gengnya.

"Iya tahu, gue ganteng kok." Mendadak aja dia ikut campur dan duduk di samping kursiku yang memang kebetulan kosong.

"Banyak yang suka lagi." Sekali lagi dia ngomong kelebihan dirinya yang di puja banyak cewek, aku siram juga nih pakai air bakso mana tadi sambalnya kebetulan ku banyakin.

Kalian bisa menduga, bagaimana persisnya raut muka ku saat itu, sangat tidak enak dipandang dan sudah eneg sama omongan Yio yang bikin kuping tuh jadi sakit dengernya, tau kan ya gimana mengganggunya.

Bahkan si Satria nggak berhenti-berhentinya mengarahkan pandangannya ke arahku. Sedang membaca pikiran apa kepribadianku aku pun juga tak tahu, yang pasti aku sangat terganggu dengan kehadiran tiga anak laki-laki itu.

Ghani apalagi, dia kini tengah mencoba mendekati Galuh yang sangat menolak keras cowok karena dia sendiri pun bisa dibilang tomboi. Ghani mencoba merayu dengan mengajak naik gunung berdua. Sontak Aku dan Ulfa kaget dengan niat Ghani mengajak mendaki tapi hanya berdua. Pasti ada apa-apa nya nih.

"Kok lo nggak setia kawan sih Ghan," Satria yang masih saja berdiri dengan melipat kedua tangan itu kemudian tak rela bila temannya mendaki berduaan dengan orang yang sedang coba ia dekati. Satria juga mau, tapi sayangnya dia tidak ada pasangan.

"Kalau gue ajak lo, nanti lo mau ajak siapa? mama?" Tanya balik Ghani dan Satria juga sedang membingungkan hal itu.

"Nggak bisa. Gini aja deh, berhubung ini kita 3 cewek 3 cowok gimana kalau ndaki bareng aja, seru tuh pasti." Ide Satria kini mendadak sedang di pikirkan oleh semua anak yang kini tengah diam-diam dengan pikirannya masing-masing.

Yio tanpa pikir panjang langsung menyahut, "boleh banget tuh seru pasti, kok lo pinter juga Sat." dan memuji Satria yang memang dasarnya orangnya pintar.

"Satria gitu loh."

"Aku nggak ikut." Celetukku.

Lantas semua pasang mata melihat ke arahku dengan tatapan tak terbaca, Ulfa dan Galuh juga mungkin sependapat.

"Aku juga." Kini Galuh.

Tapi, "boleh tuh aku mau dapat pengalaman baru, aku mau ikut." Ulfa, kenapa dia bilang kalau dia mau?

Galuh menyenggol lengan Ulfa, "lo kok mau mau aja sih Fa?" dengan suara lirih.

"Ya gue kan cuma pingin tahu gimana rasanya ndaki gunung Luh, seumur-umur belum pernah gue naik gunung." Jawabnya yang juga lirih tapi masih bisa di dengar oleh kita yang sedang berkumpul di satu meja kantin.

"Tapikan-"

"Luh, biarin Ulfa ikut kasihan dia juga pengen banget ndaki tuh." Yio memotong pembicaraan Galuh dan mulai mengeluarkan jurus rayuannya, aku yakin Ulfa akan ikut tertarik oleh rayuan maut si tukang onar.

"Belind, ikut yuk." Rayunya kini beralih kepadaku.

"Nggak." Aku tetap berpegang teguh dengan kalimat penolakanku tadi.

"Ayo dong sayang," aku melototi Yio yang sudah beraninya memanggilku sayang apalagi di depan teman-temanku.

Kecuali aku, lima anak yang sudah mendengar tadi hanya bisa tersenyum manja apalagi Ghani. Awas kau Ghan, beraninya menertawakan aku padahal kalau di kelas sukanya diam aja.

"Fa, Luh, kok kalian ketawa sih."

"Habisnya Kak Yio lucu tuh bujuk kamunya." Ulfa berucap yang sebenarnya.

"Aku tetap nggak mau ikut." Ucapku karena sudah tak tahan aku lebih memilih berjalan pergi meninggalkan mereka yang sudah kebingungan dengan sikapku kepada pacar sendiri padahal aku tidak menganggapnya pacar.

"Waduh ngambek tuh." Kata Ghani tahu, bukan dia saja semua yang ada di situ juga tahu kalau Belind ngambek.

"Susulin bos." Suruh Satria berinisiatif menyuruh Bos Yio menyusul Belind yang mungkin sudah marah kepada bosnya itu.

Yio beranjak pergi tanpa sepatah kalimat apapun, hingga tertinggal Ulfa, Galuh, Ghani, dan Satria. Malah kedua laki-laki itu duduk berhadapan dengan kedua perempuan yang tak mau ikut campur urusan Belind dengan Yio jadi memilih untuk melanjutkan makan ditemani oleh dua punggawa ganteng yang tengah mencoba merayu juga.

-yio&anne-

Aku berjalan menuju ruang perpustakaan setelah mendengar bel istirahat berbunyi, Ulfa dan Galuh juga sudah mengetahui. Tadinya mereka ingin ikut denganku, namun karena Kak Diana hanya ingin menemuiku jadinya mereka tak ku izinkan ikut.

Masalah tadi, sudah lupakan saja.

Memang Yio mengejarku tadi dan memohon agar aku mau ikut mendaki tetap aja ku tolak. Tapi eh tapi, yang namanya Yio kan memang keras kepala dan mau keinginannya dipenuhi. Jadinya, dia terus saja merengek. Aku memilih diam dan terus berjalan ke depan.

Bahkan dia mengikutiku sampai depan kelas, mulus sekali namun aku yang terus saja malas bila dia ada di dekatku.

"Belind, ikut yaa!!"

"Ayo dong ikut aja, kan ada aku."

Justru ada-nya kamu yang membuat aku jadi tak ada niatan untuk ikut apalagi dekat sampai menginap di atas gunung. Oh iya, udara dingin juga yang membuat aku menolak ajakan itu.

"Aku alergi sama dingin."

"Puas?"

"Hah?" Yio kaget dengan penuturan itu. Aku memilih masuk ke dalam kelas, tak mau berbicara dengannya lagi karena kenyataan yang begitu jelas sudah ku katakan kepadanya. Yio pun juga tak lagi mengejarku hingga masuk ke dalam kelas, dia memilih untuk menunggu hingga nanti pulang sekolah untuk lebih menanyakan detailnya.

Sampailah aku di dalam perpustakaan, ku cari Kak Diana yang kebetulan perpus belum banyak anak yang datang. Ku temukan Kak Diana sedang duduk menghadap rak-rak bagian buku sosial, sama dengan jurusannya. Mungkin sedang mengerjakan tugas.

Aku sapa Kak Diana, lalu dia menyuruhku untuk duduk sebentar di kursi sebelahnya. Kak Diana mengambil dua buku terlihat tidak terlalu tebal dan diberikanlah kepadaku.

"Dik, ini bukunya." Julurnya kepadaku.

"Jangan lupa dibaca ya!"

Ku terima buku itu dengan senang hati, "Kak Dian, makasih banyak ya." Ucapku berterima kasih karena sudah sangat baik kepadaku.

"Iya dik, sama-sama."

"Aku duluan ya." Pamitnya kemudian.

"Oh, iya kak." Balasku.

Ku kira Kak Diana akan lama di perpus, dan aku bisa membaca beberapa bagian awal dari bukunya ditemani dengannya yang sedang mengerjakan tugas mungkin. Ah, tapi tidak apa lah. Aku bisa membacanya sendiri.

Ku mulai membuka buku berjudul "BALLET the definitive illustrated story" bersampul hitam dengan gambar kaki balerina. Sangat menarik.

Perlahan aku baca bab pertama, hingga aku larut sampai melebihi bab tiga. Aku juga tak memperhatikan bahwa semakin lama, perpustakaan semakin banyak anak lain yang datang. Bahkan hanya sekedar untuk tidur, bukan niat mau membaca buku.

Ku akui, perpus ini memberikan kesan comfortable bagi setiap siswa yang berkunjung hingga tidak akan bosan berlama-lama. Orang lain salah, bila tak menjadikan peprus sebagai tempat colut atau tempat mengerjakan tugas dikala guru sedang absen, padahal aku akan sangat mendukung itu untuk ku suarakan dan mengajak anak yang lain.

Sampai akhirnya datanglah satu orang yang berdiri di sampingku karena terlalu fokus aku tak melihatnya. Dia menyenggol sikuku yang ku buat tumpuan di atas meja, karena tak begitu menumpu dengan benar sikuku jatuh di atas meja kepalaku hampir juga jatuh ke bawah, namun aku bisa menahannya.

Ku lihat siapa yang melakukan itu kepadaku, akan ku marahi dia karena telah menggangguku sedang asik membaca dan berkonsentrasi dengan barisan kalimat dalam Bahasa Inggris itu.

Kekesalanku tertahan saat melihat siapa orangnya-ya, tentu saja Yio siapa lagi kalau bukan dia.

Ku tutup dengan kasar buku yang tadi sedang ku baca. Ku ambil keduanya dan ku bawa pergi keluar dari perpustakaan tanpa mengucapkan satu kalimat apapun.

Yio tentu saja mengejarku, hingga dia berhasil mencekal tanganku dan bertanya, "Lind kenapa sih?"

"Kamu masih tanya kenapa??" Balasku dengan nada meninggi.

"Ya kamu main pergi gitu aja."

"Kamu tuh yang harusnya mikir, aku tuh capek ya terus-terusan kamu gangguin. Apalagi barusan aku lagi enak-enak baca, kamu tiba-tiba aja dateng ngebuat jadi nggak mood."

"Udah dong Yi, aku beneran capek."

Tunggu, ini Belind beneran marah banget tau. Dia juga udah kesal, capek, nggak tahu lagi harus gimana menghadapi Yio yang terusan mengusik hidupnya.

Tolong dong, Yio sadar kalau keberadaan dirinya sungguh tak di izinkan oleh Belind.

Jadi, berhenti aja ya.

(Hah, Yio salah ya?)
(Iya Yi!! tolong sadarin dong guys)

-yio&anne-

Bukan Yio namanya kalau tidak melakukan apa-apa setelah mendapat perlakuan Belind yang begitu marah kepadanya.

Dia mencoba menyuruh Ghani untuk meminta nomor hp Belind. Tidak mau peduli pakai cara bagaimana, yang penting nomornya dapat.

Ghani berpikir keras, gimana caranya. Kalau dia langsung minta ke Belind itu akan ditolak mentah-mentah. Jadi, pakai cara apa?

Cara satu-satunya yang sedang ada di otak Ghani adalah lewat jalur Ulfa. Pasti dia akan memberi dengan percuma.

Saat bel pulang sekolah berbunyi, Ulfa yang berjalan menuju lokernya terhenti di samping tempat duduk Ghani karena dia ditahan oleh tangan Ghani.

Merasa aneh, Ulfa langsung melepaskan dan ingin memarahinya dengan suara khas yang sering terdengar menggema di ruangan kelas. Namun, Ghani malah membekap mulutnya dan mengajak ke belakang kelas dekat loker, seperti ingin mengobrolkan sesuatu yang penting agar anak lain tidak curiga terlebih Galuh dan Belind yang masih sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Fa, bagi no nya Belind!" Bisiknya di samping telinga Ulfa.

"Hah, buat apa?" Tanya Ulfa.

"Buruan tinggal kasih aja susah amat." Alibi Ghani yang tak pandai membuat perempuan percaya kepadanya.

Ulfa menurut, dia membuka ponselnya dan mengirim nomor Belind di kolom chat dengan Ghani yang kosong. Bahkan belum ada satu pun percakapan dimulai ketika awal kali jadi siswa baru dan menjadi teman satu kelas.

Ghani memang manusia keras dan susah, kalau bukan kemauan sendiri bakal susah bicara ataupun ngobrol berdua dengannya. Itu tadi karena perintah bos ya, kalau tidak bisa aja dia menolak.

Setelah mendapatkan nomor itu, dia berjalan mendekati bangkunya dan mengambil tas lalu bergegas keluar kelas meninggalkan Ulfa yang memandanginya aneh.

"Tuh anak kenapa aneh gitu, pantes aja nggak ada yang mau temenan sama dia di kelas ini." Ulfa berucap ketika membuka lokernya ingin mengambil barang yang ada di dalamnya, masih memikirkan tingkah Ghani yang aneh berbeda dengan anak yang lain.

Di sisi lain, Yio dan Satria sedang menunggu di rooftoap menanti kabar dari Ghani yang tadi dia tugaskan untuk mendapatkan nomor pacarnya—Belind.

Satria mencoba mencairkan suasana karena dari tadi Yio diam saja seperti ada pikiran berat bersarang di kepalanya tidak seperti biasa, "Bos Yi, kenapa diem-diem bae?"

"Nggak pa-pa." Singkat Yio membalas, pandangannya masih saja kosong ke depan.

Satria menepuk pundaknya, "aduh, nggak biasanya gini. Belind kenapa?"

Mendengar kata Belind, Yio menatap Satria yang mengucap nama itu. Tatapan yang dingin, seperti Yio sedang merasa tidak baik. "Dia marah banget sama gue." Tuturnya.

"Marah kenapa bos?" Satria ingin tahu dan mencoba menenangkan bisa aja ikut bantu cari jalan keluar.

"Dia nggak suka sama gue Sat,"

"Gue bingung harus gimana." Nada sedih terdengar dari suara Yio yang keluar barusan.

Tak seperti biasanya, itu yang ada di pikiran Satria sekarang. Mungkin karena sosok Belind ini beda dari perempuan yang sudah Yio temui, katakanlah beda dari yang lain, hanya satu di dunia imajinasi Yio, pantas saja dia sangat sedih sekarang.

"Tenang bos,"

"Nanti kalau Belind udah nggak lagi diselimuti kemarahan, tinggal kamu bujuk aja pakai gombalan." Saran Satria.

"Gombalan kayak gimana?"

"Dia aja males ketemu sama gue Sat."

"Jangan nyerah dulu dong bos, masak baru gini aja udah putus asa." Satria emang anak penuh akal untuk menenangkan temannya pun dia tak perlu diragukan lagi.

Sejak kalimat itu Satria katakan, Yio masih diam. Hingga bunyi pintu terbuka terdengar di belakang, ternyata Ghani datang.

"Lama banget sih sob?" Tanya Satria.

"Mikir trik dulu," balasnya.

"Dapet nggak?" Tanya Satria lagi, dia tahu kalau bos Yio menyuruh Ghani untuk mendapatkan nomor Belind.

Ghani hanya mengangguk, itu tentu tak diketahui Yio yang sejak tadi kedatangan Ghani dia tak menoleh ataupun berucap apa-apa.

"Bos, nih nomor Belind." Ulur Ghani memberi ponselnya di depan Yio.

Yio menoleh, mengambil saja ponsel itu dan menyalin nomor Belind ke dalam ponsel miliknya.

"Thanks sob." Ucap Yio kemudian berjalan turun setelah ponsel itu dia kembalikan ke Ghani.

Kedua anak yang masih berada di rooftoap tidak mau menyusul Yio dan membiarkannya melakukan apa yang menurut dia harus dilakukan olehnya sendiri dan menyelesaikannya dengan usaha sendiri. Yang berkuasa atas Belind adalah Yio, Ghani dan Satria hanya bisa memberi jalan terbaik dan menyupport hal yang akan Yio perbuat.

Demi Belind, Yio rela melakukan apa saja. Asal Belind mau memaafkan dan memberinya kesempatan untuk kembali bersama.


-To Be Continue-

Bagaimana dengan part ini?

Yio menyebalkan apa bikin gemes?

Kira-kira Yio akan melakukan apa ya?

Kalian bisa tebak??

Jangan lupa vote ya teman☺️🧡

( Sapa yang salut sama bang Ghani??)
😜









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top