07. Harapan Baru
|Dalam setiap harapan, segala doa baik bersatu dan berubah menjadi kekuatan |
-Ann
-😍HAPPY READING GUYS😍-
"Dek, ini ada brosur," ucap kakak perempuan dengan mengenakan jas organisasi yang ia ikuti, ada berlembar brosur di tangan kirinya dan kini yang ia lakukan adalah memberikannya kepada setiap siswa yang akan masuk ke dalam sekolahan, karena dibutuhkan lebih banyak lagi anggota dalam ekstrakulikuler balet.
Aku melihat brosur itu sekilas, tersenyum kepada kakak kelas yang memberikan, "kakak tunggu data dirimu di ruang sekre balet, siapa tahu kamu minat," ucapnya sambil terus menyunggingkan senyum manisnya.
"Baik kak." Ucapku berlalu menuju kelas dan sekejap memandangi brosur itu lalu ku masukkan ke dalam tas.
Hari ini, aku datang cukup pagi karena sudah tahu dan hafal jalan menuju sekolah walau dengan jalan kaki namun aku sangat senang melakukannya.
Terlebih aku juga ingin terbebas untuk tidak bertemu dengan kakak kelas menyebalkan yang kemarin ku temui dan mengajak berpacaran. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang dia saja aku malas apalagi harus bertemu kembali setelah insiden kemarin sore yang cukup mengejutkan, bagaimana bisa dia tahu dimana rumahku? Ah, sudahlah besok-besok aku tak akan membukakan pintu untuknya jika dia datang. Eh, kok jadi seperti berharap gini sih?
Aku mencoba melupakan kejadian kemarin, dan bahagia sekali karena mendapat ucapan selamat pagi dari Bunda dan Ayah yang menjadikan semangat tersendiri bagiku, walau hanya lewat voice note tapi aku bahagia bila mendengar suara lembut dari Bunda dan suara menyemangati dari Ayah, seperti bonus sarapan pagi setelah makan sereal.
Niat ku ingin naik ke lantai atas ku urungkan, aku berjalan lurus setelah badanku ingin menaiki tangga namun ku cegah. Aku rasa masih cukup pagi jika hanya duduk di kelas tanpa ada perbincangan yang cukup menarik dengan teman yang lain yang belum ku kenali bagaimana sifat mereka.
Terus saja aku berjalan hingga aku berada diantara dua lorong, arah kanan menuju gudang, arah kiri menuju perpustakaan. Aku lebih memilih untuk berjalan ke arah kanan. Karena, aku menemukan sebuah tangga naik entah ke gedung sebelah mana.
Dengan sifat ku yang selalu ingin tahu walau suasana lorong bahkan pojok gudang tak ada seorangpun disana, aku berjalan dengan langkah pasti.
Menaiki tangga, dan diujungnya terdapat pintu kayu seperti masuk ke dalam ruangan besar.
Aku salah, ternyata pintu itu, pintu yang menemukan tempat lain seperti tempat yang dulu—rooftoap gedung sekolah.
Hanya kosong, namun di tengahnya terdapat satu kursi panjang, aku berjalan ke arah kursi itu lalu duduk.
Memejamkan mata, menikmati hawa pagi Bandung tentu saja dengan balutan jaket.
Ku buka ponselku, mengetikkan sesuatu di kolom chat dengan Ditta. Begini.
Dit, aku nemuin tempat ternyaman kita dulu waktu di sekolah, kamu tahu kan?
Rooftoap ini, mengingatkanku akan Ditta, walau berbeda tempat namun aku merasa bahwa aku tak sendirian di tempat tertinggi gedung sekolah ini.
Walau terlihat pepohonan tinggi dari atas sini, bukan menambah seram tapi malah adem.
Ku masukkan kembali ponsel ke saku, berdiri dan berjalan ke arah pintu untuk kembali ke ruang kelas karena 5 menit lagi kelas akan dimulai.
-yio&anne-
Kelas berlalu begitu cepat hari ini, bukan tanpa sebab. Kepala sekolah mengadakan rapat hari ini untuk membahas rencana kunjungan ke sebuah tempat sejarah terkhusus untuk anak-anak kelas sepuluh sebelum ujian kenaikan kelas dijalani.
Maka, anak-anak dipulangkan lebih awal dari jam biasanya.
Bagi setiap anak, pulang pagi adalah hari paling menyenangkan yang selalu mereka tunggu-tunggu selain jam kosong atau guru berhalangan hadir, tapi kali ini berbeda, menurutku ini sangat membosankan.
Mau tahu kenapa? Ya, karena seorang Anneta Berlianda berada di rumah sendirian, dan itu sangat membosankan. Bibi belum datang karena mulai berkerja Minggu depan, mencoba untuk keluar namun tak tahu jalan yang ada malah tersesat dan menimbulkan masalah baru itu bukan yang aku inginkan.
"Harusnya nih, sebelum aku ke sini, aku harus cari tahu detail tempat mana saja yang asik untuk bisa ku kunjungi sendirian," umpatku menyesal karena tak melakukan itu sebelumnya.
Aku berjalan dengan gontai ke arah kulkas untuk mengambil beberapa snack yang bisa kumakan untuk menemaniku menonton acara televisi.
Satu jam berlalu dengan perasaan biasa saja, mata jadi panas walau sebenarnya televisinya tak ku tonton dengan baik karena kadang aku lebih bermain ponsel sekedar melihat beranda Instagram atau Twitter.
Pada detik ke sekian aku ingin memencet tombol off pada remote tv, namun ada suara ketukan dari pintu depan, ku tilik melalui kaca pembatas ke arah pintu, tetapi tidak kelihatan. Ya jelas saja, orangnya ada di balik pintu yang tertutup mana bisa terlihat.
Ku matikan tv detik itu, lalu berjalan turun ke bawah, sembari membalas, "ya tunggu sebentar." Aku berpikirnya sih paling tetangga.
Saat ku buka pintu lebar-lebar, aku terbelalak, bukan tetangga melainkan kakak kelas menyebalkan itu lagi.
Yio sudah berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam kantong jeans, melihat sosok Belind—pacaranya, menggunakan celana di atas lutut dan kaos berwarna biru gelap dengan wajah kagetnya, bukan, perhatiannya kini tertuju pada kaki. Belind menggunakan kaos kaki ketika di berada di dalam rumah, itu yang membuat Yio sedikit merasa aneh.
Aku juga ikut melihat kakiku, "oh tidak," aku lari terbirit ke kamar atas, mungkin yang Yio lihat adalah kakiku yang mulus dengan hanya menggunakan celana pendek, itu sebabnya aku lari dan berniat untuk mengganti dengan celana panjang.
Yio yang melihat itu hanya sedikit tertawa kecil sebelum akhirnya dia melangkah masuk dan duduk ke di sofa setelah dia menutup pintunya.
Aku turun setelah ganti, setelah tamu tak diundang datang tiba-tiba mengagetkan.
"Mau ngapain sih io?" Tanyaku menghampiri Yio yang sudah duduk di sofa padahal aku tidak menyuruhnya untuk masuk.
"Kenapa duduk di sofa?" judesku sambil berdiri melipat kedua tangan di dada seperti raut muka kesal, ya jelas saja, siapa sih yang tidak kesal ketika ada tamu yang main masuk ke rumah orang padahal tuan rumahnya belum mempersilahkan, hanya laki-laki menyebalkan itu di dunia ini.
"Ya terus dimana dong?" Tanyanya polos.
"Aku kan nggak nyuruh masuk."
"Tapi kan kamu udah bukain pintu."
Benar kan, bertemu dan berbicara dengan dia hanya membuat tekanan emosi menjadi naik tiba-tiba.
Aku harus lebih sabar kali ini, karena tak mau jika rumahku di buat porak-poranda olehnya.
"Jadi kenapa—" tanyaku terputus ketika dia memotong ucapanku, "kenapa ganti?" Tanyanya.
"Gapapa," balasku cuek, malu juga sih sebenarnya namun ku tutupi dengan ketidakpedulianku membalas pertanyaannya apalagi harus mengingat peristiwa tadi.
"Kok pakai kaos kaki di dalam rumah?" Tanyanya lagi.
"Emangnya nggak boleh?" Balasku sewot dengan wajah datarku dan terlihat sangat acuh, entah kenapa sosok Yio ini tak merasa lelah terus-terusan menemuiku dan adu mulut denganku.
"Ya, boleh-boleh aja, malu yaa?" Tudingnya menunjuk wajahku, apa lagi wajahnya kini bikin geli karena tersenyum mengejek.
"Nggak." Elakku cepat.
"Ngapain sih kesini?" Tanyaku yang seolah mengalihkan pembicaraan.
"Mmm, mau ngajak keluar."
Bukan ini yang aku mau, memang betul aku ingin pergi keluar, tapi tidak dengan laki-laki ini. Pasti akan ada paksaan jika aku menolaknya.
"Keluar? Kemana?"
Yio terdiam, seperti memikirkan suatu tempat yang pantas untuk dia dan pacarnya kunjungi. Bukan date atau apa, tapi sesuatu yang lebih dari itu.
"Ya, ada." Jawabnya tak mau memberi tahu.
"Kalau gitu aku nggak mau." Tolakku karena dia tidak memberi tempat pasti kemana dia akan membawaku.
"Kali ini tanpa penolakan," ucapku dan dia seperti berbarengan, dan aku tahu apa yang dia pikirkan sehingga aku juga mengucapkan itu.
"Great." Balasnya menang.
"Aku ke atas ambil tas dulu,"
"Bisa tunggu di luar nggak?" Lanjutku dengan nada pelan mempersilahkan.
Jangan tanya lagi kekesalanku berada di puncak mana, sudah melebihi batas tentunya. Apalagi harus memperlakukan dia dengan baik seperti yang barusan ku lakukan, dalam hati aku sangat jengkel dan meremas tanganku seperti aku ingin memukulnya namun niat jahat itu tak bisa ku lakukan, terlebih ketika sedang berada di dalam rumahku.
"Arghh, dasar setan bandung satu ini, nyebelin bangettttttt," batinku di puncak kemarahan yang terpendam.
"Tentu sayang." Senyumnya, yang terlihat picik dan penuh misteri sehingga aku pun juga sulit menebak dia, mungkin karena masih baru kenal.
Aku lagi-lagi menuruti apa yang Yio mau padahal aku bisa saja menolaknya dan mengusirnya toh ini rumahku. Tapi, entah apa Yio selalu akan menyeretku jika aku tetap menolaknya. Itu sebabnya, terlihat sulit untukku keluar dari keadaan yang selalu mendesakku untuk jalani saja dulu.
Yio menurut dan ia duduk di kursi depan menungguku, melihatku keluar dan menutup pintu dia langsung berdiri. Berjalan mendekatiku dan menggandeng tanganku menuju sepedanya, tunggu, sepedanya pun berbeda dari yang kemarin, kali ini sepeda kecil seperti Honda Monkey warna kuning gelap, aku tahu karena teman lamaku juga memilikinya hanya beda di warnanya saja. Aku jadi yakin kalau dia anak nggak benar kali aja dia suka rentalan motor cuma buat gaya-gayaan.
Eh, gandengan tangannya juga ku tampis kali ini. Cuma ingin menuju motor di depan rumah pakai acara pegang-pegangan, kayak mau nyebrang jalan ramai aja, terlalu lebay kalau kataku.
Yio hanya berdegus kesal, berjalan ke arah motor tetapi aku lebih dulu.
"Nih, di pakai dulu," Yio memberikan helm, aku tak menerima dan terus memperhatikan detail motor itu. Akan ku kenali setiap detailnya agar aku bisa memergokinya kalau itu memang bukan motor miliknya. Karena aku diam, dia sudah memasangkan helm ke kepalaku. Adegan berdiri membeku oleh kedua pemeran terjadi sekarang, manik mata saling pandang hingga berakhir karena ada tetangga yang lewat dengan membunyikan klakson menyapa.
Hanya aku yang seperti kalang kabut segera menetralkan suasana agar cepat terlupakan.
"Aku bisa sendiri."
"Kamunya tadi diem aja, makanya aku pakein biar cepet." Alasannya.
"Iya, udah nih." Balasku dengan nada ketus sedang mengaitkan tali helm di bawah dagu hingga terdengar bunyi 'klik' sengaja ku tekan keras biar laki-laki itu mendengar jelas.
Belum juga Yio menyuruh naik, aku sudah terduduk di jok belakang motornya yang kecil, atau memang sengaja memilih jok motor yang kecil supaya aku bisa pegangan ke dia, dasar licik sekali otaknya.
"Aku sengaja nggak bilang kita mau kemana biar jantung kamu nggak bergetar duluan, kamu pasti senang nantinya." Ucapnya ketika motor itu perlahan melaju dan aku seperti tak dia izinkan untuk bertanya kenapa.
Aku mendumel di belakang punggungnya, memegangi tas untuk ku buat pegangan, sialnya motor itu tak ada besi pegangan di belakang hingga tak ada benda lain sebagai pegangan, untuk memegang pundaknya aku pun sangat tidak minat, apalagi melingkarkan tanganku ke perutnya, tak akan terjadi, catat itu.
Dia kali ini mengendarai motor dengan sangat lamban, entah sengaja mengulur waktu bersama dalam motor berdua atau takut bensinnya habis. Aku sangat bosan berlama-lama duduk di jok motornya, yang terjadi sepanjang jalan hanyalah keheningan tak ada pembicaraan yang menarik, bukankah aku juga malas kalau harus menjawab kalimatnya itu, iya itu benar.
Perjalanannya seperti sangat panjang dan kurasa waktu akan habis di jalan ketimbang sampai di tempat tujuan. Sedari tadi melewati jalan raya, berhenti di lampu merah entah sudah berapa banyak lampu merah yang terlewati.
"IIOOO, MASIH JAUH??" tanyaku dengan suara keras.
"Nggak, bentar lagi sampai kok yang." Balasnya enteng masih fokus ke depan.
Bentar laginya kapan?
Sampai pada saat kini melewati jalan kecil setelah melewati gedung mall, aku kira dia akan mengajakku ke mall ternyata bukan.
Setelah belok kanan dari jalan itu, tak jauh dari sana, Yio menghentikan motornya tepat di depan bengkel mobil dan motor yang besar bila di pandang dari luar seperti ini.
Aku kira motornya rusak atau mogok, jadi aku tanya supaya lebih pasti, "motornya kenapa?"
Dia malah membalas, "baik, sehat kok yang."
Yio memakirkan motornya di samping kanan bengkel itu, dan mengajakku untuk masuk ke dalam.
Aku mengikuti dari belakang sambil melihat isi dalamnya, ternyata bukan hanya bengkel. Seperti dealer motor tapi motor klasik sama seperti motor yang Yio pakai. Aku kini memutar tubuhku ke belakang, memandangi motor Yio, memang persis.
"Hei bro," sapa Yio yang membuatku kaget karena aku tak yakin dia akan kenal dengan orang-orang bengkel yang tempatnya cukup jauh dan membuat punggungku pegal duduk di jok belakang motornya—eh, bukan, motor siapa yang jelas aku sangat yakin kalau itu bukan motor miliknya.
Ada anak laki-laki, mungkin seumuran dengan Yio sedang membenarkan bagian depan mobil seperti mengecek juga pada bagian kabel-kabel, anak itu mendongak ketika suara familiar menyapanya hampir setiap hari. "Eh Yio, kotor nih gue, langsung ke dalem aja." Katanya begitu sambil menunjukkan telapak tangannya yang sudah berubah warna menjadi hitam.
"Oke, yang bener ngeceknya." Balas Yio sambil menepuk punggung belakang anak laki-laki yang tak ku ketahui namanya, dia juga seperti tak melihatku karena aku berdiri di belakang tubuh Yio yang bisa menyembunyikan aku dari pandangan depan.
"Lo tau lah Yi, gimana cara gue kerja." Sahutnya.
"Sip deh."
Selain itu, ada beberapa orang lagi yang bekerja sebagai montir di dalam bengkel besar itu, namun jarak yang terlalu jauh mungkin tak bisa menggapai untuk saling sapa. Alhasil Yio hanya menyapa laki-laki tadi yang mungkin punya hubungan yang dekat dengannya.
Kali ini Yio memandangku, padahal sejumlah pertanyaan sudah ku susun di dalam otakku untuk ku tanyakan kepadanya. Namun, dia malah berbicara dengan menggunakan isyarat matanya yang seakan mengarah ke dalam dengan arah bola matanya kini sebagai penunjuk.
Aku berjalan dua langkah sebagai tanda akan mengikutinya di belakang, asal dia duluan aku oke aja.
Di dalamnya terdapat dinding kaca, sehingga orang bisa melihat isi dalamnya seperti apa, hanya terdapat sofa seperti tempat untuk menerima customer dan ada meja seperti tempat melayani.
Rak besar berisi jajaran oli, ban, dan alat bengkel lainnya terdapat di sisi dekat sofa, tersusun rapih, mungkin tempat kerja ini sudah terstruktur dan selalu ingin memperlihatkan kenyamanan bagi siapa saja yang datang, begitu juga diriku.
Sungguh besar untuk ukuran bengkel pada umumnya.
"Hei, ini kita mau ngapain?" Tanyaku yang sudah tak mau lagi menyimpan pertanyaan dan harusnya dia menjelaskan untuk apa kedatangannya kesini dengan mengajak diriku? Aku kan bukan anak bengkel dan permontiran, mana ada gunanya aku ada di tempat seperti ini, bahkan sekedar ingin tahu alat-alat bengkel saja aku menolak keras dan untungnya apa bagiku, tidak ada.
Yio kembali memandangku, kali ini tak ada alasan dia diam dan menyuruhku terus berjalan mengekorinya, "mau ketemu seseorang."
"Siapa?"
Itu yang ingin ku tanyakan terang-terangan kepadanya biar semuanya jelas.
"Diem deh, nanti juga tahu."
Apa?
Diriku sejak tadi juga diam, Mas Yio yang menyebalkan.
Rumit rasanya harus mendapat urusan dengannya bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan teman satu kelasnya yang memiliki Yio dalam satu ruangan kelas selama tiga tahun. Aku yang membayangkan saja ingin rasanya mengusir atau mendiamkan dia sampai acara kelulusan tiba.
Ada sih, satu kemungkinan yang membuat dirinya begitu sangat dikagumi oleh kaum wanita, dia tampan, ku akui itu walau hati kecilku yang mengatakannya.
Namun, tidakkah mereka melihat dengan lebih jeli walaupun tampan kalau attitude nol ya sama aja tidak layak masuk kriteria.
Percekcokan isi kepala dengan hati kecilku terhenti ketika dari arah dalam ruangan itu ada seorang laki-laki belum tua, seperti Ayah, berjalan ke arah berdirinya aku dan Yio sekarang.
"Big Boss," sapa Yio dan keningku mengerut mendengar sapaan dia seperti itu.
"Yi, kalagian beurang kadieu, iyeu mawa gadis orang mana??" Tanya laki-laki paruh baya itu dengan bahasa sunda, pandangannya beralih kepadaku kemudian kepada Yio. Seketika mata kami bertiga saling melihat satu sama lain, namun laki-laki paruh baya itu seperti ingin tahu dari mana asalku dan kenapa bisa datang bersama Yio.
"Oh iyeu, Belind ngaranna, Pi." Balas Yio sama menggunakan bahasa sunda.
"Papii??" memang mulutku tak bisa ku tahan ketika mendengar Yio menyebut kata Pi—artinya, Ayah Yio??
"Belind, urang ayahna Yio, salam tepang." Ucap Bapak memperkenalkan diri yang membuatku terkejut di sana.
Kan benar.
"Maaf Om, saya tidak tahu." Ucapku dengan sedikit penyesalan telah bertanya seperti itu dan kini aku cium punggung tangan laki-laki di depanku yang ternyata itu Papinya Yio.
"Keparat emang si yiooo," gerutuku dalam hati karena malu juga merasa bersalah.
"Oh tidak apa-apa, memang belum banyak yang mengenal Om. Soalnya Yio selalu melarang untuk sekedar menemui atau berbincang kepada teman-temannya, jadi Om memaklumi itu,"
"Ini malah dia yang bawa temannya kesini, tidak seperti biasanya." Balas Ayah Yio dengan bahasa Indonesia karena lawan bicaranya menggunakan bahasa itu karena berasal dari kota yang berbeda.
"Pi, nu iyeu mah beda lain babaturan."
"Maksudna beda kumaha??" Tanya Ayahnya bingung.
"Si eta kabogoh," bisik Yio di telinga Ayahnya sedikit bisa ku dengar.
"Oh, ayah ngarti." Ucap Ayah Yio setelah mendapat bisikan itu.
"Nama Om, Om Herman." Kenal Ayah Yio kepadaku sambil menunjuk ke arah dirinya di bagian dada.
"Baik Om Herman, bisa dimengerti." Balasku sopan.
"Lain asli bandung-nya maneh??" Tanya Om Herman, sambil berjalan ke arah sofa yang diikuti oleh langkah Yio, aku pun juga.
"Saya asli jakarta Om, kebetulan pindah ke bandung." Jelasku ketika sudah duduk di sofa.
"Makanna naha beda lamun di padang,"
"Beda gimana Pi?" Memang Yio selalu memanggil Ayahnya dengan sebutan Papi yang terlihat seperti anak manja, bukan malah, sebutan itu ia dapatkan atas saran dari Mamanya setahun yang lalu.
"Leuwih geulis jeung manis wae." Kata Om Herman yang membuatku tersenyum karena mengerti sedikit maksud dari ucapan itu.
"Tuh, tuh, lihat senyumnya saja manis pisan kayak apa tuh namanya, yang turun ke bumi itu, bidadari yaa itu." Pujian Om Herman ku rasa berlebihan dan membuat Yio seperti mendapat martabat tinggi karena sudah memilih aku, padahal lebih tepatnya dia memaksaku untuk berpacaran dengannya.
"Om bisa aja."
"Bener Belind, Om nggak bohong."
"Kapan-kapan kamu harus bertemu dengan adik perempuan Om, biar dia sendiri yang mendeskripsikan kamu, apakah sama seperti kata Om barusan."
Sebelumnya, aku tak pernah mendapatkan pujian kecuali dari keluargaku. Mungkin karena anak Jakarta memang terlihat cantik dan manis dengan porsi yang sama ratanya jadi satu perempuan dengan perempuan lain terkesan sama bila dipandang, padahal ketika mata seseorang melihat kita memiliki kelebihan berbeda dari lainnya mereka akan bilang kalau kita lebih dari perempuan biasanya, jadi kita sendiri yang merasa itu aneh dan tak biasa.
Perbincangan siang yang tak begitu terik, membuat suasana menjadi nyaman dan Om Herman juga selalu melontarkan pertanyaan atau pernyataan kepadaku karena Yio selalu mengelak bila Ayahnya itu mengatakan bagaimana anak semata wayangnya bersikap.
Padahal yang diucapkan beliau itu benar dan valid ketika ku cocokkan dengan Yio yang baru beberapa hari ini ku kenal.
Yio memilih menghindar dengan perginya dia untuk mengambil minuman di freezer.
"Pi, jangan bilang aneh-aneh."
"Nggak, papi justru memberi informasi yang benar kepada Belind, supaya dia jadi lebih tahu."
Sebenarnya, itu tidak ku perlukan, toh untuk apa? Aku saja enggan untuk mengenalnya kalau tahu dia akan memaksaku menjadi pacar secara tiba-tiba pada detik itu juga.
Namun, Ayah Yio orangnya sangat mudah menerima orang yang dia anggap baik dan nyaman ketika saling diajak ngobrol santai seperti ini, jadi perpaduan yang pas bila Yio mengajak Belind ke tempat tinggal kesayangan Ayahnya itu.
Dan Ayah Yio merespon baik, bahkan memaklumi kepindahanku saat aku ditanya olehnya. Bahkan, aku sempat di bilang anak gadis yang sangat pemberani.
Sampai, Om Herman mengobrol menggunakan Bahasa Indonesia karena tahu kalau lawan bicaranya tidak begitu fasih menggunakan atau mengucap Bahasa Sunda, bahasa ibu orang Bandung.
Kalau saja, Om Herman bertemu dengan Ayah dan Bunda, pasti akan bisa mengobrol sampai panasnya Jakarta berganti banjirnya Ibu Kota itu.
Haha, terkesan sepele namun kurasa itu tidak bisa terjadi karena orang tuaku juga jauh di Jakarta mengurus kantor yang selalu sibuk, tetapi untuk anaknya yang manis ini tentu tidak, mereka akan meluangkan waktunya hanya sedekat untuk menanyakan kabar, sudah makan atau belum, bagaimana harinya, bagaimana sekolahnya.
Perhatian kecil seperti itu yang kadang anak-anak sekolah butuhkan, disisi kesibukan, untuk anak itu yang paling utama.
Sehingga, Ayah dan Bunda selalu menyempatkan walau tidak secara kontak langsung, menasihati dengan mendengar suaranya, melihat wajahnya, via virtual pun sudah lebih dari cukup untukku melepas kerinduan.
-yio&anne-
Sore tadi, Yio mengantarku pulang ketika Om Herman berpamitan kepadaku hendak menemui orang yang akan membeli satu dari seluruh koleksi motor classic-nya.
Pantas, Yio bisa berganti motor atau mobil, Papinya pemilik itu semua.
Dugaanku tadi salah besar, dan ada sedikit merasa kecewa karena memang perkiraanku salah. Tampang Yio memang selalu misterius, aku pun juga sulit untuk menebak jadi tidak salahkan bila pikiran kotor dan selalu merasa dia tidak baik bersarang hingga aku pun tidak mau kalau saja ucapanku yang keliru menilai dia bisa menjadikan aku masuk dalam jurang yang membuatku tidak bisa lepas dari laki-laki bernama lengkap Gyional Herma Anggara itu. Bahkan nama tengahnya persis dengan nama panggilan papinya. Seperti sedang berbicara dengan satu orang bila tengah melihat cerminan diri Om Herman tengah duduk tepat di sampingku.
Tetapi, Yio dengan Om Herman jelas bertolak belakang. Ya, karena Yio masih dewasa belum menjadi seorang ayah seperti Om Herman.
Sikap seolah mencirikan betapa dia anak yang keras kepala, ketika di nasihati pasti sangat bandel dan maunya melakukan apa yang dia mau.
Anak-anak laki-laki apalagi pergaulannya sungguh membuat hati setiap orang tua cemas, terlebih bila susah untuk dinasehati.
Untungnya, Om Herman bilang, Yio anak penurut kalau sedang bersamanya.
Om Herman yang memberi informasi tentang dia kepadaku, yang menurutnya itu masih kurang karena katanya bila membicaran anak satu-satunya itu bisa sampai hari Senin menuju Minggu, panjang.
Ternyata sosok Yio yang selalu sinis, muka dingin sama persisnya dengan Bandung itu, sosok yang misterius itu bisa sangat dekat dengan papinya.
Sejak kali pertama melihatnya, aku sudah mencap dia anak tidak baik ketika ku tanyai dimana ruang guru berada dia malah menjawab 'cari aja sendiri' dari situ sudah sangat tak mau punya urusan dengan orang tak kenal yang ku mintai tolong malah galak kepadaku.
Sudah, cukup hari ini perasaan campur aduk ini terjadi ketika Yio diam saja dan memilih mengajakku ke rumahnya secara tiba-tiba.
"Menyebalkan sekali."
Desisku ketika menatap kosong ke arah meja belajar, karena posisiku sedang mencoba fokus membaca buku pelajaran yang kemarin ditugaskan oleh Bu Darsi, guru Biologi ku yang baru.
Selalu saja muncul pandangan dia tengah tersenyum seperti memenangkan sebuah undian satu triliun uang, ketika aku berbalik memikirkan insiden tadi perkenalanku dengan Om Herman.
Karena kehilangan fokus, ku tutup saja bukunya. Percuma, kalau aku terus membacanya dan satu kalimat tak bisa ku simpan permanen di dalam ingatanku, itu sama saja dengan melakukan hal bodoh, tentu itu tak biasa terjadi denganku.
Ku sudahi belajar malam ini, ku masukkan buku itu kedalam tas. Ketika ingin ku masukkan, aku teringat oleh selembaran tadi pagi. Ku cari di dalam tas yang berbeda tempat, ku ambil dan terduduk di sisi tempat tidurku. Belum jadi memasukkan bukunya.
"Apa balet yang tepat untuk ku jadikan alasan menghindarinya ketika pulang sekolah?"
Aku mengambil satu carik kertas, ku tulis namaku dan informasi lainnya terkait diriku di sana. Kenapa aku jadi mantap ketika aku akan mengikuti kelas balet di sekolah baruku yang sebelumnya sama sekali belum pernah ku ikuti.
Aku rasa diriku tertarik untuk terjun ke sana, itung-itung bisa membantu menghabiskan waktu yang tersisa ketika pulang sekolah tiba daripada di dalam rumah dan bertarung dengan kasur yang sangat posesif itu, mending aku ikut kegiatan yang bisa menambah pengetahuan dan mengasah bakat terpendamku.
"Kali aja jodoh, kalau belum di coba mana bisa tahu."
-TBC-
Harapan Baru,
Semangat Baru,
Hal Baru.
Tentu dengan hati bahagia untuk mencobanya sekaligus menyambutnya
Semoga Anne aka Belind bisa menjadi balerina
Siapa yang setuju dengan itu juga??
Gyional Herma Anggara
Anneta Berlianda
( Cocok nggak kira-kira?? )
🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top