04. Reinkarnasi Dewasa
Terlahir kembali dengan kesendirian, bertahan dengan segala keadaan, dan menghirup udara di kota lain dengan penuh keberanian.
-An
Kita terbungkus dengan takdir, berbalut keberuntungan dan juga berlainan dengan nasib buruk yang mengitari kehidupan selama kita bernapas.
-Ne
Bila dunia satu memberi kesan berbeda, coba ciptakan dunia kita sendiri dengan keyakinan yang kita tumbuhkan dan tak surut oleh ketakutan serta keputusasaan.
-Si
😍HAPPY READING GUYS😍
Pagi menyelinap masuk ke dalam hari berat yang harus ku jalani diiringi detak jantung yang tak seirama dan nafas yang kesal untuk dikeluarkan.
Semalam, aku sudah selesai membereskan perlengkapan yang akan ku bawa pergi ke Bandung dengan dibantu bunda. Tak banyak yang ku bawa hanya satu koper, dua kotak besar wadah barang-barang, dan tas gendong yang kini sudah tergantung di punggung belakangku.
Dengan hati yang sangat kuat, aku turun menuju lantai bawah dengan keyakinan yang ku genggam sekencang yang ku bisa. Rambut panjang yang ku kucir satu ke belakang, celana jeans sedikit robek-robek yang ku kenakan dan baju tebal berwarna pink dengan sedikit berbulu membuat penampilan terakhirku di kota ini menjadi nampak lucu, karena tubuh rampingku membuatnya seperti boneka berbie yang sangat disukai anak kecil.
Tak ku sangka, Ditta pagi-pagi datang untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku dan memberikan pelukan terakhirnya.
Pak Cipto—supir ayahku, sudah menaruh semua barang-barang ke dalam jok mobil yang akan ku gunakan untuk memecah macetnya jalanan Jakarta menuju Bandung.
Bunda juga sepertinya sudah siap untuk mengantarkan ku, namun aku jadi tidak yakin bahwa bunda akan bisa benar-benar melepaskanku.
"Annee...." Teriak Ditta dari pintu depan, menghampiriku yang sedang turun dari tangga.
Seperti tangan ingin memeluk, aku percepat langkahku dan kini sosok sahabat di depanku sudah memberi pelukan hangat dengan ocehan kecil.
"Kamu baik-baik di sana yaaaa!!" Wejangannya saat masih memeluk dan mengusap punggungku lembut.
Aku hanya mengangguk, "Kamu juga Dit."
"Aku bakalan kangen kamu nihhh," ucapnya lagi.
Aku yang tak percaya kini melepas peluk, "Apa? Gak yakin aku," mengelaklah aku.
"Beneran tau, coba tanya sama Nda pasti jawabannya iya," ucapnya dengan alih-alih menyerahkan ketidakyakinanku kepada bunda.
"Sudah-sudah sini duduk dulu, Nda buatin minum." Ucap bunda menyuruh kita untuk duduk, sedikit mengulur waktu.
"Oke Nda," balas Ditta yang girang seperti akan diberi uang segudang.
Kita duduk bersebelahan, menghadap sebuah foto berbingkai terlihat sederhana namun mewah yang terpajang besar menambah kesan ruang tamu itu tak terlihat kecil, apalagi itu bisa dinikmati oleh setiap tamu yang datang—foto keluarga Anne disebuat studio foto yang nampak begitu nyata dari senyum yang terpancar dari ketiganya.
Ditta memandanginya dengan cermat, karena beberapa menit lagi salah satu orang dalam foto itu akan pergi, mungkin akan lama kembali. Seperti menimbulkan kesedihan dan kesukaran. Hanya bertiga, kini tinggal berdua.
Aku duduk dengan menyenderkan punggungku ke sofa, melipat tanganku ke depan sembari menunggu bunda. Ditta yang melihat itu jadi tak yakin untuk benar-benar melepas satu dari keluarganya itu untuk pergi sendirian ke kota orang, apalagi Bandung—hawa dingin membuatnya tak begitu nyaman dan harus terbiasa untuk mengenakan pakaian tebal.
"Ne kenapa Bandung?" Tanya Ditta karena ingin mendengar alasannya.
"Ya karena sejuk dan jauh dari polusi udara," jawabku singkat.
"T-tapi kan Ne-" belum selesai Ditta membalas, bunda sudah datang dengan nampan yang berisi dua minuman, membuat tak jadi melanjutkan kalimatnya.
"Ini minumannya, yuk di minum dulu biar basahan dikit tenggorokannya." Jamu bunda dengan luconnya.
"Hehe siap Nda," jawab Ditta dan langsung meraih cangkir dan meminumnya, disusul Anne.
"Mantab, rasanya selalu sama Nda, manisnya pas," tak bisa berbohong tiap kali menyeruput teh manis buatan bunda Anne, Ditta selalu melontarkan kalimat memuji yang selalu sama.
"Hehe bunda gitu loh," balas bunda tersenyum senang mendengar itu.
Setelah memastika bahwa minuman tinggal setengah, aku berusaha mengajak bunda untuk segera berangkat mengantarkan ku. Bila berlama-lama, nanti bisa macet di jalan.
"Nda, sekarang aja yuk." Ajakku.
Bunda terlihat sedikit muram, namun aku selalu memegang hati lembut bunda untuk lebih kuat dan tegar.
"Ya sayang." Balas bunda, kemudian berdiri untuk mengambil tas di kamar.
Aku mengajak Ditta keluar, kami berdiri sejajar dengan garis terakhir rumah kecil penuh kehangatan itu. Mobil sudah tepat di depan kami, tetapi membelakangi. Pak Cipto pun sedari tadi sudah stand by di kursi setir.
Aku tahu, walau Ayah tak bisa ikut mengantarku karena harus mendadak pergi ke luar kota mengurus proyek dan bertemu dengan klien, pasti Ayah sudah menyediakan semua yang ku butuhkan di sana dengan sangat baik. Ayah tak sepenuhnya terlihat memperjuangkan dan terlihat sedih, namun aku tahu jauh di lubuk hatinya, Ayah menyimpan kepedihan dan kerinduan yang akan ku pecahkan bila kita nanti kembali bertemu. Ayah adalah laki-laki pertama yang tak akan membuat hatiku bersedih, bahkan selalu menghibur dan memberi pesan kepadaku.
Bunda terdengar datang dari suara sepatu yang ia kenakan, dan benar. Bunda kini tengah mengunci pintu berbalut warna putih yang senada dengan cat temboknya. Aku berbalik, mencermati dari atas hingga bawah rumahku untuk yang terakhir kalinya.
"Rumah yang menyimpan segala kenangan manis dari berpuluh-puluh tahu silam tak akan menjadi rumah permanen yang terus memancarkan kehangatan dan cerita ceria, waktu memutar balik segala rindu, namun ia selalu membawa misteri di masa depan yang akan terus melaju dengan kecepatan yang tak pasti." Batinku.
Aku kembali berbalik ke depan, menghadap Ditta di sampingku. "Dit, aku pamit." Ucapku pergi.
"Iya Ne, aku berharap kamu disana sehat, kembali bisa bahagia dan tersenyum senang, jangan lupa kabar-kabar yaa, miss you and stand beside you." Ucap Ditta sedikit bikin haru.
"Thanks you Dit, kamu di sini juga baik-baik ya. Jangan lupa bunda sering dikunjungi biar gak kesepian," balasku.
Kami pun saling berbalas peluk, bunda yang melihat dan berada di belakang kini mendekat dan ikut memeluk kita berdua, sungguh persis seperti keluarga kecil yang bahagia.
Pelukan pun tak bertahan lama, seperti rindu yang singkat namun menyimpan arti yang dalam. Aku dan bunda melangkah menuju mobil, namun sebelum itu, bunda mengusap lengan Ditta mencoba memberi pengertian, dan Ditta pun mengerti kalau dihadapannya itu sebuah kenyataan yang sangat nyata untuk terjadi, kemudian bersusul mendekat ke mobil.
Aku naik lebih dulu, menggenggam tanganku kencang hingga terlihat putih pucat sedikit bergetar, akhirnya bunda pun sudah naik.
Kaca mobil dibiarkan terbuka dulu, Ditta terlihat memberi lambaian tangan. Aku pun membalasnya dengan tersenyum.
"Da-daaa Ne," ucapnya.
"Daaaaa Dit..." balasku.
Mobil perlahan berjalan setelah bunda mengintruksikan kepada Pak Cipto.
Ditta masih terlihat dengan posisi yang sama, berdiri dan melambaikan tangan. Hingga lama-lama menjadi semakin kecil, semakin jauh dan tak terlihat di jangkauan mataku.
"Oke Jakarta, aku pamit." Ucap dalam hatiku tegas.
Bunda memegangi bahu dan tanganku, menyuruh untuk bergeser lebih dekat agar bisa bersender di bahu ternyaman di dunia.
"Sini nak, Nda mau kamu senderan ke bahu bunda,"
Aku yang mendengar itu langsung mendekatkan dan kepalaku di tarik oleh Bunda supaya mendekat.
Usapan lembut tangan bunda seakan memberikan kode bahwa ia sangat mencintai anak semata wayangnya itu. Sungguh, kasih ibu sepanjang masa dan takkan terkira bahkan tak akan pernah habis walau akan pergi dimamah waktu.
Aku merasa aman, sesekali memejamkan mata hingga akhirnya aku pun tertidur di bahu Bunda dalam keadaan dipeluk.
-yio&anne-
Jalan Tol Cipularang, merupakan tol akternatif bagi masyarakat Jakarta untuk menuju kota Bandung. Hingga macet pun tak begitu terasa, dan seperti dimanjakan oleh suasana yang enak untuk dibuat tidur sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan. Begitu pun yang Anne lakukan sedari tadi.
Seperti terasa lama aku tertidur, akhirnya aku bangun juga karena merasa melewati jalan yang berkelok khas jalanan kota Bandung. Walau udara luar belum terasa menyengat di kulit, namun dinginnya pun bisa terlihat dari jalanan yang berkabut khas jalan di sekitar pegunungan. Begitu banyaknya pohon-pohon dan bunga-bunga yang tumbuh, menjadikan Kota Bandung disebut juga sebagai Kota kembang. Alasannya juga karena setiap tanaman yang ditanami tumbuh subur, begitu pun ladang perkebunan teh dan kopi.
Tenyata Bunda juga ikut tertidur, dan kini masih terlihat nyenyak hingga saat aku bangun pun Bunda tak merasa terusik hingga juga ikut terbangun.
"Pak udah deket ya?" Tanyaku untuk lebih memastikan.
"Iya cah Ayu," balas Pak Cipto dengan panggilan yang selalu dia berikan ketika menanggapi pertanyaanku.
"Kira-kira berapa menit lagi pak?"
"20 menit lagi cah Ayu."
"Oh ya pak."
Aku memilih untuk sedikit membuka kaca mobil untuk bisa merasakan yang sebenarnya udara di Bandung. Ternyata memang dingin yang selalu khas diberikan, hingga warga asli kota Bandung pun bisa menyesuaikan. Mungkin nanti aku juga bisa, karena akan lama tinggal dan merasakan setiap hari hawa Bandung, seperti menjadi anak gunung yang harus bisa bertahan dengan persediaan yang sudah dibawa.
Aku pun kembali menaikkan kaca mobil, memilih untuk melihat sekitar jalanan yang ku lalui dengan sedikit melamun.
Tiba-tiba saja Bunda menepuk pundakku bertanya, "Lho, udah bangun nak?" saat Bunda terbangun karena rasanya sudah tidak lagi memelukku.
Aku yang sedang melihat ke arah jalanan, kini berbalik melihat ke arah Bunda. "Eh udah Nda, baru aja kok." Jawabku
"Udah mau sampai ya Pak?" Tanya Bunda setelahnya.
"Sudah Nyah." Balas Pak Cipto.
Akhirnya kini aku dan Bunda hanya berjaga, menyiapkan hati satu sama lain untuk siap menapakkan kaki di rumah baru yang akan ku tinggali.
Rumah yang akan ku tinggali merupakan daerah perumahan yang berada di tengah kota namun jalanan tak akan seramai seperti Jakarta, dan juga mudah di jangkau olehku ketika berangkat ke sekolah.
"Sayang, kamu udah yakin sanggup?" Tanya Bunda, seketika hanya adegan saling melihatlah yang kini terjadi, di balik kaca depan mobil juga terlihat Pak Cipto memandangi belakang selepas mendengar majikannya bertanya seperti itu.
Aku hanya mengangguk sebagai balasan, tak kuasa mengucap.
"Yaudah kalau begitu Nda jadi yakin melepas kamu sayang,"
"Maafin Anne Nda, udah buat Nda sedih dan menahan kangen jauh dari anak satu-satunya." Batinku.
Mobil kini sedikit memasuki kawasan yang ruas jalannya tak begitu besar seperti jalan raya, namun untuk lalu lalang dua mobil dari arah berlawanan juga cukup. Pertanda, di depan sana rumah Anne sedang menunggu pemiliknya datang mendiami.
Rumah juga bisa berbicara lewat suara yang tak mampu ditangkap oleh gendang telinga, namun hatilah yang bisa mendengar, kala rumah merindukan penghuninya dan memintanya segera kembali melepas rindu dengan sang pemilik dan kerabat dekat. Rumah akan memberikan gelombang rindu yang tak bernada dan bersuara, hingga sang penerima akan menangkap dan merasakan bahwa kerinduannya sudah berada dalam level paling atas dan timbul keinginan untuk pulang.
Mungkin rumah di Jakarta juga akan begitu.
Mobil berhenti setelah Pak Cipto berbicara dengan pak satpam yang bertugas bahwa mereka adalah penghuni baru dan ingin mulai menghuni.
Tak jauh dari pos satpam tersebut, Pak Cipto berhenti tepat di sebuah rumah berwarna hijau, yang memandangnya pun akan merasa sejuk seperti melihat pepohonan. Rumah itu bernomor blok 9DA—City Garden.
"Sudah sampai Nyah," ucap Pak Cipto ketika mesin mobil dimatikan.
"Ya pak, nanti tolong bawain barang-barang yang di jok ya." Ucap Nda memberi intruksi.
"Siap Nyah." Balas Pak Cipto sigap.
Bunda turun lebih dulu, aku turun setelah bunda lewat pintu yang sama, padahal pintu di sisi kanannya juga ada namun memilih untuk melewati pintu yang sama aja.
Suasana bandung menjelang siang itu tak terlalu panas dan udaranya sangat bersahabat dengan kulit tak tahan milik Anne.
"Wah, hawa nya enak ya sayang," ucap bunda sembari memegangi kedua pundak ku, ingin menggiring masuk ke dalam rumah.
"Iya Nda," balasku.
"Yuk masuk!" Ajak bunda.
"Let's go Nda,"
Seakan bisa menangkap suara bahagia dan ceria yang keluar dari mulut Anne, bunda seakan mengerti mengapa dia harus merelakan pergi. Karena, bahagia yang ia cari memang bukan berada di tempat yang sama. Harus ada perjuangan hingga berjarak untuk mencari bahagia yang lainnya.
Bunda membuka pagar rumah yang hanya setinggi dada, dan memasuki ke dalam teras rumah. Setelah mengambil kunci, bunda mulai membuka dan sama-sama masuk dengan mengucap salam.
Memang tak banyak barang-barang yang ada di ruangan kecil lantai satu, hanya sofa kecil, dan meja tempat barang pajangan. Di samping kanan sedikit masuk terdapat dapur kecil dengan meja makan berbentuk panjang melekat dengan batas ruangan persis seperti tempat ngopi yang memiliki meja panjang dengan kursi berderet.
Lebih kecil dari ukuran rumahnya di Jakarta, namun ini sudah lebih dari cukup untuk bisa ditinggali. Mengingat, akan ada bibi yang membantu pasti akan terasa sedikit ramai walau hanya berdua dengan orang yang belum dikenal sepenuhnya namun lama-kelamaan nantinya juga bisa akrab bahkan bisa dijadikan tempat berkeluh kesah.
Pak Cipto datang membawa koper dan satu kotak yang dibawa di tangan kiri, terlihat kesusahan.
"Pak taruh deket sofa dulu aja ya," perintahku.
"Kotak satunya biar aku aja yang ambil pak,"
"Baik cah ayu," jawab Pak Cipto mengerti.
Sedangkan bunda masih melihat-lihat lantai satu walau hanya satu ruangan yang bersekat. Di tengah-tengah terdapat tangga naik seperti tersembunyi diantara dua tembok, namun bila di tengok ke atas, itu seperti transparan bisa dilihat dari bawah dan mengelilingi ruangan hingga tengah-tengah akan kosong sampai atas.
Rumah yang berbeda namun sangat unik dan nampak simple. Kecil tetapi dapat menampung diri dan dapat menjadi tempat pelarian paling di minati oleh Anne.
"Bandung bantu aku untuk tetap tegak berdiri ya, aku yakin kamu pasti mau bersahabat." Lirihku setelah mengambil satu kotak dan masih mematung tepat di depan pintu.
"Anne pasti bisa, Anne kuat ayo semangat!" Ucapku lagi sembari mantap untuk melangkah dan mendiami rumah kecil untuk waktu yang lama.
Saat sampai di ruang tamu, bunda terlihat tak ada di lantai satu. Saat di cari ternyata berada di lantai atas. Sedang mencoba melihat dan menyurvei kalaupun rumahnya memang nyaman untuk ditinggali oleh putrinya.
"Nda, aku bawa sekalian kotaknya ke atas ya." Ucapku sedikit keras agar bunda juga bisa dengar.
Beberapa detik baru bunda menyahut, "Iya sayang.."
Aku mulai naik ke lantai atas dengan kotak besar di depan dadaku yang ku bawa sedikit kesusahan, namun akhirnya aku sampai ke atas walau dengan sedikit bersusah dan berkeringat.
Tak terlihat bunda seperti ada di sekeliling, ku tengok ke arah kanan nihil. Apa mungkin ada di dalam kamar. Namun tidak juga, saat ku buka pintu kamarnya kosong tak ada bunda. Lalu bunda kemana?
"Sayang..." Panggil bunda tiba-tiba seperti menyuruhku untuk segera datang.
"Lhoh itu bunda," ternyata bunda sedang berdiri di sebuah balkon, namun anehnya balkon itu ada di belakang dan mengarah ke sudut kota Bandung dan gedung-gedung bahkan jalanan pun terlihat jelas dari situ.
Ku hampiri, lalu bunda menoleh ke arahku. "Sayang, bagus banget lihat!" Ucap bundaku tertegun dan tersenyum dalam waktu yang bersamaan. Aku pun juga sama, menganga melihat pemandangan khas di puncak namun ini masih di sudut kotanya.
"Ayah kok tahu bisa ada perumahan seindah ini, dia nggak ngasih tahu Bunda tuh," sambungnya sedikit kesal.
"Mungkin ayah mau kasih kejutan Nda, ini sungguh diluar bayangan Anne." Balasku untuk bisa meyakinkan Bunda, bahwa Ayah memang sudah menyiapkan segalanya dengan sangat baik dan mendekati sempurna.
"Iya mungkin, Ayah memang tahu apa yang kamu inginkan sayang. Bahagia dan sehat di sini ya." Ucap Bunda sembari mendekatkan diriku kedalam rengkuhnya. Seperti sedang menikmati sebuah persembahan yang menawan dari Tuhan, di atas balkon bahagia kecil sudah Tuhan berikan. Dan aku masih menunggu bahagia yang lainnya.
-yio&anne-
Bunda dan aku sudah selesai membawa koper berhasil naik ke lantai atas, walau sedikit mengeluarkan keringat namun ini sangat menyenangkan.
Bahagia-bahagia kecil yang seringkali kita pandang sebelah, di sini nampak nyata walau kehidupan kita memang selalu dikelilingi oleh bahagia, namun seringnya kita tak melihat dan seakan melihat hal lain yang bisa membuat bahagia kita seperti terhalang. Bahwasanya bukan, bahagia tetap ada dalam lingkup diri kita. Itulah sebabnya kita harus lebih peka terhadap diri sendiri, bukan hanya peka terhadap sekitar.
Sudah sepatutnya kita memandang diri kita sebagai manusia yang penuh warna. Bukan hanya hitam atau putih, tapi berwarna. Hingga warna lain yang belum kita ketahui bisa kita ciptakan dengan kuas kita sendiri. Dan setiap warna membawa hal baik untuk tetap tumbuh. Jadi, warnailah kanvas kehidupanmu dengan warna-warna yang kau buat sendiri dari percampuran beberapa warna. Hingga kau akan tahu, kita memang sangat pelik bila dunia memandang kita. Jadi, buatlah kita supaya dipandang dunia. Dengan apapun, tentu kalian akan sampai.
"Nda gapapa taruh sini dulu nanti biar aku yang bawa ke kamar dan masukin ke lemari," ucapku menyuruh Bunda untuk istirahat saja karena dia juga akan segera kembali ke Jakarta tak lama setelah ini.
"Yaudah, Nda turun ya."
"Ya Nda."
"Sama aku juga." Sahutku kemudian berjalan turun dibelakang Bunda.
Bunda duduk di sofa, aku memilih untuk ke dapur. Mencari gelas untuk menuangkan air putih sebagai penawar dahaga Bunda.
Setelah ku temukan, aku menuangkan air putih dari botol yang tadi ku bawa. Untung aku membawanya, karena di rumah belum ada persediaan bahkan semuanya masih nampak baru dan belum terpakai.
"Nda ini Anne bawain air putih," ucapku ketika berjalan mendekati Bunda.
Bunda menerima dengan murah hati, "Makasih sayang..." Lalu meneguknya.
"Sama-sama Bunda."
Setelah air itu habis, Aku ingin bertanya namun ragu. Apa Bunda masih berat hati apa sebaliknya, tentu aku takkan tahu kalau belum menanyakannya.
"Nda," panggilku dengan suara kecil persis seperti setengah memangil namun masih ragu-ragu.
Bunda menoleh ke arahku lalu bertanya, "Kenapa sayang?"
Aku malah menunduk, lalu kembali memandangi wajah Bunda. Wajah cantik yang melahirkan diriku. Betapa bahagianya diriku bila Bunda tahu dan bisa menangkap makna bahwa anaknya ini sangat bersyukur dan senang memiliki orang tua yang sangat sayang kepada dirinya.
"Bunda mau pulang sekarang apa nanti?" Tanyaku, hanya alih-alih bukan itu yang ingin ku katakan sebenarnya.
Bunda memandang jam kecil di tangan kirinya, jarum menunjuk angka satu. Keinginan ingin tinggal lebih lama, namun keadaan memaksa untuk kembali pulang.
"Sebentar lagi sayang," jawab Bunda.
Aku hanya mengangguk, bingung dengan rasa yang seperti campur aduk di dalam dada. Mau bicara namun sudah, seperti ada yang menahan. Tak seharusnya begitu.
"Nda, titip salam buat Ayah ya. Anne makasih banget, Ayah selalu siap sediain apapun yang aku mau," akhirnya aku mulai angkat bicara.
"Iya sayang, sama-sama. Kamu baik-baik pokoknya di sini, kalau ada apa-apa langsung bilang Nda atau Ayah jangan main sembunyi dan bilang nggak apa-apa." Balas Bunda yang sepertinya tahu tentang sifat anaknya yang selalu memendam sendirian, akan berani bicara kalau peristiwanya sudah lewat beberapa hari.
"Jangan murung lagi sayang, nanti teman-teman kamu yang baru takut kalau deket sama kamu loh," satu lagi yang membuatku jadi sayang banget sama Bunda, dia selalu bisa buat suasana sedih jadi kembali rekah.
"Iya, siap Nda. Nggak akan sedih-sedih lagi di sini," balasku dengan sedikit cekikikan.
"Nah gitu dong anak cantik," ucap Bunda sembari mengusap rambutku.
"Anne kan emang selalu cantik di mata Bunda," jawabku benar.
"Haha, iya anaknya bunda yang selalu benar," sahut Bunda.
Lelucon yang nggak jauh-jauh bisa menciptakan tawa yang selalu diingat oleh sesama pencipta moment. Bahagia yang tercipta pun seperti terekam sempurna, dan meninggalkan rasa kangen bila sendiri di tempat yang sama.
Menata segala hidup atas dasar mencapai kebahagian yang sempurna, mungkin itu bukan tujuan yang terlihat mulus. Kita bukan pembuat rencana yang mahir yang nantinya bisa terwujud satu demi satu sesuai urutan yang kita tulis dalam lembar '100 activities that I have to do' mungkin saja akan ada halangan dan rintangan. Bukan mau mendahului takdir Tuhan, namun semua yang sudah kita rencanakan tak bisa selalu dijalan yang benar, bisa aja dia berbelok atau malah menemui jalan buntu.
Tentu kita harus punya alternatif lain atau istilahnya plan B atau plan C. Atau bahkan perlu banting stir untuk cari sesuatu yang memang jodoh kita. Mungkin kita seringnya salah sangka, bahwa begitu yakin kalau sesuatu itu tertakdirkan untuk kita, tapi nyatanya bukan.
Bukan tujuannya untuk berpaling dari tujuan utama, tapi memang untuk mencari takdir yang jodoh dengan kita. Kalaupun itu jadi jodoh orang lain, ya nggak masalah. Kita juga punya jodoh, di tempat yang berbeda.
Menanti waktu dan mencoba menghentikan, namun apa daya tangan tak kuasa.
"Bunda pamit sekarang aja ya,"
"Biar nanti sampai jakarta barengan sama Ayah pulang kantor." Tambah Bunda.
"Beneran sekarang Nda?"
"Iya sayang, nanti kalau ada waktu luang Nda pasti ke sini kok,"
"Yaudah Nda, hati-hati ya."
"Kamu juga sayang, hati-hati dan jaga diri ya!"
"Tentu Nda." Balasku dengan senyum bertabur gula.
"Anne anter sampai depan ya Nda."
Bunda pun hanya mengangguk pelan.
Aku dan Bunda pun berjalan sama-sama ke arah depan. Berjalan dengan penuh langkah pasti untuk mengantar hati pada pulih yang sejati.
Sebelum naik ke mobil, Bunda sempat mencium kedua pipiku. Memelukku juga. Ku balas dengan usapan punggung yang sama lembutnya.
"Da-aaa sayang, Nda pulang ya." Ucap kembali Bunda untuk melepas jarak antara dua kota menjadi tak terasa jauh.
Aku hanya mengangguk, juga melepas jarak antara ibu dan anak agar tetap melewati dengan hari seperti biasanya.
"Pak Cipto, bawa mobilnya hati-hati ya pokoknya Nda harus selamat sampai rumah nggak ada lecet ataupun kurang satu inci pun." Ucapku seakan memberi peringatan agar Pak Cipto mengemudi dengan hati-hati.
"Siap Non..." Jawab sigap Pak Cipto dengan tangan memberi hormat ke arahku.
Lalu Bunda masuk ke dalam mobil setelah mengangguk mantab ke padaku. Menandakan bahwa akan baik-baik saja untuk kedepannya. Dan jangan khawatir, tetap yakin akan diri sendiri dan pilihan yang sudah dibuat.
Aku melambaikan tanganku, dan masih melihati mobil hitam itu keluar ke arah depan komplek perumahan. Semakin jauh dan sudah tak lagi bisa terjangkau oleh mata.
"Bunda udah pulang, ayo Anne semangat kamu pasti bisa." Ucapku menyemangati diri sendiri.
Lalu aku mulai masuk ke dalam rumah, menutup pagar dan juga pintu depan.
Akan ku lewati hari ini untuk beres-beres dan meletakkan semua barang-barang yang ku bawa kedalam tempatnya.
-yio&anne-
"Baju udah, barang-barang udah, apa lagi?" Tanyaku seorang diri mengenai barang-barang yang akan ku letakkan kedalam beberapa tempat yang menurutku itu cocok.
"Oiya, pajangan ruang tamu." Ucapku semarak seperti menerima sinyal yang tepat.
Aku lalu turun, membawa satu kardus yang setengah dari isinya sudah aku letakkan di dalam ruang kamarku, dan sisanya akan ku letakkan di ruang tamu sebagai pajangan agar sedikit ramai.
Ku letakkan kardus itu di atas meja ruang tamu, karena kardus itu sudah terbuka jadi aku tinggal mengambil barang yang ada di dalamnya dengan sedikit tidak melihat ke arah dalam, karena fokus dengan meja tempat pajangan dan memikirkan benda apa yang cocok untuk diletakkan dan bagaimana posisinya.
Aku sangat menginginkan semua benda tepat berada di tempatnya dengan rapih dan juga segi estetika nya dapat, agar orang lain yang berkunjung bisa menikmati dan betah untuk tinggal.
"Oke, ku letakkan kamu di sini ya," bicaraku dengan benda mati seakan dia juga bisa mendengar dan menerima tempat barunya sekarang.
"Nah gini kan pas," ucapku terkesan.
Ku ambil benda lainnya dalam kardus, benda pipih diselimuti frame cokelat berlapis kaca—foto keluarga, sejenak aku terdiam berdiri memandangi.
"Hampir saja lupa,"
Segera ku letakkan foto itu tepat di posisi tengah, supaya bisa menjadi titik fokus pemandang.
Ku usap sisi frame dengan lembut sesekali membersihkan debu yang menempel, mengusap kaca seakan orang dalam foto itu juga merasa demikian.
Tak lama, aku beralih dengan tembok di sisi belakang telat di sofa. Tampak kosong, aku berpikir sejenak "Apa yang akan ku tempel?"
Aku mencari sesuatu di dalam kardus, tak menemukan apa yang ku inginkan. "Kapan-kapan harus cari lukisan nih," ucapku.
"Ya, kapan-kapan aku akan beli lukisan." Ucapku lagi.
Setelah semua benda tertata rapih di tempat barunya, aku segera membawa kardus yang kosong itu untuk ku bawa ke atas, ku letakkan di kamar atas karena ada dua ruangan dan satunya tak terpakai, mungkin akan ku jadikan ruangan tempat menyimpan barang-barang tak terpakai.
Aku terfikir kan untuk berbelanja ke swalayan terdekat, membeli sereal sarapan pagi dan juga minuman atau apa saja untuk mengisi kulkasnya.
Namun, aku kan anak baru dan belum tahu jalan apalagi toko-toko.
"Oke, googling dulu deh." Ucapku lalu kembali ke dalam kamar untuk mencari ponsel.
Setelah mencari di peramban, ku temukan satu swalayan terdekat walau sedikit jauh namun itu satu-satunya pilihan yang ada.
Ku pesan ojek online untuk mengantarkan ku ke sana agar aku tak tersesat dan tak memakan waktu lama.
Lalu, ku ambil tas dan mulai mengenakan kardigan warna hitam agar udara dingin sedikit terhindar mengenai kulitku. Dan bergegas turun kebawah menunggu ojek online tiba di depan rumah.
-yio&anne-
"Ditt...tunggu!!" Ucap laki-laki yang baru saja keluar dari kelasnya, memiliki pertanyaan untuk ditanyakan kepada Ditta.
Ditta berbalik mencari suara siapa yang memanggilnya. Ternyata Dewa—sepupunya.
Ya, memang Ditta dan Dewa sepupu-an. Namun Anne tak mengetahuinya. Kalaupun tahu pasti Anne akan menjauhi Ditta juga, itu mengapa sampai detik ini Ditta masih bungkam dan membiarkan Anne tak mengetahui yang sebenarnya.
"Apa lagi Wa?" Tanya Ditta malas, harus punya urusan dengan orang yang sudah membuat sahabatnya sakit hati dan harus pindah sekolah juga.
"Tau dimana rumah baru Anne gak?" Ditta yang mendengarnya sedikit kaget.
"Mau apa lagi sih Lo? Gak capek apa bikin Anne sakit hati?" Tanya Ditta sakratis.
"Nggak, bukan gitu Dit. Bantu aku cari tahu dimana dia sekarang tinggal ya," ucap Dewa berbalik memohon.
"Apa yang mau Lo rencanain Wa?" Tanya Ditta mencoba mencari seluk-beluk dari akar-akarnya agar jelas.
"Nggak ada Dit, aku cuma mau tau aja. Percaya sama aku." Ucap Dewa membenarkan.
"Gue nggak percaya." Sahut Ditta memberi penekanan di setiap katanya, kemudian dia pergi meninggalkan Dewa yang masih berdiri dan menyesali semua perbuatannya walau itu sudah sangat terlambat.
"Arghhh, gue harus cari Lo dimana Ne?" Tanyanya dalam hati, seperti orang bodoh yang baru melakukan aksi setelah mengetahui kesalahan yang dibuat dengan kesadaran normal.
Tiba-tiba sekelebat ide terlintas begitu saja, "Oh aku tahu harus kemana," setelah itu Dewa berlari kecil ke arah parkiran sekolah. Membawa moge-nya keluar melewati gerbang untuk menuju ke suatu tempat yang akan memberikan dia informasi mengenai Anne.
-yio&anne-
"Makasih pak, sudah dibayar lewat ovo ya pak." Ucapku kepada bapak ojek setelah menurunkan ku di depan swalayan yang ku inginkan.
"Siap neng, hatur nuhun." Ucap bapaknya khas logat Sunda.
"Sama-sama pak." Balasku.
Lalu aku berjalan masuk. Mendapatkan ucapan selamat datang yang pasti kalian tahu dan hafal betul karena itulah ciri khasnya.
Aku mengambil satu keranjang, berkeliling mencari apa saja yang akan aku beli. Secukupnya saja.
Hampir lima menit berkeliling, dan mengambil barang apa yang akan ku beli, sekarang keranjangnya sudah penuh. Dan aku segera menuju kasir, karena tidak terlalu ramai jadi aku langsung mendapatkan pelayanan.
Melihat sekeliling begitu juga jalanan di depan, terlihat sangat sepi. Entah mungkin anak Bandung memang suka pergi malam nanti atau bagaimana yang jelas suasananya berbeda dengan Jakarta.
Aku memilih untuk memesan ojek online untuk mengantarkan ku pulang, sembari menunggu mbak kasir menghitung belanjaan ku.
Aku sudah mendapatkan pengemudi, setelah aku selesai membayar dan menerima barang belanjaan. Aku keluar dan berdiri di sisi kiri menunggu bapak ojeknya sampai.
Sedikit lama aku menunggu, dan kaki sudah lelah untuk berdiri membawa satu kresek besar belanjaan yang berat. Aku mencoba untuk jalan ke depan, mencoba melihat jalanan apakah ada motor yang akan lewat dan kemungkinan itu bapak ojeknya.
Namun, jalanan kosong. Sayup-sayup binatang sore pun terdengar kembali menuju sarangnya karena malam akan segera tiba.
"Bapaknya mana sih?" Batinku sedikit takut dan juga kesal karena menunggu lama.
Saat aku berjalan berbalik ke tempat semula ku menunggu, tiba-tiba sorot lampu memancar ke jalan di depanku. Aku berbalik, dan mendapati bapak-bapak datang dengan baju ojeknya.
"Dengan neng Anne?" Tanya bapaknya ketika sepeda yang ia kendarai berhenti.
"Iya pak. Kok lama banget pak?" Tanyaku.
"Iya neng tadi mampir ke pom dulu soalnya kebelet, maaf yang neng lama." Jelas bapaknya.
"Oh, gak apa-apa kok pak."
"Yaudah, sini neng belanjaannya biar saya yang bawa, saya taruh depan." Minta bapaknya membantu mengurangi pegal di tangan kananku yang dari tadi memeganginya.
Aku memberikan belanjaan itu dan kemudian naik ke jok belakang motor. Perlahan motor melaju mengantarkan ku pulang.
-yio&anne-
"City Garden blok 9DA?" Celingak-celinguk Dewa mencoba mencari nomor rumah yang tepat.
Saat matanya melihat nomor itu, alangkah tersenyum dan leganya dia. Karena, rela jauh-jauh dari Jakarta dengan masih menggunakan seragam sekolah untuk mencari rumah baru Anne atas informasi dari seseorang yang sudah memberi tahu detailnya.
"Pak terima kasih," ucap Dewa karena berhasil menemukan, dan telah berada tepat di depan rumah Anne yang terlihat tertutup dan seperti tak ada orang di dalam.
Dewa sengaja memarkirkan motornya sedikit jauh dari rumah Anne agar tidak ketahuan.
Ternyata pintar sekali dia.
"Anne...Anne." panggilnya berkali-kali dan melihat sekitar agar suaranya tak mengganggu rumah sebelahnya.
Bingung karena tak ada jawaban, ia kembali membuka lipatan kertas yang di berikan seseorang, berisi tulisan alamat lengkap Anne.
"Udah bener, tapi kok Anne nggak keluar-keluar??" Bingung Dewa dan harus bagaimana.
"Annee...hellooo," panggil sekali lagi, namun tetap nihil.
Lalu Dewa memutuskan untuk mencari pos satpam untuk ditanyai.
Dengan jalan kaki, dan suasana mulai gelap namun laki-laki bernama Dewa itu tak merasa takut sedikitpun. Bahkan kakinya mulai mantap melangkah ke depan.
Saat hampir dekat ke pos satpam, dan memulai masuk ke dalam untuk menemukan pak satpam. Motor yang mengantarkan Anne pulang melintas tepat di belakang Dewa, namun dia tak menyadari. Dua-duanya sama-sama tak tahu. Mungkin ini cara semesta untuk menjauhkan dua orang walau berada di tempat yang sama. Cara agar rasa sakit itu tak kembali muncul. Tertutup dengan bahagia atau meluruh berganti bahagia.
"Pak..pak.." panggil Dewa mencoba menepuk pundak pak satpam yang ternyata tengah mendengarkan sesuatu melalui headset yang terlihat menyumpal di kedua telinganya.
"Bapaknya kok gaul gini sih," ucap Dewa lirih.
"Hah, kunaon ada apa nak," tanya pak satpam seketika tersadar bahwa ada anak yang ingin berbicara kepadanya.
"Maaf pak bukan maksud mengganggu, saya mau tanya apa tadi ada anggota baru yang pindah ke kompleks perumahan ini pak?" Tanya Dewa sopan karena mengetahui kalau bapaknya juga sudah mau tua.
Bapaknya sedikit berpikir, lalu menyadari memang tadi siang ada mobil yang berhenti dan menanyakan nomor rumah barunya.
"Oh, bapak baru inget iya ada tadi siang baru datang." Jelasnya.
Mata Dewa berbinar senang karena tidak sia-sia dia bela-belain untuk mencari tahu rumah baru Anne, akhirnya ketemu juga.
Dewa menyodorkan sebuah kertas yang berisi alamat tadi kepada pak satpam. Mencoba menanyakan apakah nomor rumahnya benar.
"Pak apa itu nomor rumahnya?" Tanya Dewa.
Pak satpam membacanya.
"Wah bapak rasa betul, tapi bapak agak lupa, maklum efek beranjak tua nak hehe," balas bapaknya diselingi tawa.
"Tapi kalau nggak salah sih iya bener di Blok 9D tapi 9D apa bapak kurang ingat," tambahnya.
"Coba kamu jalan lurus aja nanti ada gang coba kamu belok kanan, nah sekitar situ blok 9D, kamu cari aja sekitaran situ ya nak." Tutur bapaknya menjelaskan.
Merasa sedikit mendapat informasi yang benar, walau belum tepat namun Dewa tak putus asa. Dia akan mencoba mencari sekali lagi.
"Oh baik pak, terima kasih untuk informasinya."
"Siap nak sama-sama atuh." Balas bapaknya.
Dewa buru-buru keluar dari pos satpam, berjalan menyusuri jalan sempit khas perumahan dan sesuai dengan apa yang tadi dijelaskan oleh pak satpam.
Dengan langkah yang kali ini penuh harap dapat bertemu dengan Anne, kertas kecil itu masih dipegang oleh kedua tangan Dewa. Dengan celingak-celinguk khas orang sedang mencari-cari.
Dewa juga melihat ada sebuah motor yang melintas keluar, motor tukang ojek online. Namun dia rasa tak mengetahui kapan motor itu masuk, lalu ini sudah keluar saja.
Tak terlalu menghiraukannya, Dewa memilih untuk sedikit berlari kecil. Telapak kaki yang menyentuh tanah seperti terasa gagahnya dia ingin bertemu dengan orang yang sudah dia sakiti tanpa tahu maksudnya apa dia melakukan itu kepadanya.
Anne sekarang sudah berada di dalam rumah, meletakkan plastik belanjaan di atas meja makan.
Mencoba membasahi tenggorokannya dengan minuman yang dia beli tadi, sebelum dia meletakkan belanjaan itu kedalam kulkas, dan segera melakukan ritualnya di dalam kamar mandi karena keringatnya pun terasa lengket di badan karena memakai kardigan untuk menutupi kulitnya dari dinginnya luar.
Anne merasa, bahwa ada seseorang yang juga ikut ke Bandung. Tapi siapa?
Kalaupun itu Dewa, sangat mustahil di pikiran Anne. Mengapa dia datang? Untuk membuat luka baru?
Entah di luar Dewa mungkin sedang bingung, berjalan dengan petunjuk yang jelas namun tak diketemukan juga orangnya.
Apa ini yang dinamakan berada di tempat yang sama, tapi semesta mencoba membuat keduanya tidak akan bertemu dan tidak kembali mengucap salam hangat, karena frekuensinya sudah tak sama.
Anne dengan Bandung yang dingin. Dewa dengan Jakarta yang panas.
Berbeda. Dan bertolak.
Mungkin ini awal yang baik untuk Anne, tapi ini awal yang buruk untuk Dewa.
-TBC-
Heiii heii, i'm back ciahaaa
Gimana nih??
Menurut kalian gimana??
Apa semesta memang tahu yang seharusnya bagaimana?
Kalau aku sih yes. Haha
Ini Dewa—cowok brengsek kata Anne.
Ini Ditta—Sepupu Dewa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top