03. Melepaskan yang Sudah Tergenggam


Yang tersulit itu bukan mencari tapi melepaskan apa yang sudah ditemukan dari hasil pencarian itu. Melepaskan yang sudah tergenggam dan membiarkan dia pergi mencari tambatan yang lain.

-Ann

Berhentilah berharap, kalau kamu sudah tahu akhirnya akan seperti apa. Tutuplah dan tahan hatimu untuk menuntutnya selalu ada untukmu. Karena nggak semua yang kamu mau bakal dituturin sama dia. Dan lagi-lagi kamu yang terluka disitu.

-Si

Kita berjalan mengarungi waktu. Menunggu hari baik, dan mengambil lantas memenangkannya. Bila yang datang kesedihan terlebih dahulu, jangan lantas berlarut. Kamu harus bisa jadi orang kuat yang bila digoncangkan sedikit terus bangkit bukan malah menikmatinya.

-Qotd

-😍HAPPY READING YA😍-


Kini Aku dan Ditta sedang berada di rooftop sekolah. Entah bagaimana caranya kita bisa tahu kalau ada jalan untuk menuju kesitu. Bahkan oleh kita, rooftop selalu dijadikan tempat dikala penat akan segala tugas sekolah. Aku berniat ingin berpamitan dengannya secara pribadi, intim berdua. Ditemani langit jingga dan kicauan burung terbang melewati langit yang terasa lebih dekat dengan mereka.

Aku duduk meluruskan kedua kaki ke depan, tas punggung ku lepas dan taruh sembarangan ke samping tubuhku. Ditta yang melihat itu langsung ikut duduk, namun ia duduk bersila.

Aku menarik ke belakang kedua tanganku, seperti bersantai di pinggir pantai. Menikmati terpaan angin yang dapat menetralkan perasaanku. "Dit, kalau misalnya ini pertemuan terakhir kita, kamu mau ucapin atau kasih pesen apa ke aku?" Ucapku yang masih dengan pandangan tertuju depan, tak berani menatap lawan bicaraku walau dia adalah sahabatku sendiri.

Ditta sadar, memang aku akan mengucapkan perpisahan kepadanya. Ditta nampak bingung-bukan, sedih lebih tepatnya. Anne memang sahabat dekatnya, ia kenal sejak SMP dan kembali bersama ketika SMA, namun belum juga lulus ia harus mengucap perpisahan lebih dulu ke sahabat karibnya dengan hati yang belum siap menerima.

Ditta rasa, aku tak perlu melakukan ini, dia akan mencoba menjadi pelindungnya dengan cara tak mempertemukan dia dengan mantan pacar keparatnya itu. Namun ini adalah pilihan yang sudah Anne ambil, tentu orang tuanya juga sudah berpikir lebih dari dua kali untuk itu.

Aku menarik kakiku menjadi setengah tertekuk kemudian memeganginya, meletakkan dagu di lutut sembari menunggu jawaban dari Ditta yang tak kunjung bicara, mungkin dia sedang bertarung dengan segala pertanyaan dan pertimbangan di kepalanya.

"Ne,..." Tanpa aba-aba Ditta memelukku erat, terdengar bunyi isakan dari mulutnya.

"Aku nggak mau jauh dari kamu, kalaupun bisa aku mau jadi sahabatmu selamanya!"

"Aku emang gak sempurna Ne, tapi aku bisa kok jauhin kamu dari si Dewa,"

"Apa bener kamu jadi pindah besok?" tanya Ditta memastikan diakhirnya.

Aku melepas peluk, mencoba mengusap tetesan air mata yang tersisa di wajah mulus sahabat di depanku itu. "Nggak salah lagi Dit, aku nggak akan ngerubah keputusan itu. Ayahku bahkan udah daftarin aku di sekolah baruku," tandasku memberi pengertian lebih.

"Aku harus dengan siapa menjalani sisa masa sekolah di smakarta ini Ne? Aku hanya punya kamu," Ditta memelas seakan melebihkan kalimatnya itu.

"Kamu masih punya banyak teman di sini Dit, teman-teman sekelas kita bahkan baik-baik semua. Aku yakin kamu bakal bisa lebih deket dan berteman baik dengan mereka sama seperti persahabatan kita,"

"Nggak Ne!! Nggak ada yang bakal gantiin posisi kamu sebagai sahabat paling terbaik yang aku punya," tandas Ditta mengelak keras.

"Aku tahu kamu bisa Dit, kamu bisa selesein masa sekolah di smakarta ini tanpa aku. Kita bisa selalu kirim kabar bukan? Kita juga bisa ceritain bagaimana hari-hari kita di sekolah masing-masing, itu akan seru kedengarannya." Aku mencoba membuat Ditta membuka lebih luas pandangannya, lebih membuat dia lapang dada melepas kepergianku dengan ikhlas.

"Sini peluk lagi," ucapku yang sudah bersiap memeluknya.

Aku dan Ditta kini hanya bisa berpelukan, bahkan lebih lama dari pelukan pertama tadi. Ditta sore ini nampak cengeng dariku, orang yang selalu menguatkanku bisa jadi orang yang paling lemah sekarang. Seperti bertolak belakang, Aku merasa sedih namun aku memilih untuk tidak menangis dan lebih ingin menyimpan air mataku untuk tak terus ku teteskan membasahi pipiku.

Selepas itu Aku memegang tangan Ditta, mencoba mengajaknya berdiri dan menikmati sunset yang tersisa di sudut Jakarta, mungkin ini akan menjadi titik terakhir aku menginjakkan kaki bahkan menghirup debu dan merasakan panasnya kota metropolitan dengan segala beban rindu yang akan aku letakkan di penjuru tempat yang pernah ku kunjungi selama 16 tahun tinggal di sini.

Nafasku ku buang dengan cepat, mencoba melegakan rasa yang mengganjal di relung hatiku. Tentang perpisahan siapa yang siap untuk menjalani? Bahkan sekalipun bisa ikhlas semua kenangan manis pahit akan selalu membekas erat di ingatan, seperti terkunci dengan sendirinya. "Dit, kita pergi makan dulu yuk sebelum pulang. Aku yang bayarin deh," ajakku mungkin untuk berpamitan dan melepas kepergianku besok pagi.

"Iihh Anne, suka gitu deh ini aku habis nangis malah diajakin makan, mau nolak juga gak bisa, yuklah." Ucap Ditta yang awalnya berlagak menolak tapi akhirnya mau juga.

"Oke-oke, mau makan apa ni?" Tanyaku untuk membuat kesan makan malam berdua ini menjadi sedikit lebih romantis dan harmonis.

Ditta mencoba berpikir lebih keras, bukannya dia tak mau menurut dan bilang terserah namun kali ini aku yang memintanya untuk memilih tempat mana yang enak untuk dinikmati oleh dua orang yang akan melepas pergi salah satunya pindah ke kota lain.

"Ahaaa!! aku tahu Ne kita mau makan dimana," sahut Ditta seperti orang yang baru mendapat ide cemerlang.

"Dimana?"

Bukannya menjawab apa yang ku tanyakan, namun Ditta malah menggandeng tanganku dan berjalan beriringan pergi ke depan gerbang menunggu tumpangan yang sudah dia pesan. Aku yang kebingungan hanya bisa pasrah tangannya di tarik-tarik oleh dia.

Tiga menit berdiri di samping gerbang akhirnya mobil grab yang Ditta pesan sampai, buru-buru lah Ditta mengajakku masuk dan dia menunjukkan rute kemana mereka harus pergi kepada pengemudi grab dan bapaknya hanya mengangguk mengerti.

Perjalanan sekitar 15 menit, dalam mobil itu aku dan Ditta bercerita. Mencoba berbagi tawa atau menciptakan lelucon agar suasananya tak terlihat seperti keripik-garing. Bapak grab juga menikmati dengan santai sesekali ikut tertawa.

Kalau saja aku bisa membawa satu orang untuk ikut pindah ke Bandung, maka orang itu adalah Ditta. Aku rasa dia bisa jadi sahabat sekaligus keluarga, bahkan lebih mirip kakak adik kalau lagi jalan berdua.

Namun, aku tahu permintaan konyolku itu tak akan disetujui oleh orang tua dari Ditta. Mengingat bahwa Jakarta sudah menjadi rumah tetap bagi keluarganya sejak kecil. Bahkan hal menyangkut Jakarta, mereka tahu betul setiap titik-titiknya. Jadi, aku harus mengembara sendiri menjamin hidupku jauh dari sosok perusak hati, melewati hari dengan terbiasa akan kesendirian walau dikelilingi oleh dorongan orang-orang yang ku sayang walau tak nampak nyata.

Tak terasa sudah sampai di sebuah kafe di daerah Jakarta Utara, lebih tepatnya di Jl. Tarian Raya Timur Blok W1 No.23 Kelapa Gading. Searah dengan rumah Ditta, pantas dia tahu kalau ada kafe tersembunyi yang tempatnya sangat aesthetic itu.

Ditta menggandeng tanganku masuk setelah mengucap terima kasih kepada bapak grab dan pembayaran sudah dia lakukan lewat ovo.

Sejatinya tempat ngopi memang selalu dikelilingi oleh tulisan puitis dan aku sedikit menyukai itu.

Kita pergi menuju tempat memesan menu apa yang akan kita ingin makan. Ditta memilih lebih dulu, Hot Red Velvet Chocolate-Tuna Quesadilla, begitu pesannya. Giliranku memesan, Mocha Coffee-Almond Croissant.

Setelah itu pelayan menanyakan, "Apakah ada tambahan lagi kak?"

Tanpa izin Ditta langsung menyambar. "Oh ya, tambah Chicken Run Burgers nya 1 kak."

Pelayan menerima intruksi, dan memberikan total uang yang harus dibayar, masalah per-uangan serahkan sama yang mengajak makan-Anne. Setelah selesai membayar, aku kebingungan karena Ditta sudah pergi lebih duluan memilih tempat duduk yang nyaman dengan pemandangan malam Jakarta yang memikat mata. Ku putuskan untuk naik ke lantai atas, feeling-ku pun benar, ku lihat kini Ditta sudah duduk di kursi tengah yang bersampingan dengan kaca besar yang memperlihatkan suasana gelap di ibu kota yang hanya terlihat seperti titik-titik bintang terang di tengah hamparan awan-sedang asik berfoto.

Melihat aku datang, dia menyuarakan ajakan ber-selfie dan menyuruhku untuk cepat datang kepadanya.

Karena terlalu asik berfoto, sampai mereka tak mengetahui kalau pesanannya sudah diantar dan nampak sedikit malu karena mereka melewatkan seperti tak mengetahui ada pelayan yang datang, akhirnya aku mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang sudah mengantarkan pesanan dengan sedikit menahan malu.

Sebelum pelayan itu pergi, Ditta kembali memanggil untuk menyuruh memfotokan ternyata, ku kira apaan.

"Maaf, tolong fotokan kita berdua ya. Harus kelihatan bagus pokoknya, baground-nya juga harus bagus ya!" Suruh Ditta yang mendapat pelototan dariku karena dirasa terlalu banyak menuntut.

"Hehe, mari mulai." Aku menyuruh pelayan untuk segera memfotokan sebelum Ditta jadi lebih cerewet.

Sekitar lima foto yang pelayan berhasil ambil, dengan berbeda pose terlihat manis dan anggun. Karena suasana malam kota Jakarta pun sedang bersahabat seperti mengetahui akan terukir sebait cerita akhir di dalam secarik kertas yang berlatarkan kota itu.

"Nanti ku kirim Dit, ayo makan dulu!" seruku memulai untuk mengambil cangkir kopi sambil masih melihat-lihat hasil dari fotonya. Ditta yang tak mau melewatkan momen ini, menyuruhku untuk tetap diam dan untuk mengurungkan niatnya meminum kopinya.

"Eh Ne, tunggu dulu!" Serunya untuk menghentikan tanganku memegang cangkir kopi. Dia ingin memfoto makanannya juga, terlihat ketika dia memberi tanda dengan menggerakkan ponselnya.

"Hmm, oke." Balasku terima kemudian tanganku menjauh dari cangkir kopi.

Setelah Ditta mendapatkan foto yang ia butuhkan, ia memulai memberi intruksi untuk memakan makanan dan meminum kopi mereka.

"Oke, mari kita makan!!" Seru Ditta kegirangan dan sangat antusias dengan makanan di depannya.

Aku menanggapi dengan menyeruput kopiku. Nampak sedikit pahit, namun masih bisa dinetralisir dengan makanan manis yang ku pesan. Ditta terlihat lahap dan senang memakan makanan double yang ia pesan sebagai pengganti makan malam yang memiliki kadar karbohidrat lebih besar dan bisa membuat berat badannya bertambah, namun dia tak begitu memperhatikan itu yang dia pikirkan hanyalah satu-perutnya kenyang.

Mereka menikmati makan malam berdua ini dengan saling senang terlihat dari raut muka di keduanya. Namun, ku rasa perasaan sedih yang masih tersimpan di hatiku belum tepat harus ku keluarkan di sini. Biar dulu ku simpan dan kembali ditumpahkan nanti, ketika sampai di rumah. Aku tak mau merusak makam malam pamitan ini dengan air mata dan kesedihan.

Aku rasa, dirumahnya nanti akan ada banjir air mata dari seluruh penghuni rumah, terkhusus bunda. Oleh dari itu, aku lebih memilih untuk bahagia walau itu hanya hitungan jam, biarlah sahabatku yang mengetahui betapa ia sangat mengenang malam ini dengan baik. Biar besok dia bisa pergi dan memulai lembar baru dengan rasa baru di kota lain-yaitu Bandung.

-yio&anne-

"Bye-bye Dit," lambaiku dari dalam mobil ketika Ditta turun untuk masuk ke dalam rumahnya, karena dia sudah sampai di rumahnya dan aku harus berputar balik untuk bisa sampai ke rumah.

"Bye Ne, makasih makan malamnya." Ucapnya dengan kedipan mata centil ke arahku.

"Siap Ndan!" Sahutku langsung.

Pintu mobil ku tutup setelah itu, Ditta masih setia berdiri di depan gerbang rumahnya yang masih tertutup rapat menunggu mobil yang ku tumpangi menjauhi kompleks rumahnya.

Waktu aku mau buka ponsel, ternyata ada pesan yang masuk dari Bunda.

Bunbun :
Nak, cpt pulang ayah nungguin km nii

Segera kubuka dan ku balas, kalau aku sedang dalam perjalanan pulang, sekitar 20 menit lagi sampai. Setelah memastikan terkirim, aku membuka galeri. Tak ada niat apapun, namun terhenti ketika melihat foto tadi bersama Ditta. Dia bahkan merasa sedih sekarang, melihat detail dari satu foto ke foto yang lain, terlihat memang bukan perayaan perpisahan, lebih tepatnya seperti perayaan pajak jadian atau tlaktiran sehabis ulang tahun.

Tak mau berlama-lama, ku pilih lima foto dan ku kirimkan ke Ditta. Dengan kalimat terakhir yang mungkin akan membuat keduanya menjadi sedih berbarengan.

Makasih Ditta, luv u forever!!

Ku harap kau takkan melupakan mkn mlm kita barusan🧡🧡

Aku mematikan ponsel setelahnya, menghindari lebih larut dalam mengingat kenangan hingga selalu makan hati pada akhirnya.

Aku bahkan tak menyalahkan siapapun kemudian, hanya memang akulah yang harus melihat diriku sendiri. Setiap apa yang dimulai, kita tak akan tahu akhirnya. Begitulah kenapa aku selalu menyesali pertemuan pertamaku dengan Dewa.

"Hallo, boleh ku bantu?" tanya laki-laki yang tiba-tiba saja sudah ada di sampingku entah sejak kapan aku tak mengetahui pastinya.

Aku yang kebingungan membawa semua barang-barang kemah hanya bisa pasrah dan mengiyakan seseorang yang belum ku kenal itu untuk menolongku, setidaknya membawakan satu tas bersama satu ikat kayu bakar menuju lapangan utama. Karena sejak lima menit yang lalu, Kakak Dewan sudah memberikan peringatan untuk segera menuju lapangan utama dengan membawa semua barang bawaan masing-masing untuk melakukan persiapan pemberangkatan sekalian untuk absensi.

"B-boleh aja," jawabku sedikit kikuk karena belum terbiasa bicara dengan orang asing.

Laki-laki itu langsung membawa tas carrier dan satu ikat kayu bakar, tanpa ba-bi-bu dia meninggalkanku yang masih diam ditempat, kaget karena masih ada orang lain yang mau membantunya.

"Ayoo, keburu telat!" Seru laki-laki itu dengan posisi tubuh menengok ke belakang.

Aku yang setengah melamun akhirnya tersadar dan membawa sisa tas punggung dan tas jinjing wadah perlengkapan masak.

Tak perlu lama-lama dan harus menyeret barang-barangnya, kini aku sudah ada di lapangan utama dengan anak-anak lainnya yang sama dengannya-membawa peralatan dan tas di punggungnya. Namun ia rasa, hanya dirinya sendiri yang membawa perlengkapan melebihi kapasitas, dan tentu itu membuatnya menelan ludah getir, kebingungan mencari teman untuk membantunya nanti jika diangkut ke dalam truk.

"Belum pernah kemah ya?" Tanya laki-laki itu sedikit tertawa namun ditutupi oleh tangannya.

Aku menggeleng, "Terus? Kenapa bawa banyak banget?" Tanyanya lagi.

"Tas satunya buat wadah perlengkapan tim kak," jawabku pelan.

"Aku bukan kakakmu tau!" Jawabnya cepat membela.

"Dewa-namaku Dewa." Kenalnya sambil mengulurkan tangannya berkenalan.

Aku hanya melihati uluran tangan laki-laki itu, kemudian ada deheman darinya yang membuatku harus membalas uluran tangannya dan mengucapkan siapa namaku.

"Aku Anne." Singkat padatku.

"Oke salam kenal, jangan panggil kakak, kita mungkin cuma beda beberapa bulan aja," ujarnya dengan kedipan mata sebelah kiri.

"Aku rasa kamu harus bergabung sama timmu sebelum barang-barang dimasukkan kedalam truk, biar ada yang bantu ngangkatin," tuturnya menjelaskan.

"Ku kira kakak bakalan mau bantuin sekali lagi, eh-dewa." Balasku seperti memaksa dia untuk menolongku setidaknya sekali lagi.

"Aku juga ada bawaan, ituh lihat!" ucapnya dengan menunjuk ke arah depan yang tak terlalu jauh dari posisi mereka berdiri sekarang.

"Oke makasih ya atas bantuannya," ucapku sembari meminta tas carrier yang masih setia ia gendong dari tadi.

Dewa memberikannya dengan hati-hati namun aku memintanya dengan sedikit belum siap bahwa bebannya juga berat. Itu membuatku seperti hendak jatuh namun lebih duluan tasnya yang jatuh.

"Bruk.." bunyi tasnya jatuh, untuk tak menimpa kakiku.

"Kalau nggak kuat mending minta bantuan super man aja deh buat bawain," ucapnya ngasal sembari berjalan pergi menuju tempat tasnya diletakkan.

"Iihh dasar, gak jelas banget." Ucapku dengan kesal, bukannya menolong malah pergi gitu aja.

Aku menepuk jidatku sendiri, seperti ingin menampar karena bisa-bisanya dia kembali bernostalgia ketika masa dimana dia bertemu dan membuat kesan untuk terus membuat Dewa berada dekat dengannya.

"Anne, kenapa sih?? gak usah diinget-inget lagi dong!!" Ucapku dengan menepuk jok sebelahku yang kosong.

Untung bapaknya gak terlalu memperhatikan, kalau iya bisa-bisa dia dikira gila bicara sama diri sendiri, mana pakai kesal dan nimpuk jok lagi.

Aku hanya geleng-geleng kepala sambil terus bilang, "Gak, gak boleh, gak pokoknya!" dengan menutupi sebagian muka dengan telapak tangan agar dia tak begitu terlihat oleh kaca di dalam mobil.

Tak terasa, mobil yang ia tumpangi itu berhenti tepat di depan rumahnya. Aku langsung merapikan baju dan mengambil uang untuk ku bayarkan kepada bapak grab yang sudah mau mengantarnya pulang ke rumah dengan selamat.

"Kembaliannya ambil aja buat tip ya pak," suruhku ketika menyodorkan uangnya.

"Terima kasih ya neng," balas bapaknya.

"Sama-sama pak," setelah itu aku masuk dan menutup kembali gerbang depan.

Membuka pintu rumah dan mengucap salam, "Assalamualaikum.." sedikit kaget, ternyata ayah dan bunda sudah menungguku di sofa.

"Eh ayah nda, udah lama nunggunya?" Jawabku sedikit membuatnya tak marah karena mungkin sudah lama menunggu.

"Nggak sayang, kamu ganti baju sama bersihin badan dulu sana. Ayah sama bunda tungguin di bawah ya." Suruh bunda kepadaku.

Aku hanya menurut dan segera menuju kamarku di atas.

Mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi untuk bersih-bersih, mungkin sudah dekil oleh debu Jakarta. Rambutnya yang terkucir itu juga sudah lepek, ia memutuskan untuk mencuci rambutnya sekalian agar dia bisa tidur dengan wangi tubuhnya dan relax di kepalanya.

Sekitar 15 menit aku baru selesai. Dengan menggunakan pakaian tidur berwarna pink pudar, aku turun dari tangga dengan masih mengenakan handuk di kepala persis ketika habis keramas untuk mengurangi sedikit air yang tersisa di rambut ketika habis ku bilas.

"Duduk sini sayang," suruh bunda dengan lemah lembut.

Aku menurut dan duduk ditengah-tengah antara mereka berdua. Perasaan tak bisa dideskripsikan, mungkin hanya bisa ditebak kemudian dirasakan. Setulusnya mungkin keputusan berat sulit untuk dibuat dan ditetapkan. Namun, ayah dan bundanya kini berani ambil resiko yang besar, meninggalkan anak semata wayang untuk berkelana dan mandiri di kota orang. Masa remaja mungkin kebanyakan orang tak akan sama seperti Anne. Masih dalam lingkup kebahagiaan keluarga tentunya.

"Nak, ayah udah daftarin kamu di SMA Widya Bakti, nggak jauh dari rumah karena ayah tahu kamu pasti selalu bangun siang maka dari itu untuk mengantisipasi kamu telat ayah pilih beli rumah yang deket jaraknya ke sekolah," tutur ayahnya menjelaskan.

"Makasih ayah," ucapku sambil memeluk ayah yang bagiku sangat pengertian sedunia itu.

Bunda hanya memegang pahaku, mencoba menyalurkan kehangatan mungkin dia juga tak akan bisa memegang dan melihat secara nyata bentuk diri anaknya dalam waktu yang lama. Aku tahu sebenarnya bagaimana perasaan bunda sekarang, sedihnya berlipat-lipat, namun bunda pandai menutupinya dengan kalimat, "Nggak apa-apa, bunda bakal ikutan senang kalau anak bunda juga senang."

"Bunda..." Panggilku yang kemudian bergantian ku peluk bundaku erat-erat sempat ingin terisak. Namun aku coba tahan agar air mataku tak merusak kehangatan ini walau akan segera berakhir dengan perginya aku. Mungkin rumah ini akan terasa sepi, karena bunda selalu meneriakiku ketika aku susah bangun pagi, memberi tips masak hingga dapur berantakan, membersihkan rumah bersama hingga berakhir tiduran di lantai saking capeknya kalau dirasain. Lelucon dan candaan yang tercipta hingga tinggal jejak yang samar perlahan pergi keluar dari rumah ini bersamanya aku meninggalkan segala keharmonisan keluargaku.

"Anak bunda yang cantik, jaga diri ya disana walau jauh dari bunda, bunda akan selalu berdoa untuk kesuksesan dan keselamatanmu sayang," ucap bundaku penuh hangat memegangi tanganku seperti berharap.

"Ayah juga udah cari bibi buat nemenin dan siapin semua kebutuhan kamu disana nak," tambah ayahku, dan itu membuatku tambah susah kala meninggalkan mereka berdua di ibu kota-bekerja demi anaknya yang jauh dari dekapan.

"Ayah, bunda, Anne sayang kalian lebih dari apapun itu," ucapku seperti berlebihan, tapi itu nyata.

"Kami juga sayang Anne, banget-banget!" Ucap berbarengan ayah dan bundaku, membuat kita sama-sama tertawa dan lebih mengeratkan pelukan diantara kita tanpa ada sekat yang tinggal besok itu akan membuat berjarak.

Malam itu, Aku sungguh merasa menjadi anak paling bahagia yang mempunyai keluarga hangat dan selalu pengertian kepadaku. Mungkin ini keinginan terberat ku, tapi mereka juga memenuhinya. Entah akan apa lagi nanti kedepannya, aku tak akan menyulitkan dan membawa masalah diriku sendiri kedalam hidup keluargaku, itu terasa berat bahkan hingga saling berpisah.

Bukankah kini aku memang harus berjalan di atas kakiku sendiri, mengarungi setiap tapak tanah yang berdebu, melewati bebatuan yang besar, menanjak turun, berenang di antara dua pulau, atau bahkan berdamai dengan masalah hidupku sendiri.

Melepas yang sudah tergenggam mungkin tak semudah yang dibayangkan, ibarat kita bersusah payah untuk dapatin sesuatu tapi sesuatu itu tiba-tiba hilang dan nggak bakal kembali, bagaimana? Dirasa berat, tentu. Namun, bukan menangis dan terpuruk yang harus kita lakukan. Tapi, kita dibiarkan untuk terbiasa tanpanya, kemudian kita temukan dunia baru yang lebih menjanjikan dan beri kita kenyamanan, hingga orang baru muncul dan mau diajak berbagi segala rasa dan juga menumpahkannya lewat cerita.

Populasi manusia di dunia sangat banyak, kita tidak bisa hanya terpaku dengan satu orang saja. Semesta mungkin tahu, dengan siapa kita dapat membagi rindu dan menyapa fajar kala pagi datang. Kita akan dipertemukan dengan banyak orang, hingga kita bingung. Karena, dari semua yang kita kenal dan dekati tak ada satupun yang cocok dan serasi dengan kita.

Itu, bukti bahwa cinta susah didapatkan dan juga dilepaskan. Bila kita mau memaknainya lebih dari pandangan kaum awam, mungkin kita tak akan salah langkah dan keliru arah. Namun, bagiku dalam soal cinta juga butuh belajar untuk tahu cara menyikapi dan menjawab setiap teka-teki yang muncul secara tiba-tiba.

"Rambutnya kayaknya udah kering sayang," bunda memberi tahu dan sekaligus menawarkan untuk menyisir rambut anaknya.

"Oh iya Nda,"

Perlahan, Bunda menyisir rambutku yang masih belum kering sempurna namun airnya sudah tak menetes ke bawah lagi. Dengan teliti dan penuh kasih sayang, bunda mencoba membuat aku tambah sayang kepadanya.

"Nak, kamu habis ini siap-siap sana! Besok siang kita berangkat kan," suruh ayahku disela-selanya.

"Oke Yah." Jawabku dengan suara kecil dan bergetar karena merasa sedih.

Bunda kini menyahut, "Nanti Nda bantuin ya sayang,"

"Siap Nda." Jawabku tersenyum.

"Sudah rapi nih sayang, yuk beresin baju dan perlengkapan kamu buat besok," ajak bunda yang seperti bersemangat dibalik tempurung kebohongan.

"Yuk Nda," balasku dengan memegangi tangan bunda mengajaknya pergi ke kamar atasku. Ayah hanya diam saja, masih setia duduk di sofa. Mungkin ayah belum siap.

"Ayah gak mau ikut?" Tanya bunda.

"Nggak, nanti ayah nyusul aja masih mau hubungi anak kantor dulu," balas ayahku kemudian hanya diiyakan oleh kami berdua dan segera menuju kamar atas untuk beres-beres.

-yio&anne-


Part ini sungguh menegangkan, membuat hati sedih

Part selanjutnya???

Lebih mengguncangkan hati

Cekidot dan tungguin yaa

Salam,

-ia

-Ini Anne-





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top