01. Detik-detik Perpisahan
Tidak ada yang akan siap berpisah dengan orang yang di sayang, Tetapi dengan ketidaksiapan itu akan menjadi siap bila kita mampu untuk melewatinya.
-An
Memang sulit rasanya mengucapkan selamat tinggal disaat kita terikat sepenuhnya oleh hal yang menyebabkan keterpisahan itu.
-Si
Semoga dengan perpisahan kamu jadi paham, bahwa tak selamanya yang kita miliki dapat bertahan, akan ada masa dimana kita harus merelakannya pergi, pergi untuk selamanya dan nggak balik lagi. Jangan kau tangisi setiap perpisahan, sambutlah dengan semangat baru. Karena setiap perpisahan tak berakibat mengenaskan. Kuharap kau paham dengan ini.
-qotd
😍HAPPY READING GUYS😍
JAKARTA, JANUARY 2018
Kamu tak mungkin bisa setegar aku, nyatanya aku yang sudah merasa menjadi wanita paling kuat sedunia harus merasa kalah dengan seorang cowok brengsek yang sukanya mainin perasaan banyak cewek demi mencukupi ketamakan hatinya.
Ya, Aku Anneta Berlianda telah merasakan pahitnya apa itu yang dinamakan cinta. Kata banyak orang cinta itu indah, bahkan hanya sekedar melihat atap rumah orang yang dicintai saja sudah merasa berbunga-bunga. Namun tak semua apa kata orang tentang cinta itu selalu mengarah pada yang namanya "kesenangan".
"Bilamana kau mencintai seseorang, maka kau harus berani menanggung konsekwensinya, entah itu patah hati, galau, rindu sepihak, atau bahkan putusnya hubungan tanpa alasan yang jelas."
Semua itu sudah kurasa, bahkan baru ini aku merasakannya. Bodoh memang, namun kau tak akan bisa tahu hatimu akan berlabuh kemana, apakah kepada orang yang pandai menjaga hati, atau kepada orang yang pandai mematahkan hati. Kau tak bisa memilihnya terlebih dahulu bukan? Itu mengenai takdir, dan kurasa takdir sedang mempermainkanku kali ini.
Aku mencintai orang yang salah, dulunya dia selalu menjagaku, melindungiku, bahkan sangat perhatian kepadaku, namun lambat laun sifatnya tak sebaik dulu, dia benar-benar cowok keras diluar dugaanku. Atau memang seperti itu sifatnya, yang dulunya ia tutup-tutupi dengan sifat sok baiknya itu.
"Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengannya? Kenapa tidak dengan orang yang tepat? Kenapa Tuhan?"
Waktu itu aku benar-benar terpuruk dan dalam keadaan paling buruk sedunia. Entah dengan kalimat apa aku bisa menceritakan yang jelas pastinya kalian yang merasa cewek akan tahu bagaimana hancurnya hatiku ketika berada dalam posisi saat itu. PACARKU BERSELINGKUH DIDEPAN MATAKU. Sakit bukan? jelas saja.
Dengan tangan mengepal sampai buku-buku jariku merubah warna telapak tanganku menjadi putih pasi, ku jaga emosiku agar tak meluap dan ku mulai berjalan mendekati dua orang yang sedang berpelukan tepat di depanku.
"Dasar cowok brengsek."
Emosiku sudah tak bisa aku tahan, lalu ku tuangkan seluruh isi jus yang sedari tadi ku pegang pada tangan kiriku ke arah cowok yang duduk membelakangiku dengan cewek yang sedang merangkulnya dari samping.
"KITA PUTUSS DEWAAAA, MULAI DETIK INI KITA PUTUSSS." Teriakku kencang sambil membuang sembarangan gelas jus tadi.
"AKU NGGAK BUTUH ALASAN APAPUN." Seakan mengerti apa yang akan dilakukan cowok bernama Dewa itu, aku langsung lebih dulu memotongnya, aku muak.
"DAN KAU," Kutunjuk cewek perusak hubungan orang itu dengan tampangku yang ingin memakan orang itu dengan ganas. "AKU INGETIN YAA, JANGAN KEMAKAN OMONGAN COWOK BRENGSEK INI, DIA MANIS KESEMUA CEWEK, DASAR MAU AJA DIBODOHIN." Lanjutku dengan emosi memuncak.
Dewa, cowok itu hanya diam tak berbicara apapun, merasa sudah ketangkap basah mau mengelak pun juga percuma.
"SEBELUM PERGI, AKU PERTEGAS LAGI, KITA PUTUS TAK ADA HUBUNGAN APAPUN DIANTARA KITA, KAMU ORANG ASING DAN AKU NGGAK KENAL KAMU." Sebelum emosiku bertambah besar menghadapi cowok keparat itu, aku memilih untuk meninggalkan tempat paling ku benci detik itu juga , yaitu taman belakang sekolah.
Setelah mereka tak terlihat di belakang, aku berhenti pada lorong yang mengarah ke gudang. Punggungku bertubrukan dengan dinding dan aku menangis sejadi-jadinya di situ, meluapkan kekecewaan atas kepercayaan yang sudah kutaruh kepadanya.
"AAAAAAA DASAR KAU BRENGSEK DEW."
"AKU BENCI KAU SEUMUR HIDUPKU." Teriakku histeris meratapi hati yang sudah hancur tak terbentuk, hanya gara-gara cowok.
-yio&anne-
Aku pulang dengan lesu dan seperti tak punya semangat hidup, tak seharusnya aku begitu, namun entah apa aku melihat insiden semacam itu tadi membuat hatiku berdendam dengannya.
Sebal, kesal, muak, semuanya saja.
Aku membuka pintu rumah dengan tangan kiriku dan tas masih melekat setengah di punggungku. Tanpa salam, tanpa ekspresi apapun aku masuk. Dan tentu itu membuat orang di rumah merasa aneh dengan sikapku, ya Bunda yang ada di rumah. Melihat sikapku yang kurang wajar, segera dia mendekatiku yang masih berdiri pada langkah ke tiga setelah masuk pintu rumah dengan raut mukaku yang seperti melamun dan memikirkan hal penting.
"Hei," Bunda menepuk lenganku.
"Kenapa pulang-pulang cemberut gini sih? Ada apa?" tanya lanjutan sambil Bunda memeluk kedua pundakku dari samping.
"Nda," panggilku seperti ingin menangis, ya aku memanggil bunda dengan hanya embel-embel belakangnya saja.
"Iya kenapa Nak? Coba ceritakan! Ayo duduk dulu." Ajak Bunda ke sofa sambil melepas tas yang menempel di punggungku.
"Aa-ku putus Nda sama Dewa," ujarku yang sudah meneteskan air mata dalam senderan Bunda.
"Lho, la kenapa? Dewa bukannya sayang banget sama kamu? Ada masalah apa?" tanya Bunda mencoba menanyakan kronologinya dengan jelas.
"Dia selingkuh Nda, hiks." jelasku sambil terus menangis sampai ingusku keluar.
Bunda hanya diam, tak sanggup berkata lagi. Hanya usapan yang lembut di pucuk rambut anak semata wayangnya itu yang bisa ia lakukan sambil memeluk erat mencoba menguatkan, ia paham betul masalah anak muda, jelas saja dia dulu juga pernah muda. Jadi semua manis pahit kehidupan anak sekolah sudah ia rasakan.
"Sudah, jangan terlarut sedihnya. Dia memang tak pantas buatmu, jadi buat apa ditangisi? Ayo move on sayang!" Bunda terus saja berbicara membuat anaknya itu kuat tahan banting sama seperti dirinya.
"Tapi Nda, dia gak berhak gituin aku, aku sakit Nda digituin,"
"Iya, Nda tahu tapi udahlah itu sudah berlalu bukan? Untuk apa selalu mengungkitnya?"
Setelah Bunda mengucapkan kalimat itu, Aku mendongak dan mencoba menghapus air mata yang tersisa di pipiku, "Nda, bantuin Anne buat ngelupain dia ya!"
"Pasti dong sayang, sudah jangan sedih lagi. Hapus air matanya dan mulai kembali tersenyum seperti biasanya lagi," jawab Bunda sambil tersenyum mungil, sangat cantik Bundanya bila tersenyum seperti itu. Aku kemudian juga ikut tersenyum bersama Bunda sore itu.
-yio&anne-
Saat malam harinya, aku yang sehabis makan malam bersama Bundaku dan Ayahku tak segera menuju kamarku untuk belajar, padahal setiap waktu selesai makan aku langsung masuk kamar dan belajar untuk pelajaran esok. Aku masih diam di kursi ruang makan, Bunda dan Ayahku yang melihat itu hanya saling pandang dengan tatapan sayu. Ayahku sudah tahu mengenai putusnya hubunganku dengan Dewa mungkin Bunda yang memberitahunya.
"Anak ayah kok lemah gini sih," tiba-tiba Ayah mendekat dan mencoba lagi menguatkan aku.
Aku masih melamun itu, dan tiba-tiba punggungku ditepuk oleh tangan dari Ayahku dan itu baru membuat aku sadar sepenuhnya.
"Eh Ayah, kenapa yah?" tanyaku biasa setelah itu.
"Hmm, tadi nggak dengerin ayah bicara ya? Sekarang melamun mulu," Ayah kemudian duduk di sampingku, seperti ingin mengobrol denganku.
"Nggak yah, hehe," cengirku.
"Gini ya Nak, hidup itu tak melulu tentang dia, pasti akan ada waktunya untuk kamu lepas tak ada ikatan apa-apa dengan seseorang itu, itu sudah kodratnya. Jadi bilamana kau mencintai seseorang kau juga harus siap menanggung rasa yang muncul itu, mencintai itu tak hanya soal membahagiakan, ada kalanya mencintai itu menyakitkan, jadi sekarang yang harus anak ayah lakukan adalah tetap fokus ke depan, jangan hanya masalah kecil gini bisa mengganggu semua kehidupanmu, kamu bisa anak ayah kuat, ayo semangat sayang." Ayahku memang bijak dan sangat perhatian walau dia sering bekerja hingga sore tapi tak pernah aku dicuekin olehnya, ada saja perhatian kecil yang aku dapat darinya. Terbukti dengan nasihat sepanjang itu yang barusan aku dapatkan dari dia. Dia memang pahlawanku yang tak akan menyakitiku, berbeda dengan dia.
"Iya ayah, bantuin aku untuk bisa move on ya yah," ucapku untuk membalas nasihat ayah tadi.
"Iya sayang, sudah ayo belajar jangan mikirin dia yang sudah menjadi masa lalumu, kamu harus bisa naik lebih tinggi dari dia." pinta Ayah yang menyuruhku untuk belajar dan melupakan sosok DIA.
"Iya yah, aku ke atas dulu ya," pamitku.
"Iya Nak, jangan lupa besok harus sekolah ya,"
"Hmmm iya yah," balasku dan segera berjalan ke arah kamarku.
-yio&anne-
Esoknya, aku bangun dan merasa seperti hari ini sangat berat aku lalui. Yang setiap harinya aku selalu mendapat ucapan pagi yang manis dari Dia, sekarang ucapan dan semua bentuk perhatian yang pernah ku dapatkan seakan lenyap tak berbekas.
Hanya saja yang tertinggal hanya puing-puing kenangannya.
"Ya tuhan, kuatkanlah hambamu ini." Rintihku diujung kamar tidur.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, tenyata sudah ada Bundaku di sana. Lalu Bunda menghampiriku dan ikut duduk di tepi ranjang. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, tak ada niatan untuk bersekolah sebenarnya.
"Gimana dengan hatimu Nak?" tanyanya.
"Masih susah terbiasa Nda," jawabku lesu
"Aku mau pindah sekolah saja yaa Nda," tiba-tiba kalimat itu meluncur sembarangan dari mulutku.
Bunda sedikit kaget mendengarnya, "Jangan begitu, kau tak kasihan sama Ayah yang sudah susah payah bekerja pulang sore demi mencukupi kebutuhan kita nak?"
"Tapi Nda, berat rasanya bila aku terus melihat wajahnya berkeliaran di sekitarku," terangku pada Bunda.
"Bunda tahu, tapi apa gini caranya kamu nyelesein masalah? Itu malah akan memberatkan kamu. Ingat, kamu disana hanya punya satu tujuan yaitu menuntut ilmu, seolah dengan kamu pindah itu artinya kamu kalah dari Dia. Dia yang nyakitin kamu, harusnya kamu buktikan ke Dia bahwa kamu akan jauh lebih baik tanpa dia, jangan malah menghindarinya." Tutur Bundaku menasihati.
Aku hanya diam saja, mencoba mencerna kalimat itu. Lalu Bunda menambahkan lagi, "Sudah, kamu siap-siap gih sana nanti keburu telat, nanti biar Bunda bicarain ini ke Ayah dulu ya,"
Wajahku sumringah, "Beneran Nda?"
"Iya nanti, semoga Ayahmu bisa berada di pihakmu," lanjutnya.
"Ya Ndaa."
Lalu, aku segera mengambil handuk dan menyelempangkannya di pundakku berjalan ke arah kamar mandi.
-yio&Anne-
"Aanneee...." tiba tiba saat aku melewati lorong kelas ada yang memanggilku keras di belakangku, dan aku hafal betul suara siapa itu.
Saat aku berbalik, benar saja suara cempreng yang memekikkan gendang telingaku itu berasal dari Ditta, sahabat baikku.
"Kebiasaan deh pagi-pagi udah teriak-teriak," balasku yang malah tak mengidahkan panggilannya.
"Hehe, biar kuping lo sehat Ne," jawabnya seperti mengejek.
"Apa lo kata? Gini-gini kuping gue sering tauk dibersihin sama Bunda," belaku.
"Hmm iya deh percaya." Balas Ditta sambil tertawa kecil dan menutupinya dengan tangan.
Di perjalanan menuju kelas, aku lihat Ditta seperti ingin mengutarakan sesuatu, terlihat gerak-geriknya yang aneh. Tapi sepertinya dia tak berani memulainya.
"Dit," panggilku.
Ditta hanya menaikkan alis tanda bertanya apa.
"Gue kayaknya mau pindah deh," ucapku nyablak langsung to the point.
Ditta shock mulutnya menganga lebar, tak percaya.
"Lo nglantur Ne?" tanyanya memastikan.
"Enggak Dit, cuma nunggu Ayah dulu soalnya Bunda baru bujuk sih,"
"Demi apa?" Ditta semakin cemas sekarang dengan ucapan Anne barusan.
"Demi lo yang bentar lagi mau jadian sama bebebmu itu," lucuku untuk mencairkan suasana.
"Ah, Anne mah nggak asik banget lagi serius juga,"
"Cie yang serius banget, sampai fokus banget ngebahas bebebmu itu, " balasku sambil tertawa, aku berlari mendahului Ditta menuju kelas sebelum dia mengeluarkan teriakkannya yang super kenceng kepadaku. Bener-bener mungkin moment-ku yang terakhir bisa tertawa bahagia bareng Ditta lagi.
"Anneeee, bener-bener ngeselin ya kamuu," teriaknya menggelora di lorong kelas sepuluh ipa.
"Hmm bener kan dugaan gue," kata hatiku berucap seperti itu.
Aku hanya terus berlari meninggalkannya, butuh waktu juga agar tak sedih bila nantinya harus pisah jauh sama dia, yang selalu jadi sandaranku, jadi tempat keluh kesahku, jadi temen nebeng kalau pulang, jadi temen nonton bareng, dan banyak lagi yang udah aku laluin sama-sama bareng Ditta. Bahkan sebelum Dewa datang, Ditta-lah yang selalu ada buat aku. Beruntung banget aku bisa kenal sama dia.
"Tungguin dong Nee!! Suka banget main kejar-kejaran kayak tom and jerry," teriak Ditta lagi, kali ini Anne berhenti menunggu sahabat yang super duper cerewet itu.
"Dua menit," balasku mengasih tahu kalau dia harus sampai di sampingku dua menit lagi.
"Elah sabar yang santai aja dong Nee," komplain Ditta yang masih dengan santainya berjalan mendekatiku. Memang ke-santaian dia mah, bukan santai tapi lelet.
"Gue tinggal," balasku.
"Oke, oke gue lari." Ucapnya sambil berlari kecil ke arahku.
Di situ aku ketawa namun tak bisa dilihat dari belakang, lucu juga ngusilin Ditta.
"Suka ninggal-ninggal makanya ditinggal bener sama pacarnya,"
"Oops,," spontan Ditta mengucapkan kata itu, langsung saja dia menutup mulut yang suka nyerocos itu dengan tangannya. Merasa bersalah dia.
"Duh, maafin Ne nggak bermaksud kok. Suerr deh," jelasnya meminta maaf.
"Hmm, lo mah sukanya gitu mulutnya gabisa dikontrol," balasku dengan tampang biasa alias datar.
"Hehehe taulah, kan udah dari dulu gini,"
"Hmm yaudah yuk jalan ke kelas," ajakku.
"Let's go," balasnya sambil berjalan beriringan denganku.
"Ne, aku rindu tawamu, maafin karena sudah mencabut paksa dari dirimu."
-yio&anne-
"Ayah masih diam Nak, mungkin belum bisa memutuskan sekarang," tutur Bunda saat aku sedang di dapur untuk mengambil air minum.
Aku meminum airnya, setelahnya "Mmmm yaudah Nda, tungguin aja nanti, semoga Ayah setuju yaa," aku menjawabi.
"Iya Nak," Iya-in Bunda, walau jauh dalam lubuk hatinya ia juga tak mau berpisah jauh dari anak semata wayangnya itu.
"Yaudah Nda, nanti malam pasti Ayah ngasih jawaban," tuturku yakin kalau nanti malam Ayah akan mengucapkan kata 'boleh'.
"Ya semoga saja Nak,"
Aku hanya mengangguk setelah air minum dalam gelasku sudah habis ku minum.
Malamnya....
Ayahku diam saja sewaktu di meja makan, ku kira ada masalah di kantornya, ternyata sedang memikirkanku.
"Ayah, bagimana den--" belum selesai bicara Ayah sudah mengangkat tangannya mengarah ke aku, melarang aku melanjutkan bicara.
"Ayah belum tahu, nanti Ayah pikirkan dulu. Nanti Ayah sama Bunda mau rundingan dulu," balasnya dengan datar, seperti tak suka bila mendapat pertanyaan semacam itu.
“Iya yah,” jawabku dengan wajah datar juga.
Bunda hanya diam, mungkin dia juga bingung mau bersuara apa. Entah mau memihak anaknya atau suaminya.
“Sudah, ayo dimakan nanti makanannya keburu dingin dan nggak enak lagi,” Bunda akhirnya menyuruh untuk memulai makan malam hari ini.
Bunda mengambil piring di depan suaminya dan mulai mengambilkan nasi putih, setelah itu giliran piring milik Anne.
“Bunda kali ini masak yang nggak biasa lho, nyobain resep baru tadi itu,” tuturnya dengan senang.
“Ohh benarkah Nda?” tanyaku untuk mencairkan suasana.
“Iya lhoo, Bunda dapat resep dari temen bunda yang jago buat kreasi masakan,” balas Bunda antusias.
Di situ, hanya Ayah yang sedari tadi tak bersuara. Diam, seakan bibirnya terkunci.
“AYAH—“ panggilku dengan nada sedikit tinggi.
Ayah terlonjak, “Ada apa?”
“Ayo kita makan!” ajakku.
“Iya ayo.” Jawab Ayah singkat.
Setelah itu, barulah kita makan bersama-sama malam itu. Namun dengan suasana yang agak berbeda. Ayah berubah, pasti itu gara-gara aku.
-yio&anne-
/SEMINGGU SETELAHNYA/
“Kamu yakin kalau Anne akan baik-baik saja di sana?” tanya seorang laki-laki yang masih menggunakan seragam kantornya itu.
“Enggak sepenuhnya Mas,” balas wanita yang berada di sampingnya ragu.
“Lantas kenapa kamu bilang kalau kamu akan menyetujuinnya? Kamu juga bilang akan membujukku kan?” laki-laki itu seakan kesal sendiri.
“Tak ada yang bisa aku lakukan kalau itu sudah menyangkut hati anak kita Mas,” batin wanita itu dengan wajah sedih.
“Aku hanya ingin membuat dia tak gelisah, makanya aku mengiyakan dahulu,” balasnya.
“Aku tak tahu, aku masih bingung tak bisa membiarkan Anne sendirian di sana jauh dari kita,” nampaknya sang ayahnya itu sangat tak mau jauh dari anak semata wayangnya itu.
“Kita bisa membicarakan lagi Mas, kan kita juga bisa mempekerjakan pembantu untuk menemani Anne di rumah atau supir untuk mengantarkan Anne ke sekolah, itu mudah Mas,” sang bundanya mencoba mencari jalan keluar yang terbaik.
“Aku belum dapat sepenuhnya percaya sama mereka, keselamatan Anne belum tentu terjamin 100%.”
“Ya sudah nanti kita sama-sama cari jalan keluarnya, yang penting jangan buat Anne menunggu ini terlalu lama Mas, hati Anne kasihan perlu diobati juga.”
Akhirnya sesudah Istrinya berbicara, dia langsung pergi keluar dari kamarnya. Ada raut cemas tergambar di wajahnya. Ada rasa kekhawatiran menyelimuti dirinya. Lain halnya dengan Sang Istri, dia hanya menunggu detik yang tepat untuk lebih meyakinkan suaminya itu. Ya,waktulah yang mampu memecahkan ini. Tunggu saja sampai takdir itu tiba dan merubah semua yang ada.
-To Be Continue-
Ini baru awal
Mau lanjutin lagi?
Silahkan tinggalkan jejaknya dahulu guys!!
💓💓💓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top