YESTERDAY

"Hans?"

Laki-laki itu mengurai senyum hangat, seolah mengabaikan betapa terkejutnya aku saat melihat penampakan sosoknya di depan pintu rumah kami pagi ini. Aku melongok jam dinding yang menunjuk angka enam dan seharusnya ia tidak berada di sini sekarang. Meski sejujurnya aku senang Hans ada di hadapanku.

"Kenapa? Apa penerbanganmu ditunda?" desakku penasaran. Tadi saat ia menekan bel pintu, aku masih asyik bergelung di atas tempat tidur, bercengkerama dengan mimpi indah.

"No," gelengnya santai.

"Hah?" kejutku dengan mulut terbuka. "Terus? Kenapa kamu balik lagi?"

"Karena aku merindukanmu, Re," tandasnya seraya mencekal kedua lenganku lalu menunduk untuk mengecup keningku. Laki-laki berpostur tinggi itu bahkan tak mempermasalahkan penampilan pagiku yang berantakan. Aku belum mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambut ikalku yang susah diatur. Terkadang aku hanya menjepitnya dengan asal untuk menyembunyikan mahkotaku yang acak-acakan.

Ucapan Hans spontan membuatku tertawa kecil, namun laki-laki itu tak keberatan atas sikapku. Ia mengedik perlahan dan menyeret kopernya masuk. Jika aku tahu Hans mengurungkan keberangkatannya, aku tidak akan repot-repot membantunya berkemas semalam. Hans adalah orang yang paling payah dalam hal berkemas.

"Kamu lucu, Hans."

Hans menjatuhkan tubuh di atas sofa panjang yang terletak di ruang tengah. Di tempat itu kami biasa menghabiskan waktu bersama. Saat Hans pulang terlambat, aku juga duduk menunggunya di sana. Terlalu banyak kenangan romantis yang kami bagi di sofa itu.

"Aku belum mau pergi jauh-jauh dari kamu, Re." Hans menarik tubuhku ke sampingnya. "Kamu nggak senang aku nggak jadi pergi?"

"Bukan."

"Lantas?"

"Kalau nggak pergi, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Terus terang aku sedikit mencemaskan pekerjaan Hans. Juga laki-laki itu tentunya. Kami menikah tiga bulan lalu dan selama ini kami selalu pergi berdua, kecuali saat Hans bekerja. Aku tak mungkin menguntitnya ke kantor, bukan?

Tapi, Hans malah mengembangkan tawa renyah.

"Jangan khawatir, Sayang. Aku nggak akan dipecat, kok. Aku akan pergi besok pagi. Kamu tenang sekarang?"

Aku menarik napas diam-diam. Jika Hans setenang itu, berarti aku juga harus bersikap sepertinya, kan?

"Kamu lapar, Hans?"

Laki-laki itu menggeleng. Lagipula masih terlalu pagi untuk melahap sesuatu.

"Kamu mau sarapan apa?" tawarku.

Hans terdiam sejenak. Bola matanya bergulir dengan tenang. Telaga beningnya yang serupa langit biru menatapku sejurus kemudian.

"Bagaimana kalau kita kemping hari ini?" usulnya sesaat kemudian. Binar matanya menggambarkan rasa antusias yang teramat sangat.

"Kemping?" Aku hampir menjerit mendengar ide gilanya. Meski kemping terdengar menarik dan kami punya tenda, tapi perlu banyak waktu untuk melakukan persiapan. Dan aku benci dengan segala persiapan yang ribet.

"Yes." Hans mengangguk dengan girang.

"Aku nggak mau," tolakku mentah-mentah.

"Kita nggak akan kemping di gunung, Re. Kita kemping di belakang rumah aja. Bagaimana menurutmu?"

Astaga!

Aku menatap wajah Hans yang dihias senyum semringah dengan keheranan. Sungguh, Hans terlihat aneh hari ini. Ia bahkan menunda penerbangannya hanya untuk mengajakku kemping di belakang rumah. Idenya benar-benar gila, tapi terdengar sangat menarik.

"Okay." Aku setuju.

•••

Cuaca cerah, langit biru dengan gumpalan awan putih serupa kapas yang mengambang di angkasa, angin yang berhembus sejuk, dan Hans. Kemping kami di belakang rumah hari ini terasa lengkap sudah meski tanpa pemandangan gunung di belakang tenda yang dibangun Hans.

"I love you."

Hans meracau. Laki-laki itu meletakkan kepalanya di atas pangkuanku usai menandaskan makan siang kami, hasil masakanku. Kami sengaja menggelar selembar tikar dan membiarkan tenda yang ia bangun dengan susah payah terabaikan begitu saja. Ia ingin menikmati warna langit, kata Hans tadi.

"Apa cinta harus selalu diungkapkan?" tanyaku sembari menatap sepasang mata Hans yang sedari tadi tak lepas mengawasiku. Sebelah tanganku membelai kepalanya dengan lembut.

Tapi Hans malah tersenyum.

"Nggak juga," balasnya setelah puas tersenyum. "Tapi sesekali harus diungkapkan, Re. Biar romantis." Ia mengedip jenaka dan aku terpaksa mencubit hidung laki-laki tampan itu. Tanpa diungkapkan pun, ia sudah berhasil membuatku jatuh cinta padanya setiap hari.

Aku terbahak mendengar kata 'romantis' meluncur bebas dari bibir laki-laki yang berhasil menaklukkan hatiku itu. Harus kuakui, Hans adalah tipe laki-laki romantis dan ia kerap membuktikan cintanya lewat banyak hal. Bunga, hadiah, kata-kata manis, dan seabrek hal sepele yang mampu membuatku tersenyum ... semua sudah ia lakukan untukku. Tapi, Hans tidak pernah menyebut kata 'romantis' selama ini. Dan ini membuatku harus meledakkan tawa.

"Apa menurutmu aku sangat lucu hari ini?" Hans memicing ketika melihat tawaku masih juga belum reda.

"Sedikit," balasku setelah berhasil mengusir tawa dari bibirku. "Kamu tahu aku selalu jatuh cinta padamu, kan, Hans?"

"Aku tahu. Tanpa kamu bilang pun aku sudah tahu." Hans menggumam. "Kenapa kita nggak mengabadikan momen ini? Tunggu sebentar, Re!" Laki-laki itu langsung mengangkat kepalanya dari atas pangkuanku lalu berlari ke dalam rumah. Mengabaikan aku yang terbengong-bengong melihat sikapnya.

Tak sampai tiga menit, Hans keluar dari rumah dan tergopoh-gopoh melangkah ke tempat dudukku. Matahari masih bersinar dengan terik kala itu, namun kami beruntung, karena pohon mangga yang tumbuh di belakang rumah kami lumayan rimbun sehingga bisa menjadi peneduh untuk tenda kami.

Aku langsung mengerutkan kening ketika Hans berhasil sampai ke tikar tempat duduk kami. Sebuah kamera digital yang berada di tangan Hans cukup mencuri perhatianku. Ia tadi bilang ingin mengabadikan momen kemping kami, tapi kamera digital itu sudah lama tak kugunakan. Aku sudah beralih ke ponsel pintar jika ingin menjepret sebuah gambar.

"Kenapa nggak pakai ponselku, Hans?" tanyaku sembari mengawasi Hans yang sibuk mengutak-atik kamera digital di tangannya. "Atau ponselmu?"

"Nggak pa pa, Re. Sekali-sekali pakai kamera. Sayang kalau nggak dipakai, kan?"

Aku tak menyahut. Terserah, batinku. Apapun itu, asal bersama Hans aku sudah bahagia.

•••

Suara bel pintu berhasil membuatku terjaga pagi ini. Jam digital di atas nakas menunjuk angka 04.45 saat aku melongok guna mengetahui penanda waktu dan kurasa masih terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah orang lain, kecuali untuk hal-hal mendesak.

Siapa? batinku sembari menyibakkan selimut lalu bergegas turun dari atas tempat tidur karena suara bel pintu terdengar kembali. Meninggalkan Hans yang masih terlelap dan seolah tak terusik oleh suara gaduh apapun. Laki-laki itu harus mengejar pesawatnya beberapa jam lagi dan masih ada waktu untuk tidur.

Mama? Papa?

Mama dan Papa membuatku kaget setengah mati pasalnya sepagi ini mereka sudah berdiri di depan pintu rumahku. Harusnya mereka memberitahu jika akan datang mengunjungi kami. Aku dan Hans dengan senang hati akan menjemput mereka di bandara.

"Kenapa nggak ngasih kabar kalau mau datang?" decakku bahagia. Setelah aku dan Hans menikah, kami pindah ke Jakarta dan baru sekali ini Mama dan Papa datang berkunjung. Jadi, aku sangat senang melihat kehadiran mereka berdua, namun akan lebih baik jika Mama dan Papa memberitahukan kedatangan mereka. Paling tidak, aku bisa menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran mereka. Aku bisa memasak sesuatu atau memesan makanan istimewa untuk mereka berdua.

"Re." Mama meraih tanganku perlahan. "Apa kamu baik-baik saja?"

Aku bergeming. Raut wajah Mama sama sekali tak menunjukkan rona bahagia sepertiku karena pertemuan tak terduga ini. Bahkan aku menangkap sorot iba dalam tatapan matanya padaku. Papa juga.

"Aku baik-baik saja, Ma," tandasku sembari tertawa kecil. Maksudku, aku memang baik-baik saja dan Mama tidak perlu bertanya karena ia sudah melihat keadaanku sekarang. "Kenapa Mama menatapku seperti itu?"

Tak ada jawaban untuk beberapa saat. Mama masih memegang tanganku, namun ia menoleh ke arah Papa. Seperti sedang memberi isyarat yang tak kuketahui pada Papa.

"Yuk, masuk Ma, Pa."

"Re."

Aku urung menarik tangan Mama untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah.

"Apa kamu sudah mendengar berita itu?" tanya Mama dengan suara berat dan tersendat. Tanganku masih tertahan olehnya.

"Berita apa?" tanyaku bingung. Kupikir semuanya baik-baik saja. Aku, Hans, Mama, Papa ... Mereka semua ada di sini. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Apa ada sesuatu yang terjadi di Surabaya, tempat kelahiranku?

Mama malah membungkam bibir. Ia hanya menatapku tanpa berkata apa-apa seolah ingin melimpahkan tanggung jawab pada Papa untuk menjawab pertanyaanku.

"Sebaiknya kita bicara di dalam," tandas Papa memecah keheningan di antara kami.

Aku, Mama, dan Papa berpindah ke sofa ruang tamu. Tas jinjing milik Mama diletakkan begitu saja tak jauh dari pintu.

"Sebenarnya ada apa sih, Pa?" desakku pada Papa dengan tak sabar. Tampaknya Mama enggan untuk menjelaskan semuanya dan aku sangat berharap pada Papa.

Papa menghela napas panjang dan aku melihat sorot matanya memancar penuh kegalauan. Membuatku semakin bertanya-tanya dan tak sabar untuk segera tahu apa sebenarnya yang terjadi.

"Papa dan Mama sengaja ke sini karena sejak kemarin kamu nggak bisa dihubungi ...."

Aku sedikit tercekat mendengar pengakuan Papa. Apa hanya karena ponselku tidak bisa dihubungi lantas mereka memutuskan terbang dari Surabaya hanya untuk memastikan keadaanku? Tapi, setahuku ponselku dalam keadaan aktif, bagaimana mungkin tidak bisa dihubungi?

"Ponselku aktif, Pa. Mungkin sinyalnya sedang nggak bagus. Kenapa nggak coba menghubungi ponsel Hans?"

Papa dan Mama menunjukkan reaksi ganjil ketika aku menyarankan untuk menghubungi ponsel Hans.

"Apa benar Hans naik pesawat kemarin pagi?" Tiba-tiba Mama menyela.

Aku terdiam. Bagaimana Mama bisa tahu kalau Hans harusnya naik pesawat kemarin pagi? Aku tidak pernah memberitahu mereka soal pekerjaan Hans yang mengharuskan ia pergi ke Pangkal Pinang kemarin pagi. Oh, mungkin Hans yang memberitahu mereka.

"Harusnya begitu," sahutku. "Tapi dia pulang lagi. Rencananya hari ini Hans berangkat. Kenapa? Hans cerita pada kalian soal ini?"

Mama dan Papa saling berpandangan, melempar kode yang sama sekali tak ku mengerti.

"Benarkah Hans nggak jadi berangkat kemarin pagi?" Mama bergumam lirih sembari menatapku dalam-dalam.

"Ya," anggukku.

To be continued ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top