AWAKE
"Dia sudah tidur terlalu lama, Dok ...."
Aku bisa mendengar seseorang berkata dengan cemas. Lelaki dewasa, sepertinya, yang tiga hari berlakangan terdengar berisik. Rasanya ingin kukatakan supaya dia diam saja, tapi mulut ini entah mengapa tak sanggup bergerak. Mataku juga enggan membuka, kantuknya terasa keterlaluan.
"Bersabarlah, Pak. Yakin, kalau akan ada keajaiban." Ini suara lelaki yang lain. Terdengar lebih tenang dan hati-hati.
Lalu, terdengar langkah-langkah menjauh, tak lama suara pintu yang berdebum. Kemudian, hening.
Ketika tidak ada suara manusia, yang telingaku dengar adalah suara berdetak. Seperti suara jantung di monitor pembaca yang kulihat di film-film yang Ayah Ibu suka tonton. Film yang bintangnya sedang sekarat.
Ketika Ibu sudah mengusap mata dan ingusnya, Ayah justru memintaku pergi masuk ke kamar. Dia akan bilang; "Belum saatnya anak sepuluh tahun tau tentang kematian." Dia lupa, seminggu lalu kami baru saja mengubur Whitey di halaman belakang. Anak anjing kecilku yang mati tertabrak ban mobil tetangga sebelah.
Suara berdetak yang kudengar saat ini, persis sama dengan suara yang kuingat saat tanpa sengaja menonton film itu.
Sudahlah, abaikan saja. Yang penting lelaki berisik itu sudah pergi sekarang. Ketenangan ini jauh lebih baik dari pada tadi.
*
"Hati-hati, Anna!"
Aku menoleh ketika mendengar suara Ayah di kejauhan. Dia terlihat masih sibuk mendirikan tenda, sementara Ibu sibuk menata meja lipat yang kami bawa dari rumah. Kompor kamping dan peralatan masak dari aluminum dan besi, dijajarkan di atas sana.
"Jangan terlalu jauh, Anna. Sebentar lagi kita akan makan siang." Ibu ikut menimpali.
Aku kembali menatap ke depan, ke aliran sungai yang tadinya mau kudatangi. Tapi godaan makan siang, dan melihat Ibu mulai menjerang air, aku jadi urung melanjutkan langkah. Ditambah suara perut yang mulai berdemo, akhirnya aku berbalik. Sungai akan kukunjungi nanti saja setelah makan.
"Ibu mau masak apa?!" tanyaku berseru, seraya berlarian menghampiri.
"Kentang dan ikan rebus," sahutnya, sambil melempar senyum.
Kesukaanku! Sempurna!
Tidak lama kami sudah duduk di atas kursi-kursi lipat kecil dengan piring-piring plastik berisi kentang dan ikan rebus.
Aku, Ayah, dan Ibu. Keluarga kecil yang kata orang bahagia. Tentu saja aku bahagia. Sebagai anak tunggal, aku tak pernah kekurangan kasih sayang. Semua serba ada, dituruti.
"Makan yang banyak ya ...." Ayah mengelus kepalaku lembut.
Hari ini kami berkemah di sebuah hutan pinus. Tadinya Ayah mau membawa kami jalan-jalan keluar kota, tapi mendadak cutinya menjadi singkat karena tidak diizinkan meninggalkan kantor terlalu lama oleh atasannya. Jadi, dia memutuskan mengajak kami menikmati alam semalam. Aku tidak keberatan, justru senang.
Salah seorang teman sekolahku--Ace--bercerita kalau dia sering sekali berkemah bersama keluarganya. Ketika teman-teman lain menertawakannya, dengan mengatakan kalau Ace diajak berkemah karena keluarganya miskisn, aku malah penasaran bagaimana rasanya tidur beratapkan bintang. Atau mandi di sungai yang katanya airnya bening dan dingin.
Syukurlah, hari ini semua terlaksana. Aku sayang Ayah!
"Kamu mau ke sungai?" Ibu bertanya.
"Aku penasaran mandi di air yang bening dan dingin," sahutku.
"Ayah temani nanti. Makan yang banyak biar kuat." Ayah menimpali, membuatku tersenyum.
Nanti, ketika masuk sekolah lagi, aku bisa berbagi cerita dengan Ace. Siapa tahu, dia mau berbicara denganku setelah beberapa hari ini tidak terlihat batang hidungnya.
Terakhir kali, dia didorong Maura, kakak kelas kami yang ditaksirnya ke selokan depan sekolah. Besoknya, Ace tidak pernah muncul lagi sekolah.
Astaga! Anak sekolah dasar pun, bisa ribut karena urusan cinta. Ck!
Aku menoleh lagi ke arah sungai. Tidak sabar rasanya bermain di sana.
*
Mataku yang mengerjap membuka terasa berat. Terasa dingin, kecuali kehangatan di telapak tangan kananku. Ketika mata ini benar-benar terbuka, aku segera menyadari pegal dan nyeri di sekujur tubuh.
"Argh ...." Aku mengerang pelan, mencoba menggerakkan jemari-jemari di tangan, yang membuat sesuatu mengerat di telapak tangan kananku.
"Rihanna?"
Aku ingat suara ini. Suara lelaki dewasa yang berisik beberapa hari belakangan.
"Rihanna, kamu bangun?"
Mataku yang pandangannya masih buram karena baru saja membuka, bisa melihat bayangan yang bergerak-gerak. Merasakan genggaman di telapak tangan yang mengerat.
"Ya, Tuhan! Kamu bangun, Rihanna!" Suara si berisik semakin berisik.
Tiba-tiba genggaman di tanganku lepas. Suara langkah-langkah yang berisik terdengar menjauh.
Namun yang membuatku tak habis pikir adalah kalimat yang kudengar terakhir sebelum pintu berdebum menutup.
"Dokter! Istriku bangun!"
Bersambung.
Ini ngetes aja, Gaes. Kalau kalian suka, bakal aku lanjut. Hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top