Bab 9

“Enak juga ya, Lan, tempatnya.”

Malam ini, Rolan kedatangan tamu pertama di apartemennya. Atau mungkin yang kedua karena sebelumnya ada Raye yang ia ajak—ah tidak, lebih tepatnya dipaksanya untuk masuk ke dalam apartemennya.

Sosok yang kini tengah duduk di ruang tamu apartemennya dengan segelas wedang jahe yang sengaja dibeli saat dalam perjalanan ke sini adalah ibunya—Jana.

Wanita separuh baya itu sudah bolak-balik menelepon Rolan agar anaknya itu segera meluangkan waktu dan mengizinkannya untuk bertandang ke sini. Tetapi rupanya Rolan terlalu sibuk hingga tak ada waktu yang pas sampai hari ini tiba.

Rolan yang baru selesai mandi—masih dengan handuk yang digunakan untuk mengeringkan rambutnya dan celana bokser tanpa atasan—mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Jana. Tanpa izin, ia mengambil gelas wedang jahe milik ibunya dan langsung menyesapnya sedikit.

“Mama bawain juga buat kamu, tuh,” ujar Jana dengan senyum gelinya saat melihat sang anak yang memang menyukai wedang jahe, seperti dirinya.

Rolan menjauhkan bibirnya dari ujung gelas sebelum berpaling pada Jana. “Pasti masih di dalem plastik, deh.”

Jana mengangguk singkat. “Mau diminum sekarang?”

“Mama yang itu aja, deh. Aku mau minum yang ini aja.” Rolan mengangkat gelas wedang jahenya, menggoyangkannya pelan untuk menunjukkan pada Jana bahwa ia akan menghabiskan milik ibunya daripada membuka yang baru.

“Ish, dasar.” Jana memukul pelan paha Rolan sambil menggeleng takjub. Lantas beranjak dari posisinya, bergerak menuju dapur untuk menaruh wedang jahe yang satunya ke dalam gelas.

“Anaknya Orlan sehat-sehat aja kan, Ma?” tanya Rolan selagi ibunya tengah sibuk di dapur.

Apartemen Rolan yang memang sangat mungil, menjadikan ruang tamu dan dapur tak memiliki pembatas. Jadi, saat ini ia masih bisa mengobrol dengan ibunya secara jelas.

“Sehat,” jawab Jana, sembari menuangkan wedang jahe dari bungkusannya ke dalam gelas. “Kamu kapan mau nengokin keponakan kamu?”

Rolan menyandarkan punggungnya pada sofa. Handuk yang semula berada di kepala, kini sudah berpindah menggantung di seputaran lehernya. “Entar deh, Ma, kalo kerjaan di kampus udah tinggal dikit. Lagi ribet soalnya. Aku juga lagi ngurusin proyek baru bareng Sadam sekarang.”

Jana kembali ke ruang tamu dengan segelas penuh wedang jahe, memosisikan kembali dirinya di sisi Rolan setelah meletakkan gelas tersebut ke atas meja. Badannya pun miring ke arah Rolan, menatap sang anak yang jelas sekali tengah menyimpan luka.

Sekeras apa pun Rolan mencoba memendam dan menyembunyikan lukanya seorang diri, siapa pun bisa melihat itu secara gamblang.

“Kamu baik-baik ya di sini.” Jana tiba-tiba saja mengusap-usap kepala Rolan. Memilih untuk tak lagi melanjutkan topik seputar Orlan yang sebelumnya sempat dibahas.

Rolan menoleh pada Jana. Sebersit senyum simpul hadir dalam wajahnya. Menaruh gelas wedang jahenya bersisian dengan milik Jana di atas meja, Rolan pun mengambil tangan sang ibu yang berada di kepalanya. Dibawanya tangan yang tampak renta itu ke dalam genggamannya.

“Aku bakal baik-baik aja, Ma,” balas Rolan dengan sorot yang dibuat semeyakinkan mungkin.

Jana mengangguk dengan senyum di antara guratan wajahnya yang mulai menampakkan keriput. Mencoba memercayai Rolan bahwa anaknya yang satu ini memang akan baik-baik saja setelah apa yang dilaluinya beberapa tahun belakangan.

•••

Lima belas menit yang lalu, Jana baru saja berpamitan padanya. Kini Rolan kembali sendirian, di apartemennya yang berhasil memberi sedikit ketenangan pada dirinya.

Tinggal seorang diri adalah keputusan yang paling tepat yang pernah diambilnya. Ia tak perlu lagi bersusah payah menyembunyikan lukanya di hadapan orang lain, terutama di depan keluarganya sendiri

Rolan bisa dengan bebas mengekspresikan apa yang dirasakannya. Bila ingin menangis, maka ia tidak perlu segan membiarkan air matanya merebak keluar. Tak perlu lagi menahan gejolak emosinya yang membludak.

Sendirian memang senyaman ini.

Saat hendak meletakkan handuknya kembali ke kamar mandi, bel apartemennya berbunyi. Tak ada satu orang pun yang melintas di dalam kepalanya selain sosok sang ibu. Barangkali ada yang tertinggal hingga ibunya harus kembali ke sini.

Tanpa memikirkan bagaimana penampilannya saat ini, Rolan segera membuka pintu apartemennya. Namun, bukan sang ibu yang ia temukan di sana, melainkan Raye.

“IH, BAPAK!”

Teriakan nyaring itu adalah hal pertama yang mampir di telinga Rolan. Ia juga melihat jika Raye langsung menutup kedua matanya setelah berhadapan dengannya. Lalu, setelah beberapa detik hanya dihabiskan untuk memahami situasi yang sedang terjadi, Rolan pun tersadar dan buru-buru menutup pintu apartemennya kembali.

“Ka-kamu tunggu di situ dulu,” ucap Rolan dari dalam, sedikit tergagap karena keadaan yang sangat canggung ini.

Rolan memukul kepalanya sendiri. Merasa bodoh karena otaknya bekerja telalu lambat dalam kondisi seperti ini. Entah apa yang ada di dalam pikiran Raye saat melihat tubuhnya setengah telanjang. Yang jelas, Rolan merasa begitu malu.

Setelah berpakaian lengkap dan merapikan rambutnya yang berantakan, Rolan kembali berdiri di depan pintu. Satu tangannya sudah berada di kenop, tetapi belum ada pergerakan darinya. Rolan terlebih dahulu menenangkan jantungnya yang berdegup kencang di dalam sana.

Setelah mengambil napas sebanyak tiga kali, Rolan menarik kenop dalam sekali sentakan dan pintu pun terbuka. Sosok Raye kembali muncul dalam pandangannya, tampak sama canggungnya dengan dirinya.

“Hai, Pak!” sapa Raye sambil cengengesan tak jelas, seolah menutupi rasa groginya.

Rolan berdeham sejenak seraya melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia juga menormalkan raut wajahnya, menunjukkan wibawanya pada Raye seperti yang ia lakukan selama ini.

“Ada apa?” tanya Rolan kemudian. Bersyukur di dalam hati karena dirinya masih mau diajak bekerja sama walaupun jantungnya belum bisa bekerja dengan santai sama sekali. Detaknya masih tak bisa dikontrol.

Raye menggaruk belakang kepalanya, terlihat salah tingkah. Senyum yang muncul dalam bibirnya pun kelihatan aneh. Seperti dipaksa untuk hadir.

“Ah, iya, sebaiknya kamu masuk aja dulu.” Rolan menggeser sedikit tubuhnya ke samping, mempersilakan Raye untuk masuk ke dalam.

“Eh, nggak usah, Pak. Saya cuma sebentar, kok.”

Rolan menaikkan sebelah alisnya, tetapi kemudian mengangguk dan membiarkan Raye memilih untuk tetap berada di luar.

“Anu, Pak,” Raye tampak kebingungan sendiri saat hendak merangkai kata. Sementara Rolan menunggu dengan sabar. “saya cuma mau ngasih sesuatu ke Bapak.” Di akhir kalimat, Raye mengangkat paper bag yang wujudnya tak disadari Rolan sejak kemunculannya di sini.

“Apa itu?”

Raye menyerahkan paper bag tersebut pada Rolan sembari menjelaskan maksudnya. “Anggap aja itu sebagai permohonan maaf saya, Pak. Saya minta maaf banget karena kelakuan kurang ajar saya sejak bertemu Bapak untuk yang pertama kalinya.”

Paper bag tersebut sudah berpindah tangan ke Rolan. Ia sangat penasaran dengan isinya dan hendak mencaritahunya langsung di hadapan Raye, tetapi gadis itu menghentikan aksinya hingga membuat pandangan Rolan berpaling padanya.

“Liatnya di dalem aja, Pak,” usul Raye.

Rolan mengangguk, mengurungkan niatnya dan memfokuskan kembali tatapannya pada Raye.

“Ya, udah itu aja, Pak. Saya izin pamit, ya?”

“Cuma ini?”

Raye hanya menjawab pertanyaan Rolan dengan sebuah anggukkan. Ia menggigit bibir bawahnya. Kakinya pun bergerak-gerak kecil di bawah sana untuk menutupi kegugupannya.

“Ya, udah sana pulang,” ucap Rolan, yang disambut dengan senyum sekilas oleh Raye. “Naik apa? Mau saya anter?”

Raye langsung menggelengkan kepalanya. “Saya bawa motor kok, Pak.”

Okay, hati-hati kalo gitu.”

Dan setelahnya, Raye segera pergi dari hadapan Rolan. Langkahnya sengaja dibuat lebar agar ia bisa segera tiba di lift dan tak perlu berhadapan lebih lama lagi dengan Rolan.

•••

Kalo jadi Raye, respons kalian gimana pas liat dosen sendiri setengah telanjang? Kayaknya pengen ditelen bumi aja kali ya :")

Yok tetep semangat yok spam komennya😘

Ketemu besok lagi yaaa. Aku mau kencan sama tugas dulu🤭

26 November, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top