Bab 4

Rolan mendesah panjang saat melihat barang-barangnya menumpuk di tengah- tengah ruangan. Tampak sangat berantakan. Entah ia mampu membereskan semuanya seorang diri dalam waktu sehari atau tidak.

Hari ini, Rolan baru saja pindah ke apartemen. Memiliki hunian sendiri memang sudah ada di dalam daftar keinginannya sejak sekitar satu tahun yang lalu. Selain untuk menghapus beberapa kenangan yang masih meninggalkan luka baginya, ia juga ingin terbebas dari tatapan rasa bersalah yang selalu keluarganya perlihatkan padanya.

Satu tahun yang lalu, hidup Rolan seperti dijungkirbalikkan. Ada banyak pengkhianatan dan kebohongan yang harus ia terima. Meski sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik, masih tetap sulit baginya untuk tidak lagi mengingat apa yang terpaksa harus ia jalani sampai detik ini.

Luka yang tergores di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ditambah lagi ia harus memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja di depan banyak orang. Nyatanya, Rolan tidak sebaik yang terlihat selama ini.

Rolan menggulung kedua lengan kemejanya sampai ke siku. Ia lantas berjalan menghampiri barang-barangnya yang dibawa dari rumah, yang disusun di dalam beberapa kotak kardus. Menelitinya satu per satu dan memastikan jika tak ada yang tertinggal. Akan sangat repot bila ia harus kembali ke rumah.

Setelah memastikan semuanya lengkap, Rolan bergegas meninggalkan apartemennya sejenak hanya untuk membeli beberapa perlatan seperti paku dan yang lainnya untuk mendekorasi tempat tinggal barunya.

Rasanya sungguh beruntung karena ia berhasil mendapatkan apartemen yang terletak di pusat kota. Sangat strategis dan apa pun yang dibutuhkannya, akan dengan mudah didapat. Oleh karenanya, Rolan tidak butuh waktu lebih dari satu jam untuk membeli peralatan yang dibutuhkannya saat ini.

Rolan kini tengah menunggu lift di lobi apartemen dengan beberapa plastik berisi barang belanjaannya. Suasana di apartemen ini pun cukup sepi hingga tanpa sadar ia bersiul-siul kecil untuk sekadar membunuh waktu.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Hanya ada satu orang di dalam sana. Satu orang yang berhasil membuat Rolan terkejut bukan main saat berpapasan dengannya.

"Kamu?" Dengan satu tangannya yang bebas, Rolan menunjuk sosok perempuan yang berada di dalam lift dengan mata yang membelalak lebar.

"Siang, Pak," jawab sosok tersebut sambil cengengesan.

Ketika Rolan hendak kembali berbicara, pintu lift hampir menutup. Buru-buru ia menahannya dengan satu kakinya. Mengesampingkan terlebih dahulu rasa penasarannya, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam lift dan bergabung bersama sosok tersebut.

"Sampai ketemu lagi, Pak."

Namun, sosok perempuan tersebut malah berpamitan padanya dan nyaris keluar dari dalam lift kalau saja Rolan tak cepat-cepat menahan kepergiannya dengan cara menarik lengannya.

"Siapa yang nyuruh kamu keluar?" Secara paksa Rolan membuat gadis itu tetap berada di dalam lift bersamanya.

"Saya mau pulang, Pak." Gadis itu berucap dengan tatapan memelas bersamaan dengan pintu lift yang tertutup.

Sosok perempuan yang tanpa sengaja ditemui Rolan saat ini adalah Raye. Seorang gadis yang belakangan ini cukup mengusik pikirannya karena tingkahnya yang benar-benar di luar dugaan.

Entah kesalahan apa lagi yang Rolan perbuat sampai-sampai Tuhan tega mempertemukannya dengan gadis aneh seperti Raye. Rolan tak habis pikir jika selama enam bulan ke depan, ia akan berhadapan dengan gadis yang satu ini.

"Kamu nggak tinggal di sini, kan?" Seraya menarik tangannya dari lengan Raye, Rolan menekan tombol lift untuk membawanya ke lantai di mana unitnya berada.

"Saya barusan bilang kalo saya mau pulang lho, Pak."

"Syukurlah." Rolan mengusap-usap dadanya sambil mengembuskan napas lega.

Apartemennya akan jadi sangat horor jika Raye juga tinggal di sini. Setidaknya, Rolan harus menghindari bertemu dengan Raye di luar kampus. Gadis yang satu ini sangat aneh baginya. Saat pertama kali memergokinya mengambil fotonya diam-diam, ia menyadari jika Raye adalah orang yang tidak waras dan patut dijauhi.

"Jadi, saya boleh pulang kan, Pak?" Raye bolak-balik memainkan jemarinya, tampak tak nyaman hanya berdua bersama Rolan di dalam lift.

Selintas pikiran jahat tiba-tiba muncul dalam benak Rolan. Pikiran yang berniat untuk memanfaatkan keberadaan Raye. Walaupun sebelumnya Rolan sempat berdoa supaya ia tidak lagi dipertemukan dengan Raye di luar kampus, sepertinya hal itu tak berlaku untuk hari ini.

Ya, hanya untuk hari ini saja.

"Kamu nggak ada kegiatan lain lagi setelah ini, kan?" tanya Rolan kemudian, mengabaikan apa yang jadi pertanyaan Raye sebelumnya.

Dahi Raye membentuk kerutan, menampilkan kebingungan dalam wajahnya. "Nggak ada sih, Pak," jawabnya apa adanya karena masih didera kegamangan.

"Bagus," sahut Rolan dengan senyum culas dalam bibirnya. Tepat pada saat itu pula lift berhenti dan pintu pun terbuka. "Ayo, ikut saya," ajaknya kemudian.

"Ke mana, Pak?" Dalam kondisi yang sepenuhnya bingung, Raye tak bisa melakukan apa pun selain membuntuti langkah Rolan.

"Saya mau minta pertanggungjawaban kamu," ucap Rolan tanpa menoleh ke belakang dan tetap berjalan di depan Raye.

"Hah? Tanggung jawab atas apa, Pak?"

"Coba inget-inget dulu apa kesalahan kamu ke saya."

Mendengar hal itu, Raye sudah tak lagi bersuara. Ia hanya bisa memasrahkan diri. Terus berjalan dengan bahu meluruh dan bibir yang melengkung ke bawah, mengikuti Rolan tanpa tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini.

"Ayo, masuk."

Raye mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Sekelebat kebingungan kembali muncul dalam rautnya. Kali ini, ia tak langsung menuruti perintah Rolan. Raye masih berdiam di depan pintu unit apartemen Rolan yang terbuka.

"Masuk, Raye," ajak Rolan sekali lagi setelah melepas sandalnya.

"Pak, maaf nih sebelumnya." Raye mencoba menuturkan isi pikirannya kepada Rolan dengan cara yang paling sopan dan penuh kehati-hatian. "Kalau saya boleh tahu, Bapak ngajak saya masuk ke apartemen Bapak dalam rangka apa ya?"

Terjadi keheningan selama sekian detik sebelum akhirnya Rolan memahami ke mana arah pertanyaan Raye. Dan ia pun berdecak sembari menjentik kening Raye tanpa segan.

"Aduh!" ringis Raye seraya mengusap bekas sentilan Rolan di dahinya.

"Saya nggak heran kenapa waktu itu kamu ngambil foto saya diam-diam. Pikiran kamu aja sekotor ini."

Raye mencebik kesal. Sudah tak peduli lagi jika saat ini ia tengah berhadapan dengan dosennya sendiri. Lagipula, wajar saja jika ia berpikiran yang tidak-tidak, bukan? Seantero kampus juga tahu jika Rolan adalah pria lajang. Jadi, Raye pun sudah bisa memastikan jika pria itu tinggal sendirian.

"Saya ngajak kamu ke sini karena saya butuh bantuan kamu untuk beres-beres apartemen saya. Saya baru pindah hari ini. Jadi, hapus pikiran kotor kamu itu," jelas Rolan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lalu, Rolan kembali menyuruhnya masuk dan untuk kali ini Raye langsung menurutinya. Namun, begitu Rolan menutup pintu apartemennya, Raye langsung dipenuhi penyesalan.

•••

Hayooo.. Raye nyesel karena apa, tuh?😝

Btw, belakangan ini aku jarang banget buka wattpad, guys. Jadi, maaf banget ya kalo belom bisa balesin komen kalian, tapi aku tetep baca kok lewat email. Tapi tetep kudu sering-sering komen yak. Bikin tambah semangat soalnya😘

Kalo kalian mau ngobrol sama aku, tentang apa pun itu, boleh banget kok DM aku di instagram. Atau chat aku aja lewat telegram. Username-nya: rorapo. Aku lebih sering aktif di dua sosmed itu soalnya.

Okay, sampe ketemu besok kalo bab ini rame😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top