Bab 12
“Saya kangen kamu, Raye.”
Raye seratus persen yakin jika telinganya memang tidak salah dengar. Berulang kali otaknya mencoba mencerna ucapan Rolan barusan, hanya ada satu kesimpulan yang ia dapat: kalimat itu memang ditujukan untuknya. Tak seperti sebelumnya, ketika Raye berlagak percaya diri.
Tetapi apa yang mendasari Rolan sampai bisa merindukannya? Terlebih lagi, setelah apa yang Raye lakukan pada Rolan selama ini, apa itu mungkin?
Yang selama ini tertanam di pikiran Raye adalah Rolan yang membencinya, yang nantinya akan berkemungkinan membuat dirinya tidak lulus di mata kuliah yang diampu pria itu atau paling tidak Raye akan mendapatkan nilai C di akhir semester nanti.
Hal itu pula yang membuat Raye rela begadang selama beberapa hari ini untuk menyelesaikan lukisan yang akan diberikannya kepada Rolan sebagai permohonan maaf. Walau pada awalnya Raye tak yakin hadiahnya akan membuat pria itu bersedia melupakan segala sikap kurang ajarnya.
Lalu, bagaimana mungkin pria itu malah merindukan Raye yang bolak-balik mencari masalah dengannya?
“Pak, sa—”
“Akhirnya datang juga.” Rolan memotong perkataan Raye begitu saja ketika melihat seorang pelayan membawa pesanan mereka. Seperti sengaja membiarkan Raye tak menyelesaikan kalimatnya.
Raye mengatupkan kembali mulutnya yang sempat terbuka, lalu menggembungkan pipinya sebelum mengembuskan napas panjang.
“Kamu beneran nggak mau makan? Restoran ini terkenal banget sama sajian seafood-nya,” ucap Rolan, membagi fokusnya antara Raye dan hidangan menggiurkan di hadapannya.
Raye menggeleng seraya menarik gelas jus alpukatnya mendekat. Pertanyaan yang tadinya berkecamuk dalam benaknya, kini semakin bertambah banyak karena tiba-tiba saja Rolan seakan tak ingin membahas pengakuannya sebelumnya.
Jadi, Raye mengambil kesimpulan lain kalau Rolan pada dasarnya hanya salah ucap. Ya, pria itu tidak merindukannya seperti apa yang didengarnya tadi.
“Kamu nggak suka seafood ya?” tanya Rolan setelah terjadi hening selama satu atau dua menit.
Raye hanya mengangkat sedikit kepalanya, masih setia duduk sambil bertopang dagu. Satu tangannya terlihat memainkan sedotan pada gelas alpukatnya, memutar searah jarum jam dengan irama lambat.
“Suka, Pak.”
Makanan favorit Raye adalah seafood. Ia sangat tergila-gila dengan hewan laut dan seisinya. Tetapi sayang, perut Raye sudah terlalu kenyang. Ia bahkan bisa merasakan jika perutnya sedikit membuncit saat ini akibat terlalu kalap menyantap makanan hasil dari memalak Anggita.
“Cobain, deh. Ini menu favorit saya,” ucap Rolan seraya menyodorkan daging kepiting yang baru dilepas dari cangkangnya kepada Raye.
Raye mengerjap. Ditegakkannya posisi duduknya dengan pandangan yang masih lurus ke arah Rolan. Tangannya pun sudah berhenti memutar-mutar sedotan jus alpukatnya.
“Ayo buka mulut kamu. Aaaa.” Rolan membujuk Raye, melakukan hal konyol yang membuat Raye membisu seketika. Speechless.
Dengan kerutan di dahi serta otak yang masih memproses apa yang sedang terjadi, Raye membuka mulutnya dengan berat hati dan menerima satu suapan daging kepiting langsung dari tangan Rolan. Ya, pria itu makan menggunakan tangan, mengabaikan sendok dan garpu yang sudah disediakan pihak restoran.
“Gimana? Enak, kan?” Rolan menunggu jawaban Raye dengan senyum dan binar di kedua matanya.
Raye bisa merasakan daging kepiting itu seperti lumer di dalam mulutnya. Ia bahkan tidak perlu repot-repot mengunyah terlalu lama. Tetapi bukan itu yang sedang hinggap di kepalanya saat ini, melainkan sikap Rolan yang lagi-lagi membuat Raye kehilangan kata-kata.
Raye mengerjapkan matanya sebanyak dua kali sebelum menelan daging kepiting tersebut dengan susah payah. Matanya tak lepas dari Rolan yang masih terus memandanginya.
Dipandang seintens dan sedekat itu oleh Rolan tentu saja membuat Raye jadi salah tingkah. Setelah berdeham pelan, Raye pun langsung mengambil sehelai tisu dan mengusapkannya di sekitaran mulutnya hanya untuk menutupi kegugupannya.
“E-enak, Pak,” jawab Raye, yang kemudian memaki di dalam hati karena ucapannya terdengar gelagapan.
Senyum Rolan mengembang semakin lebar. “Yakin nggak mau ikut makan?”
“I-iya, Pak. Saya beneran udah kenyang, kok.” Lagi, Raye masih belum bisa mengontrol rasa gugupnya. Kalimatnya sekali lagi terdengar terbata-bata.
“Hmm ... okay.”
Dan selesai sudah penawaran Rolan untuk mengajak Raye bersama-sama menyantap hidangan yang dipesannya. Setelahnya, Rolan kembali mengerahkan fokusnya pada sajian di depannya, tak lagi melirik Raye yang masih diselimuti kegugupan.
Sementara Raye langsung menyedot jus alpukatnya tanpa henti. Matanya berkeliling ke sana kemari, asal tidak berlabuh pada Rolan. Ia hanya ingin menyingkirkan kegelisahannya dan kembali bersikap setenang sebelumnya.
Kalau terus-terusan bertingkah aneh seperti ini, maka Rolan akan dengan mudah menyadari sikap salah tingkahnya. Itu sungguh memalukan. Kentara sekali jika tindakan Rolan sebelumnya cukup memengaruhinya.
Tanpa sadar, Raye sudah menandaskan segelas penuh jus alpukat miliknya. Tiba-tiba saja Raye menyesal kenapa memesan jus alpukat yang bisa membuat perutnya bertambah kenyang. Dan kenapa pula ia langsung menghabiskannya tanpa jeda?
Efeknya baru terasa sekarang. Perut Raye seperti hendak meledak.
Raye menyandarkan punggungnya pada kursi. Dahinya mengerut saat ringisan kecil keluar dari mulutnya. Satu tangannya pun kini sudah ditugaskan untuk mengusap perutnya sejenak. Pada saat itu pula tatapannya kembali pada Rolan. Pria itu masih sibuk dengan makanannya.
Sejak penolakan terakhir Raye, memang tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Raye membuang perhatiannya dari Rolan. Begitu pula dengan pria itu. Mereka sama-sama diam. Hanya ditemani suara musik klasik yang mengalun di seantero restoran.
Sampai detik ini, belum ada obrolan apa pun soal perkuliahan yang sebelumnya diutarakan Rolan lewat panggilan suara. Mungkin Raye memang harus menunggu sampai Rolan selesai menghabiskan seluruh hidangannya.
Namun, pertanyaan itu tetap tak hilang dari benaknya. Pertanyaan tentang kenapa Rolan ingin membahas soal perkuliahan di malam hari seperti ini. Apa seurgen itu? Lalu, kalau memang iya, kenapa Rolan masih terlihat begitu santai saat ini? Seolah tak ada urusan yang mendesak.
“Saya cuci tangan sebentar.”
Raye langsung menegakkan posisi duduknya saat melihat Rolan bangkit dari kursinya dan pamit sejenak kepadanya.
“Iya, Pak.”
Kedua mata Raye mengikuti langkah Rolan sampai akhirnya pria itu menghilang dari balik tembok. Arah pandangnya berpaling ke depan, melihat makanan yang telah habis tak bersisa.
“Banyak juga makannya,” gumam Raye, yang sedikit bingung bagaimana bisa Rolan memiliki tubuh sebagus itu. Otot-ototnya tampak liat dan tegap. Terutama di bagian perutnya.
Seketika Raye menggeleng-gelengkan kepalanya. Otaknya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya masih belum beres.
Tak lebih dari lima menit, Rolan sudah kembali, tetapi langsung sibuk dengan ponselnya. Sekitar dua menit kemudian, barulah Rolan beralih pada Raye yang sejak tadi tak henti menunggu pria itu membicarakan perihal perkuliahan.
“Jadi gimana, Pak?” Raye berinisiatif terlebih dahulu agar ia tak perlu menunggu lebih lama lagi. Perut Raye terasa sakit saat ini. Ia sudah tak sabar untuk rebahan di atas kasurnya yang empuk.
Rolan menaikkan sebelah alisnya. “Apanya?”
“Itu ... Bapak, kan, ngajakin saya ketemuan karena mau bahas soal kuliah.”
“Oh, itu.” Rolan membetulkan posisi duduknya. “Saya cuma mau memastikan kalo kamu udah nanya ke temen-temen kamu soal teknis pengumpulan tugas yang saya kasih kemaren. Kamu udah tahu, kan?”
Di detik pertama, Raye hanya bisa mengerjap sebanyak dua kali bersamaan dengan kedua belah bibirnya yang saling merenggang hingga mulutnya membentuk huruf O. Di detik selanjutnya, Raye mulai mengangkat satu tangannya untuk menutupi mulutnya yang menganga lebar. Setelahnya, barulah Raye menggeleng-gelengkan kepalanya penuh ketakjuban.
Jadi, urgensi yang dimaksud Rolan hanya tentang masalah sepele itu? Pria itu bahkan bisa menanyakannya lewat chat atau telepon. Tidak sampai harus bertemu seperti ini.
Ya, Tuhan! Raye rasanya ingin tenggelam ke dasar laut saja saat ini.
“Ayo, pulang. Udah jam sepuluh lewat,” ajak Rolan setelah melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
Raye masih terdiam di kursinya bahkan setelah Rolan melangkah melewatinya. Pandangannya masih kosong ke depan, merasa begitu nelangsa karena ajakan Rolan yang sangat tidak penting sama sekali.
“Raye, kamu mau tetap di sini?” Rolan yang menyadari jika Raye belum juga beranjak dari posisinya, melangkah mundur untuk menegur gadis itu.
“Kayaknya saya pengen tetep di sini aja deh, Pak,” jawab Raye ngelantur, tanpa menoleh ke arah Rolan sedikit pun.
“Ck! Ayo,” ajak Rolan sekali lagi, yang kali ini sambil menarik lengan Raye dan membawanya untuk segera pergi dari sini.
•••
Thank you so much untuk antusias kalian di cerita ini. Aku seneng banget. Lop you so muach pokoknya, guys😘😍
28 November, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top