8

Sebastian meletakkan beberapa makanan untuk sarapan diatas meja. Wangi harum menyeruak hingga ke kamar tidur, membuat seseorang yang masih terlelap harus terbangun karena nya. (Name) menggeliat merenggangkan otot otot yang kaku kemudian beranjak menuruni kasurnya. Sebelum mencapai dapur ia berbelok ke kamar mandi demi membasuh wajah.

"Selamat pagi (name) apa aku membangunkan mu?"

(Name) yang masih setengah sadar hanya mengangguk seadanya. Ia memilih duduk di kursi makan. Menatap hidangan lezat itu tanpa ekspresi. Tak berselang lama ia pun menguap kecil.

"Jam berapa sekarang?"

"Enam pagi." Sebastian menjawab cepat.

"Pantas aku masih mengantuk."

"Lalu mengapa kau terbangun?"

"Karena aku mencium aroma lezat didalam mimpi ku." Lanturnya yang membuat Sebastian terkekeh pelan.

Pelayan Phanthomhive itu menuangkan isi teh pada cangkir dihadapan (name). Menyiapkan makanan untuknya.

"Dari mana kau mendapatkan ini semua?"

"Aku membawanya."

"Begitu. Termasuk teh bõcchan?"

"Bõcchan tak lagi meminumnya jadi sayang kalau dibuang."

(Name) menatap pantulan dirinya dari dalam cangkir, "begitu." Ucapnya sebelum akhirnya memilih menyeruput teh.

Sebastian mulai menyantap sarapan nya. Walaupun hanya roti isi daging dan keju serta beberapa sayuran, menurut (name) sarapan seperti ini sudah lebih dari cukup.

"Semalam aku berkeliling di area sini. Mencari dimana markas mereka."

"Kau menemukan nya?" (Name) menggigit rotinya.

"Markasnya memang belum tapi perkumpulan nya sudah. Mereka suka berkumpul di gang gang kecil pada tengah malam."

"Lalu apa rencana mu?"

Sebastian tersenyum mencurigakan, "kau berperan sebagai penjual pie dijalan sementara aku akan menjadi penghibur jalanan. Sebisa mungkin kita tarik perhatian salah satu diantara mereka."

(Name) menenggak isi cangkir nya, "kemudian menculik salah satunya dalam keadaan hidup? Mudah sekali ditebak rencana mu tuan pelayan."

"Mudah? Apa kau membayangkan bagaimana sulitnya menangkap mereka? Gesit dan bersenjata begitulah julukan mereka. Jika tidak memiliki ilmu bela diri dan senjata sebaiknya menyerah saja."

(Name) menatap kesal pria dihadapan nya. "Jika kita tertangkap?"

Sebastian terdiam sejenak sebelum menyeruput isi cangkirnya. "Aku tidak yakin kita bisa saling bertemu lagi atau tidak."

Kicau burung mulai terdengar. Sinar sang fajar perlahan terlihat. Masuk melalui celah celah jendela, menghangatkan ruangan yang dingin. Derap kaki dan suara ramai khas jalanan London sayup sayup mulai terdengar. Orang-orang sudah keluar dari kediaman nya. Beradu nasib demi secercah upah.

Sebastian dan (name) hanya saling terdiam, menikmati sarapan mereka masing-masing.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

"Mengunjungi bõcchan. Aku akan kemari saat fajar mulai terbenam."

"Begitu. Baiklah aku akan menunggu. Jika ada tetangga yang berkunjung dan menanyai mu? Apa yang harus ku katakan?"

Bukan nya menjawab, Sebastian justru berdiri dan beranjak. Meletakkan piring kotor pada tempatnya.

"Katakan saja, suami ku sedang bekerja. Akan pulang nanti saat matahari terbenam." Jawabnya dengan memasang senyum menyeringai.

Wajah (name) memanas. Ia salah tingkah. Di gigitnya siaa roti dalam gigitan besar demi menghilangkan gugup. Ia mengalihkan pandangan kearah lain.

"Bodoh." Gerutunya dengan keadaan mulut yang masih penuh.

Sebastian terkekeh pelan, "bilang saja seperti itu ya, istri ku."

Rona merah menjalar hingga ke telinga. Ia meremas sisa roti hingga hancur dan meletakkan nya diatas piring kemudian beranjak pergi.

"Aku mau mandi! Terimakasih atas sarapan nya."

"Oya, bukankah sepasang suami istri harus mandi bersama?"

Sebuah bantal terlontar kearahnya, dengan gesit Sebastian menghindar.

"Menikah saja tidak dasar mesum!" Teriak (name) dari dalam kamar.

《◇●◇●◇●◇●》

Senyum itu mengembang diwajah imut seorang anak kecil. Walau tubuhnya penuh luka dan terbilang kotor, hanya bermodalkan senyuman ia terlihat seperti anak anak yang sedang bahagia pada umumnya.

Tangan kecil di genggam nya dengan lembut, berusaha memberikan kekuatan.

"Kakak, kakak harus kuat juga. Kita harus bebas bersama." Ucap salah satu dari mereka disertai anggukan kepala oleh kembaran nya.

"Kalian kuat kakak juga harus kuat."

Anak yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan kali ini ikut berbicara. Ia merangkak mendekat, ikut menggenggam tangan. Perlahan senyum nya mengembang.

"Kakak harus sehat."

"Kau juga harus sehat. Kalian...kalian harus selamat." Ia melepaskan genggaman, mencoba merengkuh kedua tubuh kecil tersebut.

"Tenang saja. Aku pasti akan menyelamatkan kalian."

****

Sebuah teriakan nyaring membuatnya terbangun. Ia melihat beberapa orang yang tengah berkumpul dari balik jeruji besi. Kepalanya menoleh menatap jeruji yang berada di sebelahnya. Disana terlihat seorang anak laki-laki tengah menjulurkan tangan nya seperti hendak meraih sesuatu.

"Lepaskan dia! Jangan sakiti dia!" Ia ikut meneriaki.

Jika indra pendengaran sudah di tulikan, tak akan pernah ada lagi suara yang terdengar. Sekeras apapun mencoba hanya akan menjadi angin lalu bagi mereka.

Di tengah perkumpulan orang-orang dewasa itu dapat ia lihat seorang anak yang ia yakini kembaran dari anak di sebelahnya. Gadis muda itu gelisah, ia mencoba mencari sesuatu untuk bisa menyelamatkan nya. Namun naas, dirinya terlambat.

Darah segar menetes deras di marmer putih. Kedua kaki yang bergerak memberontak perlahan terdiam. Keadaan sunyi itu pecah akibat teriakan dari si kembaran. Gadis muda mencoba melempari mereka dengan beberapa sisa roti keras walau tak membuahkan hasil apapun.

"Diam!" Bentak mereka seraya menendang jeruji besi nya.

Keadaan kembali hening. Gadis muda hanya dapat terdiam menatap seonggok mayat dihadapan nya dalam keadaan tubuh bergetar takut.

"Jahat." Gumam nya.

"Akan ku bunuh kalian! Apa nya yang suci? Apa nya yang penyembah tuhan? Kalian membunuh anak tak berdosa! Begitukah ajaran kalian?!"

Bug!

"Diam! Jalang seperti mu tak pantas berbicara!"

Tubuh gadis muda terkapar lemah setelah sebuah tendangan keras mengenai perutnya dengan mutlak. Ia berusaha menoleh menatap jeruji besi di sebelahnya. Tangan nya mencoba meraih seraya memanggil namanya. Akan tetapi gelap telah menguasai, membuatnya tak lagi bisa melihat apapun.

***

Teriakan berisik yang saling bersahutan membuatnya tersadar. Ia mencoba mendudukkan diri dengan punggung yang tersandar pada dingin nya jeruji besi. Kesadaran nya kembali penuh ketika sebuah tangan hitam dengan kuku panjang masuk melalui celah celah besinya. Seperti hendak mencekiknya.

"Jangan bunuh dia. Biarkan dia sehat dan hidup." Cegah sebuah suara yang cukup familiar.

Tangan hitam itu beralih mengelus pipinya, mencoba menghapus air mata yang keluar. Dihadapan gadis muda terdapat seorang pria dengan pakaian serba hitam yang terlihat formal. Kedua matanya merah menyala. Tak lama pria itu perlahan menjauh, meremukkan besi jeruji nya hingga hancur.

Gadis muda terbelalak melihat keadaan disekitarnya saat ini. Beberapa mayat yang tak lagi utuh dan darah yang menggenang menjadi pemandangan paling buruk yang pernah ia lihat. Ia beralih menatap anak laki-laki yang kini menatapnya datar. Ia tak berani mendekat.

"Apa kau yang melakukan semua ini?" Tanya nya.

Gadis muda menyadari perubahan pada salah satu mata anak laki-laki itu. Ia tersadar bahwa anak itu telah mengucapkan kalimat terlarang. Pria serba hitam berjalan mendekati anak laki-laki.

"Hiduplah dengan sehat kakak. Terimakasih telah menguatkan kami. Sekarang kau tak perlu lagi takut pada apapun. Aku akan melindungi mu, tidak...aku akan menghancurkan orang-orang yang telah merendahkan kita."

《♡●●♡●●♡●●》

Kedua mata terbuka dengan cepat. Nafasnya tersenggel, peluh sebesar biji jagung mengalir membasahi pelipis. (Name) mencoba mengatur nafas. Kepalanya menoleh ke seluruh ruangan.

"Mimpi?"

Ia menatap kearah jendela. Langit masih siang dan jalanan London masih ramai.

Kepalanya berdenyut sakit. Ia mencoba menuruni kasur hendak membasahi kerongkongan.

"Aku tertidur di siang hari?" Ucapnya bermonolog ria.

Setelah menenggak air putih ia mendudukkan diri di kursi makan. Mencoba tenang. Kepalanya di pijat pelan.

"Mimpi yang menyeramkan."

Tubuhnya masih bergetar pelan. Terbangun dengan cara seperti itu sungguh tidak baik untuk tubuh.

Sebastian tidak ada, pria itu bilang akan pulang saat fajar terbenam. (Name) terdiam sejenak untuk mengisi tenaga, menetralisir nafas. Baru kali ini ia bermimpi seseram itu.

"Bõcchan?"

《♡●●♡●●♡●●》

Ketukan di pintu membuatnya harus menghentikan aktivitasnya.

"Sebentar."

Ia berjalan cepat kearah pintu. Setelah dibuka muncul seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah yang tersenyum pada nya.

"Ara ternyata ini tetangga baru ku. Semalam aku melihat mu pindah dan hendak berkunjung. Maaf hanya ini sebagai ucapan selamat datang ku sebagai tetangga."

Sebuah keranjang rotan dengan kain perca sebagai penutupnya disodorkan pada (name). Ia hendak menolak namun wanita paruh baya itu mendesak untuk menerimanya.

"Terimakasih bibi. Ayo silahkan masuk."

"Ah tidak tidak...ini sudah hampir malam. Suami ku akan khawatir jika pulang tidak ada orang dirumah. Oh iya bukan kah semalam kau pindah bersama orang lain? Apa itu suami mu?"

Gelengan kepala (name) tertahan ketika melihat Sebastian berdiri dari kejauhan. Menatapnya tanpa ekspresi. Pria itu perlahan berjalan mendekat.

"Ah...bu-bukan itu bukan su-"

"Oya, ada tamu di rumah kita? Kenapa tidak membiarkan nya masuk?"

Kedua wanita beda usia itu terkejut bersamaan mendapati Sebastian yang sudah berdiri di dekatnya. (Name) salah tingkah ia tak ingin di curigai.

"Ah ka-kau sudah pulang? Mengejutkan ku."

"Ini suami mu nona?" Tanya si bibi. Ia merapihkan kain di kepala nya.

"Bu-"

"Saya suaminya. Jika berkenan apakah anda ingin mengunjungi kediaman kami yang sederhana ini?" Selak Sebastian cepat. (Name) melemparkan tatapan tajam padanya.

"Ah maaf lain kali saja. Suami saya pasti sudah menunggu. Kapan-kapan berkunjung lah nona. Rumah ku hanya sepuluh langkah."

"Ah...akan kami usahakan untuk berkunjung. Terimakasih bibi."

"Saya permisi."

Pintu rumah tertutup rapat. (Name) menghela nafas. Ia menatap Sebastian yang tengah melepaskan jaket hitam nya. Serta mengganti pakaian formalnya dengan pakaian santai.

"Apa apaan itu tadi?" (Name) berjalan ke dapur. Meletakkan keranjang rotan diatas meja makan.

"Sudah ku bilang kan kau harus bersiap jika keadaan seperti tadi datang kembali? Kenapa hendak menggeleng tadi?" Sebastian menggulung lengan baju nya.

"Aku merasa seperti seorang pembohong. Bagaimana dengan bõcchan?"

"Dia bisa mengurusi dirinya sendiri. Apa menu makan malam hari ini?"

"Bibi tadi memberikan kita beberapa salad dan seafood. Baik nya. Oh iya aku tadi mencoba membuat pie."

(Name) bergerak gesit menyiapkan makan malam serta mengangkat sepiring pie dari dalam panggangan dan menyajikan nya di depan Sebastian.

"Makan lah."

"Sebelum itu aku belum mengucapkan sesuatu pada mu."

"Mengucapkan apa?"

Sebastian terdiam sejenak, "aku pulang."

Lawan bicaranya hanya terdiam seraya mengepalkan tangan. Ia bimbang bagaimana harus menjawab.

"Tak ada jawaban?" Tanya Sebastian.

"Se-selamat datang. Jangan berlagak kau seperti seorang suami sungguhan sebas-"

"Aku lapar. Cepatlah duduk dan kita makan bersama."

Wajah (name) memerah. "Dasar iblis."




-halimah2501-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top