41. Harga yang Harus Dibayar
Iskandar tidak tinggal diam menyaksikan perusahaannya diserang. Ia segera membuat langkah pengamanan. Malam itu, Iskandar membuat janji temu dengan Pramudya di daerah Kemang. Kafe milik Pramudya itu menyajikan live music dan makanan ala Italia. Pengunjungnya cukup ramai, namun mereka memiliki bilik-bilik privat yang memungkinkan orang-orang bertemu dan membicarakan hal-hal rahasia.
"Aku prihatin banget soal cucuku dengan anak AG itu," kata Iskandar sambil menenggak anggur merah. "Kamu bisa bantu, Pram?"
"Oh, pasti bisa. Kenapa dia, Pak?"
"Ya, tahu sendirilah. Orang dia begitu ...," Pak Is memperagakan gaya mengayuh kursi roda. "Sayang banget, cucuku cantik dan pintar kok dapatnya seperti itu."
Pramudya terbahak, puas mendapat teman untuk melampiaskan kesal. "Biar gini-gini," Pramudya ikut-ikutan bergaya mengayuh kursi roda, "Dia nggak malu mepet istri saya terus. Nggak tahu diri banget, kan? Belum sadar sudah lumpuh begitu."
"Masa?" tanya Iskandar. Ia selalu terhibur oleh Pramudya. Riuhnya melebihi mulut perempuan.
"Saya heran, kok Yasmina bisa suka sama dia, bermasalah begitu." Pramudya menyeringai.
"Berarti cucuku diselingkuhi, dong?" Iskandar bergaya gusar. Gayanya sangat alami, sampai-sampai Pramudya tidak menyadari. "Kamu yakin istrimu bisa begitu?"
Dalam hati Iskandar memahami penyebab rasa tak aman Pramudya. Lelaki ini sukses sebagai pengusaha di usia muda. Namun, bila dibandingkan dengan Kukuh, kekayaan Pramudya hanya sebesar kuku. Gayanya saja yang selangit sehingga orang yang tidak tahu kerap dibuat silau.
"Kata sumber saya, mereka mulai diam-diam ketemuan di apartemen." S**it!. Pramudya memaki dalam hati, tidak berani di depan Iskandar.
"Begitu? Sejauh apa hubungan mereka?"
"Kata sumber saya, dia grepe-grepe istri saya. Tahu sendiri Restu masih suka sama dia."
Anjing! Wajah Pramudya memerah. Agaknya ia benar-benar marah.
"Kapan?" Nada suara Iskandar mulai meninggi. Dalam hati ia tertawa melihat Pramudya tersulut emosi.
"Kejadian terakhir kemarin."
"Kok bisa?"
"Gara-gara saya suruh membujuk Kukuh dulu, Restu keterusan."
"Maksudmu mereka sering berbuat begitu?"
Dengan gusar Pramudya menunjukkan sebuah foto seorang lelaki berkursi roda tengah memangku dan mencumbu seorang wanita. Satu lagi gambar lelaki itu telanjang, setengah menelungkup di atas wanita itu, dengan hanya separuh badan tertutup selimut. Wajah keduanya tidak nampak, namun postur tubuh mereka sangat mirip Restu dan Kukuh.
Iskandar kembali tertawa dalam hati. Ia tidak peduli foto itu asli atau ulah Gege, yang penting level 10 sudah tercapai. Pramudya memang kadang senaif itu.
"Pram, tolong kamu ngomong sama Yasmina," pinta Iskandar dengan wajah memelas. "Dari dulu aku nggak simpati sama anak ini. Dia juga merongrong Madava terus. Masa mau masukin duri dalam daging sendiri. Kamu juga kena imbasnya, kan?"
Pramudya mengangguk-angguk. "Tapi saya juga dibantu ya, Pak."
"Beres. Kamu mau ngapain?"
"Ekspor bayi ikan hiu[1]. Izinnya susah minta ampun!"
Iskandar terbahak. "Kan bisa minta tolong om kamu."
Pramudya meringis lebar. "Om saya sekarang sok-sok bersih. Takut makin jadi sorotan media trus nanti nggak kepilih lagi. Lagian yang berkuasa kan tetap orang partai. Nah, kalau sudah ke situ, itu wilayahnya Pak Is."
"Ya, ya, kamu tahu aja," seloroh Iskandar. "Om kamu aja yang nggak becus. Masa keponakan sendiri nggak ditolong?"
☆☆☆
Pramudya tak menyiakan waktu. Setelah beberapa kali tidak berhasil berjumpa karena Yasmina harus mendatangi responden penelitian, akhirnya malam itu ia berhasil menemui Yasmina. Mereka telah beberapa kali terlibat dalam acara-acara yang diadakan oleh Iskandar, jadi Yasmina sudah paham dengan perangai lelaki itu.
"Tumben serius banget," sapa Yasmina.
Pramudya tersenyum getir. "Dari mana?"
"Wawancara dengan orang dari perusahaan penyedia jasa TKI."
"Ngapain?" Kening Pramudya berkerut.
"Disertasiku kan tentang pergerakan migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri," jawab Yasmina dengan bibir mencebik.
Pramudya mengangguk-angguk. Ia terlihat ragu sejenak.
"Yas, aku habis curhat sama Pak Is, terus aku disuruh ketemu kamu."
Angin dingin seolah menerpa hati Yasmina. Ini pasti masalah lagi, pikirnya. Pramudya berbicara banyak dan berputar-putar dahulu sebelum sampai pada pokok masalah dan berhasil membuat Yasmina merasa nyaman. Yasmina harus mengakui kepandaian berbicara lelaki itu. Sungguh berbeda dengan Kukuh yang banyak berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh.
"Kamu tahu istriku mantannya Kukuh?" kata Pramudya dengan nada sendu.
"Ya. Aku juga sudah dengar gosipnya dari internet," jawab Yasmina. Ia heran, bagaimana lelaki ini berhasil membuat dirinya berada di pihak yang sama. "Itu kan masa lalu."
Pramudya menghela napas. "Masa lalu yang nggak enak banget."
Yasmina meringis saja. "Semua orang punya masa lalu, kan?" katanya sambil mengerling menggoda.
Pramudya langsung paham. "Aku nggak gitu ya, Yas!"
"Ck! Yang di yacht itu apa? Miranda Kerr, Alicia Keys?" cibir Yasmina.
"Ooo, itu masa lalu! Aku cuma nemenin mereka minum-minum kok." Pramudya memasang wajah tanpa dosa.
Tentu saja Yasmina tertawa. Tapi melihat perilaku Pramudya, ia bisa mengerti mengapa orang ini menjadi andalan banyak petinggi perusahaan untuk melakukan lobi. Ia terlihat pongah di awal, namun dengan cepat menjadi akrab. Dengan keterampilan langka itu, Pramudya mengumpulkan kekayaan dari fee atas lobi-lobi proyek lintas negara.
Pramudya mengeluarkan ponsel, lalu melakukan sesuatu di sana. "Aku kirimi foto-foto ya, Yas. Tapi kamu jangan syok."
Beberapa saat kemudian, gambar-gambar itu sudah berpindah ke ponsel Yasmina. Gadis itu terlihat berkerut kening sejenak untuk kemudian menutup mulut dengan sebelah tangan. Wajahnya memerah dan air mata menggenang di pelupuk.
"Maaf, Yas. Aku harus bikin kamu syok begini. Yang itu bukan masa lalu. Itu sedang terjadi saat ini."
"Ini kapan?" desis Yasmina sambil menahan tangis. Tangannya gemetar saat menggulir belasan gambar yang menampakkan sejoli tanpa busana di atas ranjang. Ada pula gambar sejoli tengah bercumbu di atas kursi roda.
Pramudya mengangkat bahu. "Sekitar semingguan." Ia mengirimkan beberapa gambar lagi. Kali ini gambar-gambar Kukuh dan Restu di rumah sakit.
"Yang ini kapaaan?" tanya Yasmina dengan suara parau.
"Di rumah sakit di Jogja. Beberapa bulan lalu. Aku memang menyuruh Restu ke sana untuk membujuk Kukuh. Tapi justru itu yang terjadi. Madava lepas, istriku juga lepas." Kali ini Pramudya benar-benar sedih bercampur marah.
"Sudah lama mereka begitu, Yas. Kamu sudah tahu?"
Air mata Yasmina berguguran. Ia mengangguk. "Tapi dia bilang itu terjadi sewaktu mereka masih pacaran. Aku nggak tahu kalau keterusan begini," ratapnya dengan pedih.
Pramudya kembali mengangkat bahu. "Kalau lihat penampilannya sih, nggak ada yang percaya dia bisa begitu."
"Tapi dia ....," kata-kata Yasmina terhenti. Tidak layak rasanya menyampaikan tentang disfungsi seksual itu kepada Pramudya. Lebih baik ia menanyakannya sendiri pada Kukuh.
"Aku juga kaget. Kukira setelah menikah, Restu bisa dipercaya. Nyatanya begini. Yah, sudah nasibku barangkali, menjadi orang kedua di hati Restu."
Kata-kata itu semakin membuat hati Yasmina nyeri. Dirinya pun orang kedua di hati Kukuh. Pramudya masih mengirim beberapa gambar lagi.
"Aku nggak kuat lihat yang lain lagi, Pram," rintihnya.
☆☆☆
Kukuh tengah sibuk dengan data-data bersama Andre di base camp Andre-Nasrun. Nasrun sudah berangkat ke Washington tengah malam tadi. Mereka sudah menemukan titik terang untuk pergerakan Albatros 4 di Amerika. Bila Nasrun berhasil, pekerjaan besar mereka bisa segera dimulai.
Notifikasi ponsel Kukuh berbunyi. Isinya kiriman foto dari Yasmina. Melihat gambar-gambar dirinya itu, wajah Kukuh menekuk seketika. Ia lantas memberikannya kepada Andre untuk dianalisis.
"Udah keluar di internet atau belum?" tanyanya.
Andre mengecek dunia maya beberapa waktu. "Yang ini semuanya belum ada di internet."
"Berarti ini bukan pergerakan kelompoknya Pramudya."
"Kayaknya bukan. Aku malah curiga ini dari Pak Is, Mas."
Kukuh mengangguk. "Atau kelompok satunya."
Andre mengangguk keras. Kukuh menyingkir untuk menghubungi Yasmina. Saat teleponnya diangkat, gadis itu terdengar tengah remuk redam.
"Kamu di mana?" tanyanya. Yasmina tidak menjawab. Hanya isakan yang terdengar.
"Kamu di rumah?" tanya Kukuh lagi. Terdengar jawaban serak dan lirih.
"Jangan ke mana-mana. Aku ke rumahmu sekarang."
Kukuh meneliti kembali gambar-gambar itu saat berada di dalam mobil. Tangis pilu Yasmina tadi sungguh menyayat. Bertumpuk penyesalan kini menggunung di dalam hati. Ia hanya bisa berandai-andai saja dengan sedih.
Andai ia menuruti saran kedua orang tuanya untuk mencari gadis lain ....
Andai ia tidak nekat berbuat melanggar bingkai-bingkai etika dan agama ....
Andai ia tidak mengkompromikan prinsip ....
Ah, belum cukup rupanya harga yang harus dibayar atas kesalahan itu dengan menjadi lumpuh dan mengalami disfungsi seksual. Ia pun harus membayarnya dengan kesakitan yang dirasakan Yasmina.
_________________
[1] Soal ekspor bayi ikan hiu ini murni halunya Fura, ya 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top