33. Bimbingan

Bimbingan siang itu diwarnai diskusi segar mengenai materi skripsi. Tiga mahasiswi duduk di depan Kukuh dengan mata tak lepas dari sosok menawan itu. Setiap ada kesempatan, mereka mencuri-curi mengambil gambar sang dosen ganteng.

"Judul skripsimu Peran Perempuan di Sektor Publik, Kajian Terhadap Lirik Lagu 'Wanitaku' dari NOAH? Hmmm, topik ini berat, lho. Kamu akan mengkajinya dari sisi apa?"

"Sisi struktural dan feminisme, Pak," jawab salah satu mahasiswi itu dengan takut-takut.

Kukuh membaca beberapa halaman, lalu menanggapi, "Dasar teori feminismemu kurang lengkap. Kamu hanya mengambil feminisme di dunia barat. Coba gali bagaimana feminisme itu dihayati oleh masyarakat Indonesia." Kukuh menambahkan beberapa catatan sebelum beralih ke draf kedua.

"Lho, punyamu juga tentang lirik lagu, Dik?" tanyanya pada mahasiswi kedua. "Jangan-jangan punyamu juga." Matanya mengarah pada mahasiswi ketiga.

"Benar, Pak."

"Iya, Pak."

"Kalian juga mengupas feminisme?" selidik Kukuh. Kedua orang itu mengangguk malu-malu.

Kukuh menggeleng-gelengkan kepala. Apa mentang-mentang dia penyanyi, lantas ketiga orang ini mengambil lirik lagu untuk skripsi mereka? "Ya tidak apa-apa. Tapi karena lagunya berbeda, jangan sampai pembahasan kalian sama, ya."

Kukuh kembali meneliti draf dan menuliskan beberapa catatan sebagai revisi. Tiba-tiba, udara berembus masuk mengantarkan aroma harum bersama pintu yang terbuka. Kukuh tahu pintu di seberang itu terbuka, namun tidak melihat siapa yang datang. Hanya indra penciumannya yang segera mengenali wangi parfum yang datang bersama embusan angin. Serta merta ia tertegun. Siapakah gerangan yang menggunakan parfum serupa?

Otomatis ia mendongak untuk mencari sumber aroma. Seketika ia terbelalak, hampir tak bisa menghubungkan gambaran di depan dengan seseorang di Kairo sana. Dengan tergesa dikayuhnya kursi roda mendekat.

"Kamu ...?"

Yasmina tersenyum manis dengan bibir merah yang menggemaskan. Semburat merah muda di kedua pipi semakin menegaskan kecantikannya. Dengan anggukan kecil, ia menjawab pertanyaan Kukuh.

"Ah, Yas ...." Kukuh hanya bisa memandang takjub. Dadanya telah penuh sesak dengan rasa bahagia sehingga meluber ke kepala. Wajahnya memanas seketika. Untuk sesaat, mereka berdua hanya saling pandang dengan perasaan menderu.

Kukuh segera menunda bimbingan skripsi hari itu. Walau kecewa, ketiga mahasiswa itu mengerti dan memahami bahwa dosennya sedang jatuh cinta. Tak mau kehilangan kesempatan langka, mereka mengabadikan momen bahagia itu dengan ponsel masing-masing. Tak butuh waktu lama, gambar Yasmina dan Kukuh menghiasi berbagai grup chat mahasiswa.

"Kapan datang?" tanya Kukuh. Mereka berjalan beriringan menuju pintu.

"Semalam."

"Kok nggak bilang-bilang? Aku kan bisa jemput."

"Ck! Nanti nggak kejutan namanya." Yasmina menahan tawa. Ia amat senang dengan ekspresi kaget Kukuh tadi.

"Oh, ini yang kamu bilang kejutan?"

Yasmina mengangguk sambil mengerling manja.

"Waaah, selamat ya, kejutanmu berhasil. Aku nyaris pingsan!" Kukuh tersenyum lebar.

Yasmina terbahak. "Kuh," panggilnya lirih.

Kukuh mendongak. Yasmina membungkuk sedikit untuk mendekat ke telinga Kukuh.

"Aku kangen!" bisiknya. Mukanya tampak jenaka saat mengucapkan itu sehingga Kukuh terbahak lagi.

"Waaah, aku hampir pingsan untuk kedua kali!" seloroh lelaki itu.

"Ck!"

"Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Hmm, apa sih yang nggak diketahui Bu Yeni?"

"Oooh, aku baru ingat kalian udah sehati sejak waktu itu."

Serta merta Yasmina teringat upayanya menemui Kukuh dulu. Melihat wajah bahagia yang kini mengiringi langkahnya menyusuri selasar, ia geli. Lelaki dingin itu telah menjadi sehangat ini.

"Kenapa senyum-senyum?" Kukuh tetap bertanya walau bisa menduga jawabannya.

Senyum Yasmina merekah sempurna. "Aku teringat waktu pertama kali ketemu dulu."

Kedua alis Kukuh terangkat. "Jangan diingat-ingat!"

"Oooh, apa kamu bilang dulu? 'Mbak Yasmina, Anda berlebihan memaknai keberadaan saya!' Benar, kan?"

Kukuh pura-pura tidak mendengar. Ia mempercepat laju kursi roda mendahului Yasmina.

"Hey! Tunggu!" seru Yasmina sambil terkekeh-kekeh.

Sejoli itu tertawa-tawa sepanjang perjalanan menuju tempat parkir. Mereka tidak tahu kebersamaan itu menjadi perhatian orang-orang sekitar. Atau jangan-jangan, mereka tidak lagi peduli dengan keberadaan orang lain karena seperti pepatah para tetua zaman dulu, bila jatuh cinta maka dunia menjadi milik berdua. Hmm!

Mereka melaju menuju base camp Next! Netz. Kukuh menyetir dengan alat adaptasi mengemudi.

"Kesampaian juga nyopiri kamu, Yas," kata Kukuh dengan mata berbinar. Ini pertama kali ia mengemudi membawa seorang gadis setelah lebih dari dua tahun. Ah, rasanya menakjubkan! Ia bisa melupakan sejenak fakta bahwa ia lumpuh dan menikmati kembali sensasi menjadi lelaki sejati. Senyumnya terkembang saat menemukan Yasmina terus-menerus memandang ke arahnya.

Dengan Yasmina, semua terasa mudah. Bila senang, wajah dan perkataan gadis itu jelas menggambarkan. Bila sedang tidak menyukai sesuatu, ia akan mengucapkannya tanpa ragu. Berbeda dengan Restu yang harus diduga-duga suasana hati dan keinginannya.

"Berapa lama kamu di Jakarta?" tanya Kukuh.

"Hmm, kamu mau berapa lama?" goda Yasmina.

"Hmm, selamanya!" Saat mengatakan itu, otomatis otaknya menghubungkan dengan pernikahan. Mau tak mau ia teringat masalah alat kebanggaan yang tak kunjung membaik. Ia tahu harus mengajak bicara Yasmina. Tapi ... ah! Mulutnya belum berani melafalkan kata-kata mengerikan itu. Kalau sudah begini, ingin rasanya pulang ke Jogja dan menyembunyikan diri lagi di sana.

"Sebenarnya aku lebih suka mengajakmu ke Jogja," lanjut Kukuh dengan perlahan.

Serta merta Yasmina teringat rumah besar yang mempertemukan mereka. "Aku juga," bisiknya.

Mereka terdiam dengan senyum menghiasi bibir masing-masing. Agaknya, kenangan berbagai peristiwa di rumah itu memenuhi benak mereka saat ini.

"Penelitianku di sini, Kuh. Kemungkinan perlu waktu beberapa bulan."

"Oh, itu rupanya," jawab Kukuh. "Kukira kamu menerima tawaran Pak Is."

"Ck! Papa nggak mengizinkan, kamu juga. Aku nggak mungkin mengabaikan peringatan dua lelaki terpenting dalam hidupku."

Itu satu lagi cara Yasmina mengungkapkan cinta yang membuat Kukuh melambung.

Dan aku akan menjagamu dengan nyawaku, Yas, desah hati Kukuh.

☆☆☆

Nasrun dan Andre mengemasi barang-barang mereka dengan tergesa. Setelah pulang dari London dan Washington dengan membawa keberhasilan, mereka merasa aktivitasnya telah terdeteksi. Beberapa hari terakhir, rekaman CCTV menunjukkan pergerakan beberapa orang di jalan dekat rumah. Mereka menjadi yakin saat dengan sengaja mengamati gerak-gerik mereka dari kejauhan. Beberapa pria mengitari bangunan itu secara mencurigakan. Salah satu dari mereka terlihat membawa senjata api.

Andre menghubungi Kukuh melalui telepon dengan hati-hati. "Albatros 3 dan 4 perlu data tambahan, daftarnya sudah dikirim lewat chat."

"Ya, aku sudah baca." Suara Kukuh terdengar penuh beban.

"Itu artinya kita harus mendapat sumber yang sangat dekat. Saya akan terus mencoba menembus sistem mereka, tapi nggak yakin bisa. Paling bagus kalau ada orang dalam Madava yang bisa memberi kita data."

"Ya, akan kuusahakan."

Andre dan Nasrun bergerak tepat waktu. Beberapa jam kemudian, mereka mendapati dari rekaman kamera CCTV yang sengaja mereka tinggalkan secara tersembunyi, beberapa pria bersenjata api menggeledah rumah itu.

☆☆☆

Pramudya termenung di ruang kantornya yang besar dan mewah di puncak sebuah gedung pencakar langit. Pemandangan Jakarta yang membentang melalui jendela melingkar lebar di sebagian dinding kantor itu tak sanggup meredam rasa geram yang meluap.

Tamunya, seorang yang ia minta mengikuti Restu dan seorang lagi dari Genta Bahana, masih terus mengoceh tentang fakta-fakta yang bisa digali dari hubungan Kukuh dan Restu. Kedua orang itu memang ia bayar mahal untuk melakukan apa yang mereka ocehkan saat ini. Namun, tetap saja hatinya panas mendengar semuanya.

"Habis ini kita up kunjungan Mbak Restu ke Next! Netz," kata Gege dari Genta Bahana.

Rekannya yang bernama Farid, terbahak. "Telak, pasti. Lihat scene ini. Alami banget, kan? Hebat nih yang ambil."

"Gimana, Pram? Udah bagus, udah oke?"

Pramudya berbalik dan menatap gambar-gambar itu. Setelah dipotong dan dirangkai sedemikian rupa, gambar-gambar itu seolah bercerita ada sesuatu di antara Kukuh dan Restu. Walau semua itu palsu, hatinya tetap membara.

Sebenarnya, ia tidak yakin Restu tidak menikmati perintah untuk menemui Kukuh. Pasti hanya mulutnya saja yang menentang. Hati Restu masih merindukan Kukuh. Ia semakin yakin, terlebih saat Restu ngotot menyelesaikan kuliah di tempat yang sama, padahal ia sudah membujuk mati-matian untuk melanjutkan di perguruan tinggi lain yang lebih dekat dengan rumah. Bahkan, tesis yang seharusnya mudah pun harus berkali-kali direvisi. Ia curiga, istrinya itu sengaja memperlambat tesisnya agar punya kesempatan bertemu Kukuh di kampus. Sumpah serapahnya meluncur saat menatap gambar-gambar itu.

"Deal!" putusnya mantap. Sejenak kemudian ia ragu. "Mereka punya tim advokasi andal banget. Gimana tuh?"

"Kita udah siapin langkah berikutnya," ujar Farid mantap. Ditunjukkannya gambar-gambar ketika Restu menjamah Kukuh di rumah sakit.

Pramudya sudah tahu itu. Ia sendiri yang mengutus Restu ke sana dan mengirim orang mengambil gambar untuk berjaga-jaga bila sewaktu-waktu ia membutuhkan senjata. Ia tidak ingin menggunakan itu. Namun, bila Kukuh terus-menerus memprovokasi kemarahannya, ia tidak segan-segan menyerang balik.

Jangan lupa, ia pun harus membuat perhitungan atas kekacauan yang ditimbulkan lelaki itu saat menarik diri dari Madava. Ia harus berkali-kali mengemis pada beberapa pemilik Petra Arabia. Jangan dikira mereka hanya orang Arab saja. Ia harus berkeliling ke Shanghai, London, dan Los Angeles. Salah satu pemiliknya diam-diam penyuka sesama jenis. Ya, ampun! Ia jijik setiap mengingat upaya mengemisnya itu!

"Kalau nggak mempan juga kebangetan!" ucap Gege.

Pramudya mendelik. "Gila apa kalian?"

Farid dan Gege terbahak.

"Gilaaaa! Kejantananku dipertaruhkan itu, njiiiinng!"

"Halah, justru makin seru. Kamu bisa akting sebagai korban," sanggah Farid santai.

"Trus apa jadinya kalau anakku nanti percaya aku bukan bapaknya, hah?"

"Bodoh apa ya dia? Kan ada tes DNA," kilah Farid lagi.

"Kukuh juga bisa minta tes DNA," kata Pramudya.

"Percaya, deh. Itu bukan gaya Kukuh. Lagi pula kalau sudah dilempar ke dunia maya, yang penting heboh dulu, fakta kemudian. Itu sudah cukup untuk menoreh coreng di mukanya!"

"Kalau perlu kita paparkan bukti-bukti bahwa mereka sudah pernah kumpul selama masa pacaran dulu."

Itu satu lagi duri yang menorehkan nyeri. Ia teringat malam pertama mereka, saat ia mengetahui rahasia Restu. Betapa kecewa dan marahnya ia mendapati kenyataan bahwa Restu, yang ia kira sempurna karena dibesarkan dalam keluarga religius, ternyata sudah tidak suci lagi. Tidak hanya pada Restu ia marah, pada Kukuh pun dendamnya tak akan pupus.

"Bagus banget, kan, Pram? Aktingmu sebagai korban akan sempurna adanya!" Gege dan Farid tertawa kembali, kini lebih riuh dari sebelumnya.

"Anjiiiiiiiinngg!"


////////////////

Buat yang nggak sabaran nunggu minggu depan, ayo cuuus ke KBM atau Karya Karsa. Ada paket murah meriah di Karya Karsa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top