25. Kampus
Kampus adalah tempat yang lama tidak Restu kunjungi. Dulu ia bersemangat mengambil S2 karena ada Kukuh sebagai dosen di sana. Ia berharap studinya lebih mudah dan lancar, sembari memperbanyak waktu bersama Kukuh. Namun, karena tragedi yang membuatnya menikah dengan Pramudya, ia mendapat serangan bertubi dari penggemar Kukuh. Malangnya, sebagian penghuni kampus ini termasuk dalam jajaran penggemar fanatik sang dosen. Ia tidak hanya harus mengurangi penampilannya di depan publik, tapi juga menghilang dari aktivitas perkuliahan.
Suasana riuh anak-anak muda itu membuatnya rindu akan masa kuliah dulu. Ia pernah menyusuri jalanan dan koridor itu bersama Kukuh. Mereka menghabiskan waktu berdua di kafetaria atau perpustakaan. Ia selalu berada di sisi Kukuh ke mana pun lelaki itu pergi. Oh, ia mendambakan masa-masa indah itu kembali.
Ia menemukan Kukuh sedang berada di balik meja kerjanya yang baru. Pimpinan fakultas rupanya tahu kebutuhan akses kursi roda sehingga memindahkan meja Kukuh dari sebuah area kecil di sudut ruang ke tempat yang lebih luas di depan pintu masuk.
Kukuh tengah sibuk melakukan diskusi skripsi dengan tiga orang mahasiswa. Raut wajahnya sudah lebih segar dan tidak setirus dulu. Bahkan dengan rambut yang agak panjang, ia semakin terlihat menawan. Entah mengapa, hati Restu bertalu riuh. Namun, peristiwa memalukan di rumah sakit tempo hari kembali terbayang. Sejenak, ia termangu di ambang pintu, ragu apakah dirinya masih layak untuk menyapa Kukuh saat ini.
Pintu yang terbuka membuat perhatian Kukuh terpecah. Secara refleks, ia melirik ke sana. Ia cukup kaget menemukan Restu berdiri di sana dengan wajah ragu. Namun demi sopan-santun, ia tersenyum dan menyapanya.
"Res? Sedang apa di sini?"
Senyum cerah dan sorot mata Kukuh yang ramah membuat keraguan Restu sirna. Ia seperti mendapat lampu hijau dan segera menderap mendekat. "Aku juga mahasiswa," jawabnya.
Kukuh baru ingat bahwa sejak Restu memutuskan pertunangan, ia malas memantau kehidupan wanita ini sehingga tidak tahu kelanjutan kuliahnya. "Loh, S2-mu belum selesai? Atau ambil S3?"
Restu menggeleng. "Sayangnya, masih S2, Kuh. Aku cuti tiga semester."
"Oh, untung nggak kena DO," sahut Kukuh. Ia kagum juga pada semangat belajar Restu.
Restu menggeleng lagi. "Aku harus selesai semester ini kalau nggak mau DO."
"Aku doakan semoga lancar." Kukuh mengangguk kecil sambil tersenyum sopan, untuk memberi isyarat bahwa ia ingin mengakhiri percakapan itu.
Restu pun memahaminya. "Oh, maaf mengganggu. Aku ke tempat Bu Zahra dulu, ya. Bye!"
"Bye."
Kukuh kembali fokus ke mahasiswanya, sementara Restu menderap ke meja kerja dosen pembimbingnya. Ia tidak tahu dirinya terus diamati oleh Restu dari tempat duduknya di sudut lain. Wanita itu berkali-kali menoleh pada sang mantan dengan perasaan bercampur aduk.
Lelaki di ujung sana itu telah mengisi hati Restu selama tiga belas tahun dengan warna-warni hidup. Waktu yang lebih dari cukup untuk memahami bagaimana lelaki itu menempatkan dirinya di hatinya. Sebagai kekasih, komitmen Kukuh tidak pernah mengendur. Dalam kurun waktu yang panjang itu, ia kerap dilanda rasa bosan. Sesekali ia mencari selingan, sekedar untuk bermain-main. Namun, Kukuh bergeming. Bahkan dengan halangan perbedaan agama pun, lelaki itu bersikukuh. Keyakinan itu pula yang menjadi pengikat jiwa. Ia selalu pulang ke hati Kukuh sejauh apa pun ia bermain. Lagi, dan lagi.
Perhatian Kukuh tampak terfokus pada diskusi mereka. Sesekali ia tertawa bersama ketiga mahasiswa itu. Itu gaya yang sangat ia kenal. Namun, ada yang berubah kali ini. Kukuh tidak menaruh perhatian pada kehadirannya. Ada secuil rasa kehilangan yang segera tertutup oleh rasa bersalah yang menggunung. Diam-diam ia merindukan pengikat jiwa yang telah putus itu. Atau sebenarnya ikatan itu masih ada, sengaja dikubur jauh di sana? Bukankah Kukuh pernah bilang bahwa ia selalu menyayanginya sampai kapan pun?
Restu mengelus perut yang semakin membuncit. Mengapa ia mempertanyakan hal itu saat ini? Pantaskah? Anak Pramudya bergerak menendang-nendang, seolah tahu hati sang ibu sedang bimbang.
Bu Zahra datang dan menyerahkan hasil koreksi. "Mbak Restu harus cepat-cepat, supaya bisa mengejar wisuda bulan Agustus."
"Siap, Bu. Boleh saya datang konsultasi lebih sering?"
"Boleh! Besok pun bisa kalau sudah siap revisinya. Satu minggu ini saya tidak ke mana-mana."
"Kalau begitu, saya boleh datang setiap siang?" Entah setan mana yang membisikkan ide itu, Restu tidak peduli.
"Boleh, saya juga senang kalau cepat selesai. Kalau bisa, dalam minggu ini selesai ya, Mbak. Minggu depan saya short course ke London sebulan."
"Siap!"
Restu meninggalkan ruang itu sambil melambai pada Kukuh. Lelaki itu membalas dengan lambaian juga. Ia mengeluh dalam hati. Aneh rasanya, menjadi dua orang biasa seperti ini.
☆☆☆
Hari-hari berikutnya, Restu menikmati melintas di depan meja Kukuh. Kadang lelaki itu ada di sana, kadang ia hanya menemukan meja kosong. Diam- diam ia mencari jadwal kelas Kukuh. Di hari kelima, pada akhir minggu itu, ia sengaja duduk menunggu di sofa kecil ruang dosen. Beberapa saat kemudian, Kukuh masuk. Ia segera berdiri menyambutnya.
"Kuh, apa kabar?" sapanya.
"Res? Mau ketemu Bu Zahra?"
"Dengan Bu Zahra sudah selesai. Kamu ada waktu?"
Kukuh menatap padanya dengan pandangan yang tak bisa dimengerti.
"Ayo ke ruang rapat di sana itu," ajak Kukuh.
Restu menurut. Ia membuntuti Kukuh ke tempat yang dimaksud.
"Ada apa?" tanya Kukuh begitu mereka duduk berhadapan, terpisah oleh meja oval besar.
Restu mengeluh dalam hati. Sekarang mereka duduk berjauhan seperti ini. Dulu, ia selalu menempel di sisi Kukuh. Atau jangan-jangan karena kursi roda itu Kukuh menjadi tidak percaya diri? "Aku mau minta maaf untuk sikap Pramudya tempo hari."
Kukuh hanya menatap tenang. "Hmm, ya. Ada lagi?"
"Kejadian di rumah sakit itu ... ehm ... Pramudya juga yang menyuruh," aku Restu lirih, hampir tak terdengar.
"Aku maafkan," jawab Kukuh singkat. Ia mulai merasa tidak nyaman. Apakah Pramudya mengirim Restu kembali? Melihat betapa tertekannya Restu, ia menduga itulah yang terjadi.
Restu terheran. "Kuh, aku ...."
"Res!" potong Kukuh cepat-cepat dengan nada agak tinggi.
Restu tersentak. Nyalinya menciut saat mendapati sorot mata gusar.
"Selain maafku, ada lagi yang mau kamu minta?"
"Ti-tidak ada."
"Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"
Restu menggeleng.
"Kalau begitu, aku mau pulang. Salam buat Pramudya. Bilang padanya, aku tidak suka dia mengirim kamu. Kalau benar dia lelaki, temui aku langsung."
"Pram tidak ...."
Kukuh memutar kursi roda lalu mengayuh cepat keluar dari ruang rapat.
"Kuh, tunggu!"
Entah apa yang mendorong Restu mengejar Kukuh. Ia tidak biasa ditinggalkan di tengah pembicaraan seperti itu.
Kukuh meluncur dengan cepat melintasi lorong ruang dosen yang tengah kosong. Restu bergegas untuk mencapainya.
"Kukuh, tunggu!"
Tangannya menggapai hendel kursi roda Kukuh, bermaksud menahannya. Ia tidak tahu bahwa tindakan itu menyebabkan laju kursi roda yang tengah dipacu itu terganggu. Kursi roda itu berbelok arah, menukik cepat, lalu menghantam meja terdekat. Kukuh pasti terguling andai tangannya tidak sigap meraih meja sebagai tumpuan.
"Reees!" serunya dengan nada kesal bercampur kaget. "Jangan menarik kursi roda sembarangan! Aku bisa terguling!"
Kukuh beringsut untuk menegakkan kursi roda yang setengah miring tersandar ke meja. Tangan Restu terulur meraih hendel, bermaksud membantu menegakkan.
"Jangan pegang-pegang!" tegur Kukuh, lebih mirip hardikan.
Restu berjingkat mundur dengan kaget. Seumur-umur, baru kali ini Kukuh membentaknya. Dengan pandangan kabur oleh air mata, ia menyaksikan lelaki itu menjauh tanpa menoleh lagi.
////////////////
Jangan lupa tinggalkan jejak voment, ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top