19. Kursi Roda
Kursi roda adalah bagian hidup seorang penyandang spinal cord injury. Itulah yang dihayati Kukuh saat ini. Beberapa waktu yang lalu, setiap melihat benda itu, hati kecilnya menolak keras. Sekarang benda itu melekat di pantat, seolah menyatu dengan tubuh. Ia bisa duduk dengan mantap tanpa takut terjatuh. Semakin sering digunakan, semakin alat itu ia cintai.
Ia membuat video tentang itu lalu mengirimkannya ke Yasmina. "Aku yang baru" demikian judul yang disematkan pada video singkat itu.
"Kamu suka?" tanyanya pada gadis itu.
Yasmina tidak segera menjawab. Hanya terdengar isakan di seberang sana.
"Yas?"
"Aku seneng banget lihatnya, Kuh." Yasmina menjawab dengan terbata setelah beberapa saat.
"Oh! Terima kasih." Kukuh tersenyum lebar. Berbicara dengan Yasmina selalu begitu, membuatnya merasa berharga. "Kamu sedang apa?"
"Aku baru mengurus proposal penelitiandi kampus."
"Oh, kamu kuliah lagi?" tanya Kukuh.
"Ya. Masih proses mengerjakan disertasi. Kamu sedang apa?"
"Aku sedang siap-siap untuk pulang."
"Coba dekat, pasti kujemput."
"Nggak perlu. Aku saja yang datang ke tempatmu nanti."
"Aku tunggu, ya! Mmm, aku punya kejutan."
"Aku nggak boleh tanya 'apa', kan?"
"Ck! Kamu nyerobot dialogku!"
Mendengar bunyi 'ck!' itu sontak Kukuh teringat bibir ranum yang bisa mencang-mencong. Sejenak ia lupa pada masalah pelik yang tengah menunggu.
Yas, kamu membuat hatiku hangat. Kukuh menutup telepon dengan wajah semringah yang membuat Yeni dan David saling pandang dengan senyum terkulum.
"Mobil sudah disiapkan, Bu Yeni?" tanya Kukuh sambil memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang digantungkan di sandaran kursi roda.
"Siap, Mas. Kita berangkat sekarang?"
Kukuh mengangguk. "Kamu langsung ke bandara?" tanyanya pada David.
"Iya. Setelah mengantarmu ke rumah, aku langsung berangkat. Berani, kan, kutinggal sendiri?"
"Biasanya juga sendiri," jawab Kukuh sambil tersenyum lebar. "Salam buat Rosa."
"Buat kembarannya nggak titip salam?" goda David.
"Nggak. Kalau dia, aku bisa telepon langsung," jawab Kukuh santai tanpa memedulikan Yeni dan David yang saling lirik.
Tangannya mengayuh roda dan bergerak perlahan melintasi ruang. Saat hendak mencapai pintu, terdengar ketukan pelan. Yeni membukakan pintu dan muncullah sosok yang berada di baliknya.
Tubuh tinggi semampai dan wajah ayu datang dengan lembut seperti biasa. Penampilannya mewah, dengan benda-benda branded mahal menghiasi tubuh. Gaun berwarna peach dari bahan katun lace berhasil membuat pemiliknya tampil memesona. Tangannya menenteng sebuah buket bunga dan sekeranjang buah tangan.
David sontak mendengus dan berkacak pinggang. Bu Yeni hendak mencegah sang tamu untuk masuk, namun Kukuh segera memberi kode untuk surut.
"Res?" sapa Kukuh, masih heran karena kunjungan itu.
"Kuh," balas Restu. Ia mendekat, lalu membungkuk dan mencium Kukuh. "Kamu sudah boleh pulang?" tanyanya seraya menyerahkan bunga dan keranjang oleh-oleh pada Yeni.
"Ya. Seperti yang kamu lihat."
Restu melirik sekilas pada Yeni dan David. Kedua orang itu seperti diberi kode. Dengan terburu, mereka keluar kamar, meninggalkan Kukuh dan Restu berduaan.
Restu duduk di dekat Kukuh. Matanya terlihat redup. Tampak nyata ia gelisah, seperti saat pertemuan terakhir mereka.
"Ada apa?" tanya Kukuh.
"Kamu nggak suka aku datang?"
Mulai lagi, nih! Kukuh mengeluh dalam hati. "Ah, bukan begitu."
Restu tersenyum. "Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu karena opnamemu lama sekali."
Kukuh hanya menanggapi dengan tersenyum dan mengangguk kecil. Ia takut salah bicara yang akan membuat Restu menangis. Jujur, bila Restu menangis lagi, rasanya ia sanggup membanting gelas di atas nakas itu.
"Kamu sudah baikan," komentar Restu. Matanya menatap sosok yang terlihat menawan dengan kemeja abu-abu dan celana jeans biru muda. Wajah dan senyum itu masih menggetarkan hati.
Kukuh membalas dengan anggukan sekali lagi.
"Aku datang untuk menjemputmu pulang."
Sontak Kukuh melebarkan senyum. Menjemput? Sungguh aneh. "Aku bisa pulang sendiri, Res."
Restu tertegun. Mendadak lidahnya kelu. Ya, siapa ia, mau menjemput segala?
"Ada yang mau kamu sampaikan?" suara Kukuh memecah kesunyian yang tanpa sengaja terbentuk.
Restu memandang sekilas dan terharu menemukan wajah yang tersenyum teduh itu. Sudah seperti ini, kamu masih sabar menghadapinya, Kuh.
"Suamimu ikut ke mari?"
Restu tergagap. "Enggak. Dia nggak tahu aku ke sini," jawabnya berbohong. Tiba-tiba saja ia merasa salah bicara.
"Kamu nggak boleh begitu."
"Aku minta maaf. Tapi kalau boleh, aku ingin temani kamu pulang."
Restu menelan ludah saat kalimatnya berakhir. Tiba-tiba saja, tempat duduk dan lantai yang dipijak seolah terbuat dari paku dan duri, tidak mengizinkannya duduk dengan nyaman. Ia mulai mengutuk diri. Untuk apa ia di sini? Bukankah perbuatan ini sangat konyol?
Akan tetapi, keluhan Pramudya masih terngiang jelas.
"Res, kamu istriku. Kamu seharusnya kasihan padaku, bukan padanya. Menjual atau tidak menjual Phoenix, dia tidak kekurangan apa pun. Sedangkan aku, kalau proyek ini gagal, nasibku bagaimana, coba? Ayo, bantu aku, Res! Rayulah dia semaksimal mungkin."
Tega sekali Pramudya meminta itu! Tidak tahukah Pram bahwa hatinya nyeri saat menjamah Kukuh? Jiwa pun menjerit saat bibirnya menjelajahi tubuh lelaki malang itu. Bahkan setiap teringat, ia jijik. Betapa kotor! Sekarang, ia harus datang untuk kedua kali, mengucapkan kata-kata rayuan itu lagi.
"Jangan. Itu nggak baik," cegah Kukuh.
Restu mengangguk. "Kalau begitu, aku permisi. Semoga kamu sehat selalu."
"Terima kasih."
Beberapa saat berlalu, namun Restu masih bergeming di kursi. Kukuh sangat yakin, Restu sebenarnya belum selesai bicara.
"Kamu membawa sesuatu untukku?" tebak Kukuh.
Restu merasa harga dirinya telah melorot ke ujung kaki. Ia yakin Kukuh telah mengetahui misinya. Dulu pun, lelaki itu selalu tahu dengan siapa ia diam-diam jalan. Dengan tenaga yang terasa habis, tangannya mengeluarkan flashdisk dari tas.
"Aku ingin memberimu ini. Isinya data-data Grup Andreans yang mungkin penting buatmu."
Kukuh menerima benda itu. "Dari mana kamu mendapat informasi ini?"
"Pramudya yang memberikan itu."
Kukuh menatap Restu dalam-dalam. Ia kenal Restu. Memang benar, saat mereka berpacaran dulu, mantannya itu bisa berpaling sejenak ke lelaki lain. Namun, 'kenakalan' kecil itu tidak sebanding dengan perbuatan Restu saat ini. Ia tahu benar, itu bukan Restu yang ia kenal lebih lima belas tahun.
"Res, kalau lain kali suamimu meminta untuk melakukan hal-hal yang nggak kamu sukai, ditolak saja."
Restu menemukan sorot prihatin di mata Kukuh. Entah mengapa, dikasihani seperti itu justru menyakitkan. "Iya. Aku pamit, ya, Kuh."
Sesudah itu, ia menghambur keluar dengan mata berkaca-kaca. Di dalam mobil yang mengantar ke bandara, berkali-kali ia memukul dada serta merintih dalam tangis.
Maafkan aku, Kuh. Aku memang sehina ini ....
______________
Author's note:
Di dunia nyata, praktik serupa tindakan Restu benar terjadi.
Aku sedih, karena itu bentuk pelecehan terhadap keberadaan perempuan.
🏡TBC🏡
Buat yang nggak sabaran menunggu apdetan, meluncur aja ke Karya Karsa.
Ada paket ekonomis buat baca sampai tamat.
Caranya: pilih paket Yasmina 30 Hari, dan gunakan voucher yas032022 untuk potongan senilai Rp20.ooo,-
Jadi, cukup dengan 22k Sobat bisa maraton sampai tamat.
Yuks meluncur ke KK💪💪💪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top