17. Luka Lama

Luka lama yang belum tertutup, kini ditaburi garam dan disiram asam. Itulah yang dipikirkan Yasmina saat tahu Kukuh harus menghadapi mantan tunangannya.

"Apa mengirim Restu itu tidak keterlaluan, Kek? Kukuh belum pulih dari lukanya."

Iskandar merengkuh bahu Yasmina dengan sayang. "Kamu mengkhawatirkan dia?"

"Bukan begitu, Kek. Aku cuma merasa cara itu kurang etis."

"Ah, Ibra telah mendidikmu dengan sangat baik! Kakek bangga."

"Kek, jangan lupa, dia masih di rumah sakit, tapi Kakek sudah tega menekannya. Beri dia waktu."

"Justru dia masih sakit itu, Kakek ingin membantu dengan mengirim orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya," kata Iskandar dengan sabar sembari mengamati mimik wajah Yasmina. Mata gadis itu melebar, seolah terpana.

Orang yang paling berpengaruh dalam hidup Kukuh. Kalimat itu menusuk hati Yasmina.

"Jangan-jangan kamu cemburu?" goda Iskandar.

"Kakek!" Yasmina sontak memanyunkan bibir sehingga menguncup penuh.

"Hmm, Kakek yakin Kukuh punya harga diri. Dia tidak akan berbuat yang melanggar etika." Mata tua itu lalu mengamati Yasmina sejenak. "Dia tertarik padamu?"

"Ah, tidak!"

"Ooooh, kamu bertepuk sebelah tangan? Apa Kakek bilang?" Serentetan tawa mengguncang bahu lelaki berambut putih itu. "Kalau dia bisa berpaling dari Restu, sudah lama Kakek menjodohkan kalian!"

Serasa ada duri yang menancap di hati Yasmina. Benarkah kata sang kakek, ia bertepuk sebelah tangan? Lantas apa makna senyuman lembut serta tatapan penuh harap yang ia rasakan?

"Yas, kakek mau kasih saran," ujar Iskandar seolah memahami pikiran sang cucu. "Jangan terkecoh dengan wajah tampan dan senyum rupawan. Kadang kita merasa iba dengan seseorang yang sedang terpuruk, apalagi dia terlihat rapuh karena menggunakan kursi roda. Hati siapa yang tidak akan luluh? Akan tetapi, semua orang menyimpan sisi gelapnya masing-masing. Kakek tahu benar, Kukuh tidak selemah dan sepolos yang kamu lihat. Dia sama sekali bukan anak innocent, Yas."

"Maksud Kakek, dia bisa melakukan sesuatu yang buruk?"

Iskandar mengangkat kedua bahu. "Sedang Kakek selidiki. Kamu ketemu hal aneh di sana?"

"Tidak ada, selain orang depresi yang hampir kehilangan nyawa."

Iskandar mengangguk. "Kakek minta kalian waspada. Termasuk terhadap David juga, Ros."

Kata-kata lembut itu menyentak Yasmina. Apa makna di balik peringatan sang kakek? Siapa Kukuh sebenarnya? Ia merasa banyak sekali yang tidak ia ketahui. Pikiran itu membuat Yasmina tidak betah duduk di tengah hingar-bingar pesta. Ia mengajak Rosa pulang sebelum malam mencapai puncak.

☆☆☆

Perasaan seseorang itu begitu cair. Sebentar curiga, sebentar merana, sebentar kemudian berbunga-bunga. Teori itu terdengar aneh, namun Yasmina membuktikannya. Ia baru sampai di kamar sepulang dari gala dinner saat hatinya tergerak untuk menelepon Kukuh. Serta merta, rasa rindu mengembang saat suara lembut menyambut sapaan.

"Belum tidur?" tanya Kukuh, menggetarkan hati.

"Belum. Aku baru pulang dari gala dinner."

"Itu acara kakekmu?"

"Benar. Kenapa kamu belum tidur?"

"Aku memang sering lambat tidur."

Yasmina terenyuh. Rasa curiganya hilang begitu saja. Kamu bukan lambat tidur, Kuh. Kamu tidak bisa tidur.

"Sedang apa malam-malam begini?"

"Begini, besok aku ada jadwal konsultasi dengan beberapa dokter. Aku terlalu bersemangat sehingga-"

"Beberapa dokter?" potong Yasmina dengan nada tinggi.

Kukuh terkekeh. "Ini bukan kabar buruk, jangan panik. Aku harus ikut rehabilitasi. Kata mereka, prosesnya holistik, melibatkan beberapa aspek. Salah satunya aspek kejiwaan."

"Oh!"

"Apa aku kelihatan seperti pasien gangguan jiwa, Yas?"

Mau tak mau Yasmina tergelak. "Ck!" Mulut Yasmina manyun sesudahnya. Andai Kukuh bisa melihat bibir yang mencong menggemaskan itu ....

"Kok ck?"

"Kamu cengeng banget waktu itu sampai membahayakan nyawa. Itu gangguan jiwa!"

Kukuh tergelak. Sejenak, Yasmina menikmati tawa renyah itu sebelum ingatannya kembali ke pesta tadi. "Kuh, kamu baik-baik saja hari ini?"

"Kenapa? Aku terdengar nggak baik-baik saja?"

"Ah, enggak. Aku cuma ingin tahu."

"Kamu mencemaskan aku?" Suara itu terdengar diucapkan dengan sepenuh hati.

"Aku boleh jujur, 'kan? Iya, aku mencemaskanmu."

"Aku senang kamu begitu."

Mulut Yasmina mendadak kelu.

"Aku mau bilang sesuatu, tapi kamu jangan marah, ya?" lanjut Kukuh.

"Ck! Bikin aku deg-degan. Apa itu?"

"Tadi siang, kakekmu mengirim Restu." Suara itu terdengar lirih.

"Wah, pantas tadi Pramudya tidak membawa istri. Ternyata istrinya di tempatmu," jawab Yasmina berusaha seringan mungkin, walau hatinya menjerit.

Untuk apa kamu menceritakan itu, Kuh?

Tak ada jawaban untuk sementara waktu.

"Sejujurnya, aku nggak nyaman dia datang." Terdengar jawaban yang dalam dari seberang sana, seolah menyuarakan luka.

Yasmina merasakan seberkas rasa nyeri menyelip di hati. "Atas nama Kakek, aku minta maaf. Aku juga kaget waktu tahu."

"Kamu cemas karena itu? Aku sudah mengalami kesusahan yang terburuk. Apa lagi yang bisa menyakiti aku?" jawab Kukuh lembut.

"Tetap saja, aku merasa Kakek keterlaluan."

"Nggak pa-pa, aku ngerti. Kakekmu gigih," jawab Kukuh. Lalu dengan perlahan, ia bertanya, "Setelah tahu kejadian tadi, kamu bagaimana, Yas?"

Yasmina menggigit bibir. "Kamu bertanya soal apa, Kuh?"

"Ah, enggak. Lupakan!" Terdengar suara tawa sumbang sejenak. "Aku nggak keberatan kakekmu mengirim siapa pun, asal bukan algojo."

"Maksudmu?" Sekali lagi Yamina terkesiap. Ini perkara apa? Algojo?

Kukuh tertawa renyah. "Kamu kenapa? Selera humormu ketinggalan di pesta?"

"Ck! Kamu bikin bingung saja!"

"Masa?" Sekali lagi tawa renyah itu membuat jantung Yasmina berdesir.

Ruang dan jarak memang membatasi. Namun, perasaan manusia dapat bergerak di luar itu. Ruang, jarak, bahkan waktu tidak dapat menghalangi hati yang telah tertaut untuk saling meraba. Yasmina dapat merasakan gairah hidup yang tengah bertumbuh di seberang sana.

"Yas?"

"Ya?"

"Kapan pulang ke Kairo?"

"Besok."

"Kairo beda waktu lima jam, 'kan?"

"Benar."

"Jam berapa sebaiknya aku telepon nanti?"

"Kuh, kamu ...?"

"Aku bakal kangen suaramu, Yas."

"Aku juga." Asal kamu minta, aku akan batalkan penerbangan besok, Kuh.

"Hati-hati di jalan."

Seselip rasa kecewa menyusup ke jantung Yasmina. "Terima kasih."

....

"Yas?"

"Ya?"

"Selamat tidur."

"Kamu juga." Bilang mimpikan aku, Kuh.

"Bye."

"Bye."

....

"Yas?"

"Ya?"

"Tidur yang nyenyak, ya."

"Kamu juga." Yasmina tidak menutup telepon karena yakin Kukuh belum selesai.

....

"Yas?"

Nah, 'kan? Sudah kuduga dia akan panggil-panggil, batin Yasmina. Hatinya mengembang. "Yaaaaa?"

"Mimpikan aku."

"Ah? Oh! Mimpikan aku juga!" Irama jantung Yasmina mendadak tidak beraturan. Kukuh, hatiku meleleh, kamu tahu?

Yasmina merebahkan diri di kasur dengan senyum manis tersungging. Benar kata sang kakek, Kukuh tidak lemah. Seandainya lelaki itu tidak polos, pun tidak innocent, apa yang salah? Tidak ada orang yang sempurna, bukan?

Di penghujung malam itu, Yasmina memilih mengesampingkan segala hal untuk menuruti bisikan nurani. Saat terbangun keesokan hari, hal pertama yang ia lakukan adalah menelepon orang yang dititipi separuh miliknya yang paling berharga, yaitu hati.


☆~Bersambung~☆

Apdetnya kelamaan?

Tenang, cerita ini udah tamat di Karya Karsa dan KBM App.
Meluncurlah ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top