14. Kembali

Kembali ke Jakarta pagi-pagi, Yasmina merasa gamang. Misi telah gagal dan ia kenal kakeknya. Biar sejengkal tanah pun tak akan terlewati kalau lelaki itu sudah berikhtiar. Hampir dipastikan sang kakek tidak akan menerima penolakan tanpa perlawanan. Semoga strategi berikutnya bukan strategi menekan. Tidak tega rasanya bila harus menyaksikan pemilik tubuh rapuh itu menahan lebih banyak beban.

Pesawat yang membawa Yasmina dan Rosa baru saja take off. Yasmina termangu memandang bumi di bawah sana. Jogja terlihat semakin kecil seiring naiknya ketinggian pesawat dan akhirnya menghilang dari pandangan.

Demikian juga hatinya. Semakin jauh meninggalkan Jogja, hati itu semakin menciut, mengerut, hingga akhirnya ia tidak tahu lagi seperti apa bentuknya. Hanya beberapa butir air mata yang lolos ke pipi menunjukkan bahwa ia masih memiliki hati.

Kadang ia iri pada Rosa. Setahunya, Rosa belum pernah kehilangan, justru kerap membuat lelaki patah hati. Baru beberapa hari di Indonesia, ia sudah mendapatkan David. Padahal belum genap sebulan ia putus dari pacar tiga tahunnya. Bagaimana hati Rosa bisa secair itu?

Melihat air mata merembes, Rosa mengelus pundak saudaranya itu. Yasmina berbeda dari dirinya yang memandang mudah saja urusan lelaki. Ia bisa jatuh cinta berkali-kali tanpa merasa tersiksa. Yasmina hanya jatuh cinta tiga kali. Dua yang pertama dihiasi air mata. Agaknya yang ketiga ini pun tidak berbeda.

"Kamu masih bisa mengunjunginya sesekali," hiburnya.

"Untuk apa?"

"Entahlah. Memperjuangkan cinta barangkali?"

"Dia nggak mau denganku."

"Kamu kayak ABG nggak berpengalaman saja. Kamu nggak lihat tatapannya? Sikapnya? Seperti itu bukan jatuh cinta?"

Yasmina menyusut air mata. "Aku tahu dia suka, tapi dia nggak mau punya hubungan. Aku bisa apa?"

"Aku bingung. Saling jatuh cinta tapi nggak mau punya hubungan? Kalian kebanyakan berpikir. Apa, sih, yang terjadi waktu itu?"

Pipi Yasmina memerah. Ia tak sanggup menceritakan semua sekalipun dengan saudara kembar sendiri. "Malas, ah! Ngomong yang lain saja!"

"Jangan-jangan dia nggak percaya diri karena lumpuh."

"Mungkin."

Rosa mengubah posisi duduk menghadap saudaranya. "Dia ngomong apa waktu menolakmu?"

Yasmina berdecak dengan wajah masam, lalu menjawab dengan enggan, "Dia bilang dia nggak bisa memberiku apa-apa. Itu artinya dia nggak mau berkomitmen, 'kan?"

Mulut Rosa seketika manyun. "Kamu sudah baca hasil riset tim kita tentang kondisi fisiknya?"

Yasmina mengangguk.

"Kamu tahu, kan, hal yang bikin dia down terakhir kali adalah masalah sering ngompol itu?"

"Masa dia nolak karena sering ngompol?"

Rosa mendelik. "Yasmina Francesca Adam! Umurmu berapa, sih, Nak? Karena SCI itu, selain nggak bisa mengontrol pipis, Kukuh juga terganggu fungsi seksualnya."

Yasmina mengerjap sejenak, namun segera wajahnya memerah. Ia baru menyadarinya.

"Bagi seorang lelaki, 'itu' tuh sama saja seisi dunia!" tandas Rosa.

"Kamu yakin cuma karena itu? Bukan karena nggak cocok denganku?"

"Yakin banget!"

"Sebenarnya aku juga takut peristiwa Derry dan Johan terulang lagi."

"Kita nggak pernah tahu jawabannya kalau nggak mencoba."

Yasmina terdiam. Dalam hati ia mencoba meresapi perkataan Rosa. Sejurus kemudian ia buka suara, "Ros, pesawat ini bisa putar balik, nggak?"

Rosa mendelik kembali. "Kita nggak naik jet pribadi, Yasmina!"

Yasmina tercenung kembali. Wajah Kukuh yang teduh menyimpan keteguhan. Tidak ada yang bisa membelokkan jalan bila lelaki itu sudah membuat keputusan.

"Aku nggak berani berharap."

☆☆☆

Hari masih pagi saat Mercedes Benz S Class hitam yang membawa mereka berhenti di car port besar. Yasmina dan Rosa menapakkan kaki di teras besar yang anggun dan mewah.

Bu Angga, kepala rumah tangga sang kakek, menyambut di pintu depan. Beberapa orang pekerja rumah mengurus barang bawaan mereka yang tak seberapa.

"Yas, Ros! Ayo masuk!" sambut Meinar, nenek mereka.

"Nek, mana Kakek?" tanya Rosa.

"Sedang menemui tamu dari Saudi," jawab Meinar sambil memeluk dan mencium kedua cucu cantiknya.

Beberapa menit kemudian, perempuan berusia enam puluh tahun yang masih terlihat enerjik itu sibuk memberi instruksi kepada para asisten sebelum mengantar Yasmina dan Rosa ke ruang tengah.

"Gimana misi kalian?" tanyanya sambil mempersilakan kedua cucunya menikmati teh dan kue. Suaranya lembut dan renyah, mewarnai rumah besar itu dengan keceriaan.

"Gatot, Nek," jawab Rosa dengan mengerling penuh arti pada Yasmina. "Tapi kayaknya ada yang bakal dapat soulmate."

Yasmina berdecak sambil manyun, membuang pandang dari tatapan Meinar yang mendadak bersinar.

Rosa nyengir lebar. "Maksudnya aku, Nek. Gara-gara misi itu aku kenal seseorang."

"Lho, siapa lagi, Ros? Bagi-bagi, dong, dengan Yas."

Rosa mengangkat bahu. "Seleraku bukan seleranya, Nenek."

Ocehan mereka membuat Yasmina mengeluh diam-diam. Tidak melihat lelaki itu beberapa jam saja, ia menjadi begini, merasa tidak utuh lagi. Entah pikiran, entah hati, entah keduanya, tertinggal di Jogja.

"Melamunkan apa atau siapa, Yas?" sapa Meinar dengan pandangan teduh.

Yasmina cuma menggeleng. Meinar adalah istri kedua kakeknya. Perempuan itu menjadi salah satu sumber ketegangan antara sang kakek dan sang ayah, namun sangat dekat dengan Yasmina dan saudara-saudaranya.

Empat tahun setelah ibu Ibra meninggal, Iskandar menikah lagi. Saat itu Ibra masih berusia dua puluh tahun. Iskandar ingin mendapatkan keturunan lagi, agar Ibra punya saudara. Alasan itu tidak pernah dipercayai Ibra hingga detik ini. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang. Ternyata, semesta terkadang aneh. Iskandar tidak berhasil mendapat keturunan dari Meinar.

"Entahlah, Nek. Aku malas mengingatnya," jawab Yasmina asal.

"Kukuh itu anak yang baik. Nenek sedih dia menjadi seperti itu," kata Meinar dengan nada prihatin. "Waktu kecil, dia lucu sekali. Ganteng, pintar main piano, dan kritisnya bukan main."

Mau tak mau Yasmina tertarik dan menatap penuh tanya pada sang nenek.

"Waktu kecil dulu, kira-kira seumur TK begitu, Kukuh sering tidur dengan Nenek di sini, berdua dengan kakaknya, Sukma."

"Iyakah, Nek?"

Senyum Meinar tampak lembut dalam keikhlasan. "Waktu itu Nenek masih pingin-pinginnya punya anak. Kata leluhur, dekat dengan anak kecil bisa memancing datangnya rezeki itu."

"Ah, Nenek." Yasmina menangkap rasa pilu yang terpendam.

Orang luar boleh memandang negatif pada Meinar. Gadis biasa berusia dua puluh empat tahun yang bersedia dinikahi duda kaya berusia empat puluh enam tahun. Sangat mudah untuk menuduh Meinar materialistis. Namun, bagi Yasmina, Meinar adalah nenek terbaik, perempuan bersahaja yang bisa mengelus kedua kutub dan menghindarkan perang dunia. Yasmina yakin, menikahi Meinar adalah keputusan terbaik kakeknya. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana perilaku kuda liar tanpa joki yang handal.

"Nah, itu gaun kalian sudah datang," kata Meinar saat melihat sosok Bu Angga mendekat.

"Gaun?" Serentak, Yasmina dan Rosa berseru.

"Lho, kalian belum tahu? Nanti malam ada gala dinner untuk menyambut tamu-tamu Kakek. Kalian kan fasih berbahasa Arab. Tamu Kakek nanti banyak dari Saudi. Ayo, fitting dulu."

Tak ada pilihan selain menurut. Sambil fitting baju itu di kamar, Dian mengoceh di samping mereka. Asisten satu itu membacakan profil tamu-tamu sang kakek dan tata cara bertegur sapa, serta hal-hal yang harus disampaikan Yasmina dan Rosa sebagai bagian dari tujuan pertemuan.

"Dian, aku pusing! Mana bisa kuhafal semua wajah itu? Lihat, wajah mereka mirip semua," keluh Rosa.

"Tenang, Mbak Rosa. Nanti ada Irawan di sana."

"Mbak Rosa? Kok aku kalian panggil 'Bu'?" protes Yasmina.

Dian nyengir. "Hehehe, baik, M-mm-mbak Yasmina."

"Undangan buat temanku sudah sampai?"

"Sip, Mbak. Beliau sudah konfirmasi kehadiran juga."

"Siapa Ros?"

"David. Siapa lagi?" jawab Rosa santai.

Yasmina kembali berdecak sambil manyun. "Aku jadi nyamuk, dong?" ujarnya sedih saat teringat seseorang di kejauhan sana. Andai ia bisa seperti Rosa, mengundang lelaki itu.

Yasmina menepis keinginan itu. Niatnya adalah membuat jarak dengan Kukuh agar bisa melupakannya. Apa mau dikata, saat sedang sendiri di kamar, tangannya bergerak begitu saja meraih telepon.

"Yas?" suara lembut itu menyapa. "Sudah sampai?"

"Sudah. Kamu sedang apa?"

"Habis sarapan. Terus, karena demamnya sudah turun, aku disuruh latihan."

"Latihan apa?"

"Latihan duduk. Biar bisa duduk lama di kursi roda."

"Begitu ya."

"Latihan keseimbangan juga, biar mantap di kursi roda, nggak gampang jatuh."

Yasmina terkekeh kecil, membayangkan kembali betapa dingin sikap Kukuh dulu. Dapat bercakap hangat begini rasanya menakjubkan.

"Kenapa ketawa?" tanya Kukuh.

"Aku senang dengar kamu bicara santai begitu."

Sejenak hening, lalu terdengar suara lirih yang dalam, "Aku juga senang dengar suaramu, Yas."

Ada yang berguguran di dalam hati Yasmina. "Kalau senang, kenapa kamu menyuruhku pulang?" lirih dan dalam juga Yasmina membalas.

"Soal itu ...."

"Jangan dibahas," potong Yasmina. "Aku cuma bercanda kok."

"Aku minta maaf."

Saat panggilan telepon itu berakhir, Yasmina mulai mengutuki diri.

Ayo, Yas. Umurmu hampir tiga puluh. Buat apa mengharap orang yang tidak mau diharap?

_______________________

Disclaimer: Tidak semua penderita SCI mengalami hal-hal seperti yang dialami Kukuh. Kondisi mereka sangat tergantung bentuk dan tingkat injury-nya. Pada sebagian orang, tidak bisa ejakulasi atau bahkan ereksi adalah salah satu dampak SCI.


/////////////////

Yasmina salah, ya, Gaes?

Buat yang nggak sabar menunggu apdetan minggu depan, meluncur aja ke KBM atau Karya Karsa. Di sana sudah tamat dan siap dibaca maraton.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top