12. Diiringi
Your story is always beside me
Stay by my side forever
= Kim Hyun Joong =
Diiringi keempat rekan band-nya, Yeni, serta Rosa, Kukuh dipindahkan ke ruang perawatan siang itu. Kamar itu luas dengan tata ruang mirip kamar hotel berbintang, sehingga jauh lebih nyaman dibandingkan ICU. Seorang perawat membuka gorden kamar. Seketika seberkas sinar matahari menerobos masuk, mengenai mata Kukuh. Ia mengerjap silau.
"Sus, jangan dibuka. Saya silau."
Perawat itu tersenyum. "Cahaya matahari bagus untuk kesembuhan Anda, Pak Kukuh. Silaunya hanya sebentar. Kalau Anda sudah terbiasa, pasti tidak akan silau lagi."
Kukuh tertegun. Kata-kata perawat tadi terdengar bukan mengomentari sinar matahari, melainkan hidupnya. Dua tahun yang gelap, dipenuhi kesedihan, kehilangan, kesendirian dan kemarahan yang menghancurkan, serta menyisakan tubuh cacat. Tentu saja ia belum terbiasa! Apakah saat ini mataharinya sudah terbit? Matahari yang mengusik kegelapan hidup dan membuatnya 'silau'?
"Bu Yeni, saya mau bicara dengan Pak Jerry," katanya.
Yeni menurut dan memberikan ponsel Kukuh. "Jangan terlalu dipaksakan, Mas Kukuh."
Kukuh mengangguk. Dalam pembicaraan telepon itu ia meminta Jerry, CEO Phoenix, menangguhkan semua hal hingga minggu depan.
"Saya ingin istirahat total seminggu ini. Kita ketemu lagi minggu depan," instruksinya.
Kepada Yeni, ia wanti-wanti, " Jangan ada yang membesuk selain orang-orang gila yang ada di kamar ini."
Sontak, keempat rekan band-nya yang sudah mirip keluarga itu tertawa keras.
"Hei, dia sudah balik!" celetuk Hogan.
"Welcome back, Bro!" timpal Dedi.
Kukuh tertawa. Ia sendiri heran, mengapa mengasingkan diri. Jalannya ke depan memang berat. Entah selamat atau justru tamat, ia tidak tahu. Namun, tidak ada salahnya menikmati waktu bersama orang-orang tercinta ini, bukan? Hidup dan mati seseorang berada di tangan Tuhan. Berusaha melindungi orang-orang dengan melarikan diri dari masalah ternyata tidak berguna. Problem yang belum selesai akan selalu mengejar minta dituntaskan.
"Hanya kami yang di sini yang boleh membesuk, Mas?" tanya Yeni. "Mas Kukuh tidak kelupaan seseorang?"
"Oh iya benar. Tambahkan dia juga."
"Siapaaaa?" Gun, sang basis, genit menggoda.
"Bu Yeni tahu," kilah Kukuh.
"Eh, saya tidak tahu, kok!" sanggah Yeni.
Selanjutnya kelima orang itu menggoda Kukuh sampai wajah lelaki itu merah padam.
"Mau opname aja minta diantar orang Kairo."
"Pakai pingsan segala."
"Kalau sedang cengeng, kamu itu nyebelin banget, Kuh!"
"Tapi kalau nggak gitu dia nggak ketemu orang Kairo."
"Siapa namanya, Kuh?"
Kukuh cuma bisa manyun saja. Dalam hati ia nelangsa. Mereka tidak tahu bahwa ia tidak bisa menjalin hubungan sekalipun ia mau.
☆☆☆
Sore itu, Yasmina muncul membawa bunga dan bingkisan. Senyumnya mengembang sangat manis. Kukuh, yang berbaring dengan posisi setengah duduk, memandangnya dengan hati berdebar. Sesaat mereka saling menatap. Waktu seakan terhenti.
"Kamu mulai pulih" ujar Yasmina senang.
Wajah Kukuh terlihat lebih segar dari saat berada di ICU. Barangkali tanpa berbagai selang dan kabel, selain infus dan selang air seni, ia merasa lebih nyaman.
"Ya, terima kasih." Kukuh tersenyum lebar. Ini pertama kali ia merasa santai dalam dua tahun terakhir.
"Kalau waktu itu kamu terlambat seperempat jam saja, mungkin aku nggak tertolong. Demam berdarah itu ternyata ganas sekali."
Yasmina tertawa kecil. "Jangan diingat-ingat lagi. Mau makan kue? Aku bikin sendiri."
"Oh, ya?"
"Benar! Aku sempatkan masak tadi. Tanganku sendiri yang mengerjakannya!"
Dibukanya bungkusan yang ia bawa. Diulurkannya ke Kukuh.
"Kamu masih sempat masak kue? Ah, terima kasih banget! Taruh di sini. Kita makan sama-sama," ajak Kukuh seraya menepuk kasur di sampingnya.
Yasmina menurunkan pembatas bed, lalu duduk di dekat paha Kukuh. Sejenak tatapan mereka kembali beradu dan merahlah wajah keduanya.
Kukuh mengambil kue itu lalu mencicipi. "Kuenya enak." Diam-diam Kukuh menikmati derap jantung yang berpacu.
"Nanti kubawakan lagi," sahut Yasmina, pun dengan jantung berpacu. Sejurus kemudian ia bercerita tentang bermacam hal, yang remeh-temeh tentu, sekadar untuk menutupi hatinya yang mendadak kembali ke masa remaja.
Kukuh pelan-pelan mengunyah kue sambil memperhatikan Yasmina berbicara. Gadis ini benar-benar mirip burung parkit. Riuh, namun renyah, karena suaranya enak didengar. Dan wajahnya, ah!
Kukuh harus mengakui, Yasmina sangat cantik. Tingginya sedang saja, namun tubuh itu terlihat padat dan gesit. Matanya agak sipit, namun cemerlang. Hidungnya runcing indah. Di luar semua itu, yang paling menarik adalah bibirnya yang ranum kemerahan dan sedikit tebal. Bibir itu bisa mencang-mencong saat berbicara. Ditambah rambut ikalnya yang panjang, sungguh paduan yang menggemaskan!
"Aku sudah memikirkan saranmu," kata Kukuh sejurus kemudian.
Yasmina berhenti berceloteh, matanya menatap was-was pada Kukuh.
Kukuh tersenyum. "Aku nggak akan mengisolasi diri lagi."
"Aha! Aku tahu kamu bisa diandalkan," sambut Yasmina dengan mata melebar.
"Tapi kondisiku begini, apa hidupku bisa pulih seperti dulu?"
Kukuh mendesah halus. Pertanyaan aneh! Tentu saja tidak akan seperti dulu. Kamu bahkan tidak bisa berhubungan seksual sekarang! keluhnya dalam hati.
"Oh, pasti bisa! Ada kursi roda untuk membantumu bergerak, 'kan?"
"Begitu, ya? Selama ini aku merasa dipenjara di kursi itu."
"Percaya deh. Kamu cuma belum terbiasa. Suatu saat nanti kamu nggak akan canggung lagi. Aku banyak ketemu pemakai kursi roda yang bisa hidup produktif."
Kukuh tersenyum, teringat suster dan gorden tadi. Ia harus berhenti mengharapkan hidup yang sama seperti dulu, dan mulai menjalani hidup yang berbeda.
"Mereka bisa bahagia juga, lho!" Yasmina menambahkan.
Matanya membulat, membuat Kukuh tertawa.
"Aku punya sesuatu buatmu," kata Yasmina serius.
Dikeluarkannya biola dan mulai menggesek. Suaranya yang indah melantun memenuhi ruang itu.
Kukuh terpana. Lagunya sendiri! 'Lihatlah Mentari' ia buat untuk keponakan yang telah tiada, Jodi. Syairnya berisi ajakan untuk tertawa dan gembira menyambut hari baru. Tak pernah disangkanya akan ada orang yang menyanyikan lagu itu untuknya!
Lagu itu terdengar sangat berbeda saat dimainkan Yasmina. Iramanya yang indah menghasilkan kehangatan yang menyentuh hati, semakin lama semakin bertenaga. Rasa haru, syukur, kerinduan yang dalam berkecamuk menjadi satu menerjang hati, meluluhkan kebekuan. Seketika dirinya banjir emosi. Dia bahkan tidak ingat malu. Air matanya meleleh tanpa terbendung.
Yasmina kaget dengan reaksi Kukuh. Namun, ia tetap melanjutkan permainan biolanya sembari berlinang air mata pula.
Ketika lagu itu berakhir, bersamaan mereka menghapus air mata masing-masing. Sesaat, pandangan mereka beradu, membuat mereka tertawa geli.
Yasmina kembali duduk di pinggir pembaringan Kukuh. Ia menelisik wajah lelaki itu dengan seksama.
"Kamu mencari apa?" tanya Kukuh.
"Darah."
"Darah?"
"Sewaktu menangis dulu, kamu mimisan."
Kukuh mengecek hidungnya. "Sekarang enggak. Benar aku mimisan waktu itu?"
Yasmina terkekeh. "Parah, sampai bajuku basah."
"Aku nggak ingat itu," kata Kukuh.
"Jelas saja kamu nggak ingat. Kamu pingsan."
Tiba-tiba mata Kukuh melebar. Bersamaan dengan itu, wajahnya memerah.
"Loh, ada apa?" tanya Yasmina.
"Aku pingsan di ...." Kukuh tidak melanjutkan kalimatnya.
Yasmina terdiam. Ingatan akan pelukan itu membuat wajahnya turut memerah, bahkan lebih merah dari milik Kukuh.
////////////////////////
Jangan lupa follow akunku dan masukkan kisah ini di library.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top