YK3>9
"Tolong dia!"
Suara derak brankar yang didorong membuat suasana di unit gawat darurat itu terdengar dan terlihat sibuk.
"Kamu langsung keruang ICU saja i, kamu harus lihat keadaan Cal, aku urus ini dulu!"
Tak banyak bicara atau menyanggah, Prilly segera berlalu dari unit gawat darurat dimana pengendara sepeda motor yang tertabrak mobil yang dikemudikan Ali, dilarikan ke rumah sakit yang sama dengan Cal.
Pada saat kejadian, Ali sama sekali tak menyadari ada sebuah motor yang menyalip didepannya.
Ali segera membuka pintu mobilnya. Ia melihat pengendara sepeda motor tertindih motornya sendiri didepan mobil. Ali segera mencoba menolong sementara Prilly juga cepat-cepat turun dari mobil untuk melihat kondisi pengendara sepeda motor.
"Ya Tuhan, dia pingsan, a!" Prilly terdengar panik melihat kondisi pengendara yang terlihat tak sadar.
"Aduh bagaimana ini, a?" Prilly kelihatan panik.
"Bawa kerumah sakit, pak, anda harus bertanggung jawab!" Salah seorang warga yang menghampiri tempat kejadian berkata meminta Ali bertanggung jawab.
"Iya, pasti saya akan bertanggung jawab!" Sahut Ali menegaskan.
"Tapi bukan bapak ini yang salah, motor dia ini tadi yang menyelip lalu mobil nyenggol dia!" Sahut yang lain.
"Cewek memang gitu sih kalau naik motor, nyelip tapi kurang ngegas, jadinya ketabrak!" Seru yang lain.
"Saya akan tetap bertanggung jawab, saya akan bawa dia kerumah sakit!"
Ali merasa tetap harus bertanggung jawab karna iapun tak tahu pasti bagaimana ia bisa menabrak motor tersebut. Dan orang-orang yang berkerumun itu satu persatu mundur teratur lalu beberapa membantu untuk mengangkat korban dan memasukkan kedalam mobil Ali.
"Iya Beni aku lagi dijalan!"
Suara Prilly saat menerima telpon membuat Ali ingin menginjak pedal gas kuat-kuat agar segera sampai tujuan.
"Hati-hati, a!" Prilly menyentuh lengan Ali. Merasa bersalah karna kejadian itu berawal dari masalahnya, "gak usah ngebut lagi, nanti malah ada korban lagi..." Prilly melanjutkan ucapannya sambil tetap mengusap lengan Ali berulang kali. Ali hanya melirik punggung tangan yang mengusap lengannya itu.
Melirik perempuan dibelakang mereka, Prilly melihat orang itu tak bergerak. Sangat mengkhawatirkan keadaan perempuan tersebut. Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, pasti Ali akan tertimpa masalah. Hingga tiba di rumah sakit dan diminta Ali langsung menemui Cal rasanya tubuh Prilly lemas.
"Kamu nggak usah khawatirin ini, pasti akan selesai, kamu pikirkan Cal saja!" Ali berpesan sebelum Prilly melangkah.
"Pril, akhirnya lo datang juga!" Suara Beni menyapa telinganya begitu mendekati ruang ICU.
"Bagaimana, Cal?"
"Belum sadar!"
Prilly sudah tak tahu lagi siapa yang mendorong dan memakaikan baju khusus membesuk diruang ICU. Yang pasti melihat keadaan Cal Prilly merasa sangat bersalah. Perban dimana-mana. Nampak bercak darah.
"Maafin aku, Cal!"
"Sebelum tak sadarkan diri dia selalu menyebut nama lo!"
"Benarkah?"
Prilly semakin merasa bersalah telah mengabaikannya. Pasti dia tak konsen gara-gara mendengar suara Ali menerima telponnya. Ia tak tahu Cal sedang mengemudi ketika menelpon.
"Dia menelpon hanya ingin mengabari kalau akan pergi sama gue!" Ucap Beni lagi.
"Dia selalu bilang sangat sayang sama lo," lanjut sahabat Cal itu.
"Mencoba memahami lo, ketika lo dibutuhkan yang lain," Beni masih mengurai kalimat.
"Begitu cemburu dengan pria lain yang ia tahu gak pantas untuk dicemburui," Beni terlihat mrmandang wajah Cal yang sedikit tertutup perban diatas keningnya.
"Terkadang ia merasa lo gak mencintainya lebih dari yang lain," Beni nyaris berbisik.
"Selalu saja ngerasa dirinya gak lebih baik dan gak bisa bahagiain lo, dia..."
Prilly menutup wajahnya dengan tetesan airmata yang tak berhenti. Kasian Cal. Ia merasa begitu mengabaikannya. Tak begitu peduli pada pria yang ia sebut kekasih itu. Dan asik dengan dunianya sendiri.
"Maafin aku, Cal!"
Prilly menggenggam tangan Cal dan menelungkup dilengannya. Hanya menangis. Ia tak bisa berkomentar apapun menjawab ucapan Beni. Ingin mendengar tapi tak mampu mendengar lagi. Sudah cukup ia rasakan pedih yang dirasa Cal karnanya.
"Aku gak pantas buatmu, Cal!"
"Jangan bicara begitu, dia merasa dirinya yang gak pantas buat lo, Pril!"
"Cal... maafin akuu!"
Prilly makin terisak. Dan mencium tangan Cal lantas menempelkan dipipinya.
"Kata dokter kepalanya terbentur sangat keras, trauma kepala mungkin membuat dia amnesia jika suatu saat sadar, apa lo masih bisa terima dia?"
Beni kembali mengungkap kabar mengejutkan. Prilly terperangah lalu menggeleng tak percaya.
"Gue nggak mungkin ninggalin dia dalam keadaan gimanapun Ben!"
"Berarti lo mau ngerawat dia bila dia memang amnesia?"
"Tentu saja!"
"Apa lo mau menghabiskan waktu lo buat dia ingat lagi sama lo?"
"Pasti..."
"Ponakan lo?"
Prilly terdiam sejenak. Bagaimana dengan Caca? Bukankah Caca sangat tergantung padanya.
'Ya Tuhan, andai aku bisa dibagi dua!' Prilly meremas kepalanya yang seketika pening.
Tarikan napasnya berat terdengar diiringi bunyi air yang tertarik dari hidungnya. Prilly menutup wajahnya lagi. Kalut. Cal sedang membutuhkannya. Cacapun demikian. Kedua-duanya menjadi prioritas. Lalu apa yang harus ia lakukan? Jika ia mengatakannya pada Ali, tentu saja Ali akan mendorongnya untuk lebih memprioritaskan Cal. Ali pernah bilang, "Pasti Caca akan terbiasa dengan siapapun yang menjaganya, nanti aku akan selalu mengingatkannya untuk berdoa agar mamanya segera sadar, agar Caca tidak merepotkanmu lagi!"
Dan Prilly merasa ngilu mendengarnya. 'Apa kamu pikir begitu sadar Prully akan menjaganya dengan baik, a?'
Prilly menghela napasnya dan menggeleng, 'Ah, mungkin setelah bangun dari koma ia akan tobat, semoga a!' Batin Prilly kembali melanjutkan isi pikirannya dengan harapan agar begitu sadar dari koma, Prully akan menerima Caca dan menjaganya dengan baik.
Drrrttt....Drrrttt...
Bunyi telpon dan getarannya mengejutkan Prilly yang sedang dilanda kekalutan. Ponsel yang berada didalam saku jaketnya terdengar sedikit berisik diruangan yang sepi. Prilly berdiri dan melangkah menjauhi ranjang perawatan Cal karna takut bunyi ponselnya mengganggu.
Laila calling
"Laila?"
Prilly refleks menerima telpon dan menjauh dari ruang itu agar tak mengganggu ketenangan Cal. Lagipula telpon itu dari Laila. Pikirannya langsung tertuju pada Caca.
"Ya?"
"Halo bu, saya tadi menelpon bapak tapi tidak diangkat-angkat, jadi saya menelpon ibu..." suara Laila langsung saja terdengar. Dan terdengar suara tangis Caca disela Laila bicara.
"Kenapa Caca?" Prilly juga langsung mempertanyakan Caca.
"Panasnya meninggi bu, apa yang harus saya lakukan, eyangnya belum datang, saya hanya dengan mbak Sarah?!"
"Belum datang?" Prilly mengeryitkan dahi.
"Sudah dikompres?"
"Sudah!"
"Mau minum susu nggak?"
"Sebentar-sebentar dilepas bu dotnya, dia gelisah!"
"Sebentar...."
Prilly terlihat panik dan tergopoh kesana kemari dengan bingung. Lagi-lagi ia harus menangis ditengah keadaan yang menjepitnya. Mencoba menelpon Ali tapi Laila benar, tak dijawab-jawab. Lalu ia teringat Ali belum juga muncul. Apa korban tabraknya begitu parah sampai tak selesai-selesai?
Prilly berlari kecil meninggalkan depan ruang ICU kembali ke UGD. Setidaknya ia harus mengatakan pada Ali keadaan Caca. Dan setidaknya Ali bisa membantunya bergerak cepat seperti tadi saat dirumah.
"Saya akan ganti rugi berapapun anda mau!"
"Anda pikir dengan ganti rugi masalah selesai!"
"Lalu apa mau anda?"
"Tunggu pengacara saya!"
"Pengacara?"
Prilly terheran mendengar pembicaraan Ali dan korbannya yang sekarang terlihat sadar.
"Aa!"
Ali menoleh mendengar suaranya.
"Ii? Kenapa kesini? Bagaimana Cal?"
"Aku nelpon aa tadi!"
"Handphone aku ketinggalan dalam mobil!"
"Ohh pantas..."
"Aku akan nyusul kamu, sebentar lagi selesai!"
"Tapi tadi aku dengar dia..."
"Sudahlah, aku bisa mengatasinya!"
"Tapi a, aku tadi ditelpon si Lai ..."
"Itu pengacara saya!"
Lagi-lagi ucapan Prilly terpotong dan mereka menoleh bersamaan kearah orang yang menghampiri mereka.
"Gusti?"
"Heii, Ali!"
Pria yang disebut Gusti itu menoleh pada perempuan yang merasa menjadi korban dan tak cukup hanya diberi ganti rugi.
Sedari sadar dan mendapat pertolongan pertama di UGD, perempuan ini membuat Ali prustrasi. Ali sudah mengatakan kalau ia akan mengganti semua biaya perawatan dan ganti rugi kerusakan sepeda motor. Tapi perempuan itu ngotot dan berbelit-belit.
"Gara-gara mobil mas saya jadi jatuh, lalu saya terlambat datang kepertemuan bisnis saya yang bernilai ratusan juta, bagaimana mas cuma ingin bertanggung jawab ala kadarnya?"
"Maksud mbak apa?"
"Apa mas bisa mengembalikan waktu saya?"
"Ya kan sudah nggak mungkin lagi mbak!"
"Justru itu, anda harusnya mengerti!"
Saking panjang dan berbelitnya, Ali sebenarnya mulai tak sabar. Hampir saja Ali tak bisa menahan diri kalau tidak mendengar Prilly memanggilnya.
"Lo mau minta bela apa? Ini temen gue, " Gusti menunjuk Ali.
"Teman lo?" Perempuan itu membelalak kaget.
"Iya, kenapa? Selalu saja drama, jangan manfaatin profesi gue!"
"Gusti?"
"Kasus ditutup!"
"Ck!" Perempuan itu berdecak.
"Kalau saja diteruskan saya tidak takut nona, toh banyak yang melihat kalau motor anda yang salah, saya sudah tahu anda terlalu berlebihan, sedari tadi seakan-akan sengaja menahan saya, sebenarnya saya bisa tuntut balik anda, tapi..."
"A, sudahlah, lebih baik fokus Caca....."
Prilly memotong ucapan Ali yang mulai meninggi nadanya. Sepertinya sedari tadi isi otaknya sudah dipenuhi amarah pada yang disangka korban padahal sebaliknya.
Menyentuh lengannya, Prilly setengah menyeret Ali.
"Laila tadi menelpon, bilang kalau suhu badan Caca naik, dia bingung harus bagaimana, ibu belum datang!"
"Bagaimana dengan Cal?"
Ali mencoba menunjukkan empatinya pada Cal meski sebenarnya mendengar keadaan Caca ia ingin segera meloncat pulang.
"Cal..." Prilly seketika tersendat membayangkan wajah Cal yang pucat terbaring diruang ICU.
Sekelebat ucapan Beni yang mengungkapkan apa yang ia dengar dari Cal membuatnya merasa sedih.
"Nggak sadar aaa..." Prilly berkata dengan suara bergetar dan setelahnya ia sudah berada dalam pelukan Ali.
"Dia akan hilang ingatan a, dia akan melupakan akuuu..."
Ali tak tahu harus berkata apa. Hanya memperat pelukan dan mengusap kepala dalam dekapannya. Ada rasa kasian. Ada rasa bersalah. Ada terselip denyut ngilu entah apa yang ia rasa. Yang pasti ia tahu rasanya, tentu tak jauh berbeda ketika Prully dinyatakan koma setelah melahirkan anaknya.
"Sabar ya, berdoa saja semoga Cal dikuatkan, disadarkan dan tetap ingat sama kamu!"
Sebenarnya doa Ali untuk Prilly sama seperti mendoakan dirinya sendiri. Ia masih memiliki harapan agar Prully sadar, pulih dan takkan melupakan kalau pernah melahirkan anaknya.
Pada akhirnya mereka berdua merasa senasib.
"Makasih, a!" Prilly menenggelamkan kepala ditempat dimana ia akhir-akhir ini menangis disana karna orang yang sama. Tapi kali ini ia benar-benar sedih karna berbagai hal. Cal yang tak sadarkan diri dan diprediksi akan amnesia. Lalu Caca yang harusnya dibawa kedokter jadi terbengkalai karnanya.
"Kamu jangan khawatirin Caca ya, nanti ibu akan pergi dengan Laila dan mang Suria, aku ambil ponsel aku dulu dimobil!" Ali berkata saat mereka saling melepas pelukan.
"Aa gak mau nemenin ibu ke dokter?" Prilly bertanya setelah mengangkat wajahnya menatap Ali.
"Apa kamu gak perlu ditemenin?" Ali balik bertanya dan menatapnya. Melihat sisa airmata Prilly, Ali refleks menyentuh sudut matanya dengan telunjuk yang dilengkungkan.
Prilly mengalihkan pandangannya sambil menyusut sisa airmata yang tadi disentuh jari Ali. Kenapa tiba-tiba aliran darahnya tadi terasa tersendat? Seperti ada sengatan sesaat setelah disentuh disertai tatapan dalam yang perhatian.
"Aa ikut aja nemenin ibu biar tahu keadaan Caca, aa nanti yang ngabarin aku yaa..." Prilly mengembalikan rasa yang sesaat entah seperti apa.
Ali menatap Prilly ragu. Sebetulnya ia ingin menemani Prilly atas dasar peduli. Selama ini jika urusan Caca, Prilly sangat peduli bahkan mengesampingkan yang lain terlebih Cal. Saat ini keadaan Cal membuat Prilly sedih dan terlihat terpukul. Apalagi ia sangat menyadari, kecelakaan yang dialami Cal setelah ia menerima telponnya. Pasti Cal emosi mendengar suara sapanya diponsel Prilly.
"Benar gak apa apa ditinggalin?"
"Aku maunya ikut kedokter membawa Caca, tapi ..."
"Biar aku saja!" Potong Ali. Ia tak mau saat ini Prilly lebih mementingkan anaknya. Cal lebih penting sekarang.
"Mama harus menemani Om Cal, maafin mama ya Ca!" Prilly menunduk sedih dan berkata seperti pada Caca.
"Kamu jangan nguatirin Caca, ada aku, aku mewakili kita berdua, Caca pasti akan sembuh, nanti aku bilang kalau mama sayang sama Caca, ya..."
Dan Ali meyakinkan Prilly agar tak perlu mengkhawatirkan Caca, karna dia ada mewakili mereka berdua. Dan itu membuat Prilly merasa tenang.
"Aa mau pergi sekarang?"
"Boleh aku menengok Cal dulu sebentar?"
Prilly mengangguk dan melangkah diiringi Ali. Beriringan melalui lorong rumah sakit yang masih lengang. Sesampainya dipintu depan ICU mereka berdiri didepan kaca. Melihat kedalam sana Cal terbaring tak berdaya.
Sesaat keningnya mengeryit dan berkerut lalu menatap Prilly.
"Kenapa, a?"
Ali menggeleng.
"Aku pamit dulu i, kabari kalau kamu perlu sesuatu!"
Prilly mengangguk dan melepas Ali dengan menatap pungungnya yang lebar tanpa kedip saat bergerak menjauh.
"Ipar lo?"
Suara Beni yang tiba-tiba ada dibelakangnya mengejutkan Prilly. Menoleh padanya Prilly hanya mengangguk.
"Orang yang akhir-akhir ini membuat Cal cemburu buta!"
Prilly terkejut mendengar ucapan Beni. Ia tak menyangka sampai sejauh itu Beni tahu.
"Kemana sampai terburu-buru?" Beni mengikuti langkah Prilly kedalam ruang ICU.
"Anaknya juga harus dibawa kedokter!" Sahut Prilly sambil memakai baju pembesuk ruang ICU.
"Kenapa lo gak ikut?"
"Maksud lo apa sih Beni, lo pikir gue atau dia gak punya perasaan?"
"Bukan begitu, Cal pernah bilang lo lebih mentingin anak kecil itu daripada urusan dengannya," sahut Beni menjelaskan.
Prilly menghela napasnya. Beni sepertinya tahu segalanya. Bahkan sangat detail.
"Sekarang dia harusnya tahu kalau dalam kondisi seperti ini aku tetap bersamanya!" Lirih suara Prilly sambil menatap wajah Cal.
"Ya, dia sudah tahu sekarang, betul kan Cal?"
Dan sesaat darah Prilly terasa berhenti mengalir. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya. Kakinya terasa berat menapak dilantai. Dadanya menyesak tiba-tiba.
Terkejut saat tubuh Cal tiba-tiba duduk dari berbaringnya membuat Prilly merasakan tubuhnya gemetar seketika.
"Apa maksudnya ini?"
"Terima Kasih telah membuktikan padaku kalau aku masih berarti bagimu, sayang!" Cal berkata sambil menarik perban yang melingkar dikepalanya.
"Mak...maksud kamu apa?" Suara Prilly kembali bergetar. Keterkejutannya dikalahkan rasa sesak yang mendadak memenuhi rongga dadanya menyadari jika ini hanya sebuah kejutan untuknya.
Seketika Prilly menyadari, layar monitor EKG sedari tadi tak menunjukkan apa-apa. Bahkan talinya tak tersambung kemana-mana. Tadi yang ia rasa hanya panik. Hanya sedih. Hanya merasa bersalah. Ternyata....
"Cal, ini nggak lucu, ini sungguh keterlaluan, sumpah, aku nggak nyangka kamu bisa berbuat kayak gini demi egomu, kamu hampir mencelakakan banyak orang demi kepuasanmu sendiri, kamu tega Cal!!"
♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 5 April 2018
00.26 wita
Bagaimana perasaan kalian pada Cal?
Kesel, jengkel, pingin menggaruk atau membenarkan?
Kalau kalian jadi Prilly, apa yang akan kalian lakukan?
Sebenarnya aku mau lanjutin ngetik sampai dititik tertentu yang sudah berkeliaran diotakku. Tapi aku udah ngantuk berat maaf ya, semoga lanjutannya cepet deh... Terima Kasih membaca... ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top