YK3>6

"Aku nggak bisa diginiinnn teruss..."

Ali hanya diam. Entahlah. Mau menghibur tapi apa yang harus dikatakan? Lagipula ia sengaja diam juga agar Prilly puas mencurahkan isi hatinya tanpa dipotong.

Sekarang ia harus berada ditempat yang netral. Sebenarnya Cal tidak sepenuhnya salah. Sebagai kekasih Prilly tentu saja pasti ada perasaan terabaikan jika Prilly hampir sebulan ini lebih mementingkan kepentingan Caca. Prilly pun juga tak salah, maksudnya mementingkan Caca karna memang Caca sedang membutuhkannya. Ali justru merasa, harusnya ia yang tahu diri membawa Caca dan mencarikannya baby sitter. Tapi jika ia bicara seperti itu sekarang, Prilly akan tambah sakit hati. Bagaimana tidak? Adik iparnya itu sudah berusaha mementingkan Caca, lalu kalau ia berkata seakan ingin menjauhkan Caca, apa katanya?

"Masa dia bilang begini, anaknya dianggap anak, sekalian aja papanya dianggap suami, kan nggak ngenakin omongannyaaa..."

Ali makin terdiam mendengar curahan hati Prilly yang menyenggol status mereka. Anaknya dianggap anak, papanya dianggap suami? Seketika jantungnya berdenyut ngilu.

"Coba kalau aa diposisi dia, apa aa juga akan bersikap sama?"

Prilly tiba-tiba mengangkat wajah menatapnya dengan pertanyaan yang membuat Ali terkejut. Jika diposisi Cal? Bagaimana dengan sikapnya? Ali mencoba berada diposisi Cal. Mungkin ada rasa cemburu. Merasa dikesampingkan.

"Aa?"

"Emhh, mungkin dia hanya ingin kamu seimbang," sahut Ali setelah beberapa jenak berpikir. Takut salah bicara.

"Berarti aa nyalahin aku? Aku nggak seimbang?" Prilly menggerakkan tubuhnya sedikit melonggarkan diri dari pelukan Ali.

"Bukan begitu..."

Ali menatap wajah Prilly yang bersimbah airmata dan menghapus lagi airmatanya.

"Aku tau kamu merhatiin Caca seperti anakmu sendiri, tak ada maksud lain, berikan pengertian sama dia pelan-pelan, nanti juga akan luluh kalau kamu berusaha menyeimbangkan!"

"Susah luluhnya a, dia egois soalnya!" Tukas Prilly tak yakin.

"Harus ada yang mau ngalah..." Ali mencoba memberikan sarannya dengan nada hati-hati.

Perhatian Ali dan Prilly beralih tertuju pada Caca ketika tubuh mungil dipangkuan Prilly itu bergerak dan mengeluarkan suara kecilnya. Prilly menunduk memperhatikan gerakan anak itu dan menggesek pipi balon itu dengan ujung jarinya.

"Kasian Caca, harusnya dia dalam dekapan ibunya sekarang, aku begini demi dia, karna ibunya saudaraku..." gumam Prilly seperti pada dirinya sendiri. Seolah tak ada yang paling mengerti dirinya kecuali dirinya sendiri.

Ali ikut menunduk menatap pada Caca yang menggeliat didalam lampinnya.

"Terima Kasih!" Ali berkata dan Prilly mengangkat wajah lagi karna ucapannya.

"Terima Kasih?" Prilly mengulang ucapan Ali dengan nada bertanya.

"Maaf juga..."

"Udah berapa kali aa bilang terima kasih dan maaf, aku sudah katakan aa nggak salah apa-apa," geleng Prilly menatap Ali sungguh-sungguh.
Ali tak dapat lagi berkata apa-apa. Pilihannya hanya mengusap kepala dan meraih bahu lalu memeluknya lagi. Tanda terima kasih dan maaf yang selalu ingin ia ucapkan pada Prilly.

Sebenarnya terkejut dan jadi berdebar akibat dari pelukan itu. Tapi Prilly justru memejamkan matanya. Tempat yang sesaat tadi sebenarnya membuatnya merasa tenang saat sedang gundah itu. Pelukan menguatkan.

"Makasih ya, a!" Prilly mendongakkan wajahnya.

"Kenapa?" Ali mengeryit seraya menunduk menatapnya.

"Udah jadi tempat curhat dadakan," Prilly terkekeh.

"Apa sudah cukup nangisnya?"

"Ihhh!"

"Aww, kok nyubit sih?" Ali memegang tangan Prilly yang mendaratkan cubitan kelipatan perutnya.

"Habis pertanyaannya begitu sambil senyum-senyum pula, emang kenapa? Lucu ya?"

"Iya lucu, ingusnya meleleh mulu dari tadi!" Ali menyisil hidung Prilly yang basah dan mengeringkan tangannya kebelakang baju yang dipakainya.

"Aa iniiihhhh," tangan Prilly mendorong wajah Ali untuk mengalihkan tatapan penuh senyumnya.

Ali tertawa mengembalikan arah pandangnya lagi pada Prilly. Wajah Prilly kini benar-benar terlihat lucu.

"Balon!"

"Apanya?"

"Pipinya kayak balon mirip Caca!"

"Aa iniiihh..." Prilly mencubit bahu Ali.

"Gitu dong senyum, daripada nangis, nanti matanya yang cantik ketutup kelopak mata yang bengkak, eh!"

Ali hampir saja menutup mulutnya karna keceplosan mengatakan mata Prilly cantik.

'Jadi mata aku cantik nih, a?' Prilly ingin berkata seperti itu tapi urung.

Ali berdiri diikuti Prilly lalu menaruh Caca di boxnya dengan perasaan yang tak bisa diartikan. Susah. Apalagi Ali sepertinya langsung berlalu tanpa kata.

"Mama? Ibu?"

Prilly menoleh pada Ali yang berdiri didepan pintu setelah terjengit kaget menyebut mama dan ibu, karna disana berdiri mama Prilly dan ibunya yang sudah ada didepan pintu entah sejak kapan.

"Caca kenapa?" Mama Prilly memasuki kamar dan mendekati box Caca diiringi ibu.

"Enggak kenapa-kenapa, ma!" Sahut Prilly.

"Rewel?" Ibu Ali ikut bertanya.

"Biasa, bu!"

Seketika suasana menjadi agak tegang karna kedua ibu tersebut tak berkata banyak. Setelah menengok Caca mereka keluar diiringi Prilly dan Ali.

"Kapan ibu kembali dari rumah Kak Aysha?"

"Ali kapan pulang kerumah?"

Ali bertanya tapi ibunya pun balik bertanya setelah mereka duduk bersama diruang tamu. Memang beberapa hari ibu Ali berada ditempat Aysha kakaknya yang mengikuti suaminya. Suami Aysha seorang dokter didaerah terpencil.

"Ali udah mau pulang kok, bu!"

"Membawa Caca?"

"Mau Ali begitu, bu!"

Prilly ingin menyahut tapi urung. Mamanya menyentuh tangannya seakan memberi kode agar dia hanya mendengarkan.

"Kalau Caca dibawa kerumah, harus ada baby sitter yang merawatnya Li, ibu akan carikan!"

"Emhh..." Ali melirik Prilly tak nyaman.

"Bu, maaf, kenapa Caca tidak disini saja bersama saya bu?" Prilly akhirnya menyahut tak bisa dicegah meski mamanya kembali meliriknya.

"Pril, bukan ibu tak ingin, Ali itu papanya, Caca masih tanggung jawabnya, dia punya kesibukan juga, kalau harus bolak-balik menengok Caca dan ibunya dirumah sakit, terlalu repot bagi dia, lagi pula Prilly juga punya kehidupan sendiri dimana harusnya Caca dan Ali tidak merepotkan..." ibu Ali mencoba memberi pengertian.

"Enggak merepotkan kok bu, ii akan berenti kerja kalau aa mau bu!"

Sesaat hanya ada diam. Sepertinya semua yang ada disana tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kalau semua bertahan dengan keinginannya, bagaimana masalah ini bisa terselesaikan?

"Oke, Caca disini selama belum mendapat baby sitter ya," Ali memutuskan yang dijawab helaan napas Prilly. Mau membantah, ia tak nyaman dengan orangtua Ali. Sebetulnya mereka ada benarnya. Caca putrinya Ali. Tapi kenapa sih tidak diserahkan saja padanya? Bukannya ia tantenya? Lagipula lebih baik dengannya daripada dengan baby sitter.

"Kamu bisa selalu menengoknya kerumah, i, bila dia sudah sama-sama aku!" Lanjut Ali lagi.

Prilly menunduk mendengar ucapannya. Sesungguhnya Ali tak tega melihat ekspresi Prilly. Tapi memang sepertinya hal itulah yang terbaik.

Mereka tak sadar mama Prilly dan ibu Ali sudah berada didepan pintu ketika Prilly mencurahkan isi hatinya. Maksud hati ingin menengok cucu, tetapi mereka urung masuk ketika mendorong pintu melihat Prilly menangis dipelukan Ali bersama Caca dipangkuannya.

Mama Prilly baru pulang dari pasar ketika menemukan pintu tak terkunci. Prily lupa mengunci pintu setelah Cal pergi. Tak lama ibu Ali datang dan mereka sama-sama menuju kamar Caca. Melihat pemandangan itu para ibu berpandangan dengan wajah susah diartikan satu dengan yang lain. Dari curahan hati Prilly mereka bisa tahu apa yang menjadi masalahnya sekarang. Pikiran mereka buyar saat Ali keluar dan menemukan mereka.

"Ii, mau kemana?"

Prilly tak menyahut ketika mamanya bertanya setelah melihat ia berdiri dan mencoba berlalu dari ketiga orang dihadapannya, kembali kekamar Caca.

"Ca, jangan lupain mama yaaa!" Prilly memandangi Caca didalam boxnya. Seketika sedih. Posisinya pun sulit saat ini. Dan sekarang, ia cuma bisa pasrah saja jika memang Ali sudah menemukan baby sitternya.

"Semoga tidak menemukan baby sitter dalam waktu cepat ya!"

Prilly menoleh Ali yang sudah berada disampingnya. Merengkuh bahu dan mengusapnya berkali-kali membuat Prilly makin sedih saja.

"Bagaimana kalau aku saja yang melamar jadi baby sitternya?"

"Kamu mamanya bukan baby sitter!"

"Kalau mamanya kenapa dipisahin?"

Ali terdiam. Tak bisa menjawab apapun lagi. Yang jelas ibunya tak salah jika bersikap demikian karna iapun menginginkan Caca tinggal bersamanya. Dan Prilly pun sebenarnya juga tak salah menginginkan Caca bersamanya.

Posisi mereka benar-benar sulit sekarang. Prilly merasa, harusnya ia bisa menebus ketidak berdayaan kakaknya. Setidaknya ia bisa menjadi pengganti kasih sayang ibu yang tidak didapatkan Caca. Bahkan sejak masih dalam kandungan. Bagaimana tidak, Prully tadinya ingin membuang benihnya karna tak terlalu berharap bahkan menyesali kenapa bisa ia ceroboh. Setelah kejadian malam itu, sebulan setelahnya Ali segera menikahi Prully. Dan selang beberapa waktu, Prully merasakan tanda kehamilan.

"Gue nggak nyangka bakalan jadi, cerobohnya gueee, gara-gara temen-temen gue, gue jebak Ali, iiiii!!"

"Menjebak gimana, a?"

"Waktu itu mereka membantu memberi obat perangsang diminuman Ali, gue sengaja mabuk biar gue lupaa, karna kalau gue sadar, gue nggak bakalan napsu sama diaa, gue jebak dia dan diri gue sendiri karna gue tertantanggg!"

"Tertantang?"

Prilly bergidik ngeri mendengarnya. Ternyata separah itu kakaknya. Pantas saja ia begitu cepat memutuskan menikah padahal dia bilang baru kenal tapi sudah merasa cocok. Apalagi yang Prilly tahu, Prully baru saja putus dengan Jodi pacarnya entah apa sebabnya.

"Gue ditantang Jodi, gue geram karna dia bilang nggak ada yang akan mau sama gue kalau putus dari dia, karna semua yang gue miliki sudah dia ambil!"

Prilly makin syok mendengarnya. Jadi Ali mendapat sisa Jodi?

"Trus temen-temen gue manas-manasin, gue pasti bisa ngedapetin seseorang yang mau sama gue segera, dan ide menjebak dengan cara begitu terbersit begitu sajaaa tanpa gue pikir lagiii!"

Ya Tuhan. Prilly makin syok mendengarnya.

"Gue mau gugurin aja bayi ini, setelah itu gue minta cerai!"

"Aa jangan gegabah, anakmu salah apa?"

"Justru karna dia gak salah, dia nggak harus adaa, gue..."

"Aa please, jangan korbankan dia, ini sudah takdir a, aa berjodoh sama papanya, ya udah terima aja!"

"Lo gampang bilang gitu, kenapa gak lo aja yang nikahin papanya, emang lo mau disuruh ninggalin Cal!"

"Ya Tuhan a, apa hubungannya lagi sama gue dan Cal? Lo sehat a?"

Prilly menggelengkan kepalanya tidak paham jalan pikiran Prully.
Panik. Lalu gegabah. Semua orang jadi korban. Sampai-sampai, benih didalam rahimnya yang masih segumpal darah saja ingin dikorbankan. Dan Prilly mati-matian berusaha menenangkannya agar ia tak nekat menghilangkan benih dalam kandungannya itu.

"Gue yang akan rawat dia a kalau aa nggak mau rawat, please jangan buang dia a, aa tau, berapa banyak pasangan yang menginginkan memiliki anak tapi belum dikasih Allah kepercayaan, jadi kenapa aa malah ingin membuangnya?"

Prilly menutup wajah dengan kedua tangannya setelah bayangan Prully saat itu seperti film yang diputar ulang dalam otaknya.

"Aku nggak bermaksud misahin kalian i, tapi aku nggak punya pilihan lain, aku minta maaf," Ali menarik bahu Prilly yang sedari tadi diusapnya untuk menenangkan dalam dekapan. Yang ia tahu hanya, Prilly ingin merawat Caca dan tak ingin jauh dari anaknya itu, sama sepertinya.

"Aku udah janji menjaga Cacaaa, aaaa!" Prilly berkata dengan dada yang kembali  sesak. Merasa tak berdaya dengan keputusan yang sudah diambil Ali. Ia sedang bermasalah dengan Cal, dan ia tak mungkin menjelaskan hal yang sebenarnya, kenapa ia ingin sekali Caca tetap bersamanya. Seburuk-buruknya Prully, tetaplah ia kakaknya. Tak mungkin ia menjelek-jelekkan saudaranya sendiri. Menjelekkannya sama saja menjelekkan dirinya sendiri.

"Caca akan aman bersamaku, kamu jangan khawatir ya, kamu bisa perbaiki hubunganmu dengan Cal....."

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 25 Maret 2018

Maaf slow update ya....
Kemarin jumat tujuh harian mertua didesa. Susah sinyal disana. Balik ke Banjarmasinpun tetap sama. Baru bisa dibuka createnya jam 22.00 dan lumayan bisa menambah isi, dari 1200 menjadi 1700kata. Jadi ya beginilah, seadanya ya.
Terima Kasih membaca... 😊❤













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top