YK3>4

Membuka matanya yang masih terasa berat, Ali memandang abu-abu putih yang samar dari kabur menuju terang. Pertama yang dilihatnya langit-langit kamar. Sementara cahaya matahari menerobos dari balik jendela. Lalu ia menyadari kalau saat ini tak berada dikamarnya.

Ali memejamkan matanya lagi. Teringat semalam setelah makan justru perutnya menjadi nyeri. Kenapa? Ali sempat berpikir mungkin karna ia makan berlebihan. Entah kenapa makannya memang lebih banyak. Terutama karna Prilly mendorongnya untuk makan banyak. Meskipun hanya ayam goreng dicocol dengan kecap, saos tomat dan sambal dipadu dengan nasi putih panas. Sungguh mampu menggugah seleranya yang sering telat makan karna kurang bernapsu.

Tetapi perutnya yang nyeri dan rasanya tak enak menyebabkan tubuhnya drop. Akhir-akhir ini ia memang merasa mudah lelah dan perut terasa nyeri bahkan setelah makan.

"Aa kenapa?" Prilly bertanya khawatir pada saat itu.

Setelah membereskan meja makan, Prilly keluar dari dapur dan mendapati Ali setengah berbaring di Sofa dengan tangan menekan perut.

"Gak apa-apa..." meringis tapi tetap saja Ali mengatakan tidak apa-apa.

"Jangan bilang gak apa-apa!" Prilly berjongkok lalu duduk ditepi sofa disamping tubuh yang setengah terbaring itu dengan raut semakin khawatir. Tangannya berada diatas tangan Ali yang memegang perutnya.

"Aa sering telat makan? Masuk angin ini, A, atau Maagnya sakit!"

Ali mencoba menahan nyeri yang masih saja menggerogoti dengan menggigit bibirnya.

"Kenapa?" Mama Prilly muncul dengan dahi mengeryit.

"Masuk angin kayaknya aa ma, habis makan perutnya nyeri, sebentar aku ambilin minyak kayu putih dulu ya!" Prilly beranjak.

"Sebentar mama ambilin obat," tante Ulfhi juga ingin beranjak.

"Mau kasih obat apa ma? Jangan sembarangan kasih obat!" Sebelum masuk kedalam kamar dimana Caca berada Prilly masih sempat bertanya dan mengingatkan dengan nada khawatir.

Sepeninggal mereka Ali mengangkat tangannya yang tadi diperut dan mendaratkan diatas keningnya lalu menutup mata dengan dada terisi udara yang halus merayap kedalam rongga dadanya. Nyerinya masih ada. Tapi sepertinya sedikit terobati dengan perhatian dua perempuan yang telah membantunya merawat Caca pasca ibunya dinyatakan koma itu.

Matanya terpejam. Tapi ia merasakan langkah Prilly mendekatinya. Ia juga merasakan kalau Prilly kembali duduk disisi Sofa dan menyentuh sebelah tangannya yang masih berada diperut.

Sementara itu Prilly memandanginya bingung. Takut mengganggu karna Ali memejamkan matanya dan wajahnya tertutup sebagian dengan tangannya. Tapi karna ia sudah siap dengan minyak kayu putih, akhirnya Prilly menyentuh punggung tangannya yang berada diperutnya.

"Aa," Prilly berkata disela sentuhan tangannya yang membuat Ali ragu membuka matanya. Kenapa ragu? Entah kenapa takut memandang wajah lain yang berbeda ketika membuka matanya. Kenapa bukan istrinya saja yang bersikap seperti itu saat masih bersamanya?

"Perutnya dikasih minyak kayu putih dulu," Prilly berkata lagi melanjutkan panggilannya.

Dan Ali tak mungkin tetap pada pendiriannya untuk menutup mata hanya karna menghindari sebuah tatap perhatian.

"Mau dikasih minyak kayu putih aroma terapy yang hangat atau minyak angin yang agak panas?"

"Apa saja!"

"Kalau gitu buka kancing kemejanya, a!" Prilly menunjuk kancing kemeja yang ada diperut deretan paling bawah. Ali menuruti permintaan Prilly membuka kancing kemeja yang sudah ia pakai seharian bekerja.
Setelah terbuka didalamnya terdapat kaos yang masih menutup perutnya. Prilly tanpa meminta membuka kaos dalam itu lalu membuka tutup botol minyak kayu putih berwarna ungu itu, menumpahkan sedikit ketelapak tangannya lalu menggosok dengan telapak tangan yang lain sebelum mengusap keperut Ali.

'Tololnya guee, kenapa sampai berdebar begini?' Ali mengumpat dalam hati ketika telapak tangan Prilly menggesek kulit perutnya.

"Ini obat untuk menurunkan asam lambung, antasida!" Mama Prilly muncul membuat suasana yang sedari tadi membuat mereka sama-sama mendadak kaku menjadi cair dengan kelegaan.

"Bukan sianida kan, ma?"

"Memangnya mama mau bunuh mantu mama?" Tante Ulfhi balik bertanya dengan nada protes mendengar pertanyaan Prilly.

Ali meringis sementara Prilly tertawa kecil. Pertanyaannya sebenarnya hanya untuk lebih membuat mereka rileks. Karna entah kenapa bagi Prilly apa yang ia lakukan pada Ali itu ia rasa wajar, sebagai bentuk dari kepedulian karna Ali suami kakaknya yang sedang tidak berdaya dan tak dapat melakukan apa-apa untuk Ali. Meskipun jika berdaya ia tak tahu apakah Pruly akan melakukannya? Justru itu. Prilly hanya tak tega melihat Ali tak terurus. Apalagi ketika berada dirumahnya.

"Ini Antasida, antasida adalah obat maag penetral asam lambung sehingga dapat digunakan untuk meringankan gejala maag seperti perih di ulu hati, rasa panas pada perut kiri atas, mulas, mual-mual dan kembung," Tante Ulfhi menjelaskan sambil menyerahkan kepingan obat bertuliskan antasida doen itu.

"Biasanya penyakit yang menyebabkan nyeri dan perih adalah penyakit pada lambung," sambung Tante Ulfhi memperjelas kenapa ia menganjurkan Ali meminum obat itu.

Prilly merobek pinggiran kemasan dan mengeluarkan sebutir obat dan menyambut segelas air putih hangat dari tangan mamanya setelah menyerahkan obat itu pada Ali.

"Minum air putih yang banyak, a!"

'Apa-apa kalau sama dia serba banyak, minum air putih yang banyak, makan yang banyak... perhatiannyaaa, banyak!' Ali meneguk air putih hangat itu sambil membatin.

"Habis minum obat, sebaiknya istirahat," tante Ulfhi menerima gelas dari Prilly.

"Ya ma, Ali segera pulang dan istirahat, terima kasih, ma!" Ali menyahut dan ingin meluruskan tubuhnya dengan kepala terasa pening.

"Ali tidur disini saja malam ini, mama khawatir kalau nyetir dalam keadaan drop begini!"

"Tapii..."

"Bener kata mama, a, sebaiknya jangan menyetir setelah minum obat!"

Akhirnya Ali tak bisa menolak. Karna sesungguhnya mereka benar. Rasanya ia sudah tak kuat kalau harus membawa mobil dalam keadaan sakit seperti itu.

"Aku siapin kamar ya, aa dikamar aku, aku dikamar Caca!"

Kamar Caca adalah kamar Pruly semasa gadis. Mereka sengaja menempatkan Caca dikamar ibunya dengan harapan Caca merasa tenang dikelilingi barang-barang yang bernuansa ibunya. Prilly menemaninya tiap malam. Tapi dia akan beraktivitas dikamarnya sendiri saat akan berangkat bekerja.

"Kalau ada apa-apa panggil aku saja, a, aku disebelah ya!" Prilly menarik selimut sampai menutupi setengah tubuh Ali setelah membantunya berbaring dan berlalu diiringi tatapan Ali hingga tubuh mungilnya menghilang saat pintu kamar tertutup tanpa ia sempat mengucapkan terima kasih.

Bukannya langsung tertidur Ali justru mengitari isi kamar yang nampak rapi bernuansa abu-abu putih. Sampai semua perkakas yang ada disana bernuansa sama. Lemari, meja rias, sprei. Dan ada photo diatas nakas yang membuat Ali meraihnya. Photo Prilly saat masih remaja. Berseragam SMA. Rambutnya lurus sebahu dengan senyum miring yang manis.

"Pruly, apa kamu semanis ini saat remaja?" Ali berkata tak sinkron. Yang ditatap photo Prilly. Yang disebut Pruly. Lagi-lagi ia berusaha untuk kembali teringat pada istrinya yang sedang koma karna berjuang demi anak mereka.

"Aku tak pantas membandingkan begini kan, Ui, tapi adikmu memang sangat berbeda denganmu!"

Ali berkata sebelum terpejam. Dan photo itu tetap berada diatas perutnya sampai ia melayang kealam bawah sadarnya.

Ali membuka matanya. Teringat semalam hampir saja ia melayang tidur lagi. Tapi ini sudah pagi. Rasanya terlalu nyenyak tidurnya tadi malam. Apakah karna tubuhnya benar-benar lelah lalu efek dari minum obat atau karna wangi khas Prilly menemani?

"Selamat pagii, papa sudah bangun? Ini Caca udah mandi lhooo... "

Ali melihat pintu terbuka dan suara Prilly yang ceria terdengar. Prilly terlihat berdiri dengan menggendong Caca dan wangi khas bayi menyeruak mendekatinya.

"Haii anak papaaa..." Ali berusaha bangun dari berbaringnya. Dan seketika melihat photo Prilly tergeletak disampingnya lalu berusaha menutupi dengan selimut yang menutup sebagian tubuhnya.

"Wangi kan pa, Caca, tadi malam tidurnya nyenyak, bangunnya paling cuma pipis trus ganti popok deh!"

Prilly duduk ditepi tempat tidur dan menunjukkan bayi yang dibungkus dengan kain berwarna kuning itu. Matanya terbuka dengan mulut seperti mengecap-ngecap. Terlihat cantik dengan bedak bayi yang putih menutupi pipi balonnya.

"Caca senangkan ketemu papa pagi ini? Selain doain mama Caca cepet bangun, Caca hari ini doain papa semoga cepat sembuh ya... cium dong pa Cacanyaa..."

Beberapa jenak Ali terdiam sebelum menunduk mencium pipi putrinya yang masih belum sebulan itu lalu menggesek pipinya dengan jari telunjuk dan tengahnya gemas.

"Terima Kasih, sayang, doanya!"

"Sama-sama, papa... "

Ali mengucapkan terima kasih pada Caca. Dan yang menjawab ucapannya tentu saja Prilly. Ada yang menggelitik batin mereka. Tapi semua itu terabaikan dengan perhatian mereka pada Caca.

"Ih hidung papa putih tuh Ca, bekas bedaknya Caca..."

Prilly refleks menggesek ujung hidung Ali dengan punggung tangannya. Maksudnya membersihkan dari bedaknya Caca yang menempel disana. Spontan. Tak sengaja. Dan tak bermaksud apa-apa. Ali meraba hidungnya sambil tersenyum. Sulit menggambarkan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

'Harusnya, kita bisa seperti ini, Pruly, bertiga dalam kehangatan... tapi aku mengerti, kamu bukan dia!'

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 17 Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top