YK3>3
"Kamu bisa seharian sama Caca tapi dirumahku!"
"Maksud aa apa? Jadi aa masih tetap mau bawa Caca?" Prily tak percaya mendengar ucapan Ali yang sepertinya tak merubah keputusannya padahal ia sudah berusaha agar Ali tak membawa Caca pergi.
"Aku bisa ngerasain gimana jadi kamu i, kamu terbebani dengan adanya Caca, hubungan kamu terganggu karnanya, aku paham itu," Ali menjawab tanya Prilly yang terlihat berat dengan keputusannya.
"A, aa tu salah, aku nggak pernah ngerasa terbebani, aku sama sekali nggak apa-apaaa," Prilly mencoba meyakinkan pada Ali kalau dia tidak merasa seperti yang diucapkan Ali padanya. Dekapannya pada Caca makin erat. Rasanya tak ingin berpisah dari bayi yang sudah dianggapnya bayinya sendiri.
Prily menatap Ali dengan wajah memohon, agar Ali merubah pikirannya. Tapi menatap Ali membuatnya jadi bertambah sedih. Karna tatapannya dirasa tak memberikan jawaban yang sesuai dengan harapannya. Prilly mengalihkan pandangan pada Caca yang saat ini sedang tenang dipangkuannya. Menenggelamkan dalam dekap hangatnya beberapa jenak lalu berdiri menempatkan si mungil itu kedalam box-nya.
"harusnya kamu juga bisa berada diposisi aku, melihat anak aku merengek-rengek tapi yang ia harapkan gak dateng-dateng, sebagai papanya aku sedih buat dia, harusnya kamu paham," Ali berkata lirih disela aktivitas Prilly menempatkan Caca kedalam boxnya.
"Maaf aa, itu pertama dan terakhir, please jangan cari-cari kesalahan aku!"
Hampir saja Ali berdecak. Siapa yang nyari-nyari kesalahan? Bukankah ia benar. Hubungan Prilly dan pacarnya terganggu sejak kehadiran Caca. Ali justru tahu Prilly mengistimewakan anaknya hingga yang lain terlupakan. Setiap hari selama seminggu pertama bersama anaknya. Lalu seminggu pertama ditinggal bekerja Caca awalnya rewel. Tetapi akhirnya ia terbiasa dengan rutinitas ditinggalkan pagi dan bertemu disore hari. Bila siang hari Prilly sering menelpon mamanya untuk mengajak Caca bicara. Seminggu pertama ditinggal, jika Caca rewel, mama Prilly menelpon dan Prilly membujuk Caca lewat telpon. Jika ada waktu Prilly pulang kerumah untuk menemuinya. Ali tahu rutinitas seperti itu membuat tenaga dan pikiran Prilly sama terkuras. Sebenarnya tak ada bedanya dengan dirinya yang harus bolak-balik menemui Caca, bekerja, lalu menjenguk Pruly dirumah sakit.
"Aaaa, please yaa, jangan jemput Cacaaaa..." rengek Prilly mencoba membujuk lagi. Kali ini dengan menyentuh lengan Ali.
Ali menunduk menatap lengannya yang sekarang digelayuti Prilly. Matanya beralih ketatapan memohon adik iparnya itu. Baru kali ini mereka saling menatap lebih lama.
DEG.
Saat jantung mereka dirasa saling berdegup. Prilly seakan tersadar dengan sikap yang sudah ia tunjukkan dihadapan Ali. Merengek seperti anak kecil yang meminta sesuatu pada yang paling dekat. Apakah pantas? Prilly menghela napasnya.
Sementara menatap wajahnya ingatan Ali langsung kepada Pruly. Sebagai kakak dan adik, wajah mereka ada kemiripan. Dimana? Diwajah chubby-nyakah? Atau matanya? Bahkan mata Pruly saja ketika ia menatapnya tak pernah berbinar. Ali menggelengkan kepala, kenapa harus membandingkan? Kenapa juga harus dimirip-miripkan? Mereka orang yang berbeda. Setiap manusia diciptakan memiliki karakter sendiri-sendiri. Tapi ah, tatapannya kenapa begitu hangat? Ali menggelengkan kepalanya lagi menepis pikiran membandingkan. Kenapa sampai membandingkan segala? Dan semua itu membuatnya semakin ingin membawa Caca. Ia berharap dengan membawa anaknya setiap hari bisa berada didekatnya. Dan selalu mengingatkannya akan keberadaan istrinya yang sedang koma.
"Aku gak bisa kayak gini terus, hidup terpisah dari anakku, darah dagingku, dimana ibunya juga tak mungkin sama-sama aku lagi saat ini, aku nggak bisa biarin dia tersia-sia!"
"Jangan berlebihan A, nggak ada yang nyia-nyiain Caca, kan dia bersama mama saat aku gak ada, tersia-sia darimana?" Prilly menukas diakhiri tanda tanya atas rasa tak setuju kalau Caca tersia-sia.
"Yang Caca harepinkan kamu, lagi juga aku gak tega kalau mama yang ngurus dia, kamu pernah mikir nggak, sampai segede ini yang ngurusin kamu siapa? Masa sudah gedein anaknya, disuruh ngurus cucunya lagi, kapan orangtua beristirahat kalau dikasih anak kecil lagi dan lagi!" Ali mencoba menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya.
Entahlah. Sebenarnya apa yang menjadi inti dari pembicaraan mereka kali ini. Apakah benar salah satunya cuma rasa kasian terhadap nasib Caca? Ataukah alasan kenapa Prilly sampai terlambat menjadi salah duanya? Quality time bersama kekasihnya.
"Tapi aku kan sudah bilang a, aku akan berhenti kerja kalau kamu mau!"
Sebenarnya ia tadi mengatakannya spontan karna tak ingin Ali nekat akan membawa anaknya. Tapi ternyata tetap juga Ali tak berubah pikiran.
"Caca sudah tidur?" Terdengar pintu kamar yang tidak rapat didorong dari luar sebelum suara mama Prilly terdengar berucap.
"Sudah ma... " sahut Prilly lirih sambil menoleh ke pintu.
"Kalau mau berdebat sebaiknya diluar saja nanti Caca terganggu!"
Sebenarnya tante Ulfhi sedari tadi berada diluar kamar. Tadinya saat Prilly berteriak memanggil Caca beliau yang mengatakan sudah dibawa Ali kedalam kamar. Ingin mengikuti langkah Prilly tapi tante Ulfhi merasa Prilly mampu menyelesaikan Caca dengan baik. Tapi begitu lama tak keluar-keluar dari dalam kamar, tante Ulfhi menyusul kedalam kamar. Tadinya mengurungkan niat untuk masuk. Mendengarkan apa yang mereka perdebatkan. Selalu masalah merawat Caca.
Beliau mengerti maksud Ali, tapi beliau juga sangat paham maksud Prilly. Mereka seakan sama-sama mempertahankan keinginannya merawat dan ada didekat Caca.
Tante Ulfhi keluar dari kamar diiringi pandangan Ali dan Prilly. Pada akhirnya mereka sama-sama menarik napas. Prilly melihat ada lelah dimatanya. Sama saja. Alipun tahu Prilly sedang lelah. Pulang kerja, bertemu dan berdebat. Ali beranjak dari tempatnya berdiri menyusul langkah mertuanya. Sementara Prilly menghela napasnya dan melangkah kr box Caca lalu memandanginya.
Ia sudah jatuh cinta pada keponakannya itu. Ada terselip rasa kasian, kenapa sekecil itu harus mengalami cobaan? Ditinggal koma. Meski masih hidup tapi tak tahu kapan akan bangun.
"Kasian a, anakmu, kapan kamu bangun? Lihat hampir sebulan dia sudah berisi..." Prilly menggesek pipi Caca dan Caca tak terlihat terganggu. Nyenyak seketika hanya karna kedatangannya. Dari cara Ali bicara, ia tahu, Caca pasti rewel sebelum dia datang. Mendadak Prilly merasa bersalah. Terlambat karna tertuntut untuk membagi waktunya yang sekarang tak banyak lagi untuk memenuhi kepentingannya.
"Maafin mama ya Caa..."
Prilly menangkup kepalanya dengan siku menyangga disisi pagar box Caca. Pacaran menjadi kurang penting saat ia menghabiskan waktunya dengan merawat Caca. Tapi ia tahu pikiran Ali tak salah dalam hal itu. Yang tidak benar adalah ia terbebani. Sama sekali tidak. Justru ia merasa bertanggung jawab. Bagaimana tidak? Pruly secara tidak langsung mengacaukan hidup Ali.
Padahal sebenarnya Pruly bilang ia akan serius kali ini, lalu ucapan itu dibuktikan dengan menikah. Tapi suatu hari ia datang kerumah dengan keluhan.
"Maaa, aku stresss banget, ternyata menikah itu kurang menyenangkannn, aku nggak bisa bebasss, mana hamil pula, duhh untung aja nih aku hamil biasa-biasa aja, nggak ada morning sixness, nggak ada mau ini itu, udah, dibiarin aja, cuman jadi malas aja ngurus bapaknya, untung aja dia nggak rewel, kalau rewel siapa yang peduli?!"
"Aa jangan begitu," mamanya saat itu terdengar tak setuju ucapan Prully.
"Habis gimana ma? Bawaan anaknya jugaa, dia ngerti kok, dia makan dulu sebelum pulang kerumah, dia pulang kerumah juga aku udah tidur!"
Prilly mengerutkan kening mendengarnya. Emangnya menikah seseram itu? Saling ngurus diri masing-masing? Nggak ada kehangatan? Ah. Waktu mendengar itu Prilly semakin tak yakin melangkah kejenjang pernikahan meskipun punya pacar. Sekarang pacaran juga buat apa kalau tidak ada tujuan kejenjang yang serius menuju pelaminan? Kalau menikah malah cuek-cuekan ya mending sendiri.
"Andai saja aa melihat Caca, aa akan jatuh cinta a, lihatlah, apalagi saat dia tidur, wajahnya polos, pipinya udah kayak balon, lucu banget tau, a!" Prilly bergumam dengan mata berkaca dan akhirnya memutuskan beranjak dari box menuju keluar kamar setelah mencium pipi balon itu.
Melangkah keluar dari kamar, Prilly tak mendengar suara apapun. Tak ada suara perbincangan. Apa Ali sudah pulang? Prilly melangkah menuju ruang tamu. Tak ada orang. Ia berbalik menuju ruang keluarga. Terlihat Ali duduk membelakanginya didepan televisi yang menyala. Prily menghampiri kakak iparnya itu.
Ternyata bukan Ali yang nonton tv tapi tv yang sedang menonton Ali tidur. Prilly menatapnya dan tiba-tiba merasa iba. Wajahnya terlihat lelah. Tarikan napasnya berat. Rambut sudah kelihatan panjang. Bulu halus didagu mulai bertebaran. Teringat kalau ia tak terlalu mendapatkan perhatian karna kehamilan Pruly. Tak dilayani. Apa-apa sendiri. Tak terurus.
Prilly tak sempat mengalihkan pandangannya saat mata lentik itu mengerjab dan terbuka. Mata Ali memerah saat ia mengusapnya. Maklum. Tertidur dan terbangun dalam waktu singkat karna perutnya yang terdengar berbunyi.
"Aa sudah makan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja saat merasa tertangkap basah memandanginya.
Sementara Ali refleks menggeleng karna terkejut saat membuka mata ada bayangan mata berbinar sedang memperhatikannya. Lalu pertanyaannya membuat ia merasa angin segar menyusup kedalam dadanya. Meski perasaan itu hanya sesaat karna ia tak mau berpikiran yang tidak sesuai dengan keadaannya saat ini.
"Makan ya, aku siapin makan!" Prilly berdiri dan hendak beranjak ketika bayangan mamanya keluar dari dapur membawa secangkir teh yang terlihat masih ada kepulan asap tanda panas.
Prilly menyambut cangkir disertai piring kecil yang menyangganya.
"Sambil nunggu aku nyiapin makan aa, aa minum teh dulu yaa..."
Entahlah. Ali hanya mampu menatapnya. Tak menjawab apa-apa. Hingga secangkir teh itu sudah ada dihadapannya.
"Sebentar ya, a!"
Dan Ali hanya menatap punggungnya. Tak mencoba mengatakan apapun. Disamping ia baru mengumpulkan jiwanya yang tertidur sejenak, ia juga mungkin merasa diperhatikan. Sebenarnya tidak berlebihan, hanya saja Pruly tak sehangat itu.
"Kalau diberi kesempatan, semoga kita bisa lebih baik menjalaninya, Pruly!" Ali bergumam menyebut istrinya. Seketika ia berharap jika suatu saat Pruly terbangun dari komanya, Pruly bisa seperti Prilly. Dibutuhkan Caca dan memperhatikannya.
Ali menyeruput teh panas dari pinggir cangkir yang ia angkat bersama tatakannya. Lumayan. Perutnya yang tadi berbunyi dan menyebabkan ia terbangun karna agak perih sedikit nyaman.
Terdengar suara minyak panas yang sedang beradu dengan benda yang digoreng. Setelah itu tercium aroma yang membuat perutnya makin perih.
"Aa, udah siap, yuk makan!"
Prilly memanggil dan membalikkan badan lagi menuju dapur. Ali akhirnya beranjak menyusul setelah punggungnya menghilang.
Di meja makan sudah tersusun rapi makanan untuknya.
"Hanya ada ayam goreng a, gak papa kan?"
"Kesukaan aku malah!" Ali duduk dihadapan Prilly yang sedang memasukkan nasi panas kedalam piring didepannya.
"Mau ditambahin udang gak? Biar aku gorengin lagi!"
"Nggak usah, aku alergi udang, ini sudah cukup!"
Ali mulai menyendok nasinya dan hampir saja ia menyuap nasi kedalam mulutnya ketika menyadari sesuatu.
"Kamu nggak makan?"
"Sudah tadi a sama..."
"Ohh..." Ali mengangguk-angguk cepat sebelum Prilly menyelesaikan bicaranya. Ia mendadak teringat lagi percakapan Prilly dengan pacarnya saat baru pulang tadi. Ia tak ingin selera makannya hilang, mengingat, kalau bukan karna pacarnya, Prilly takkan terlambat pulang dan membuat anaknya rewel.
"Makan yang banyak a, nanti besok nggak usah makan diluar sebelum kesini, makan disini saja, aku siapin!"
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 16 Maret 2018
Semalam ulang tahun eno disekolahnya, jadinya agak tertahan ngetiknya karna hrs bangun pagi. Tadi malam juga tubuh rasanya meriang, jadinya ketiduran lagi deh... hehe maaf curcol 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top