YK3>28

"Aa, teh hangatnya mau dibawain kesini atau dimeja makan aja sambil sarapan?"

"Disana saja!"

"Habis mandi, bajunya sudah aku siapin ya a, digantung didepan lemari..."

"Ya!"

"Ya udah, aku tinggal ya mau nyiapin sarapan."

Ali menatap punggung mungil itu berlalu. Sebenarnya dia salah apa? Yang salah kakaknya tapi dia kena getahnya. Sekarang, tepatnya sejak semalam, sikapnya tak pernah berubah. Pelayanan padanya seperti biasanya meskipun Ali bahkan seperti orang yang tak peduli.

Sejak kejadian dirumah sakit dimana ia memuaskan emosinya dengan membuat setidaknya lebam mata pria itu, Ali berusaha mengontrol rasa marahnya tetapi tak bisa bersikap seperti biasa. Setiap memandang Prilly, hanya teringat ulah Prully. Dan itu hanya membuat emosinya jadi tersulut. Ali tahu, tak harus menyalahkan Prilly, tapi entahlah, rasanya hanya merasa marah tak terkontrol jika teringat bagaimana ternyata selama ini Prully berbuat diluar akal sehat. Bergumul dengan oranglain sementara ia mengandung anaknya.

Drrrttt.... drrttt... drrrttt...
Ali melirik kearah nakas. Ponsel Prilly bergetar dan menyala diatas nakas.

My Cal

Ali mengeryit melihat layar ponsel yang tak disentuhnya diatas nakas itu. Cal? Masih menelpon? My Cal? Nama kontaknya belum dirubah?

Terdengar bunyi panggilan sekali lagi. Tapi tetap saja ponsel itu tak Ali sentuh. Untuk memanggil Prilly pun tidak ada keinginan. Ali hanya memandangi ponsel yang memanggil manggil hingga lima kali itu dengan pikiran yang seketika teringat Prully dan mantan pacarnya, Jodi. Sekarang untuk apa mantan pacar Prilly itu menelpon? Apa dia tidak tahu, Prilly sekarang sudah jadi istrinya? Atau sebenarnya tahu tapi tak peduli seperti Jodi? Mendadak pikirannya kalut dan cemas seketika.

"Aa belum mandi juga?" Prilly terlihat memasuki kamar dan mengerutkan kening melihat Ali masih duduk ditepi tempat tidur.

Prilly melangkah kearah nakas dan menunduk ingin meraih ponselnya. Tapi seketika Prilly terkesiap karna Ali mencengkram punggung tangannya yang sudah memegang ponselnya itu. Prilly menoleh kearah Ali. Wajahnya menunjukkan keterkejutan karna wajah Ali nampak tegang.

"Kenapa, a?"

"Lupa bawa ponselnya kemana-mana biar kalau ada telpon langsung diterima?"

"Enggak, aku cuma lupa mau telpon mama, akukan belum ngomong sama aa apakah kita jadi kerumah mama hari ini, sepertinya mood aa kurang baik, jadi aku mau bilang sama mama gak bisa janji kesana hari ini!"

"Belum nanya sama aku, sudah mau bilang begitu sama mama?"

"Ya mau bilang apalagi? Aa aja nggak mau ngomong sama aku sejak semalamkan?"

"Kalau nggak mau ngomong, kamu biarin aja gitu?"

"Maksud aa apa? Kan aku udah coba biasa aja a," sahut Prilly lagi.

Prilly masih saja menjawab dengan sabar meskipun tatap mata didepannya masih saja bahkan lebih dingin dari biasanya.

Sejak semalam ia sudah menekan perasaan. Mencoba memahami Ali dan mengalah saja saat Ali sepertinya masih tak bisa bersikap setidaknya menganggap dia ada. Ia merasa bersalah untuk kakaknya. Ia juga lebih mencoba sadar keadaannya yang memang bukan yang pertama tapi yang ketiga bagi Ali. Bagaimana bukan yang ketiga, Caca nomor satu, dan ternyata Prully masih berada pada posisinya dihati Ali? Bukankah ia yang ketiga juga dalam hal ini? Bahkan ia tak tahu apakah ia sebenarnya dianggap disamping Ali?

'Sudah resiko menjadi yang ketiga, i!'

Selalu saja kalimat itu yang tertanam dalam benaknya. Selalu ia membatin dan mencoba menerima posisinya. Terlebih ia sekarang menjadi yang ketiga secara resmi.

"Kan kata aa aku nggak usah ngomong apa-apa a, akukan cuma nurut sama aa!"

"Nurut buat nutupin sesuatu?"

"Nutupin apa a? Soal Prully? Aku... "

"Kamu mau copy paste kelakuannya bersama mantan?"

Prilly terperangah mendengar ucapan Ali lalu menggelengkan kepalanya. Rasanya sudah tak tahan lagi berdiam diri, mengalah dan mencoba memahaminya, Prilly merasa dadanya menjadi sesak.

"Maksud aa apa?" Prilly menarik napasnya agar rongga dadanya dipenuhi udara menghilangkan sesak.

"Cal menelpon, barangkali dia..."

Ali tak melanjutkan kalimatnya. Menyebutnya saja ia sendiri merasa sesak. Sumpah ia menyesal mengucapkannya. Tapi kecurigaannya berdasar akibat ulah Prully. Rasanya ia seketika takut kalau sampai Prilly pun akan berbuat hal yang sama. Karna ia tahu pernikahan mereka dilatar belakangi banyak hal.

Dan seketika Prilly memahami apa yang menyebabkan Ali berkata kurang nyaman didengar. Dan seketika juga api cemburu yang semalam mulai tersulut saat ini terkontaminasi dengan perasaan tersinggung dengan ucapan Ali. Apa katanya? Cal menelpon, barangkali dia apa? Ingin mengajaknya sama seperti Jodi mengajak Prully? Copy paste kelakuannya? Prilly merasa darahnya naik keubun-ubun.

"Meskipun kami bersaudara, jangan samakan aku dengannya, tanya saja dirimu, jika ini hanya penyesalan, kenapa sampai menikahi aku padahal kamu ternyata lebih menyayanginya dan nggak ikhlas bahkan cemburu dia digauli pria lain, jangan coba menyakiti aku dengan ucapanmu itu!!"

Prilly sudah tak bisa mengendalikan ucapan sekaligus perasaannya. Tak menyebut aa atau papa, justru dia menggantinya dengan kamu sebagai penekanan dalam kalimatnya.

"Heii, siapa bilang aku menyesal?" Ali berdiri dari tempat tidur dan menatap Prilly sambil menggeleng.

"Aku tahu aku ini cuma yang ketiga, aku sudah berusaha menjadi pengganti kakakku dengan baik tapi kamu tega-teganyaa... " Prilly menarik napasnya tak sanggup melanjutkan lagi karna sudah dibarengi dengan luapan emosi yang berujung uraian airmata, "aku benci sama kamu!!"

Prilly berbalik dan beranjak dari tempatnya berdiri. Sumpah rasanya sesak. Sedari semalam menahan diri untuk berpikiran positif dan memahaminya tapi kenyataannya malah dituduh yang bukan-bukan, siapa yang tak emosi mendengarnya?

"Ii... "

"Sudah jangan sebut-sebut namaku lagi, berdoa saja kakakku bisa bangun dari komanya dan kembali lagi padamu!!" Prilly menepis cekalan tangan Ali saat menahan langkahnya.

"Heii, kenapa berpikiran begitu?" Ali mendahuluinya dan sekarang tubuhnya menghalangi langkahnya menuju pintu kamar.

"Lalu kalau kamu boleh berpikiran yang macem-macem tentang aku, aku tidak boleh?? Oww ternyata lelaki sama saja, egois!!" Prilly menunjuk dada Ali dengan telunjuknya.

"Aku..."

"Iya, aku ini cuma ban serep, pengganti yang gak dianggap, aku ngerti, tugasku cuma layanin kebutuhan kamu dan Caca, selebihnya aku gak pantes melakukan apa-apa atau mendapatkan apa-apa dari kamu meskipun sebuah pelukan!"

"Nggak ada yang bilang kam..."

"Iya, kamu sebenarnya hanya menginginkan Prully bukan aku, sekarang kamu marah dan cemburu pada Jodi yang telah menggaulinya tanpa sepengetahuanmu, lalu kamu lampiaskan padaku amarahmu itu, iya, sudah aku ihklasin menjalani takdir aku kayak gini, terima kasih sudah mau menjadi suamiku!!"

Prilly menggeser tubuhnya dari hadapan Ali untuk mencari jalan agar ia dapat terbebas darinya yang menghalangi langkahnya berlalu.

"Mamaa..."

Ali kembali menahan langkah Prilly, kali ini ia menghalangi jalan dengan merentangkan sebelah tangannya lalu meraih tubuh itu dan memeluknya.

Prilly mengangkat wajahnya menahan airmata yang harus jatuh terus menerus. Tak mau tenggelam dalam pelukan pria yang saat ini benar-benar membuatnya emosi jiwa. Tak mau membasahi bajunya dengan airmata. Prilly bergerak melepaskan diri. Bukan tak sudi. Tapi tak ingin jatuh nyaman dalam pelukan itu dan merelakan dirinya untuk diperlakukan semena-mena.

"Maaf," Ali menahan tubuh Prilly dalam pelukannya meski tangan Prilly tadinya mendorong agar pelukannya terlepas.
Pelukan tak terlepas tapi tangan Prilly jatuh disisi tubuhnya sendiri. Tak membalas pelukan Ali.

"Aku nggak pernah nganggap kamu ban serep atau pengganti atau apapun itu namanya yang kamu sebut," Ali berkata lirih. Sementara Prilly masih kaku dalam peluknya.

"Maafkan aku sudah menyakitimu dengan ucapanku, tapi bukan karna aku cemburu dengan ulah Prully, Aku nggak ada rasa cemburu sama sekali sama Jodi, sumpah ya, aku justru cemburu sama Cal, buat apa dia menelpon kamu lagi?"

Prilly bergerak dalam pelukan Ali. Ali melepaskan pelukannya dengan kedua tangan memegang bahu Prilly yang menunduk tak ingin menatapnya.

"Kamu itu lebih dari segalanya, aku cinta sama kamu!"

"Aku... mau pulang!"

"Kamu udah nggak nyaman sama aku? Apa kamu yang nyesel jadi istri aku?"

Prilly mengeleng.

"Lalu kenapa? Udah nggak betah ngelayanin aku?"

Lagi-lagi Prilly menggeleng.
Ia hanya ingin pulang, ingin bertemu mamanya, bercerita bagaimana perasaannya setelah dinikahi Ali. Ingin menceritakan tingkah laku Prully yang membuat Ali justru mendiamkannya. Mereka baru saja menikah. Belum lagi ada seminggu bersama-sama dalam satu rumah. Tapi apa yang diperbuat Prully sanggup merubah sikap Ali terhadapnya, dan itu membuatnya sungguh sedih. Cemburu tak jelas.

"Kamu nggak mau maafin aku? Aku sudah salah bicara, harusnya aku tak menuduhmu, aku hanya cemburu..." Ali menangkup pipi didepannya menahan wajah itu agar tak selalu menunduk. Ia menyadari dari awal ada sedih dalam ucap Prilly. Saat ini menatap matanya ia rasakan sedihnya semakin dalam.

"Kamu cuma memikirkan dirimu sendiri saja, kamu memikirkan perasaanmu tapi gak mikirin perasaan aku, kamu bisa cemburu sementara aku dipaksa untuk gak cemburu sama Prully, kamu marah karna dia disentuh oranglain padahal kamu saja gak pernah nyentuh aku....."

Kalimatnya cukup panjang. Diucapkan dengan lirih dan membuat Ali menyadari, sikapnya membuat Prilly merasa ia hanya menginginkan Prully.

"Kalau kamu hanya butuh dilayani secara lahir, sudah ada mbak Sarah yang bisa membantumu, kamu nggak butuh aku... aku..."

"Aku butuh kamu..."

Ali menjatuhkan dahinya didahi Prilly lalu memejamkan matanya tak membiarkan Prilly bicara lebih jauh lagi, karna ia tahu arah bicaranya.

"Aku butuh kamu... bukan hanya tentang lahir dan batin... tapi tentang betapa berartinya kamu ada disamping aku," ucapannya terdengar lirih. Hanya deru napas mereka yang terasa saat suasana menjadi hening.

"Dia dan kamu berbeda, dia masalalu aku, sedangkan kamu masadepan aku!"

"Benarkah?"

Prilly menatap wajah tanpa jarak yang terpejam itu. Napas hangat Ali menerpa hingga beradu dengan udara yang keluar dari hidungnya.
Pelukan Ali dipinggang Prilly semakin membuat tubuh mereka merapat. Sementara tangan Prilly yang sejak saat Ali menjatuhkan dahinya refleks berada di bahu pria itu kini mengalung dilehernya.

"Everything is fine, right?"

Prilly tak menjawab, hanya membalas sentuhan lembut dibibirnya yang lembab tanda ia setuju kalau semua baik-baik saja. Semua hanya karna komunikasi mereka yang tersendat lantaran menyimpan kesalahpahaman yang tak terucapkan.

"Enghhhh...." Prilly mengangkat dagunya mencari udara yang hampir habis karna Ali seakan menghabiskan kelembaban dan tak membiarkan udara masuk kedalam rongga dadanya, dan dia sendiripun mengimbangi pagutannya itu, sementara Ali menjatuhkan bibir kelehernya, sama kehabisan udara.

"Auwwhhh, aa ..."

Prilly terpekik dan tangannya makin erat melingkar dileher Ali saat tubuhnya melayang dan kakinya tak lagi berada dilantai karna Ali sudah menggendongnya.

"Aku mau menafkahi batinmu.... apa kamu siap melayaniku secara batin?"

♡♡♡♡♡♡♡♡

Banjarmasin, 19 Mei 2018
3 Ramadhan 1439H

Puasa woy puasaaa.... wkwkkwk
Selamat berbuka puasa.....
Berbukalah dengan yang manis jangan menangis. Eh tapi ada juga yang bilang,
Berbukalah dengan yang sayang jangan yang manis, karna yang manis belum tentu sayang, ceilehhhh wkwkkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top