YK3>25
"Maafkan aku, aku memang tak tahu diri, aku tahu dia koma lalu aku melepaskannya, tapi asal kamu tahu, nggak ada tempat yang paling membuatku nyaman selain disini, saat sama kamu!!"
Deg.
'Apa katanya?'
Debar dalam dada Prilly menahan keterkejutan yang tak terucap. Denyut ngilu yang sedari tadi memaksa tubuhnya tegang kini membuatnya gemetar. Tubuhnya yang sedari tadi berkeras menjauh tapi terus ditahan meski tak tertahan ternyata kalah hanya dengan ucapan, 'selain disini, saat sama kamu!'
'Saat denganku? Benarkah?'
Seketika kepala Prilly terasa kaku untuk digerakkan meski hanya sekedar terangkat untuk memandang wajah didepannya yang baru saja mengatakan sesuatu yang tak disangka. Ucapan Ali mematahkan praduganya tentang wanita diluar sana yang sudah membuat dia nyaman. Prilly benar-benar telah salah menilai, karna wanita lain yang dimaksud Ali justru dirinya. Sekarang ia harus berkata apa? Dialah yang ketiga itu sekarang. Prilly menahan napas dengan menggigit bibirnya.
"Benarkan, aku tak seperti dugaanmu? Pasti kamu marah, karna aku tak sebaik seperti apa yang ada dipikiran kamu!"
Ali berkata dengan nada lemah karna tak ada reaksi dari Prilly. Ia yakin kini, kalau Prilly akan menilainya seperti Cal yang tega menghempas istrinya demi mencari kebahagiaan bersama wanita yang lain.
"Maafkan aku... aku... akuuu... maaf," Ali berkata dengan nada menyesal.
Ali tak tahu apa yang harus dia katakan lagi karna kebungkaman Prilly yang susah diartikan. Tangannya yang terangkat ingin menyentuh bahu Prilly menggantung diudara karna ragu. Takut ditepis seperti sebelumnya saat ia menahan langkah Prilly.
"Kalau kamu mau salahin aku, salahin aja sekarang," Ali berkata sambil menggenggam tangannya menahan diri agar tak menyentuh Prilly.
Prilly terlihat menggeleng. Dan Ali tak tahu arti gelengannya.
"Kalau kamu minta aku pergi seperti kamu suruh Cal, aku akan berusaha... "
Ali membalik badannya setelah menyelesaikan kalimatnya. Karna tak ada reaksi dari Prilly, Ali menganggap gadis itu mengiyakan ucapannya.
"Akuu... akuu... yang harusnya minta maaf!"
Ali menghentikan langkahnya saat terdengar suara Prilly. Saat Ali berbalik, Prilly refleks mengangkat wajah dan menemukan punggungnya. Sepertinya tanpa menatap wajahnya pita suaranya sedikit berfungsi.
'Kenapa harus minta maaf?'
Pertanyaan Ali hanya sampai pada tenggorokan saja. Ia menunggu Prilly melanjutkan kalimatnya.
"Aku... mengganggu hubungan kalian berdua, aku... nggak pantes seperti itu padahal kakakku sedang koma!"
"Kamu nggak salah, aku yang salah!" Ali terpaksa berbalik menatap Prilly kembali. Ia tak ingin Prilly yang merasa bersalah karna perasaannya pada gadis itu.
"Aku mau membantu kalian melewati semua ini tanpa merasa kehilangan Prully... nyatanyaa... "
"Aku yang salah karna terbawa perasaan!" Ali memotong ucapan Prilly yang bernada menyesal sama sepertinya.
"Bukan cuma aa ... "
Ali terperangah. Apa? Bukan cuma aku, jadi...
"Aku salah telah membuat aa bukan cuma merindukan Caca... "
Ali menghela napasnya. Benarkan, Prilly merasa bersalah karna menyebabkan ia terbawa perasaan? Perasaan Ali bagai terhempas seketika.
"Sudahlah, jangan salahkan dirimu...." Ali berkata setelah udara didadanya keluar bersama rasa kecewa.
"Yang lebih salah lagiii, akuuu...juga... ter... bawa perasaan!" Prilly melanjutkan ucapannya meski terbata. Dan Ali tak mau salah mengartikan lagi.
"Aku jahat, karna juga merindukan suami kakakku sendiri!" Prilly menutup wajah dengan kedua tangannya.
Kembali Ali terperangah. Sesaat ia merasa syok. Benarkah ucapannya? Prilly merindukan suami kakaknya? Berarti dia juga merasakan hal yang sama?
Ali maju selangkah lebih dekat hingga tak berjarak dengan gadis yang sedang menutup wajahnya karna perasaan bersalah itu. Sebenarnya rasa yang ada diantara mereka saat ini sudah tak menentu dan teraduk menjadi satu. Antara rasa bersalah bercampur lega karna sudah saling mengatakan apa yang semula tak bisa terungkap bahkan tak mungkin terjadi.
Tubuh Prilly makin terguncang saat terbenam dalam rangkuman tangan Ali. Suara jantung Ali yang berdebar keras beradu dengan tubuh mungil yang merasa lututnya bergetar tak kuat menopang bobotnya sendiri.
"Kita sama-sama jahat, sesama jahat yang saling merindukan!"
Ali berkata membuat Prilly melepaskan tangan dari menutup wajahnya lalu menyelipkan kepunggung Ali membalas pelukannya. Ali mengeratkan pelukannya lalu menunduk mencium rambut dibawah dagunya itu membuat Prilly mengangkat wajah menatapnya.
Tanpa jarak. Tak pernah menatap lebih lama, lalu berkesempatan untuk menikmati dari dekat bulu mata yang sama lentik, mata yang sama indah dipadu dengan debaran jantung yang seirama membuat waktu seakan berhenti saat itu juga.
Detak jantung Prilly seakan berhenti seketika, saat bibir Ali mendarat dikeningnya. Ia pernah merasakan dipelipisnya, tapi ia bisa menetralkan detaknya karna Ali tak tahu ia menyadarinya. Saat ini detak jantungnya berpacu melawan desiran darah yang mengalir lebih cepat.
Saat keningnya dikecup, Prilly menutup matanya. Tubuhnya terasa tegang. Prilly membuka matanya saat ia merasa jari Ali menyentuh pangkal hidungnya.
"Sesama jahat ini pantasnya diapakan?"
Ali terdiam sejenak mendengar pertanyaan Prilly.
"Dinikahkan!"
Prilly menggigit bibirnya sendiri dengan wajah memanas. Dinikahkan? Kata yang sakral sekali. Terdengar mudah, tinggal panggil penghulu atau pergi ke KUA. Tapi tidak segampang itu. Bagaimana dengan kakaknya?
Prilly melepaskan pelukan dan terduduk ditepi ranjang dengan lutut yang lemas. Rasanya berat. Menikah dengan Ali, suami kakaknya sendiri meskipun Ali mengatakan berulangkali kalau ia sudah mengembalikan kakaknya.
"Akuu tau... Kamuuu... tak ingin, karna kakakmu... mmhh aku paham... " Ali masih berdiri didepan Prilly yang duduk sambil meremas tepi ranjang.
Ali menyadari apa yang ada dalam pikiran Prilly yang sudah terduga.
Cal saja ditolak karna tak ingin menyakiti Cia, oranglain yang bahkan sudah menyakiti hati dan merebut kebahagiaannya. Apalagi saat ini ia dihadapkan dengan kebahagiaan kakaknya sendiri. Tetapi apakah Ali kebahagiaan kakaknya? Meski ia tahu pasti bukan, tapi rasanya ia tak tega mengkhianati kakaknya saat ia tertidur.
Tentu kata 'penikung' akan tersemat padanya.
"Akuuu ... maafkan aku, a!"
"Mamaaa ... Papaaaa ..."
Pintu kamar terbuka, tante Ulfi terlihat menggendong Caca berdiri didepan pintu. Caca terdengar merengek-rengek dalam gendongan beliau.
"Caca kenapa, ma?"
"Nangis...."
"Sini, sama papa!" Ali mengambil Caca dari gendongan tante Ulfi.
"Ngantuk ma, ini jam setengah sepuluhkan," Prilly ikut berdiri dan menyentuh wajah Caca dibahu Ali.
"Iya ngantuk, sedari tadi tangannya mengucek mata melulu tapi rewel, gak mau ditaruh dalam baby swingnya!"
"Sayang Caca udah minum susu?" Prilly mengusap punggungnya.
"Sudahh, tadi Laila sudah bikinkan 3kali!"
"Sini a, jam segini Caca emang ngantuk, biasanya aku gendong pake gendongan kain!"
"Ini gendongannya!" Tante Ulfi memberikan gendongan yang berupa kain panjang dan Prilly menerimanya lalu menyelempangkan kain tersebut kebahunya.
"Sini sayang Caca, gendong mama yuk, ngantuk ya anak mama ya, cinii..."
Prilly mengambil Caca dari gendongan Ali lalu Ali membantu melilitkan kain gendongan itu kepunggung Prilly agar kuat menyangga tubuh Caca.
Prilly mengayun tubuh Caca dalam gendongannya sambil mengusap punggung dan menepuk halus pantat bayi itu.
"Ini Susunya," Ali memberikan pada Prilly sebotol susu yang diberikan Laila padanya.
"Nii Caa, minum susu yaa!" Prilly masih mengayun Caca dalam gendongannya.
"Pa, tolong ininya dibetulin, longgar," Prilly meminta pada Ali membetulkan kain yang melilit dipunggungnya.
"Mana, ma, sini dibetulin!"
"Senangnya ya jadi Caca, disayang mama dan papa ..."
Tante Ulfi spontan berucap melihat Ali dan Prilly kompak mengasuh Caca. Prilly meringis salah tingkah mendengar ucapan mamanya itu, Alipun tertawa kecil sambil menyelesaikan lilitan kain dipunggung Prilly.
"Caca beruntung punya mama ii, ma!" Ucap Ali disambut anggukan tante Ulfi.
"Ya, mama ii paling tahu maunya Caca!" Sahut tante Ulfi.
"Papa keluar ya Ca, biar Caca tenang, cepet bobonyaa....." Ali ingin beranjak dari tempatnya berdiri.
"Kemana?"
Ali menunjuk keluar dan berlalu dari kamar diiringi tatapan Prilly yang tak lepas sampai punggungnya menghilang dari pandangannya.
"Kenapa? Nggak mau ditinggalin? Kayak gitu tadi mau dinikahin mikir...."
"Mamaaa...."
Prilly melebarkan matanya mendengar ucapan mamanya.
"Maaf tadi mama nyuri denger obrolan kamu sama Ali," tante Ulfi menjelaskan tanpa diminta.
Beliau tahu Ali sedang menenangkan putrinya itu akibat kedatangan Cal. Ia sempat juga mendengar apa yang disampaikan Cal, begitu ingin datang kekamar Prilly, sudah ada Ali disana. Akhirnya beliau memutuskan untuk membiarkan Prilly ditenangkan Ali sementara beliau menengok Caca yang sedang bersama Laila. Karna Caca merengek dan tak mau diam meski sudah berusaha ditidurkan Laila, akhirnya Tante Ulfi membawa Caca kekamar Prilly. Langkah mama Prilly itu tertahan didepan pintu saat mendengar obrolan anak dan menantunya itu.
"Kita sama-sama jahat, sesama jahat yang saling merindukan!"
"Sesama jahat ini pantasnya diapakan?"
"Dinikahkan!"
Dan setelahnya, beliau mendengar adanya keraguan dari putrinya yang sangat ia maklumi. Prilly tak mungkin tega pada kakaknya. Terlebih Prully sedang koma saat ini. Tetapi ia juga sangat tahu bagaimana putrinya Prully. Terlebih mereka tak tahu sampai kapan Prully koma.
"Ennggghhh...."
Rengekan Caca saat didepan pintu tadi membuat Omanya itu ingin segera menunjukkan pada Ali dan Prilly, ada yang sedang butuh mereka berdua bersatu. Untuk menjaganya bersama-sama dan merawatnya dalam satu keluarga.
Itulah sebabnya tante Ulfi mendorong pintu dan memanggil mama dan papa untuk menunjukkan kehadirannya pada Ali dan Prilly.
"Sebaiknya kamu pikirkan i, Caca butuh kalian berdua dalam satu keluarga!" Akhirnya tante Ulfi mengungkapkan pendapatnya.
"Maksudnya, ma?"
"Kalian akan lebih mudah merawatnya kalau bersama-sama, nggak akan ada yang tengah malam, hujan petir diteras, berdiri dengan ragu mengetuk!"
Prilly terdiam.
"Untuk bersama-sama ya harus nikah!"
Prilly makin tak bisa berkata apa-apa.
"Anggap demi Caca, i!"
Prilly hanya diam sambil terus menggoyang Caca dalam gendongannya. Botol Susu yang disedot Cacapun sudah terlepas seiring dengan mata Caca yang meredup. Prilly mengusap kepala dan mencium dahi bayi itu sambil tetap menggoyang tubuhnya. Lalu beranjak menuju boxnya. Sementara mamanya berlalu keluar dari kamar menyusul Ali.
"Mama harus bagaimana, Ca?" Prilly memandang wajah Caca sambil bergumam. Bukan demi apa, tapi demi Caca.
Prilly menghela napasnya. Kenapa harus mamanya yang memaksa? Harusnya Ali yang memaksa. Ali hanya terlihat pasrah, dengan alasan ia paham dengan keadaannya. Prilly menggeleng.
"Apa kamu nggak kasian sama Caca?"
Prilly terkejut dan menoleh kearah suara. Ali sudah berada dibelakangnya sekarang.
"Caca butuh kita berdua!"
Lagi-lagi Prilly hanya bisa gagu. Bingung harus menjawab apa sekarang. Tadi ia sempat berpikir harusnya Ali yang memaksa. Sekarang Ali terkesan mengajak dan memaksa, ia sama sekali tak bisa bereaksi.
"Aku mau pamit!"
Ali bukan tak mau memaksa. Justru ia ingin memberi waktu pada Prilly untuk berpikir.
"Pu...pulang sekarang?"
"Akukan sebenarnya harus kerja, barusan aku ditelpon kantor, admin dicabang kota mendadak keluar jadi aku harus kesana untuk menyelesaikan urusannya dan juga mencari pengganti, mungkin aku pergi seminggu..."
"Seminggu?
"Paling cepat tiga hari?"
"Kok gak pasti gitu sih jadwalnya?"
"Ya kan disesuaikan dengan fakta dilapangan, nanti Sella akan nemenin aku!"
"Sella?" Prilly mengeryit mendengar Ali menyebut nama asing dan sepertinya nama perempuan. Mana ada laki-laki bernama Sella?
"Admin dikantor aku, kan mau cari admin baru dicabang kota, jadi Sella dibutuhkan buat ..."
"Apa harus aa yang pergi?" Potong Prilly.
"Bisa diwakilkan sama wakil aku, tapi akukan bisa pergi, aku juga ada waktu, Caca kan aman sama kamu disini, nggak ada alasan buat minta diwakilkan sama wakil..."
Prilly menunduk. Pergi seminggu? Sama siapa tadi? Sella?
"Kenapa?"
Prilly menggeleng. Rasanya tak ada hak untuk memintanya jangan pergi. Tak ada alasan untuk melarangnya pergi lama-lama, apalagi dengan seorang wanita lain yang bahkan ia tak kenal.
"Apa kamu keberatan?" Ali menunduk menatap pada Prilly yang menunduk menatap kaki mereka.
"Apa aku ada hak?" Prilly mengangkat wajahnya menatap Ali.
"Ada."
"Darimana?"
"Kalau alasannya karna aku akan menikah denganmu, aku pasti bisa diwakilkan!"
Prilly menunduk lagi membuat Ali refleks menangkup wajahnya, menahan agar tak menghindar dari tatapnya yang meminta jawaban.
"Bila bukan demi kita, anggap saja demi Caca, ma!"
♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 13 Mei 2018
Yuk Pril, bilang iyaaa.... 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top