YK3>24

"Catat pernikahan kamu dan Cia dikantor agama Cal, berikan hak dia sebagai istri kamu, sebaiknya kamu hibur dia karna kalian sedang berduka, aku turut sedih karna kalian kehilangan bayi kalian!"

"Pril...."

"Pulanglah, dia lebih butuh kamu dari pada aku!"

"Tapi aku mau tebus dosaku sama kamu, Pril!"

"Kalau kamu mau tobat, tobatlah sama Tuhan, bukan sama manusia!"

"Tapi harusnya aku punya kesempatan membahagiakan kamu, aku mau bayar sakit hatimu!"

"Bayar dengan berbuat yang terbaik untuk istrimu, Cal!"

Memandang daun pintu kamar yang tertutup, Ali menghela napasnya. Ia sempat mendengar pembicaraan mereka saat suara Prilly terdengar meninggi dan Ali  berdiri dari duduknya.

Penolakan Prilly terhadap Cal, memang membuat Ali merasa lega. Tetapi juga membuat Ali merasa posisinya tak jauh berbeda dengan Cal.

'Apa bedanya aku dengan Cal? Sama melepaskan istri dalam keadaan yang tak sepantasnya dilepaskan?'

Sekarang apa yang harus ia perbuat? Menenangkannya sama dengan membuat Prilly merasa tak nyaman, menurutnya. Seakan-akan ia berusaha untuk mengambil hati adik iparnya itu. Padahal Prilly tak suka dengan pria yang membuat wanita selain dirinya terluka. Seperti halnya Cal yang ingin melepaskan istrinya demi dirinya. Prilly dengan tegas menolak. Lalu apa mungkin ia bisa meraih hati Prilly jika Prilly berpikir sama tentangnya terhadap Prully? Tapi apa ia salah melepaskan Prully yang sudah jelas tak berharap padanya?

Ali sempat melihat kabut dimatanya saat bertatapan. Sepertinya Prilly sedang merasakan sesak didadanya hingga wajahnya menyiratkan kesuraman. Apa dia sebenarnya masih menyayangi Cal? Apa sebenarnya ketegasannya menolak Cal bertolak belakang dengan keinginan yang sebenarnya? Prilly masih menginginkan Cal?
Pikiran Ali malah semakin kacau karna asumsinya sendiri.

Merasa ragu untuk hanya sekedar menenangkan, tetapi langkah Ali terseret kepintu kamar Prilly yang tadi ditutup sedikit keras. Ada dorongan lain yang menyebabkan ia merasa harus ada disampingnya untuk membuat bahunya menjadi tempat bersandar, lalu membuat Prilly tenang dan merasa aman seperti yang lalu.

Beberapa menit Ali hanya terpaku didepan pintu. Tangannya terangkat tapi diturunkan lagi beberapa kali, urung mengetuk.

"Ii..."

Akhirnya Ali memberanikan diri memanggil dan mengetuk. Ia menurunkan handle pintu dan ternyata pintunya tak dikunci. Setelah didorong, Ali melihat Prilly duduk ditepi tempat tidur dengan wajah menunduk.
Dan Ali duduk disampingnya tanpa ijin.

Bingung dengan apa yang harus ia katakan, Ali hanya menoleh lalu memandangi Prilly yang tertunduk. Terdengar tarikan air yang keluar dari hidungnya. Ali meraih tangan Prilly dan menggenggamnya membuat Prilly mengangkat wajah dan menatapnya.

Ali menepuk bahunya sendiri berulang kali membuat Prilly tadinya tak mengerti apa maksudnya.

Setelah Ali menarik kepala dan menyandarkan dibahunya barulah Prilly mengerti. Maksud Ali kira-kira begini, "Sandarkan kepalamu dibahuku, bagi bebanmu padaku!"

Setelahnya hanya diam. Lalu apalagi yang harus diucapkan ketika tangan sudah digenggaman, seakan rasa berkata, "Jangan kuatir, ada aku ..."

Ali pikir, yang Prilly butuhkan sekarang bukan nasehat dari bibirnya tapi justru ia menyiapkan pundaknya untuk bersandar dan telinganya untuk mendengarkan.

"Dia jahatttt....." Prilly berkata dengan nada menahan sesak didada. Ali diam.

"Masa mau bahagiain aku diatas penderitaan orang lain?" Kini suaranya bergetar. Ali masih saja diam.

"Apa semua pria berpikiran jahat seperti dia?" Prilly berkata dengan suara tertelan tangis yang mulai pecah.

"Apa semua lelaki selalu berpikiran meninggalkan miliknya untuk yang ketiga?"

Ali tak menjawab curahan hatinya diantara kata yang terbata. Hanya genggaman tangannya yang menyelip semakin erat dan Ali menepuknya perlahan.

"Coba dia seperti aa, setia pada Ui, merindukannya meski tak tahu kapan Ui bangun dari tidurnya, pasti dia gak kepikiran ninggalin Cia!"

Kali ini Ali menghela napasnya. Setia? Merindukannya? Prilly salah. Ia tak sebaik itu. Ia tak setia, tak merindukan bahkan tak mengharap apa-apa lagi dari Prully.

"Prully beruntung memiliki, aa..." ucap Prilly lagi dengan sungguh-sungguh.
Baru saja ia merenung dan berpikir. Alangkah sempitnya pikiran Cal, ingin membahagiakannya diatas penderitaan Cia. Lelaki macam apa? Gentle tidak. Terkesan pecundang, iya. Terkadang banyak pikiran yang menyimpang. Gentle hanya kata sebatas tanggung jawab pada satu sisi. Tapi disisi lain sesungguhnya tidak ada rasa tanggung jawab.

"Kamu salah....." Ali menghempas napasnya. Ia merasa Prilly telah salah menilainya. Ia bukan pria sebaik seperti yang diucapkan Prilly. Prully tak seberuntung itu memilikinya. Sekarang saja ia sudah melepaskannya.

"Salah?"

"Aku... sudah mengembalikannya pada orangtuamu, aku tak setia padanya," gumam Ali.

Prilly menarik kepalanya dari bahu Ali lalu menatapnya. Kenapa Ali berkata seperti itu? Tak setia bagaimana? Bukankah selama ini Ali merindukannya?

"Kamu boleh menyamakan aku dengan Cal, aku pria jahat..."

Prilly makin tak mengerti. Saat ini Ali sedang curhat atau sedang jujur? Kenapa Ali merasa seperti itu?

"Karna aku... aku tak pernah merindukannya, tapi malah merindukan yang lain...."

"Merindukan yang lain?"

"Akuu ..." Ali menoleh lalu mengarahkan pandangannya lagi kedepan hingga Prilly hanya menatapnya dari samping. Menunggu kelanjutan ucapan Ali untuk menjawab pertanyaannya.

Merindukan yang lain? Ternyata ada wanita lain? Lagi-lagi Prilly merasakan dadanya nyeri.

"Maafkan aku..." lirih suara Ali.

"Kenapa aa harus minta maaf?"

"Mungkin kamu nggak suka dengan apa yang akan aku katakan, aku minta maaf!"

Tiba-tiba jantung Prilly berdebar tak nyaman. Mendadak ia takut Ali akan mengatakan kalau sebenarnya ia merindukan gadis lain. Ia takut kalau-kalau Ali sebenarnya memiliki gadis idaman lain selama bersama Prully. Makanya saat memiliki celah untuk melepaskannya Ali langsung saja menghempas Prully.

"Aku pria yang tak tahu diri, i, maafkan aku!"

"Maksud, aa?" Prilly makin tak mengerti.

Rasanya airmata Prilly semakin menderas kini. Praduganya membuat batu-batu terasa dilemparkan kedadanya.

"Aku tak sengaja merasa nyaman dengan gadis lain padahal Prully masih istriku meskipun sedang koma!"

Benarkan. Ini terjadi sebelum Ali tahu kalau Prully tak menginginkan Caca. Hingga seakan ia benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan. Otak Prilly kembali berasumsi.

"Tapi ingat, aku melepasnya bukan karna aku ingin memiliki yang lain, tetapi karna Prully tak menginginkan kami berdua!" Ali masih bisa membela dirinya.

"Lalu apa bedanya? Sama saja aa sengaja mengambil kesempatan agar aa bebas bersama dengan yang membuat aa nyaman, iya?"

Ya Tuhan. Prilly menekan perasaannya saat ini.

"Enggak sama sekali!"

"Bohong!!"

Prilly berdiri dari tepi tempat tidur dan Ali refleks ikut berdiri.

"Sama sekali enggak, percaya padaku!" Ali memegang bahunya dan Prilly bergerak melepaskan cengkraman tangan Ali disana.

"Semua laki-laki nggak ada yang bisa dipercaya, sukanya pakai topeng!" Prilly tersedu karna tak tahan mengingat Ali ternyata merasa nyaman dengan wanita lain.

"Bukan begituu..."

"Alahhh, aa sama aja dengan Cal!!" Prilly melepaskan tangan Ali dari bahunya tetapi Ali tetap menahan tubuhnya agar tak menjauh.

"Beda, i, ini berbeda, nyaman itu nggak bisa aku hindarin, sementara istri aku nggak bisa apa-apa bahkan nggak menginginkan aku!"

"Terserah apa kata aa, aku nggak peduli, pergi saja sana, datangin yang bikin aa nyaman!!"

Prilly mendorong tubuh Ali hingga bahunya terlepas dari cengkramannya. Rasanya benci sendiri karna selama ini ia sudah salah melabuhkan rasa dan salah menilai.

"Heiiiii!"

"Aku bilang pergi sanaaa, aku sama Caca bisa tanpa aa, pantas saja aa tahan berhari-hari tak datang menemui Caca, rupanya aa ada main dengan wanita lain!"

Prilly menggenggam kedua tangannya lalu memukul-mukul dada Ali. Cemburu tak jelas menguras airmatanya kini.

"Kamu itu salah...." Ali menangkap tangan Prilly yang menggenggam dan memukul. Bukan karna sakit, tapi seketika ia menyadari, ada yang salah dari ucapannya hingga membuat Prilly menyangka ia ada main dengan wanita lain diluar sana.

"Aku salah apalagi? Terus saja salahin aku!"

Ali menahan tangan Prilly yang bergerak ingin mengobrak-abrik dadanya. Bukan sakit yang ia rasa. Tapi heran kenapa Prilly bisa terlihat sesakit ini?

Prilly melepaskan pandangannya dari tatapan menghujam jantung itu. Ia bergerak melepaskan pegangan tangan Ali dari kedua lengannya. Tapi Ali tak melepaskannya.

"Pergi a, pergi ketempat yang membuat aa nyaman!"

Prilly menunduk dan airmatanya menitik dilantai. Ali melihat air yang jatuh didekat kakinya itu dengan dada ngilu. Ia mengira Prilly sakit hati untuk kakaknya karna ternyata ia memiliki tempat ternyaman diluar sana.

"Maafkan aku, aku memang tak tahu diri, aku tahu dia koma lalu aku melepaskannya, tapi asal  kamu tahu, nggak ada tempat yang paling membuatku nyaman selain disini, saat sama kamu!!"

♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 12 Mei 2018

Maaf ya, kemarin pagi-pagi kan create masih kebuka sejak malamnya ketiduran. Aku bermaksud menyimpan. Ternyata tersentuh daerah publikasi. Akhirnya td hrs diunpublish. Dan inipun sdh kebelet update.... maaf pendek ya. Terima Kasih ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top