YK3>21
"Aa..."
"Sudah pulang saja!"
"Aku..."
"Bawa Caca, aku takkan menjauhkanmu lagi darinya!"
"Tapi bukan begini, a!"
"Lalu aku harus bagaimana? Bukankah aku mencoba memisahkanmu padahal kamu yang menginginkannya hidup?"
"Tapii..."
Ali menepis ingatannya saat terakhir bertemu Prilly dan Caca. Kesannya angkuh dan tak peduli. Padahal dalam hati siapa tahu? Sama sekali Ali tak berharap Caca jauh darinya. Prully tak menginginkan anaknya hidup. Prully juga ternyata tak menginginkan dirinya. Kenyataan itu yang membuat Ali benar-benar syok dan mengeluarkan kalimat sakral yang seharusnya tak diucapkan oleh seorang suami terlebih pada orang yang sedang koma.
Tapi apa mau dikata? Ia sangat yakin dengan ucapannya mengembalikan Prully pada orangtuanya. Sekarang untuk apa mempertahankan seseorang yang tak pernah berkeinginan hidup dengannya?
Terjawab sudah sikap Prully selama ini karna keengganan. Salahnya kenapa bisa kejadian malam itu terjadi, hingga membuat ia harus bertanggung jawab pada apa yang telah ia perbuat? Ternyata pertanggung jawabannya tak ada artinya dimata Prully malah memberatkan. Jadi buat apa dipertahankan?
Ali menghela napasnya. Bersandar diSofa dalam kamarnya sambil memandang box Caca membuat dadanya terasa nyeri. Sepi. Tak ada yang ia cium saat pergi dan pulang kerja. Kapan lalu ketika dibawa ibu ia masih bisa menelpon atau facetime melepaskan rindunya. Sekarang ia seakan tak punya alasan untuk menelpon Prilly.
"Kenapa, Li?" Ibu bertanya saat semalam ia menengok dirumah beliau. Ali terlihat murung dengan tatapan yang selalu menerawang seakan tak bisa menyembunyikan gundahnya didepan ibu.
"Enggak bu..."
"Jangan bohong, kangen Caca?"
"Selalu kangen!"
"Samperin aja ketempat ii..."
Ali menggeleng.
"Kok?"
"Ali sudah menyerahkan Caca pada Prilly!"
"Lalu memangnya kenapa kalau Ali mau tengok dia?"
"Enggak bu, biar Caca bersama dengan orang yang mengharapkan dia hidup, Ali mengalah saja!"
"Maksudnya gimana?"
"Ali sudah kembalikan Prully ke orangtuanya, ternyata dia tak berharap Caca ada, yang memaksa Caca tetap hidup justru Prilly!" Ali menjawab keheranan ibunya.
"Astagfirullah hal adzim!"
"Wajar sajakan bu, Ali kembalikan dia, buat apa Ali pertahanin orang yang nggak berharap ada Ali dalam hidupnya?"
Ibu hanya diam mendengar ungkapan perasaan Ali. Sama syok seperti Ali mendengar kenyataan seperti itu.
"Jadi Ali sudah yakin dengan keputusan Ali melepas Prully!"
"Sudah, bu!""
"Lalu Prilly?"
"Kenapa dengan dia?"
"Bukankah..."
"Ibu jangan membuat Ali salah untuk kesekian kalinya, bu!"
"Salah gimana?"
"Ali tahu maksud ibu, Ali justru menghindari jangan sampai setelah melepas kakaknya Ali ambil adiknya!"
"Dimana salahnya?"
"Jangan sampai memaksa Prilly pada sesuatu hal yang bukan kemauannya sama seperti Prully!"
"Dari awal Ali sudah tak jujur pada ibu!"
"Justru itu bu, Ali gak mau salah untuk kesekian kalinya!"
"Semakin salah kalau tak jujur pada diri Ali!"
"Tak jujur bagaimana, bu?"
"Ali inginkan Caca tapi Ali berkeras melepasnya bersama Prilly, jangan sok kuat Li, Caca itu butuh Ali, Ali juga sebenarnya tak bisa lepasin dia begitu saja, dia anaknya Ali, tanggung jawab Ali!"
"Tapi kalau Ali ambil dia, Ali menyakiti yang lain bu!"
"Prilly maksudnya? Mau gak mau Ali menyakiti dia kalau yang diambil cuma Caca!"
"Maksud ibu apa? Ambil dua-duanya buat menjadi satu kesalahan lagi?"
"Demi Caca harusnya itu bukan kesalahan!"
"Ali gak ngerti maksud ibu, kalau Ali ambil Caca sekaligus dengannya apa nggak menyakiti Prully?"
"Sekarang kenyataannya apa selama ini Prully menginginkan Ali? Lalu kapan dia akan terbangun dari komanya Li, sementara hidup ini terus berjalan, Caca butuh kasih sayang dan tanggung jawab Ali, sementara dia tergantung pada Prilly!"
"Ali cuma mengalah, bu!"
"Sampai Caca harus nanggung derita?"
"Maksud ibu apa?"
"Ibu yakin kondisi Caca sekarang sedang sama dengan kondisinya saat ibu bawa jauh dari Prilly!"
Ali mengusap tengkuknya. Teringat keadaan Caca saat jauh dari Prilly. Gelisah. Tak mau minum susu. Merengek tak jelas. Apakah sama saat ini ketika jauh darinya?
"Jauh dari kalian berdua itu bikin Caca terganggu, Li!"
Ali tak lagi menyahut mendengar ucapan ibunya.
"Seorang anak itu sangat peka. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan orangtuanya."
Ali makin diam.
"Kamu saja dulu saat ibu dan ayah bertengkar semalaman menangis karna habis bertengkar ayahmu tak pulang malam itu!"
Ali tak lagi membantah ibunya. Berbicara tentang bagaimana kepekaan seorang anak terhadap orangtuanya, tentu ibunya lebih tahu. Ibunya lebih berpengalaman soal itu. Dan diam-diam ia hanya meredam perasaannya sendiri. Kalau saat lalu, ketika ibunya membawa Caca atas anjurannya, bila ia rindu bisa langsung datang padanya. Sekarang saat ia rindu ia harus meredam rasa rindu itu karna ia tak mungkin datang padanya.
Ia yang menginginkan Caca dibawa. Ia sudah terlanjur dengan egoisnya berusaha tak menanyakan kabarnya. Ia yang dengan angkuhnya menyerahkan Caca untuk dibawa Prilly. Ali menggenggam ponsel yang sesaat lalu dipandangnya. Antara mau menghubungi atau menahan diri.
"Maafin Papa, Ca!" Ali memandang profile picture Prilly bersama Caca. Sesaat ketika ia ingin menelpon dan membatalkannya, akhirnya Ali hanya membuka profile picture Prilly dan membasuh rindunya hanya dengan sebuah profile picture dan photo-photo yang dikirimkan Prilly jauh sebelum ia memutuskan untuk tidak menghubunginya saat ini.
"Papa sayang Caca...."
Ponsel jatuh kedadanya saat mata Ali perlahan terpejam karna tertidur.
"Papaaa...."
"Caca?"
Ali melihat Prilly berdiri dengan menggendong Caca yang terlihat melonjak dalam gendongannya.
"Caca pergi dulu, paa..."
Prilly berbalik sambil melambai pada Ali yang terlonjak ingin menggapainya.
"Caca? Caca mau kemana?"
Ali terlonjak bangun dan mengusap wajahnya. Mimpi. Saking rindunya pada Caca sampai terbawa mimpi.
Tak tahu berapa lama ia tertidur. Hujan terdengar berjatuhan diatas langit-langit kamarnya. Menyentuh layar ponsel untuk melihat jam berapa saat itu yang terlihat justru wajah Prilly dan Caca.
"Caca atau kamu yang takut hujan?"
Seketika Ali teringat pertanyaannya pada Prilly saat berada dirumahnya. Saat itu hujan disertai petir diluar terdengar. Suara teriakan Prilly diiringi tangis Caca tertangkap telinganya hingga Ali tergesa mendatangi mereka kekamar.
"Ada apa?"
"Caca kayaknya takut sama hujan, a..."
Karna Ali sebelumnya mendengar teriakannya, Ali berkesimpulan bukan Caca yang takut tapi Prilly.
DUAAR!
Prilly menutup telinganya dengan sebelah tangannya sementara tangan yang lain mendekap Caca seakan melindunginya.
Gerakan berulang saat petir terdengar lagi seakan membelah langit membuat Ali refleks memeluk mereka.
DUARR!!
Suara Petir mengagetkan Ali dan ingatannya pada saat Prilly terlihat ketakutan buyar berganti rasa cemas. Bagaimana sekarang keadaan mereka berdua?
Ali menyeret kakinya keluar dari kamar Caca yang sepi. Perasaannya hampa mengingat tak ada lagi semangat hidupnya. Petir mengagetkannya kesekian kali. Langkahnya terseret antara sadar dan mengikuti kata hati membawanya ke garasi dan keluar bersama mobilnya.
Didepan rumah dimana anaknya berada Ali terdiam didalam mobil. Untuk apa sebenarnya ia datang kesana? Sekedar mengetahui apakah Caca baik-baik saja? Atau untuk membayar rindunya?
Melangkahkan kaki di beranda hanya ada angin. Kilatan dari langit menerangi beranda rumah itu. Ali memeluk lengannya sendiri. Apakah mengetuk pintu ditengah malam tak membuat penghuninya terganggu? Ali duduk dikursi yang ada diberanda rumah. Mengusap wajah dan menyangga dagunya tak peduli angin dingin makin mengusik tubuhnya.
DUAARRR!
Petir menggelegar dengan kilatan yang terlihat terang membuat Ali terlonjak, terlebih terdengar tangis Caca dari dalam rumah.
"Sstttt... gak apa-apa sayang ada mama!" Suara Prilly terdengar berusaha menenangkan Caca, membuat Ali merasa tubuhnya tegang sementara kilatan diatas sana kembali menerangi beranda rumah.
SREKĶK!
Ali berdiri dari duduknya hingga membuat kursi bergeser. Mendengar suara Prilly ada yang ngilu dalam dadanya. Ia tak tahu harus bagaimana dan berkata apa bila Prilly mengetahui ia datang. Hatinya meragu untuk maju mengetuk pintu dan berkata rindu. Seperti menjilat ludah sendiri. Bukankah ia sudah relakan Caca bersama Prilly?
Tek. Tek. Tek.
Krieetttttt!
"Aa! Mau kemana?"
Langkah Ali terhenti. Seakan tertangkap tangan, kehadirannya sudah diketahui Prilly.
"Aa..."
"Kenapa keluar? Disini dingin..."
"Kenapa aa gak masuk, udah tau disini dingin?"
Prilly bergidik karna kilatan dari langit kembali menerangi beranda diujung kalimatnya.
"Masuk, dingin, kasian kamu, kasian juga Caca!"
Ali mendorong Prilly masuk kedalam rumah karna mengkhawatirkan angin dingin diantara hujan yang menerpa tubuh mereka.
"Aa juga kasian kalau diluar ter...uss...!"
Duaarr!!!
Prilly kembali bergidik saat petir terdengar dan Caca menangis dalam dekapnya sementara Ali refleks memeluk tubuhnya.
"Sttt Ca, gak apa-apa, ada papa sekarang yaa...." ucap Prilly setengah berbisik dalam rangkuman tangan dan tubuh dingin itu.
Sesaat ia menetralkan detak jantungnya yang seirama dengan hujan diluar sana. Seakan dengan cepat berjatuhan seperti air hujan yang menitik deras.
"Enghhhh..." Caca menggesek-gesekkan wajahnya ke bahu Prilly. Prilly mengusap-usap punggung Caca dan membalik badannya agar Ali bisa memandang wajah Caca yang menyangkutkan dagu di bahunya.
"Hai anak papa sayang!"
Caca mengangkat kepalanya mendengar suara Ali memanggilnya. Sesaat senyum mengembang dibibir mungilnya menatap Ali.
"Ehh... ehhh... ehh!"
Prilly menahan lonjakan Caca yang tiba-tiba karna bayi berusia tiga bulan itu menggerakkan kakinya seakan kesenangan melihat Ali.
Ali mengambil Caca dari gendongan Prilly. Mencium pipi balonnya, mendekapnya hangat, memindahkan dagu montok itu kebahunya dan mengusap-usap punggungnya berulangkali. Akhirnya rindunya terbayar dengan mendekap langsung tubuh gempal putrinya itu.
"Kok belum bobo jam segini? Sama ya kayak papa nggak bisa bobo ya?" Ali seakan bergumam sendiri ditelinga Caca yang mendekap bahunya erat.
Prilly hanya berdiri kaku memandangi ayah dan anak itu. Ada rasa haru. Entah apa namanya. Ketika melihat rindu bertemu dengan rindu, kenapa dadanya yang terasa mencair dari rasa sesak yang sedari tadi menggumpal? Sebenarnya yang rindu siapa? Prilly menarik napasnya, rongga dadanya terasa dipenuhi udara lalu menghembuskannya perlahan.
Tatapannya tertahan saat Ali mengangkat wajah dan mata mereka bertemu. Tak beberapa saat. Ini lama. Tak sedetik dua detik. Ini bermenit-menit. Seakan detakan jantung menjadi jarak waktu yang berdetik-detik dikesunyian diantara rintik hujan.
"Caca, nggak bisa bobo, pa!"
"Yang nggak bisa bobo, Caca atau kamu?"
"Kamu!"
Prilly menggigit kukunya. Kenapa obrolan mereka jadi antara nyambung dan nggak nyambung begini?
♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 01 Mei 2018
Haduh. Kenapa jadi begini ceritanya? Hahahahaa....
Ini hasil ketikan orang yang sedang sibuk dan harap-harap cemas.
Minta doanya ya semua, acara beauty class Revlon bersama Make Up Artis Philipskwok tanggal 3 Mei berjalan lancar dan mencapai target seperti yang kami diharapkan. Aamiin Ya Allah...
Terima Kasih do'anya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top