YK3>20
"Mulai hari ini saya ceraikan Prully, ma, saya kembalikan anak mama pada mama sesuai harapannya!"
Kalimat Ali terngiang-ngiang dalam ingatan Prilly. Prully diceraikan gara-gara ucapannya tak terkontrol. Prilly merasa bersalah. Saat itu ia tak menyangka Ali akan mengucapkan kata cerai.
"Aa, kenapa gegabah? Jangan emosi dulu a!"
"Nggak ada gegabah, nggak ada emosi, aku cuma mewujudkan harapan kakakmu, i!"
"Aa, tunggu dulu a, mau kemana?"
"Silahkan bawa Caca, aku takkan menahannya, dan aku takkan memisahkanmu lagi dengannya!"
"Aa.. aa.. tunggu dulu a kenapa bicara begitu?"
Dan Alipun berlalu. Teriakan Prilly disekitar ruang UGD itu tak dihiraukannya lagi.
Sampai panggilan dari rumah sakit untuk membawa ibunya pulang, Ali tak berkata apa-apa lagi setelahnya. Tak ada yang berani mengusiknya sepatah katapun. Suasana diantara mereka menjadi sedemikian tegang. Mereka seakan kompak tak ingin mengusik ketenangan ibu Ali. Seperti tak terjadi apa-apa saat membawa beliau pulang. Dan pamit setelahnya membawa Caca kerumahnya, hanya dingin yang Prilly dapat.
"Aa..."
"Sudah pulang saja!"
"Aku..."
"Bawa Caca, aku takkan menjauhkanmu lagi darinya!"
"Tapi bukan begini, a!"
"Lalu aku harus bagaimana? Bukankah aku mencoba memisahkanmu padahal kamu yang menginginkannya hidup?"
"Tapii..."
Seketika dadanya kembali sesak saat Ali terlihat tak peduli. Perasaan bersalah semakin menjadi saja pada Prully dan Caca. Kenapa gara-gara dia rumah tangga mereka jadi kacau?
"Bukan salah kamu, i!" Tante Ulfhi menenangkan Prilly untuk yang kesekian kalinya, saat Prilly menangis sambil mendekap Caca karna perasaan bersalah.
"Salah aku, ma!" Prilly meneteskan airmata menatap wajah Caca yang tertidur nyenyak setelah menghabiskan sebotol susu dipangkuannya.
"Ini sudah takdirnya Prully..." tante Ulfi meyakinkan Prilly atas nama takdir tapi Prilly menggeleng.
"Harusnya aku diam saja," tetap saja ada perasaan menyesal dalam batinnya.
"Diam tak selalu bisa menyelesaikan masalah, terkadang kita juga perlu bicara untuk memberikan kejelasan!" Ungkap mamanya lagi.
"Tapi, ma..."
"Ali mau misahin kamu dari Caca, karna dia nggak tahu perjuangan kamu buat mertahanin hidup Caca, dia nggak tahu apa-apa!" Tante Ulfhi memotong ucapan Prilly yang sudah beberapa hari sejak kejadian diceraikannya kakaknya itu menjadi murung karna perasaan bersalah.
"Tapi Prully anak mama juga, yang harus ditutupi kesalahannya!"
"Kita gak bisa nutupin keburukan i, lama-lama kalau nyimpen bangkai akhirnya kecium juga!"
"Tapi Prully bukan bangkai kan ma?"
"Jujur itu lebih baik, meskipun menyakitkan diawal, tapi kalau sudah jujur itu rasanya hidup kita jadi lebih tenang, nggak ada beban," masih saja mamanya meyakin Prilly agar tak lagi merasa bersalah dengan apa yang sudah diucapkannya hingga membuat Ali emosi dan menceraikan Prully.
"Tapi Prully sekarang diceraikan ma, Caca bagaimana? Berantakan hidupnya tanpa mama dan papa yang hidup bersama-sama!"
"Memangnya sekarang bagaimana? Prully tu sedang koma i, kita saja gak tahu kapan dia bangun? Kalau bangun pun apa dia seperti ibu dan istri yang seharusnya? Kasian Ali-nya, selama menikahi Prully apa yang ia dapatkan? Kamu tahu sendiri kakakmu bagaimana?"
Akhirnya tak terdengar tapi lagi dari mulut Prilly. Apa yang dikatakan ibunya semua benar. Sebenarnya bukan Prully yang korban tetapi Ali. Sekarang korbannya bertambah, yaitu Caca.
"Bukan mama mau merusak hidup anak mama sendiri, tapi mama justru membersihkan Prully, koma saat inipun mama anggap sebagai penebus dosanya..."
"Ii, gue udah gak tahan lagi i, perut gue sesek rasanya, yang didalem perut gue ngelesek terus i, lo yang mau dia hidup, harusnya lo yang nanggung penderitaan gue!"
"Kalau gue bisa gantiin derita lo, sini gue gantiin, a!"
"Ui, lagi hamil jangan ngomong macem-macem!"
"Ui mau mati aja ma, biar gak ada beban dalam hidup Ui!"
"Istigfar Ui!"
Prilly meremas kepalanya yang tiba-tiba sakit karna seketika wajah Prully dan kalimat-kalimatnya terngiang. Ucapan mamanya yang mengatakan sebagai penebus dosa mengingatkannya akan sikap Prully dan yang terjadi sebelum ia jatuh pingsan, harus melahirkan dengan operasi caesar dan dalam keadaan darurat.
Semua yang terjadi padanya saat ini adalah jawaban atas semua keluhannya selama menjadi istri Ali dan selama ia hamil. Prully benar-benar tak sempat merawat bahkan melihat Caca. Ia tak berkesempatan untuk menyadari kelalaiannya.
Dan saat ini sudah seminggu sejak kejadian itu. Ali tak pernah menengok Caca. Menanyakan kabarnya melalui chatt di ponsel saja tidak. Apalagi mau menelpon atau video call. Sepertinya Ali sudah tak mau peduli lagi pada Caca.
Prilly menggeleng tak yakin. Apa mungkin cuma perasaannya saja karna terlalu memikirkannya. Memikirkan rasa bersalahnya karna sudah mengakhiri hubungan suami istri antara Ali dan Prully tanpa sengaja?
"Sayang mama masih lapar ya?"
Prilly berucap saat tengah malam Caca terbangun dan menangis tak jelas apa penyebabnya. Diganti popok sudah. Minum susu sudah. Didekap hangat sudah. Diajak bicara sudah. Tapi Caca masih saja rewel. Padahal ini bukan pertama kali dia terpisah dengan Ali. Bukan pertama kali Caca tinggal bersamanya.
Prilly meraih botol susu kosong dan membuatkan kembali sebotol susu dibotol kecil yang ada diatas nakas dengan sebelah tangannya.
Tak biasanya Caca begini. Biasanya tengah malam hanya bangun sebentar, minum susu atau diganti popok pasti tidur lagi. Itupun tidak sering. Caca termasuk anak kecil yang gampang sekali dirawat.
"Nggak mau minum susu?" Prilly bertanya setelah Caca melepaskan dot dari mulutnya.
"Sakit perut ya?" Prilly meraih minyak kayu putih yang juga berada diatas nakas berdampingan dengan perlengkapan susunya lalu membalur perut Caca dan telapak kakinya dengan minyak kayu putih itu.
Bahkan ia berdiri dari ranjang dan meraoh remote ac untuk mengurangi suhu ruangan agar tak terlalu dingin. Apalagi diluar terdengar hujan turun.
"Caca takut hujan?"
Caca malah melonjakkan kakinya hingga lampinnya terbuka.
"Caca malah kepanasan?" Prilly tak putus asa mencari cara agar Caca berhenti gelisah dan merengek.
"Kenapa sih, sayang mama?" Prilly memandangi wajah Caca. Menggesek pipi balonnya yang menggemaskan. Rambutnya hitam tebal dan bulu matanya lentik seperti...
"Caca jangan sedih ya, papa pasti cuma sibuk..."
Prilly bergumam saat memandang wajah Caca justru teringat pada Ali. Sedari tadi ia sudah mengalihkan fokusnya dengan bertanya hal-hal yang tak berhubungan dengan Ali tapi nyatanya tak bisa. Setiap memandang Caca. Hanya Ali yang terbayang dirautnya. Dan setiap kejadian bersamanya selalu saja ia harus flashback ke masa-masa dimana mereka bersama-sama merawat Caca. Bahkan saat membalurkan minyak kayu putih saja, ia teringat saat Ali sakit dan membalurkan minyak kayu putih keperutnya.
"Caca sedih papa sudah gak peduli?" Prilly kembali bertanya padahal Caca belum tentu paham apa yang ia bicarakan. Dan lagi bukan Caca yang merasa sedih Ali tak peduli tapi dirinya.
"Engghhh...." Caca seakan menyahut paham. Rengekannya berubah menjadi gumaman manja.
Padahal tadi menangis tak jelas apa penyebabnya. Diberikan kembali susu siapa tahu masih lapar juga sudah. Kakinya yang dingin dibaluri minyak kayu putih juga sudah. Tapi tetap saja merengek.
"Caca mau ketemu papa?"
Caca seketika bergumam tak jelas lagi menghentikan rengekan saat Prilly sedang berbicara tentang papanya. Padahal sebelumnya Prilly sudah berusaha untuk tak mengingatkannya.
"Caca rindu sama papa?"
"Enggghhh..."
Prilly meraih ponselnya dan menekan layar ponsel.
"Ini photo papa, lihat papa Ca, papa baik-baik saja!"
Prilly membuka aplikasi chatt dan membuka profile photo Ali dihandphonenya dan menunjukkan pada Caca. Caca terlihat memandang layar ponsel. Dan setelahnya bayi montok itu terdiam. Tangannya menggapai-gapai handphone Prilly. Prilly membiarkan Caca memegangi ponselnya dengan kedua tangan mungilnya yang memang sudah mahir menggenggam mainan. Dan Prilly menjadi sangat yakin kalau Caca sedang merindukan papanya.
"Caca mau ketemu papa?" Prilly lagi-lagi bertanya dengan suara bergetar.
"Mam...mam..mam..." Caca asik dengan ponsel Prilly dan Prilly menarik ponselnya karna Caca mulai memasukkan kemulutnya.
Tapi Caca menangis sambil merentangkan tangannya seperti meminta ponsel itu kembali.
"Cacakan udah punya mama, Caca mau papa juga?" Prilly kembali memberikan ponselnya pada Caca.
"Pa...pa...pa..." tidak jelas ucapan Caca tapi terdengar seperti itu. Prilly semakin sedih saja. Sepertinya tak cukup bagi Caca hanya mama saja.
"Jauh dari mama dia kangen mama. Ternyata tak dipedulikan papa pun sepertinya dia tak ingin!"
Prilly mengusap kening Caca. Tak bicara pada Caca tapi bicara pada dirinya sendiri.
"Maafin mama, Ca, mama gak berdaya," Prilly menerawang sedih. Terlebih sedih untuk Caca yang tak mungkin bertemu Ali kalau papanya itu tak ingin.
"Mama harus apa Ca, supaya Caca bisa tenang?"
Prilly menaruh ponselnya setelah menariknya dari tangan Caca lagi. Caca masih merengek saat ia tak lagi memegang ponsel itu tapi Prilly tetap menjauhkannya.
"Caca harus move on dari papa!" Meski rasanya tak mungkin jika seorang anak diminta move on dari ayahnya tapi Prilly seperti sudah kehabisan kata untuk membujuknya.
Prilly beranjak dari tempat tidur lalu membawa Caca yang sedang menangis keluar dari kamar. Prilly menggendong sambil menepuk punggung dan menyangkutkan kepala Caca dibahunya siapa tahu anak itu mau tertidur.
"Bobo ya sayang, mungkin besok papa akan datang..." Melewati ruang keluarga Prilly berucap asal saat melangkah menuju ruang tamu.
DUAARRR!
Petir menggelegar dengan kilatan yang terlihat terang dari sela gorden ruang tamu membuat Prilly terkejut terlebih Caca. Bayi itu langsung menangis keras dibahunya.
"Sstttt... gak apa-apa sayang ada mama!" Prilly yang sebenarnya juga takut mendengar suara petir sekeras itu berusaha menenangkan Caca.
SREKĶK!
Suara seretan kursi diberanda rumah membuat Prilly menajamkan pendengarannya sambil tetap mengusap Caca dalam dekapannya. Bayangan diluar gorden membuat Prilly bergidik. Hampir saja ia lari masuk kembali kedalam kamarnya karna seketika merasa suasana menjadi horor. Kaki Prilly justru bukan kedalam kamar tetapi mendekati gorden karna ada rasa penasaran.
Prilly membuka Gorden dengan pelan berusaha mengintip keluar. Saat dia menyisih gorden kilatan dari atas langit terlihat menerangi beranda rumah. Dan bayangan seseorang berdiri tegak membelakangi dari tempatnya berdiri tertangkap matanya membuat Prilly terkejut.
Prilly melirik jam dinding diruang tamu yang agak temaram karna lampu disana dimatikan. Hanya penerangan dari lampu diberanda yang membantu matanya untuk melihat jarum panjang jam dinding itu berada diposisi sebelas dan jarum pendeknya berada tepat di posisi dua. Hampir jam dua malam?
'Heii, mau kemana?' Prilly mengeryit saat tubuh itu melangkah sambil memeluk lengannya sendiri sepertinya karna kedinginan.
Tek. Tek. Tek.
Kriettttttttt........!
Angin dingin menyeruak masuk kedalam rumah dan menerpa wajah Prilly saat segera memutar kunci yang menempel dipintu lalu membukanya.
"Aa? Mau kemana?"
♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 30 April 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top