YK3>17
"Cal memilih, sayapun memilih, saya lebih memilih dinikahi pria yang punya anak ini, suami orang ini, tapi dia menikahi saya sebelum haram, bukan setelah haram seperti Cal memilih wanita itu!"
Prilly menarik lengan Ali menjauh dari hadapan Clarisa, yang entah darimana tiba-tiba muncul didepan mereka lalu mengeluarkan tuduhan-tuduhan berdasarkan ucapan saudaranya.
Rasa sesak membaur dengan kesal karna apa yang sudah ia ikhlaskan malah menyerangnya dari belakang.
"Tak tahu diri, aku benciiii!"
"Ssttt...."
Ali menarik tubuh Prilly dan membiarkan pekikan gadis itu berakhir didadanya agar terdengar samar. Ali tahu Prilly kesal. Ia sendiri yang mendengarpun kesal. Memutar balikkan fakta. Dan pada akhirnya yang terlihat salah dimata mereka adalah Prilly.
"Kamu tenang ya...."
"Nggak tenanggg, menimpakan salah sama akuu!"
"Udah, ikhlasin aja!"
Prilly menarik napasnya. Selalu tenang jika bersama pria dihadapannya meski tadinya tak tenang karna masalahnya. Prilly menatap Ali yang menaruh telapak tangan diatas kepalanya, lalu menghempaskan napasnya perlahan mencoba menghilangkan sesak dengan ikhlas seperti yang dikatakan Ali.
"Sekarang kita cari tempat makan dulu ya..." Ali mulai melangkah membawa Prilly menuju tempat dimana mereka bisa mengisi perut.
"Aku mau pulang sajaa..." Prilly menggeleng membuang pandangannya jauh-jauh. Hancur sudah moodnya sekarang.
"Kamu nggak laper? Perut kamu kosong apalagi ditambah dengan emosi!" Ali bertanya sekaligus mengingatkan.
"Gak napsu a, napsunya mencakar muka orang sekarang!" Prilly mengangkat tangan lalu menggenggamnya kuat-kuat.
"Jangan dicakar, berbekas nanti kena tindak pidana, kalimat kamu tadi sudah lebih tajam dari pada cakaran kuku kamu yang tajam!" Ali tersenyum melihat Prilly mengerucutkan bibirnya.
"Kalimat dia lebih tajam lagi a, bela saudara boleh tapi jangan nusuk orang!" Prilly menyahut. Sepertinya masih belum hilang rasa jengkelnya akibat ucapan Clarisa yang menohok untuk menyakiti tapi salah mendapatkan informasi.
"Pril!"
Mereka melihat kearah datangnya suara dan menghentikan langkah.
Prilly memandang wanita setengah baya yang mendekat itu. Nasibnya sekarang bertemu orang-orang yang hanya mengingatkannya akan kesakitan. Prilly menunggu, apalagi yang akan orang tua Cal itu katakan didepannya. Ia sudah siap kalau saja harus dimaki. Dianggap dengan sengaja meninggalkan Cal ketika ia justru membutuhkan untuk dijaga saat diruang perawatan.
Prilly justru sekarang bersyukur dipertemukan. Dan mereka akan tahu kondisi yang sebenarnya. Anak mereka tak gentle. Tak mengakui kesalahan malah mencari kesalahan yang lain.
"Prilly!"
Bukan makian yang Prilly dengar. Tapi pelukan yang mendadak membuat tubuhnya kaku.
"Mom sudah terlalu berharap kalau kamu yang akan mendampingi Cal!" Suara ibunya Cal serasa halus menembus gendang telinganya tapi membuat dadanya nyeri.
"Mom minta maaf padamu untuk Cal!" Lirih tapi terdengar bergetar beliau melanjutkan kalimatnya.
"Saya..."
"Mom sudah tahu yang sebenarnya, mom paksa dia buat jujur ketika kami hanya berdua!"
Prilly baru mengerti kenapa sikap Mommy Cal berbeda dengan Clarisa kakaknya. Dan yang paling bijak adalah tidak mudah percaya ucapan dari satu sisi tanpa melihat dari sisi yang lainnya.
"Maafkan aku, mom!"
Balasan ucapan seandainya ia dimaki justru berganti balasan kata maaf. Karna mungkin ia terutama Cal sudah mengecewakan orangtua itu. Harapan beliau terhadap ia dan Cal mungkin sudah lebih. Sangat mengejutkan ketika mereka tiba dirumah sakit Prilly tidak ada, justru Patricia yang ada disana.
"Prilly pulang, dan Cia mau tinggal untuk menjaga aku!"
"Padahal kakak sudah berpesan, tunggu sampai kami datang!"
"Kami sudah putus!"
"Putus?"
"Dia pulang bersama pria itu, direngkuh posesif tanpa menoleh!"
Dan Clarisa terlanjur tak senang.
"Mom tahu Prilly terpaksa. Kalau Allah tak mentakdirkan kalian bersama, kita bisa apa? Prilly maafkan saja harusnya Cal sudah lega, bukan justru membuat cerita tak jelas menyebabkan kesalahpahaman!"
Prilly menunduk ketika mama Cal bicara mengenai takdir. Ya, Allah tak menuliskan takdirnya bersama Cal. Tapi Cal adalah takdir Cia.
"Tapi mom yakin, Cal sangat mencintaimu, bukan mencintai dia, Prilly!"
Lalu apa gunanya cinta, kalau pada kenyataannya bukan ia yang harus dinikahi? Prilly membatin tapi tak mengungkapkan. Diungkapkan pun percuma. Takkan merubah apa-apa. Cal akan tetap bersama Cia. Itu suatu keharusan, bukan lagi pilihan.
"Cal sudah memilih...." Prilly seperti bergumam.
"Bukan memilih tapi tak ada pilihan!"
"Sama saja, mom..."
Terdengar helaan napas. Dan Prilly juga harus menghempaskan napasnya yang berat.
"Mom sayang kamu, Pril!"
Tubuh Prilly kembali kaku saat pelukan didapatnya lagi dari wanita yang sebetulnya sangat dihargainya.
"Mom juga akan menyayangi Cia, apalagi dia akan memberikan cucu pada mom!"
Prilly merasa pelukan orang tua Cal itu makin rapat saat ia menyebut cucu. Prilly tak sengaja mengingatkan pada beliau kalau masalahnya dan Cal itu sudah tak ada solusi untuk masih dapat bersama karna ada yang lebih penting dari sekedar saling cinta. Yaitu calon bayi Cal yang dikandung Cia.
"Semoga Prilly dan Cal sama-sama bahagia!"
"Aamiin, terima kasih, mom!"
"Sehat-sehat ya, mommy akan merindukan kamu!"
Prilly merasakan tepukan halus dipipinya dengan tatapan yang tulus. Tak terasa matanya berkaca lalu hampir saja sebulir air jatuh ke pipinya yang mulus. Tak sampai mengalir karna hanya tertahan disudut mata ketika bayangan Cal berkelebat misterius. Sayang sekali Cal tak setulus ibunya yang berharap mereka kejenjang yang lebih serius. Katanya menyayangi tapi tak bisa kontrol diri hingga terjerumus.
"Kita jadi cari makan?"
Prilly tersentak kaget sampai tak menyadari mama Cal sudah tak ada lagi didepannya. Bahkan punggung beliaupun sudah tak ada bayangannya.
"Pasti makin kenyang karna ngerasa disayang mamanya mantan?"
Pertanyaan kedua Ali membuatnya mengeryit. Prilly menyadari tak tertanggapi pertanyaan Ali apa mereka jadi mencari makan? Tapi kenapa pertanyaan kedua nadanya nyindir?
"Maksud, aa, apa?"
"Enggak ada maksud apa-apa, ya udah kita pulang aja, yuk!"
Ali melangkah terlebih dahulu. Sebenarnya tak ada yang aneh. Wajahnyapun biasa saja. Tapi Prilly merasa tak enak hati melihat langkahnya yang pasti tanpa menoleh lagi.
"Aa..."
Prilly mensejajarkan langkah disamping Ali.
"Ya?" Ali menoleh sambil tetap melanjutkan langkahnya.
"Aku lapar!" Prilly memegang perutnya.
"Ohya?"
"Ya kan kita sejak dirumah belum makan!"
"Oh, kamu mau makan apa?"
"Aa mau makan apa? Aku terserah aa!"
"Susah kalau terserah..."
"A'aaa..."
"Kalau kamu bilang terserah artinya sebenarnya kamu gak mau makan, maunya cuma karna gak enak sama aku, iyakan?"
"Bukan begituuu, apa yang aa suka pasti aku sukaa..."
"Masa?"
"Iya deh aku yang pilih, kita makan ayam cabe ijo di Food Rasa?"
Prilly mengalah. Daripada berdebat tak jelas seperti biasanya. Lagi juga ia merasa aneh, kenapa Ali jadi sensitif? Perasaan sedari tadi baik-baik saja. Suka godain malahan.
Prilly melirik Ali yang sekarang melangkah disampingnya. Biasa saja. Apa yang aneh? Ups. Ali menoleh ia malah tak sempat menghindar.
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa!" Geleng Prilly.
Ali mengeryitkan dahinya. Menuju tempat makan dengan berbagai macam menu ayam mereka melangkah beriringan.
♡♡♡
"Tuh kan, bandel sih, perut kosong makanannya cabe!"
Prilly memencet kepalanya yang terasa pening. Mungkin karna terlambat makan dan melewati drama yang membuat pikirannya kepenuhan hingga setelah makan justru kepalanya mendadak sakit. Padahal tadi saat di 'Food Rasa' Ali sudah membatasi keinginannya makan nasi ayam yang pedas.
"Ayam cabe hijau ya mbak, pedas sekali!"
"Jangan terlalu pedas, sedang saja mbak asal ada pedasnya dikit aja!"
Prilly menatap Ali.
"Perut kamu kosong!" Ali menjelaskan maksudnya.
"Orange juice!"
"Jangan, air hangat saja, mbak!"
"Aa..."
"Perut kamu kosong, pikiran kamu penuh, jangan makan minum yang aneh-aneh dulu!"
Prilly menyangga dagunya dengan siku yang berada diatas meja saat itu. 'Bawel juga ni bapak!' Pikirnya. Tapi ia patuhi saja daripada berdebat didepan mbak pelayan restoran.
Ali belajar dari pengalamannya. Perut kosong, tidak bisa diberi muatan yang aneh-aneh dulu. Bukannya terobati dengan kenyang, malah yang ada perut bisa sakit. Sekarang sakit perut enggak, ternyata sakit kepala.
Membukakan pintu mobil untuk Prilly, akhirnya ia memapah gadis itu turun dari mobil.
"Gak apa-apa kok, a!"
Prilly berusaha kuat tapi kepalanya terasa berat.
"Kenapa, Li?"
"Sakit kepala ma, mungkin kepikiran ucapan mamanya Cal!"
"Mamanya Cal? Ketemu dimana?"
"Di Mall, ma!"
Prilly tak bisa menjawab dan membantah apa-apa. Kepalanya benar-benar sakit. Ali membawa Prilly kedalam rumah diiringi mama mertuanya.
"Memang kenapa dengan mamanya Cal?"
"Mamanya Cal pinginnya yang dampingi Cal tu dia ma, mungkin dia kepikiran," Ali membantu duduk dan menyandarkan Prilly disandaran Sofa.
"Aa sotoy ah, enggak gituuu!" Tak tahan hanya mendengar Prilly menyahut juga sambil menekan pelipisnya.
"Habis apa? Sejak mamanya bilang gitukan kamu jadi diemm aja!"
"Aa kan yang diem duluan?"
"Mana?"
"Sstttt...."
Mama Prilly mulai melerai perdebatan keduanya dengan menaruh jari telunjuk didepan bibir. Seperti menengahi dua anak kecil yang sama-sama tak mau mengalah.
"Minta kawinkan juga ini anak dua, adu mulut melulu, nggak malu dilihat Om Rizwar!"
Prilly dan Ali menoleh kearah pria setengah baya di Sofa lain yang sedang tersenyum memandang mereka. Prilly meringis malu. Sementara Ali mengusap tengkuknya. Merasa kalau dia terlihat kekanak-kanakan.
"Haii, Om, maaf nggak lihat, apa kabar Om?" Prilly berusaha mengangkat tubuhnya yang sudah menempel di Sofa mengulurkan tangan mencium adik dari almarhum ayahnya tersebut.
"Alhamdulilah baik," Om Rizwar menjawab sambil menerima uluran tangan Ali yang juga mencium tangannya.
"Oh ya, Om baru saja mengabarkan pada mamamu, minggu depan Om menikahkan Sari!"
"Hah? Sari menikah? Cepet amat?" Prilly melebarkan matanya.
"Sudah waktunya menikah, kebetulan calon suaminya segera ke Mesir, jadi Sari langsung diboyong, maka dari itu terkesan buru-buru padahal sudah direncanakan sebulan sebelumnya!"
"Apa nggak kemudaan Om?" Prilly bertanya setengah tak percaya keputusan sepupunya itu.
"22tahun nggak muda lagi i, kamu juga udah cocok banget dinikahkan, habis menikahkan Sari, nikahkan dia juga Riz!" Mamanya menyahut membuat Prilly semakin melebarkan matanya. Apalagi setelah padanya, mamanya berkata tertuju langsung pada Om Rizwar yang memang adalah satu-satunya wali yang bisa menikahkannya karna ayahnya sudah tidak ada.
"Siap saja jadi wali kamu i, sini Om nikahkan, mana calon mempelainya? Kenalkan dulu sama Om!"
♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 21 April 2018
Selamat Hari Kartini.
Ada yang mau komen cerita ini membulet lagi?
Menurut saya segala sesuatunya butuh proses, tapi cepat atau lambat mencapai tujuan.
Saya menulis ini kalau diceritain byk proses yg harus dilalui. Sebenarnya ide saya masih bisa ngelanjutin part ini, tapi saya bener-bener nggak bisa karna harus segera pergi ke tempat acara beauty class. Nanti disambung lagi ya, makasih sudah stay disini...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top