YK3>14
"Gimana, Caca, mbak Sarah?"
"Sudah aman mbak Prilly, baru saja dokter Himawan pulang!"
Prilly tergesa memasuki kamar Caca setelah menaruh tasnya sembarangan. Hampir bertabrakan dengan Ali, Prilly tak memandangnya juga tak menyapa ataupun bersikap seolah ada pria itu.
"Kamu tadi nggak diantar, Cal?"
Bahkan Prilly tak menanggapi pertanyaannya. Sesungguhnya ada perasaan kesal yang tak tahu kenapa harus bersarang didadanya pada Ali. Meninggalkannya begitu saja tanpa menunggu.
"Caca gimana, bu?" Prilly justru melemparkan pertanyaannya pada ibunya bukan pada Ali.
"Dokter Himawan menyarankan pemeriksaan darah dan foto Rontgen untuk menunjang diagnosis. Setelah penyebabnya jelas, barulah penanganan yang tepat bisa diberikan."
"Memangnya Caca tadi kenapa, bu?"
"Antara kejang dan menggigil! Tapi kalau kejang harusnya Caca nggak sadar, matanya pasti kebalik, ini dia hanya bergumam dengan tubuh yang bergirik gitu, i!" Jelas ibu sambil menoleh pada box Caca dimana sekarang anak itu terlihat tenang meski bergerak-gerak kecil.
"Menggigil berbahayakah bu? Apa penyebabnya?" Prilly mendekati box Caca.
"Saat demam, setelah suhu tubuh meningkat menjadi lebih dari 38 derajat Celsius, hal ini akan menyebabkan suhu tubuh yang 36-37 derajat Celsius terasa lebih dingin daripada seharusnya. Ini kemudian akan merangsang otot untuk menggigil supaya bisa dihasilkan panas lebih banyak. Suhu lingkungan yang dingin misalnya ruangan ber-AC akan memperparah kondisi menggigil karena otot akan bekerja lebih kuat untuk menghasilkan lebih banyak lagi panas..."
Ali yang menjawab pertanyaan Prilly. Prilly memandang AC yang sekarang sudah dalam kondisi Off.
Prilly menyentuh tangan Caca yang menggenggam dengan jarinya. Bayi itu bergerak membuka genggamannya dan menggenggam jari Prilly. Kepala kecilnya bergerak lalu mulut mungilnya mengeluarkan gumaman tak jelas.
"Caca nggak apa-apa ma, jangan kuatir ya!"
Mendengar ucapan Ali bukan tenang yang dirasa Prilly tapi sedih. Jarinya menarik genggaman Caca dan mengecup kehangatan digenggaman itu.
"Nant...i, ki...ta periksa darahnya Caca ya!" Prilly berkata berupa gumaman yang hampir tak jelas karna terbata. Airmatanya menitik dilengan kecil itu saat menunduk mengembalikan genggaman yang dikecupnya kesisi tubuh mungil itu.
Prilly menyadari ia bukan hanya terbawa perasaan dengan keadaan Caca. Tetapi ia terbawa perasaan dengan keadaan yang melatar belakangi bagaimana ia bisa sampai seorang diri kerumah menemui Caca.
"Semoga Caca tidak apa-apa, kita akan selalu sama-sama Caca, ma!" Prilly melirik tangan Ali yang sudah mengusap bahunya sebelum ia meluruskan punggung setelah menunduk mencium pelipis Caca yang masih menghangat.
Prilly melepaskan tangan Ali yang masih menepuk dan mengusap bahunya. Baginya Ali hanya bersikap munafik. Tak ada yang benar-benar memahaminya selain Caca.
"Nggak usah munafik a, aku tahu menurutmu kita nggak akan selalu sama-sama untuk Caca!"
"Maksudmu?"
"Kenapa aku ditinggalin saat aku sebenarnya harus segera ikut aa pulang?"
"Aku..."
"Aku nggak perlu penjelasan aa, sudahlah aku menyadari Caca bukan anakku, anaknya aa, jadi cuma aa yang berhak mengkhawatirkannya!"
"Bukan begitu maks..."
"Kalau akan selalu sama-sama nggak begitu sikap aa, aa gak akan ninggalin aku, aa justru harus menyeret aku pulang, aa nggak akan tega ninggalin aku sama oranglain!"
"Ii... i, mau kemana?"
Ali bergegas mengejar Prilly yang tergesa berlalu keluar dari kamar Caca.
"Apa pedulinya aa sama aku? mau kemananya aku, terserah!"
"Heii, kamu itu lagi emosi, jangan keluar rumah, nanti malah ..."
"Aa gak usah peduliin aku! PERCUMA!"
Prilly tersentak karna tangan ya ditarik dan tubuhnya merapat pada penariknya.
"Jadi menurutmu, aku harus apa kalau yang menjadi persoalanmu dan dia itu Caca?"
"Kamu mau aku dan Caca dituding yang paling bertanggung jawab dengan kelangsungan hubungan kalian berdua?"
"Kamu nyuruh aku jadi pria egois yang hanya mementingkan kepentingan anaknya tanpa mementingkan kepentinganmu?"
Selama Ali berkata, Prilly terkunci tatapannya hingga matanya terasa berkaca lalu retinanya mengabur. Dadanya turun naik menahan sesak yang segera saja tumpah bersamaan dengan tumpahan airmatanya.
Tak tahu kenapa kesalnya tertumpah pada Ali yang sebenarnya ia pahami berusaha untuk bijak. Akhirnya Prilly menunduk lalu menutup sebelah wajah dengan telapak tangannya. Terdengar tarikan air karna udara merasuki rongga dada melalui hidungnya.
"Aku minta maaf!"
Prilly menyusut hidungnya lalu merasa tangannya ditarik lalu didorong untuk duduk setelah Ali mengucapkan maaf.
"Kamu menolak diantar Cal? Kamuuu...?"
"Bukan aku menolak diantar a, dia belum selesai makan malam, dia mau ngantar yang lain duluan, apa aku salah kalau aku minta mereka selesaikan makan malam mereka dulu, sementara aku nggak bisa menunggu!"
"Yang lain?"
"Kenapa sih, dia nggak membiarkan aku pulang sama aa aja? Kenapa juga aa harus ninggalin aku seakan cuma aa yang boleh khawatirin Caca? Kenapa semua orang jadi egois? Apa aku salah kalau aku punya keinginan?"
Prilly tak menjawab pertanyaan Ali yang hanya membuatnya teringat akan kemungkinan wanita itu sering bertamu ke apartemen Cal.
"Aku ngertii..."
"Aa ngerti apa? Buktinya aa sengaja tinggalin aku, aa sama sekali gak menunggu, iya aku tahu Caca anaknya aa, tapi Caca itu juga anak kakakku, memang bukan aku yang melahirkannya tapi sekarang kakakku nggak bisa ngurus dia, aku yang bisa, kenapa kalian nggak bisa ngertiin akuu?"
Ali terdiam dan menarik napasnya melihat Prilly mengungkapkan perasaannya dengan nada emosi jiwa. Sepertinya yang membuatnya emosi bukan hanya masalah itu. Tapi ada masalah lain yang membuatnya lepas kontrol. Sampai jari telunjuk Prilly, sedari tadi ketika menyebutkan 'aa' dan 'aku' menunjuk dan menekan dada Ali dan dadanya sendiri. Dan Ali merasa tak harus menjawab tanyanya karna apapun jawabannya hanya membuat Prilly bertambah emosi jiwa.
Ali menoleh pada ibu yang mendekat membawakan air putih hangat sambil memberi kode agar Ali mengambil dan memberikannya pada Prilly.
"Minum, i!"
Ali mengulurkan segelas air itu. Prilly masih menutup wajah dengan sebelah tangan yang menyangga sikunya pada pegangan Sofa.
"Minum dulu i, biar tenang..."
Mendengar suara ibu Ali baru Prilly menyadari, kalau sedari tadi ia menumpahkan jengkelnya pada Ali didepan ibunya. Tapi ibu Ali justru membawakannya air putih. Bahkan sekarang bergerak mengambil sekotak tisu diatas meja dan mengulurkannya pada Ali.
Ali menarik satu lembar tisu dan menyerahkannya pada Prilly setelah gadis itu mencoba meneguk air yang diberikan padanya.
"Salah gak sih bu, kalau aku ngurusin Caca?"
Ibu menggeleng.
"Caca justru sedang butuh mama!" Ucap ibu Ali menenangnkan Prilly.
"Lalu kenapa cuma aku yang harus menjaga perasaan pacar aku sementara dia nggak jaga sama sekali!"
"Emang dia nggak jaga perasaan kamu kenapa? Karna ada yang lain itu ya?" Ali berkomentar dengan nada tanya. Sepertinya penasaran sejak Prilly menyebutkan yang lain sebelumnya.
"Aa mana menyadari karna aa juga asik sama yang lain!" Tuding Prilly dengan suara bergetar. Sepertinya dia jadi sangat sensitif sekarang.
"Yang lain?" Ali mengerutkan keningnya. Kenapa dia yang dituduh sekarang?
"Yakan aa asik sama Shasa Shasa itu makanya nggak tahu Cal sama siapa datang kesana!" tuduh Prilly lagi.
Ohhh. Ali mengangkat dagunya lalu mengangguk-angguk, teringat Shasa yang bertemu dan mengobrol dengannya sementara Prilly sedang berurusan dengan Cal.
"Shasa itukan..."
"Gak peduli dia siapa!" Potong Prilly ketus.
"Sudah, sudah, kenapa bertengkar karna yang ketiga sih? Ya udah yang ketiganya singkirin saja!"
"Ibu?" Ali memandang ibu dengan wajah penuh tanda tanya. Menyingkirkan yang ketiga?
"Yakan mau sama-sama merawat Caca, maksud ibu ya sudah kalian fokus saja sama Caca, yang ketiga nggak usah dipikirkan dulu!" Ibu Ali membetulkan kalimatnya yang sebelumnya terdengar ambigu. Membingungkan maknanya.
Ddrrrttt .... ddrrrttt ...
Suara getaran dan nada panggil ponsel Prilly terdengar samar. Prilly mencari-cari ponselnya didalam tas yang tadi ia taruh entah dimana. Ali meraih tas Prilly yang tergeletak disamping sofa dekat Prilly duduk.
"Handphone kamu..."
Prilly membuka tas dan meraba isinya mencari ponsel yang terdengar semakin jelas nada panggilnya. Begitu ia temukan nada panggilnya sudah berakhir. Prilly mengecek pemberitahuan telpon masuk.
Beni?
Prilly mengerutkan keningnya. Kenapa lagi Beni menelpon?
Dan tak berapa lama layar ponselnya terlihat menyala kembali sebelum ia sempat berniat menelpon balik.
"Prilly, Cal kecelakaan..."
Hampir saja Prilly menutup telponnya.
"Pril, kali ini bukan bohongan, percayalah!"
"Terima Kasih, infonya!" Nada suara Prilly datar. Dia benar-benar tak merasa terkejut, tapi penasaran, apa iya kecelakaan kali ini juga bohongan. Kalau bohongan keterlaluan.
"Sumpah, Pril!"
Prilly menggenggam ponselnya.
"Jangan harap bisa membohongi aku lagi!"
"Kenapa?" Ali bertanya dengan wajah penasaran, "dari siapa?"
"Beni, a, katanya Cal kecelakaan, tapi aku udah gak percaya sama dia!"
Ali mengerutkan keningnya. Kalau berbohong sangat keterlaluan. Tapi Ali pikir Cal takkan sebodoh itu mengulangi kesalahan yang sama.
"Aku percaya ini kecelakaan beneran, i!"
"Susah a buat percaya..."
"Tapi rasanya bodoh sekali kalau sampai dia hanya berbohong lagi, i, dia pasti berpikir seribu kali buat melakukannya, karna dia tahu tak mudah bikin kamu jinak karna dia berbohong!"
"Itu menurut aa, diakan emang melakukan segala cara a!"
Drrrtttt.... Drrrtttt...
Seiring ucapannya berakhir, ponsel ditangannya berbunyi nada panggil lagi.
Clarisa?
Kali ini jantung Prilly berdenyut. Kenapa Cla menelpon?
"Siapa?"
"Cla, kakaknya Cal..."
Prilly sempat menjawab Ali sebelum menerima telpon Cla dengan tangan gemetar.
"Prilly, Cal kecelakaan, tolong Prilly kerumah sakit dulu sebelum kami datang, pantau keadaannya, kami dalam perjalanan menuju kesana, tiga jam lagi baru sampai, jika ada apa-apa, Prilly saja yang putuskan, karna menurut rumah sakit yang menelpon kami tadi, kondisinya cukup parah..."
Dan tangan Prilly melunglai kesamping tubuhnya yang menyandar di Sofa. Tak salah jika ia tak percaya sebelumnya. Karna Cal pernah berbohong. Dalam keadaan yang sama. Ternyata kali ini, Cal benar-benar celaka.
"Aku antar kamu sekarang!"
Seperti yang lalu. Lagi-lagi Ali yang menyeretnya untuk segera bergegas. Berulang kali Prilly mengingatkan agar dia tidak perlu tergesa agar tak terjadi lagi seperti kejadian sebelumnya. Tak tergambarkan perasaan Prilly saat ini. Tapi entahlah, ia lebih tenang saja, tak panik seperti sebelumnya.
"Gak apa-apa Pril, jangan khawatir!"
Sesampainya di depan unit gawat darurat, tak seperti yang lalu, Beni tak mendramatisir keadaan padahal didalam sana Cal sedang diberi tindakan.
"Masih ditindak??"
"Iya, Cal sadar, artinya organ vital terutama kepala tak terlalu bermasalah, dikhawatirkan parah karna keadaan mobil yang rusak berat, lihat ini photonya dilokasi kejadian!"
Beni menunjukkan photo mobil Cal yang benar-benar hancur.
"Dapat darimana?"
"Polisi yang menangani kasus lakalantasnya!"
"Ohh!"
"Dia sendirian?"
Beni mengeryitkan alis mendengar pertanyaan Prilly.
"Sebelumnya kami bertemu, dia bersama Patricia, Cia, kamu kenal?"
"Keluarga Calvin Parades!"
Panggilan seorang dokter pada keluarga Cal membuat pertanyaan Prilly pada Beni menggantung.
"Kita, dokter!" Beni justru menyahut pada dokter bukan menanggapi pertanyaan Prilly. Sementara Prilly hanya memandang dokter bername taq Dani Damirli itu.
"Cuma dijahit dikepala bagian luar karna terbentur dan tergores kaca, sempat pingsan tapi tak apa, untuk mengetahui lebih jelas kita lihat hasil ct. scan saja besok, sekarang tinggal dipindahkan keruang perawatan!" Jelas dokter membuat Prilly merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Baik dokter, terima kasih!"
Tak lama mereka mengikuti brankar berisi Cal yang dibawa menuju ruang perawatan. Cal terlihat memejamkan matanya. Prilly memandangnya dengan berbagai rasa. Bukankah tadi sadar? Kenapa kini menutup mata?
"Cal?" Prilly memanggil lirih saat Cal sudah berada diranjang perawatannya dan paramedis yang tadi mengantarkannya sudah tidak ada lagi.
"Mungkin Cal sedang perlu beristirahat Pril, maklumi saja, syok akibat kecelakaan!"
Prilly memandangi Cal. Saat ini justru tak ada airmata. Entahlah. Dan sikap Cal justru terasa aneh. Seperti sengaja tak ingin membuka matanya. Kenapa? Sudah tak ingin melihatnya lagi kah?
Kriiettttttt.......
"Cal!!"
Pintu terbuka dan panggilan khawatir terdengar berbarengan membuat Prilly menoleh kearah pintu.
Patricia.
"Calll..."
Perempuan itu berdiri kaku didepan ranjang Cal.
"Kenapa jadi begini, Cal? Gue minta maaf!"
"Cia, bisa lo tenang sedikit, Cal tidak apa-apa!" Beni berucap sekaligus menenangkan Cia.
"Enggak. Cal nggak konsen nyetir pasti gara-gara gue!"
Beni melotot pada Cia. Dan Prilly mengerutkan keningnya.
"Apa yang gue bilang sebelum dia pulang tadi pasti bikin dia syok," tangis Cia lagi. Prilly bahkan merasa, Cia lebih terpukul darinya. Seakan-akan Cia lebih mengistimewakan Cal daripada dirinya. Memangnya apa yang dia katakan sebelum Cal pulang dari mengantarnya? Pernyataan cintakah?
"Gue cuma ingin lo tahu, Cal!"
"Please, Cia!" Mendadak Cal bersuara lirih. Seakan melarang Cia untuk bicara apapun sekarang. Sepertinya tadi Cal sengaja menghindar dari Prilly karna suatu hal.
"Kenapa, Cia?" Dan Prilly menunggu dengan suara dada yang hanya ia sendiri yang bisa merasakan degupnya.
"Maafin gue Pril!" Cia berkata dengan nada tersendat.
"Ciaaa..." Cal masih berharap Cia tak mengatakan apapun.
"Tidak apa Cia, tolong bicara saja!" Prilly berkata dengan nada siap mendengar apapun.
"Gue ... gue jujur sama dia, ada yang hidup didalam sini setelah kejadian sebulan lalu bersamanyaa!"
Dada Prilly bergemuruh mendengar ucapan perempuan yang sekarang sedang menangis menunjuk perutnya. Kejadian sebulan yang lalu?
Prilly merasa urat ditubuhnya mendadak lemas. Ada sesak yang menggumpal dalam dadanya. Sejenak rasanya seperti gempa yang menggoyang raganya.
'Apa karmanya Prully sedang menimpaku, ma?'
♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 14 April 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top