Yang Ketiga>2

Sudah tiga minggu, tapi Prully tak kunjung terbangun dari koma. Sementara Ali harus kembali menyibukkan diri dengan aktivitas yang harusnya ia jalani dikantor. Selama dua minggu juga ia harus bolak-balik menengok Alexa kerumah mertuanya. Dari rumah sakit, ke rumah mertua, pulang kerumah dalam keadaan lelah. Tertidur. Bangun dari tidur, kembali kerumah sakit, lalu kerumah mertua lagi menengok Alexa dan begitu terus selama dua minggu.

Tiap hari hanya memandang wajah pucat Prully yang tak berdaya. Kenapa bisa begitu saja terjadi? Ali sering kali menghela napasnya. Usia pernikahan mereka belum lama. Hanya selama Prully hamil. Banyak kejadian dalam kurang dari setahun selama pernikahan mereka. Sesama dingin yang tiba-tiba menikah. Ali mulai flashback kemasa lalu.

"Oh may gottttttt, apa yang lo lakuin, Liiii???"

Ali terlonjak pada saat itu dengan mata berkunang. Teringat semalam mereka sedang berpesta. Tak tahu lagi kenapa sekarang berada dalam satu kamar dengan seorang wanita, bahkan yang baru saja ia kenal tanpa busana.

"Lo ngerusak hidup gue, lo harus bertanggung jawabb, gottt!!"

Ali meremas kepalanya yang seketika pening. Pertama berkenalan karna dikenalkan Atika pemilik pesta pada Prully, sebenarnya ia tertarik. Lagipula ia masih melajang padahal karir sudah menunjang. Tapi karna fokus bekerja dan tak juga menemukan gadis yang menggetarkan hati jika memandangnya, Ali masih saja sendiri. Padahal saat SMA selalu saja ia mampu melumpuhkan hati seorang gadis dengan tatap dinginnya. Bahkan saat kuliah ada seseorang yang benar-benar membuatnya terpesona tapi sayang, gadis itu setia pada pacarnya. Pernah mencoba berpacaran buta tanpa cinta tapi tak berhasil membuatnya jatuh kedalam cinta.

"Bulshit kalau ada yang bilang, cinta itu akan datang jika sering bertemu, mana ada? Malah enek kalau denger cewek suka cerewet, marah-marah gak jelas, cari perhatian!" Ali mengumpat tadinya.

Dan akhirnya ia harus bertanggung jawab pada hasil dari kekhilafan semalamnya. Dan tak berapa lama kemudian Prully hamil. Ali memahami sikap Prully yang tak terlalu mencair selama pernikahan. Ali mengira kalau Prully sebenarnya tak siap menikah dan ia mencoba memahaminya. Masih saja ia mencoba percaya, cinta akan datang dengan sendirinya pada suatu saat. Apalagi semakin usia kandungannya membesar, Pruly mulai terlihat lebih membuka diri.

"Kasian dia, menderita gara-gara aku, sampai mengeluh saja tidak tentang rasa sakitnya, maafkan aku, Ui!" Ali semakin merasa bersalah mengingat istrinya.

"Aku berharap masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, aku yang salah!"

Saat ini dari kantornya, Ali menuju rumah mertuanya. Sangat rindu pada Alexa. Ingatannya pada Pruly yang menyebabkan ia semakin rindu. Tiap hari ia sempatkan waktu melihat putri mungilnya tersebut yang terpaksa ia relakan diasuh Prilly adik iparnya. Karna tidak ada pilihan. Ibunya sendiri jauh dari mereka karna harus selalu memdampingi ayah yang masih aktif berbisnis.

Prily sebenarnya juga gadis yang sibuk menurut Ali. Tetapi Alexa sudah terlanjur lengket dengannya sejak awal.  Sebagai pengganti mama bagi Alexa, tentu Alexa lebih nyaman bersamanya. Biar bagaimanapun Prily setidaknya memiliki darah yang sama dengan ibunya. Rambut panjang yang mirip dan wajah yang mirip karna memang kakak beradik. Tetapi memang perawakan Prily lebih mungil dari kakaknya.

Tiba ditempat mertuanya, Ali mendengar tangisan dari dalam rumah. Suara mertuanya pun terdengar membujuk. Tangisan yang Ali kenali dari Alexa.

"Alekcaa, cup sayanggg..."

Dari depan pintu yang ia dorong dan tak terkunci terlihat mertuanya mendekap dan mengayun Alexa dalam gendongannya. Sesekali beliau menyodorkan botol dot kecil berisi susu formula tetapi sepertinya Alexa menolak.

"Kenapa ma?" Ali bertanya pada mertuanya dan pandangannya mengitari ruangan mencari sosok lain.

"Ii belum pulang!" Mertuanya menyahut dengan wajah terlihat berusaha tenang.

Ali melirik arloji dipergelangan tangan kirinya. Jam 8 malam. Belum pulang?
Biasanya setiap dia datang, Prily sudah ada dirumah dan sedang menenangkan Alexa. Karna jam 8 setelah minum susu, Alexa tidur setelah bermain sebentar dengannya.

"Biasanya paling lambat jam 6 sudah dirumah, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda, bahkan ditelpon, handphonenya tidak dijawab, mama jadi khawatir!"

Ali mendadak ikut khawatir. Apalagi putrinya makin rewel saja.

"Alekcaaa..." Ali memanggil anak itu dan mendekati mertuanya mencoba menyapa anaknya lalu mengusap dahi mungil itu.

Alexa terlihat diam sejenak memandang Ali lalu nampak ingin bicara dengan mulut yang terbuka sedikit.

"Kenapa sayang? Mama belum datang yaa?"

"Euuuhhh..." Bayi mungil tersebut seakan menjawab dengan airmata yang masih menggantung dikelopak matanya.

"Sebentar lagi juga datang ya, kenapa sih nggak bisa tidur tanpa ada mama ya?"

"Eeeaaahhh..." Bayi tersebut menyahut lagi dengan bahasanya yang tak bisa diartikan.

"Mau sama papa?" Ali mencoba mengambilnya dari gendongan mertuanya. Meskipun tangannya agak kaku tapi ia berusaha karna merasa iba melihat putrinya yang harus dirawat jauh darinya dan sekarang sepertinya menunggu kehadiran orang yang biasa mendekapnya tiap menjelang tidur malam.

"Minum susu ya!" Ali mencoba duduk agar bisa memangku Alexa dan memberinya dot berisi susu formula yang diberikan ibu mertuanya.

Ali merasa matanya mulai memerah menatap wajah mungil dipangkuannya yang sekarang menyedot susu formula didalam botol yang ia pegang. Ternyata ia mampu menenangkan putrinya. Buktinya mata Alexa mulai meredup sekarang.

"Ui, lihat anak kita, kasian dia butuh kamu!" Ali bergumam sedih.
Ia merasa tak bisa melihat anaknya seperti ini. Mendamba ibunya meski bukan ibunya. Dan yang didamba tak kunjung datang tanpa berita pula.

"Kemana ya ii, kok belum juga datang?" Ucap Mama mertuanya terdengar resah.

"Mungkin banyak kerjaan dikantornya ma, diakan seminggu cuti setelah Alexa lahir!" Ali mencoba memahami.

"Mungkin juga, sampai gak bisa ngangkat telpon!"

Brummmm!
Suara mobil didepan rumah membuat mereka berpandangan. Tak lama terdengar suara pintu mobil ditutup lalu terdengar ketukan hells yang mengiringi langkah seseorang.

"Aku langsung pulang ya, terima kasih malam ini!"

"Aku yang terima kasih dan maaf waktuku tak banyak!"

"Gak apa, sebenarnya sudah biasa kalau kita jarang bertemu, tapi saat ini kamu semakin tak punya waktu saja, kamu seakan mengabaikan aku karna keponakanmu itu... aku..."

"Stttt sudahlah sayang, maafkan aku, kamu kan sudah janji mau mengerti, keponakanku sedang butuh aku, kasian dia, kakakku sedang sakit, please jangan mulai lagi!"

Suara-suara diluar terdengar samar tapi jelas sekali apa yang mereka bicarakan.

"Ya sudah aku pulang!"

Terdengar kecupan entah mendarat dimana. Ali bukan merasa panas karna itu. Tapi karna merasa putrinya telah membuat Prily menjadi tak bebas bergerak. Ternyata ia salah. Prilly bukannya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dikantornya tapi ia menghabiskan waktu dengan pacarnya yang merasa Prilly tak punya waktu lagi untuknya.

Ali berdiri dan membawa putrinya menuju kamar dimana ia biasa dibaringkan setelah ditidurkan Prilly dibahunya.

"Alekcaaa..." samar Ali mendengar teriakan Prilly.

"Caacaaa... "

"Sttttt, cacanya mulai tertidur, kamu jangan berisik!"

Entah kenapa melihat Prily didepan pintu kamar dengan teriakan memanggil putrinya membuat Ali terusik tak senang. Dan ia tahu bukan hanya sekedar karna takut suara Prily mengganggu Alexa yang mulai tertidur, tetapi juga merasa terusik dengan kenyataan kalau ada yang merasa haknya dirampas karna Caca. Entahlah. Bukankah Caca lebih berhak mendapat perhatian? Pria itukan cuma oranglain.

"Maafin aku A, aku telat, tadi... "

"Maafkan kami juga..." Ali memotong.

"Tadi... " Prilly ingin menjelaskan tapi lagi-lagi dipotong.

"Besok aku kesini sama Mbak Sarah... "

Prily menatap Ali tak enak. Sepertinya ada yang salah tapi Prilly tak tahu apa selain ia terlambat pulang karna terpaksa.

"Aku akan bawa Caca pulang!"

Prilly melebarkan matanya mendengar ucapan Ali.

"Lho? Kenapa A? Aku baru kali ini terlambat, aku minta maaf!" protes Prilly penuh tanda tanya.

"Kamu nggak salah, kami yang minta maaf bikin kamu repot, nambahin kerjaan kamu padahal tenaga dan pikiran kamu sudah seharian terkuras, aku paham, aku pekerja, tau gimana rasanya lelah dan ada yang merasa terabaikan!"

"Aku nggak pernah ngerasa keberatan, A, sumpah!" Suara Prilly mulai bergetar. Perasaannya tak enak. Ali berencana membawa Alexa pergi dari rumahnya. Lalu bagaimana dengannya yang sudah menganggap memiliki keponakannya itu sejauh ini?

"Aku yang harus tahu diri dan harus ngerti meski kamu nggak ngerasa!"

Prilly menggeleng dengan mata berkaca. Baru saja ia menuntaskan persoalan dengan kekasihnya, yang merasa ia abaikan sejak keberadaan Alexa. Sekarang sepertinya Ali juga keberatan jika ia mengabaikan putrinya.

"Please, jangan begitu A, jangan pisahin aku sama Caca!"

"Tiap hari juga kamu ninggalin dia sehariankan?"

"Tapi ketika pergi dan pulang aku sudah biasa menciumnya!"

"Kamu jangan egois, aku ini papa kandungnya yang lebih berhak menciumnya ketika pergi dan pulang kerja!"

"Tapi..."

"Oeekkkkkkkkk.....!"

Tangisan keras Alexa membuat debat mereka terhenti. Prilly beranjak dari hadapan Ali tapi Ali mendahuluinya. Mencoba mengangkat bayi yang baru saja ia baringkan ketempat tidur sesaat sebelum Prilly berteriak memanggilnya.

"Cup sayangg Caca, ada papa, Caca nggak sendirian!"

Ali mengusap pipi anaknya dengan dua jari. Dan Prilly merasa tersindir dengan ucapannya. Meski begitu, ketika suara Caca semakin terdengar rengekan bahkan mulai menangis Prilly mencoba menenangkannya meski tubuh Ali menghalangi.

"Kasian Caca, kalau saja mama kandungnya tidak koma, pasti dia akan bisa seharian bersama mamanya karna mamanya takkan meninggalkan dia kerja!" Ali mengeluh lirih saat ia membiarkan Prilly mengangkat tubuh mungil itu dan mendekapnya seperti yang setiap kali ia lakukan hingga Caca tak lagi menangis. Mengusap kepala bayi yang sudah dianggap putrinya sendiri itu dan mencium hidungnya.

"Maksud aa harusnya aku berhenti kerja?" Prilly mengangkat wajahnya  menatap Ali.

"Aku nggak berhak meminta begitu sama kamu!" Ali menggeleng merasa tak ada hak apa-apa meskipun ia berharap Prilly bisa seharian merawat Caca.

"Aku mau berhenti kerja kalau kamu mau, aku akan sama-sama Caca seharian," tanpa pikir panjang Prilly berkata dengan harapan Ali tak lagi berpikir membawa Caca pergi.

"Kamu bisa sama Caca seharian, bukan disini tapi dirumahku!"

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Banjarmasin, 14 Maret 2018


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top