🦊 7. Pelayanan Pertama Untuk Ali 🦊

7 Pelayanan Pertama Untuk Ali

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊


Shisi memarkirkan sepedanya di depan kafe di mana dia akan bekerja. Kafe masih dalam keadaan sepi karena ini bukan jam pemuda kampus di mana gedungnya berada tidak jauh dari kafe. Dia melihat keberadaan Bagas di belakang meja kasir. "Sore Kak Bagas."

Pria dengan kemeja biru itu mendongak dan tersenyum. "Sore Shisi."

Suara lonceng yang berbunyi menandakan ada pelanggan datang. Keduanya menoleh dan melihat segerombolan pemuda masih dengan seragam melekat di tubuh memasuki kafe. Bagas melirik Shisi. "Tuh mantan kamu datang. Layani dia."

Shisi mengerucut. "Nggak ada pelayan lain apa buat dia. Males banget."

Bagas terkekeh. Dia tahu apa yang kini dirasakan karyawan barunya. "Ingat. Kamu harus profesional. Lagipula tida ada karyawan lain selain kamu. Tadi Agus izin datang terlambat memang."

"Iya-iya," jawab Shisi dengan menarik papan menu untuk dia bawa ke meja. Benar. Dia harus bersikap profesional di sini.

Dia berjalan ke arah meja pelanggan yang berisikan enam orang yang seumuran dengan dirinya. Dua gadis dan empat pemuda. "Permisi. Mau pesan apa?" tanyanya dengan ramah. Dia siap mencatat jika pelanggannya memesan.

Seorang gadis yang duduk dengan sangat menempel pada pemuda di sampingnya menatap dirinya dengan mimik terkejut ditambah bibir yang menganga. "Shisi? Lo kerja di sini?" Thrisa. Dia bertanya dengan menutup mulutnya menggunakan jari-jarinya.

"Apa ini yang membuat lo ngundurin diri dari  Osis? Karena mau kerja, ya?" tanya gadis lain. Shisi melihat gagis itu memang menjadi salah satu anak Osis.

Catat. Hanya nama gadis itu yang tercatat di Osis karena nyatanya dia tidak pernah turut andil saat anggota keosisan tengah mengerjakan suatu hal. Bahkan saat ada rapat pun gadis itu hanya sibuk berdandan.

"Kirain karena sadar diri udah nggak pantes di sisi Ali makanya keluar." Gadis itu mengucapkannya dengan bangga lalu bertukar high five dengan Thrisa.

"Ri. Jangan bikin ulah deh." Chris memperingati gadis itu di mana Riana malah memutar bola matanya malas.

Shisi memutar bola matanya malas. Detik selanjutnya dia tersenyum sinis dengan satu sudut bibir yang tertarik ke atas. "Iya. Gue emang keluar dari Osis. Daripada menuh-menuhin list daftar Osis dengan nama gue padahal gue enggak ngelakuin apa-apa buat Osis. Mending gue keluar, kan?"

Shisi mengatakan kalimat  itu dengan menekan kata enggak dan mengarahkan pandangannya pada gadis yang baru dia ingat bernama Riana.

Riana yang tahu Shisi tengah menyindirnya memukul meja. Tidak terlalu keras karena gadis itu tentu saja tidak ingin tangannya kesakitan. "Maksud lo apa?" Bahkan dia berdiri.

Namun, Reyhan menahan Riana untuk tidak melakukan hal lebih. Dia memberi tatapan meremehkan pada Shisi dengan kekehan mengejek. "Pasti  lo butuh duit, ya sejak keluarga lo berantakan. Makanya lo kerja."

Kata-kata itu tentu saja membuka Shisi terluka. Kedua tangannya  terkepal kuat di sisi tubuh.

"Sudah cukup," ucap Ali yang sedikit membentak, membuat semua yang ada di sana menoleh ke arah pemuda itu dan menatapnya aneh.

"Lebih baik kalian segera pesan makanan. Gue enek lihat muka dia lama-lama," ucapnya dengan memberi lirikan malas pada Shisi.

Thrisa yang mendengar itu tersenyum. Dia bertumpu dagu pada bahu Ali. "Kamu benar, Sayang." Dia tersenyum melihat wajah Shisi yang tampak terkejut. Mungkin karena panggilan yang dia lontarkan pada Ali.

Thrisa sengaja membuat gerakan yang menandakan kalau dirinya tengah sangat dekat dengan Ali. Jari telunjuknya menyapukan gerakan pada pipi Ali. "Ternyata ada mantan lama-lama di antara kita tidak baik untuk aura hubungan baru."

Semakin mendekatkan bibir ke arah pipi Ali seolah ingin mencium pemuda itu.  Kedua tangannya memeluk pada bahu satunya. "Mantan, kan tempatnya di tempat sampah."

Senyumnya semakin mengembang saat melihat Shisi mengalihkan pandangan. "Samakan saja pesanan aku sama kamu," ucap Thrisa dengan manja.

"Steak," ucap Ali yang masih berdiam diri seperti patung. Hanya menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun ke arah Shisi.

Shisi menelan ludah kasar, dia menguatkan hati untuk kembali menatap semua pelanggan yang ada di meja yang sama dengan Ali. "Baik." Gadis itu mencatat pesanan.

Dia menyesal kala setelahnya mendongak karena dia melihat bagaimana Ali membalas pelukan Thrisa yang tengah mencium pipi sang mantan. Ada yang bisa menjelaskan bagaimana keadaan hati Shisi saat ini?

"Yang lain?" Shisi berharap tidak ada yang menyadari perubahan suaranya. Dia kembali mencatat pesanan yang lain.

Gadis itu pergi ke belakang untuk menyerahkan catatan pesanan Ali dan teman-temannya. Sesaat menyanggah tubuh pada meja kasir yang tampak kosong. Dia menghela napas dalam untuk menghilangkan rasa sakit di hatinya.

Sulit. Bahkan matanya kini pun berkaca-kaca. Shisi mendongak untuk menghalau tetesan embun yang hampir pecah dari kelopak mata. Baiklah dia tidak akaan mengelak karena rasa itu masih ada. Bagaimanapun  mereka bersama bukan dengan waktu yang sebentar.

Sebuah tepukan di pundaknya membuat dia terkejut. Shisi segera memasang senyum saat mengetahui keberadaan atasannya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Bagas.

Shisi mengangguk. "Baik. Memangnya kenapa Kakak tanya begitu?" Belum sempat Bagas menjawab, pesanan Ali dan yang lainnya sudah selesai.

"Aku antar pesanan dulu." Gadis itu segera meninggalkan Bagas menuju meja Ali dan yang lainnya berada.

Shisi mulai menatap satu persatu pesanan mereka. Hingga tiba saatnya pada pesanan Ali, Shisi meraih garpu dan pisau untuk memotong steak milik pemuda itu, membuat Ali menatapnya dalam diam.

Thrisa yang menyadari itu segera menarik piring makanan Ali. "Heh! Lo apa-apaan, sih?"

Shisi tertegun. Dia baru menyadarinya. Tatapannya dan Ali sempat bertemu, tetapi dia mengalihkan pandangan. Gadis itu gelagapan karena terkejut dengan tingkahnya yang memotong steak milik sang mantan.

"Maaf. Enggak sengaja," ucapnya. Ya. Saat dulu mereka masih bersama, Shisi yang akan selalu memotong steak milik Ali karena mantan kekasihnya itu lebih suka makan steak yang sudah dipotong-potong.

Gadis itu memejamkan mata dan merutuki diri karena tidak menyadari kalau dirinya sudah melakukan hal itu. Kebiasaan itu, sepertinya akan membawa dirinya dalam masalah.

"Nggak sopan banget lo udah ngacak-ngacak makanan pelanggan." Thrisa membentak.

Shisi segera menggeleng.  "Enggak. Gue nggak ngacak-ngacak makan Ali. Gue hanya motongin steak dia karena Ali lebih suka makan steak kalau udah dipotong-dipotong."

"Kata siapa?" sahut Ali cepat. Semua yang ada di sana menatap pemuda itu termasuk Shisi.

"Gue nggak suka. Sejak lo khianati gue, gue nggak suka." Bola mata Shisi melotot seketika.

Thrisa yang mendengar itu tersenyum miring. "Lo dengar? Sekarang ganti yang baru. Gue nggak mau tahu." Thrisa mengangkat steak milik Ali. Dan entah kebetulan atau disengaja, Reyhan yang memang berada di belakang Shisi menyenggol gadis itu dan membuat tangan Shisi tidak sengaja memukul piring di tangan Thrisa.

Alhasil, steak itu tumpah di atas sepatunya. Gadis yang selalu menuntut kesempurnaan itu pun menganga dibuatnya. "Lihat yang lo lakuin. Sepatu gue kotor."

Dia mengentakkan kaki. "Ini sepatu mahal. Lo nggak bakal bisa ganti. Gue nggak mau tahu. Lo harus bersihin."

Shisi menunduk. "Maaf. Gue nggak sengaja. Bisa dilepas biar gue cuci?"

"Terus lo nyuruh gue nyeker gitu? Enggak. Lo harus bersihin di sini." Thrisa menunjuk ke arah bawah menggunakan jarinya.

Shisi menganga, itu artinya dia akan beradegan seperti bersujud di depan Thrisa. Haruskah? "Jangan diam aja. Atau gue mau pemilik restoran ini memecat lo?"

Tidak. Shisi tidak akan sanggup untuk dipecat karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Perlahan, gadis itu mulai merendahkan dirinya. Melakukan apa yang telah diucapkan Thrisa demi menyelamatkan pekerjaannya.

Namun itu tidak berlangsung lama karena seseorang menahan dirinya. Seperti biasa. Dia akan melihat keberadaan Ethan di sana.

Pemuda itu menatap tajam Thrisa. Tanpa kata menuangkan kecap yang entah dia dapat dari mana ke sepatu milik Thrisa. Ethan meletakkan botol kecap sedikit kasar pada meja.

Dia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa uang dan melemparkan uang pada wajah Thrisa. "Itu uang untuk ganti sepatu lo yang udah gue tumpahi kecap."

kini Ethan beralih menatap Ali. "Picik banget, lo. Lo diem aja saat ada orang nginjak harga diri orang lain. Manusia apa bukan?"

Masih dengan ekspresi datar Ali membalas tatapan Ethan. Pemuda itu bangkit beberapa saat kemudian. Wajahnya yang dingin teralihkan dengan tangan yang merogoh saku celana.

Dia memandang beberapa lembar uang yang baru saja diambil. Tanpa diduga Ali melempar uang itu ke wajah Shisi dan langsung menatap Ethan yang kini menunjukkan wajah marah.

Ali berbisik di depan wajah Ethan yang masih bisa didengar sekitar mereka. "Gue bayarin harga diri dia yang udah diinjak-injak pacar gue."

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat siang di terik yang panas.

Jadi, bagaimana cuaca di tempat kalian? Berair, atau penuh cahaya?
😋😋😋😋😋😋

Semoga sehat selalu untuk kalian. Jaga kesehatan di cuaca yang tidak menentu ini.

So? Aku mau tanya nih.
Kalian, kenal aku dari mana? 😁😁😁😁

Dari smeua judul yang aku buat, cerita mana yang lertama kalian baca?

Salam kenal untuk yang kemarin sudah mengatakan kalian dari mana😘😘😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top