🦊 6. Mencari Pekerjaan 🦊

6. Mencari Pekerjaan

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊




Ali membanting tumpukan kertas di meja Shisi yang mampu membuat gadis itu dan kedua temannya terkejut. Tidak. Bahkan semua murid yang ada di kelas itu berjingkat dengan apa yang dilakukan oleh ketua osis itu.

Pemuda itu memandang Shisi di hadapannya dengan tajam, melipat tangan di depan dada. Semua tahu kalau saat ini sang ketua osis itu sedang marah. "Ke mana lo kemarin?" tanya Ali. Suaranya mendominasi karena kelas dalam keadaan hening.

Ali menumpukan tangan di atas meja dan mencondongkan kepala ke arah Shisi. "Kemarin semua anak osis rapat dan lo sebagai wakil ketua osis enggak dateng? Nggak tanggung jawab banget lo sama jabatan lo."

Shisi menarik napas dalam. Dia mendorong Ali agar menjauh, sedikit lebih keras karena pemuda di hadapannya tidak bergerak sedikit pun. "Gue udah bilang kalau gue ngundurin diri dari Osis."

Satu gebrakan di meja lagi-lagi membuat seisi kelas terkejut. "Lo pikir ini sekolah milik nenek moyang lo? Seenaknya aja ninggalin jabatan dan nggak ada tanggung jawab."

Kali ini Shisi memutar bola matanya malas. Dia bangkit dan membalas tatapan Ali. "Terserah lo mau bilang apa soal ini. Yang jelas gue udah bilang ini sama kepala sekolah." Gadis itu keluar dari tempat duduknya dan ingin pergi menghindari perseteruan dengan Ali.

Namun, Ali segera mencekal tangan gadis itu. "Lo dibiarin malah ngelunjak, ya." Jarak di antara mereka tidak ada artinya. Keduanya saling bertatapan dengan intens.

Beberapa murid yang melihat mulai berbisik. "Mereka lagi berantem gini aja kelihatan manis banget. So sweet banget. Apalagi kalau mesra-mesraan kayak dulu." Ya, di balik kebahagiaan siswi lain atas berpisahnya Ali dan Shisi, masih ada segelintir yang menyayangkannya.

Sedangkan sosok Thrisa yang juga memang ada di dalam kelas memandang tidak suka kejadian di depan. Dia mengentakkan kakinya ke lantai dengan berdesis sinis. "Cewek itu nggak ada henti-hentinya cari perhatian Ali. Udah putus juga."

Shisi yang merasa menjadi pusat perhatian menyentakkan tangan Ali kasar. Dia tidak ingin meladeni mantan kekasihnya yang jelas dia tahu bagaimana sifat Ali yang tidak pernah mau mengalah.

"Eh cewek sialan. Jangan lari dari tanggung jawab!" teriak Ali. Namun, dia tidak mendapatkan tanggapan apa pun dari mantan pacarnya itu.

Hal itu membuat Ali merasa kesal dan menendang bangku yang ada di dekatnya. Beberapa murid perempuan menjerit karena kayu itu terguling membuat apa yang ada di atasnya berhamburan.

Ali keluar dari kelas. Entah ke mana dia akan membunuh rasa pening yang baru saja ditimbulkan oleh Shisi. Ya. Semua ini gara-gara Shisi.

***

"Maaf ya, Mbak. Kami carinya yang full time." Seorang perempuan menangkupkan tangan di hadapan Shisi.

Shisi tersenyum ramah. Dia mengangguk. "AH, iya. Kalau begitu saya permisi. Maaf mengganggu waktunya, Kak."

"Iya."

Gadis dengan kaus biru itu keluar dari toko mainan, tempat yang beberapa saat lalu dia haral bisa memberinya pekerjaan. Dia mengelap keringat menggunakan lengan dan mengembuskan napas kasar. Pandangannya mengedar mengamati sekitar.

"Udah sore. Sebaiknya aku pulang saja." Shisi mulai menyusuri jalan setapak untuk kembali ke rumah. Sejak siang sepulang sekolah tadi, dia sudah berkeliling untuk mencari pekerjaan part time. Namun, nihil.

Ethan sempat menawarkan diri untuk membantu, tetapi Shisi tidak ingin terus-terusan merepotkan laki-laki itu.

"Mau ke mana, Neng? Kok sendirian aja?" Shisi mendongak ketika dia mendengar seseorang berbicara. Gadis terkejut ketika melihat beberapa pria yang ditaksir usianya sama dengan sang kakak.

"Siapa kalian?" Shisi mulai panik menatap lima pemuda yang ada di hadapannya.

"Kenalan dong, Neng kalau enggak kenal." Shisi melihat sebuah seringai dari bibir para pria di hadapannya. Dia mulai melangkah mundur, tetapi salah satu dari mereka memegang tangannya.

"Apaan, sih?" Gadis dengan rambut tergerai itu mencoba menarik lengannya, tetapi jeratan tangan pemuda bertindik di bagian hidung itu sangat kuat.

"Katanya mau kenalan, Neng,"

"Enggak mau!" teriak Shisi.

"Ayolah."

"Heh! Ngapain kalian?" Seorang pemuda datang dan mulai menyerang lima orang yang menganggunya. Tidak perlu dipertanyakan siapa dia karena Shisi sangat mengenali postur tubuhnya.

"Ali," panggilnya lirih. Shisi sedikit berteriak kala salah satu dari pemuda yang menggaggunya tadi memukul Ali. Dia memandang khawatir saat mantan kekasihnya itu sedang dikeroyok.

Namun, memang Ali cukup dikenal dengan petarung yang hebat. Jangan lupakan kenyataan mengenai ketua osis yang juga suka ikut tawuran itu. Mungkin hanya Ali yang mrelakukan itu.

Beberapa detik kemudian, bertikaian itu pun selesai diakhiri dengan kemenangan Ali. Shisi menelan ludah kasar sembari membatin. Oke Shisi. Untuk saat ini lupakan permasalahan kalian. Bagaimapaun Ali udah nolongin lo dan lo harus berterima kasih.

Tatapan mereka bertemu. Baru saja Shisi ingin mengucapkan terima kasih, tetapi urung saat mendengar Ali berdecak dan memasang wajah kesal. "Dari sekian banyak cewek, kenapa elo yang gue tolong?" Ali menunjuk dirinya.

Rasa terima kasih yang sebelumnya ada kini pun juga berubah menjadi rasa kesal. Dia mencebikkan bibir sembari memajukannya. "Kalau nggak ikhlas nolongin ya udah. Pergi sana." Dia malah mengusir Ali.

Tidak ingin menjadi semakin kesal, Shisi berniat pergi meninggalkan Ali. Namun, baru saja dia melewati tubuh pemuda itu, tangannya terasa dicekal. "Enak aja main pergi-pergi. Gue udah bonyok nih gara-gara elo. Nggak tahu terima kasih banget."

"Lo, kan nggak ikhlas nolongin gue? Buat apa gue berterima kasih?" Shisi mengangkat dagunya. Menyingkirkan kasar anak rambut yang menutupi wajah akibat sapuan angin.

"Tetep aja. Sekarang lo ikut gue." Shisi menatap Ali dalam, tidak mengerti yang dimaksud pemuda ini. Apalagi tangannya yang belum dilepaskan. "Jangan GR. Gue minta lo ikut bukan karena gue ingin lo temenin, ya?"

Kedua alis Shisi menyatu. "Emangnya siapa yang bilang kalau lo mau ditemenin gue?"

Ali gelagapan. Dia melempar pandangan ke segala arah. Detik kemudian melepaskan cekalan tangannya pada tangan Shisi. "Nggak usah banyak omong." Pemuda itu menaiki motornya. "Cepet naik!"

Shisi mencebikkan bibir. Dia menggerutu. "Siapa yang banyak omong, sih? Perasaan gue dari tadi diam aja."

"Nggak usah ngedumel. Cepet naik." Tidak ingin mendengar Ali marah lagi, Shisi pun segera menaiki motor pemuda itu.

"Inget. Jangan peluk-peluk," ucap Ali ketus.

"Siapa juga yang mau peluk lo. Gue nggak ma---" Belum sempat Shisi menyelesaikan ucapannya, Ali sudah lebih dulu menarik gas dan membuat motornya melaju kencang.

Katakan. Bagaimana bisa Shisi tidak memeluk Ali jika mantan pacarnya ini mengendarai motor dengan kecepatan tinggi?

***

"Turun," ucap Ali kasar. "Udah dibilangin jangan peluk-peluk juga. Masih aja meluk."

Shisi turun dengan rasa kesal yang memuncak. Dia memukul pundak Ali. "Gue bukannya meluk, ya. Gue cuma pegangan." Shisi membuat sanggahan.

"Pegangan, kan bisa yang lain."

"Lo aja yang bawa motor kek setan."

Ali melotot. "Kek setan? Udah putus aja bilang kek setan. Dulu ke mana aja yang malah nyender?" Dia menatap Shisi dengan menantang.

Katakan bagaimana tingkat kekesalan Shisi saat ini. Baru saja dia ingin kembali membalas ucapan mantannya ini, lagi-lagi Ali mendahului. "Masuk cepet."

Dengan langkah mengentak Shisi mengikuti Ali yang memasuki sebuah kafe di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah hanya berdua atau dengan teman-teman Ali.

"Kenapa Ali ngajak ke sini, sih?" tanyanya dengan suara lirih.

"Weh. Balikan, nih ceritnya?" Suara Chris menyambut kedatangan mereka.

Ali mendorong kepala Chris. "Balikan gundulmu." Dia mengangkat tangan ke arah pria yang berdiri di belakang kasir. "Biasanya, Bang."

Dia duduk dan Shisi pun juga. Melihat itu kening Ali terlipat. "Ngapain lo duduk?"

Shisi menarik napas dalam, menahan kekesalan karena tidak ingi melampiaskannya di sini. Tanpa kata gadis itu menuruti kemauan Ali. Tidak lama, pesanan Ali datang. Sepiring mie goreng.

Pria yang membawakan mie itu turut bergabung di meja Ali. Dia melirik keberadaan Shisi. "Sama mantan ke sini?"

"Nggak sengaja nemu di jalan." Kalau kalian menjadi Shisi, apa yang akan kalian lakukan pada mantan kalian yang seperti Ali ini?

"Gue lagi butuh orang buat di kafe nih, Li. Lo ada temen nggak yang mau diajak kerja di sini? Gue cari part time sih." Pria bernama Bagas yang Shisi tahu adalah pemilik kafe ini berujar.

Ali menggeleng. "Gue nggak punya temen yang butuh kerjaan." Shisi mengerucutkan bibir akan hal itu.

"Cariin dong, Li."

"Sorry, Bang. Gue sibuk. Nggak ada waktu buat gituan." Ali mulai  menyuapkan mie pesanannya.

"Elah, Li. Ya udah deh. Enjoy di kafe, ya. Abang tinggal dulu." Ali hanya mengangguk tanpa menoleh dan masih menikmati makanannya.

Shisi yang melihat kepergian Bagas berpikir sejenak. Detik selanjutnya dia menatap Ali. "Li, gue ke belakang dulu, ya."

Bukannya jawaban, dia malah mendapatkan tatapan menyelidik dari Ali. Shisi memutar bola matanya malas. "Nggak bakal kabur gue."

Ali hanya bergumam dan mengibaskan tangan untuk mengusir dirinya. Tidak peduli, Shisi pergi begitu saja.

Bukan ke belakang. Melainkan menemui pria bernama Bagas pemilik kafe ini. Dia melihat pria itu yang tengah meracik minuman. "Kak, Bagas," panggilnya.

Pria dengan epron bergambar cangkir itu menoleh. "Eh, Shisi. Ada apa?"

"Kak. Masalah Kakak yang mau cari karyawan part time. Boleh Shisi yang isi?" Pria di hadapannya menunjukkan raut ragu. "Boleh ya, Kak?"

"Kamu yakin?" Shisi mengangguk dengan semangat. "Oke. Mulai besok kamu bisa datang jam tiga. Pulangnya jam sepuluh malam. Sanggup?"

Shisi kembali mengangguk dengan senyuman. "Sanggup, Kak."

"Baiklah." Shisi menghela napas dalam. Akhirnya dia menemukan pekerjaan untuk membantu keuangannya.

Semoga dengan ini dia bisa melunasi tunggakan sppnya.


🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat siang!

Boleh dong cung tangan kalian yang baca ini.

Kalau boleh tahu, dari mana kalian?

Jam berapa bacacerita ini?

Dengan siapa kalian saat membuka part ini?

Bagaimana suasana hati kalian?

Ealah. Kayak wartawan aja ane nanya mulu🤣🤣🤣🤣

Oke.
Sehat selalu untuk kalian.
Jangan bosen, ya baca cerita ini
😘😘😘😘😘

Love you all

Salam cinta dari Evie Edha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top