🦊 3. Tidak Diinginkan 🦊

3. Tidak Diinginkan

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊



"Akhirnya selesai juga." Shisi menatap takjub hidangan yang sudah tersedia di atas meja makan. Bola matanya berbinar setelah berhasil menyelesaikan masakan di mana resepnya dia mencontoh dari catatan almarhum sang ibu.

"Ah ... semoga saja rasanya sama dengan yang seperti Ibu buat biasanya." Iris cokelat bening itu menatap dua potong paha ayam yang sudah dibaluri bumbu di mana aromanya sangat menggugah selera.

Pasti enak. Ya. Itu harapan Shisi. Kare ayam, makanan kesukaan kakaknya---Asher. Setelah beberapa hari dia harus mengikat perut uang jajan di sekolahnya agar bisa membeli beberapa potong ayam, akhirnya hari ini kesampaian juga.

Meski hanya dua potong saja, itu sudah cukup bagi Shisi. Gadis itu sudah membayangkan nanti akan duduk berdua dengan sang kakak lalu makan bersama makanan yang sudah dia masak.

"Ah, senangnya." Bibirnya melebarkan senyum hingga matanya terpejam.

Pandangan Shisi jatuh pada potret keluarga berbingkai kayu yang dulu dibuat kakaknya dulu. "Ibu. Doakan Shisi kali ini, ya. Semoga Shisi berhasil membujuk Kakak," ucapnya.

Gadis berusia tujuh belas tahun itu dengan gesit bergerak mulai memindahkan setiap makanan yang sudah dia masak ke dalam sebuah rantang. Apakah Shisi tidak menyisihkan untuk sang ayah?

Tidak. Setelah mengambil simpanan uangnya beberapa waktu lalu, Shisi yakin ayahnya tidak akan pulang dalam waktu yang lama. Sebenanya dia pun juga merindukan sang ayah, tetapi dia tidak tahu harus mencari di mana.

Hanya kakaknyalah yang dia ketahui keberadaannya. Maka dari itu dia berusaha untuk selalu mendatangi sang kakak. Pertama, dia memasukkan nasi, lalu kare ayam dan tumis kangkung. Ya. Shisi menambahkan lauk lainnya sebagai pelengkap. Tidak lupa sambal bawang untuk menemani.

"Lagi-lagi Shisi menghirup aroma masakannya yang sudah dimasukkan ke rantang makanan. "Em ... pasti Kakak suka."

Bergegas keluar, Shisi tidak lupa mengunci pintu rumahnya. Melihat itu dia ingin tertawa rasanya. Untuk apa dikunci? Toh tidak ada yang berharga di dalam rumah ini.

Berjalan ke arah sepeda anginnya, Shisi harus menelan pil pahit saat mendapati ban sepedanya kempes. Dia menurunkan bahu sembari memajukan bibirnya. "Kempes. Pasti bocor lagi."

Menoleh, gadis itu mengedarkan pandangan, menatap langit yang tampak cerah. "Mau tidak mau, aku harus jalan kaki," ucapnya dengan senyuman.

Shisi mulai melangkah menyusuri jalan beraspal. Pantulan sinar matahari sore di jalanan ternyata masih meninggalkan panas ketika biasnya menyentuh wajah. Sebenarnya dia bisa saja naik angkutan umum, tetapi sayang uangnya. Bisa dia buat makan besok.

Suara motor menderu bising dari arah belakang, tidak lama kuda besi berwarna hijau dengan paduan hitam berjalan pelan di sampingnya. "Mau ke mana?"

Shisi terkikik geli. Dia menghentikan langkah di mana motor itu pun juga ikut berhenti. Gadis itu menoleh ke arah si pemilik motor yang menungganginya. "Lo to the poin banget, sih, Than kalau tanya. Padahal tadi gue udah ngebayangin kalau lo bakal godain gue dulu. Kayak cowok kalau ketemu cewek sendirian di pinggir jalan."

Sosok laki-laki itu menyunggingkan sebuah seringai di balik helem yang dia kenakan. "Bukan sifat gue." Mendengar itu Shisi mencebikkan bibirnya.

Seorang pria yang memakai jaket hitam itu melepaskan helemnya. Menatap dirinya dengan tajam, tetapi meneduhkan. "Dan lo ... bisa nggak kalau manggil gue itu yang lengkap. Jangan separuh. Lo kayak manggil gue setan tau nggak?"

Shisi terkikik geli dengan menutupi mulutnya menggunakan tangan. Ethan memutar bola matanya malas. "Lo mau ke mana?" tanyanya lagi.

Shisi mengangkat rantang yang dia bawa. "Mau bawain kakak makanan," jawabnya diiringi senyum manis.

Ethan yang tahu kondisi sebenarnya hubungan Shisi dan kakak gadis itu mengerutkan kening. Kedua alisnya pun menyatu. "Lo yakin?" Dia bertanya agak sangsi, tetapi gadis di hadapannya mengangguk masih mempertahankan bulan sabit di bibirnya.

"Kok jalan kaki?"

Kali ini Shisi menyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Si Boiky ngambek lagi."

Ethan menghela napas dalam. "Lo kayaknya musti beli sepeda baru. Si Boiky musti dironsokin."

Shisi mengerucutkan bibirnya. "Lo sebenarnya cuma mau ngajak ngobrol gue atau mau nawarin tebengan.  Kalau mau ngajak ngobrol, mending lain kali deh. Gue sibuk." Gadis itu membuang muka ke arah lain.

Ethan berdecak. "Naik!" titahnya. Dia segera memakai helemnya kembali.

Shisi bersorak, dia bergegas naik ke boncengan bagian belakang motor milik Ethan. Akhirnya dapat ojekan agar dia sampai lebih cepat ke kosan kakaknya. "Nggak ada yang bakal  marah lagi, kan?"

Shisi mengerutkan kening. "Siapa?"

"Ya siapa tahu kayak beberapa waktu lalu."

Gadis itu gegas memukul punggung tegap milik Ethan. "Enggak usah diungkit lagi deh." Setelahnya hanya ada keheningan di antara mereka.

Selang sepuluh menit kemudian, motor yang dikendarai Ethan sudah berhenti di depan pagar sebuah kos-kosan.

Shisi pun turun, menghadap pada Ethan sebentar. "Terima kasih."

Ethan mengangguk, lalu pandangannya mengedar ke beberapa bangunan kecil di mana itu adalah kos-kosan. Beralih pada Shisi, dia memandang khawatir gadis itu dari balik kaca helem. "Lo yakin gue tinggal?"

Shisi mengangguk beberapa kali. "Ya udah. Hati-hati." Lagi-lagi hanya anggukan yang Shisi berikan. Gadis berpakaian putih dengan gambar kucing di bagian dada itu memandang kepergian temannya.

Gegas mendekati gerbang kosan yang dijaga oleh seorang satpam. "Permisi, Pak."

"Iya, Neng." Satpam itu mendekati pagar. "Mau bertemu siapa?"

"Kak Asher, Pak."

"Oh, ada. Sebentar saya panggilkan." Shisi mengangguk dan tersenyum melihat satpam itu berlalu. Di kosan ini memang sangat ketat peraturannya. Hanya diperuntukan untuk laki-laki, dan harus lapor kalau ada tamu.

Apalagi perempuan. Itu sebabnya dia menunggu di sini sementara orang yang ingin dia temui masih dipanggilkan oleh satpam.

Tidak lama, senyum Shisi mengembang ketika iris cokelat itu menangkap sosok sang kakak yang mulai mendekat. Pria itu membuka gerbang yang memisahkan mereka.

"Kakak," panggil shisi dengan penuh semangat. Keceriaan menghiasi wajah gadis itu. Rindunya terbalaskan setelah lama tidak bertemu dengan salah satu laki-laki yang berharga dalam hidupnya.

"Lo lagi. Ngapain, sih lo ke sini?" Suara Asher sedikit meninggi.

Namun, itu tidak melunturkan senyum di bibir Shisi. Dia mengangkat rantang yang dibawa. "Shisi buatkan Kakak makanan kesukaan Kakak. Kare ayam. Shisi ambil resepnya dari catatan Ibu. Shisi harap rasanya sama enaknya dengan yang Ibu buat. Yuk kita makan bersama, Kak. Kita sudah la---"

Ucapan Shisi terpotong ketika tiba-tiba kakaknya menampik rantang yang dia bawa hingga isinya berhamburan. "Kakak ...." Suaranya terdengar lirih. Bola matanya berkaca melihat hasil masakannya hancur tidak berbentuk bercampur dengan tanah.

"Stop cari gue. Stop datang lagi. Gue muak lihat muka lo. Lo itu pembunuh!" teriak Asher. Dia tidak peduli di mana mereka berada saat ini.

Shisi memejamkan mata, menutupi kedua telinga menggunakan tangan dan menggelengkan kepala. "Shisi bukan pembunuh," ucapnya lirih disertai tangis dan air mata yang mulai berjatuhan.

"Sekarang lo pergi dari sini! Jangan ke sini lagi. Jangan sampai kesabaran gue abis dan gue bisa bunuh lo di sini." Setelah mengatakan hal itu, Asher memasuki gerbang dan menutupnya sedikit kencang lalu pergi begitu saja.

Shisi terisak, dia berjongkok dan mulai menata rantang miliknya. "Non enggak papa, Non?" tanya satpam penjaga kosan yang membantu Shisi.

Gadis itu hanya bisa menggeleng masih dengan tangis tanpa suara.

"Biar saya saja yang bantu, Pak." Ethan berjongkok di samping Shisi. Dia membantu gadis itu menata kembali rantangnya.

"Gue udah duga ini yang bakal terjadi." Sebelumnya Ethan memang pergi, tetapi tidak benar-benar pergi karena tahu akan seperti apa endingnya pertemuan dua kakak beradik ini.

Setelah membantu Shisi, Ethan bergegas membawa gadis itu pergi. Tidak peduli keadaannya yang masih menangis. Setelah membantu menaiki motor, dia membawanya ke daerah taman kota, memilih tempat duduk yang agak sepi untuk membiarkan gadis di sampingnya ini menangis.

Setelah beberapa saat mereka duduk di sana, tangis Shisi tidak juga berhenti. Hal itu membuat Ethan berdecak. "Udahan nangisnya. Sebentar lagi magrib."

Shisi menghapus air matanya. Dia mendongak dan memaksakan senyum. "Sudah senja, ya?" tanyanya lirih.

Shisi memejamkan mata, membayangkan wajah-wajah yang pernah menjadi dan menemani harinya. "Senja. Kamu. Ya. Hadirmu seperti senja. Jika datang hanya untuk menyapa, kenapa harus menitipkan rasa?"

Ethan menghela napas dalam, dia seperti bisa merasakan benar kesakitan dan kesedihan Shisi. Rasa-rasanya dia telah salah meminta gadis ini untuk berhenti menangis.

Tanpa kata, Ethan menggapai pundak terjauh Shisi, menariknya pelan dan menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. "Nangis aja. Terkadang, menangis bukan berarti kita lemah. Hanya mengurangi bebas yang menyiksa."

Tanpa protes, gadis itu kembali menangis kencang, menumpahkan pada dada Ethan seperti yang sudah-sudah.

Dan tanpa diketahui mereka, seseorang melihat keduanya dari balik pohon. Sosok itu tampak menahan kemarahan, memukul pohon menggunakan tinjuan tangannya.

"Bangsat!"

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat malam.

Yakin Putus up.

Kuy merapat

😋😋😋😋

Semoga tetap suka sama ceritanya, ya.

Love you All.
😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top