🦊 25. Kondisi yang Lemah. 🦊

25. Kondisi yang Lemah

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊




Ali menyandar pada sofa di rumahnya. Dia menekan asal remot melihat tayangan tivi. Namun, detik kemudian dia membanting remot itu karena rasa kesal yang dirasa akibat ulah Shisi yang katanya jalan bersama Ethan.

"Lagi. Lo ngecewain gue," ucap Ali. Terlihat jelas kekecewaan di wajah itu. "Padahal lo udah bilang iya tadi."

Ali meremas rambutnya kasar. "Gila. Bisa-bisanya dia ngerjain gue. Kalau nggak mau pergi sama gue kenapa nggak bilang. Pakai nyanggupin malah dikerjain."

Ali bangkit sembari meraih ponsel di atas meja. Pemuda itu menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Melemparkan ponsel asal ke arah ranjang, Ali melepaskan kancing seragamnya dan beralih memasuki kamar mandi. Berendam mungkin akan membuat pikirannya tenang.

Satu jam berlalu, dia sudah merasa segar. Keluar hanya menggunakan handuk, dia meraih ponsel untuk menghubungi teman-temannya. Namun, layar menyala yang menampilkan nama Shisi membuat Ali tersenyum miring.

Pemuda itu berdecak. "Ngapain pakai telvon segela. Pasti mau minta maaf." Langsung saja Ali menolak panggilan dari Shisi, tak ingin mendengar gadis itu menyampaikan penyesalannya.

Beralih pada grup whatsapp, Ali mengetikkan sebuah pesan di sana. "Datang ke rumah. Gue lagi suntuk." Tidak perlu ada jawaban karena Ali tidak menerima penolakan.

Benar saja. Setelah berpakaian, dia sudah melihat keberadaan Chris yang sudah duduk di sofa ruang tamu. "Yang lain mana?" tanya Ali.

"Belum datang." Chris menjawab.

Ali hanya mengangguk. Dia memeriksa ponselnya yang terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari Shisi. Ali tetap mengabaikannya. Namun, nama Bagas yang tertera di layar membuat dia mengernyit.

Ali mencoba menghubungi Bagas kembali. Namun, ponsel pria itu tampak sibuk. Mengedikkan bahu, dia mengalihkan pandangan ke arah Chris yang masih duduk di sofa.

"Kita ke belakang aja." Pandangan Ali tertuju pada arah dapur. "Bi. Bawakan minuman dan makanan ringan yang banyak ke belakang!" teriaknya.

"Iya, Den." Jawaban itu cukup untuk membuat Ali dan Chris segera berjalan ke taman belakang di mana ada lapangan basket mini di sana.

Beberapa saat kemudian, satu persatu pun mulai datang. Rayhan dan Aldo juga turut bergabung bermain basket. Sayangnya, Ali tak bisa fokus dalam permainannya. "Lo kenapa sih, Li? Sepet banget tuh muka." Chris bertanya dengan berkacak pinggang.

"Iya, nih," sahut Aldo. Sedangkan Rayhan yang tahu ada apa dengan Ali hanya tersenyum miring masih dengan memainkan bola basket di tangan.

Ali yang ditanya hanya menggelengkan kepala. Pemuda itu memilih duduk dengan menekuk kaki dan menurunkan lengan pada lutut. Namun, dia terkejut saat tiba-tiba saja merasakan sebuah pukulan hingga tubuhnya roboh ke lapangan.

Ali menoleh, terlihat Ethan yang berada di atasnya. "Apa-apaan lo." Dia mendorong Ethan agar menjauh dari tubuhnya. Beruntung Chris dan Aldo yang membantu menahan tubuh Ethan.

"Di mana Shisi?" tanya Ethan dengan kemarahan, dia mencoba melepaskan diri dari cekalan dua temannya.

"Lo apain Shisi?" Pemuda itu menunjukkan kemarahan pada Ali.

"Apa maksud lo?" tanya Ali yang tidak mengerti arah pembicaraan Ethan. Pemuda itu bangkit perlahan. "Datang-datang main pukul, cari masalah?"

"Di mana Shisi?" tanya Ethan dengan teriakan.

"Gila lo nyari Shisi ke sini? Dia nggak ada di sini." Ali menjawab tak kalah dengan suara tinggi.

"Nggak usah bohong." Ethan mencoba melepaskan diri dari cekalan Chris dan Aldo agar bisa memukul Ali. Namun, kedua temannya itu menahan dengan kuat.

"Than. Tenang dong. Kita bicara baik-baik." Aldo memberi saran. Dia menepuk pundak Ethan beberapa kali sampai pemuda itu tenang. "Sekarang lo cerita pelan-pelan, ada apa?"

"Bang Bagas hubungi gue. Kak Asher nyariin Shisi katanya dia nggak pulang. Dikiranya di kafe padahal Shisi nggak datang." Pandangan Ethan mengalah ke Ali. "Sedangkan gue inget. Sebelum pulang tadi Shisi bilang kalau dia ada janji sama Ali."

Ketiga pemuda itu menatap Ali. Sedangkan Ali yang ditatap tentu saja merasa tidak terima. "Jangan ngaco. Lo yang pergi sama Shisi. Ngapain nyalahin gue?"

"Kalau gue yang pergi sama Shisi, buat apa gue cari dia ke sini goblok!" teriak Ethan.

Ali mengerutkan kening, dia mengingat apa yabg dikatakan Rayhan tadi siang. Tanpa kata dia memandang sosok yang masih berdiri memegang bola basket.

Rayhan mengangkat tangan. "Gur lihat dua irang tadi. Gue pikir itu Shisi sama Ethan." Baiklah. Jawaban Rayhan membuat mereka tahu Shisi telah hilang.

Ali memandang Ethan. "Gue berani sumpah. Gue ngga pergi sama Shisi. Gue pulang waktu Rayhan bilang lihat lo dan Shisi mau pergi."

Ingatan Ali terlempar pada panggilan dari Shisi yang begitu banyak. Juga Bagas yang memanggilnya. Apakah pria itu akan menanyakan hal ini padanya?

Ponsel Ethan berbunyi. Nama Shisi yang terlihat membuat pemuda itu segera menggeser tombol hijau di layar. "Halo. Shisi." Semua tampak tegang menunggu. Bahkan Ali berlari mendekat ke arah Ethan.

"Halo. Shisi. Kamu di mana?" Tak ada jawaban. Suara itu terputus-putus seperti kekurangan sinyal. Detik kemudian panggilan itu terputus.

"Sial," umpat Ethan. Dai mencoba menghubungi kembali tetapi tidak bisa.

"Kapan lo ketemu Shisi terakhir kali?" tanya Ali.

Ethan mendongak menatap Ali. "Di sekolah. Pulang sekolah."

"Gue nunggu dia di parkiran. Nggak ada keluar. Kemungkinan besar dia masih ada di sekolah." Ali gegas berlari memasuki rumah. Ketiga pemuda itu lekas mengikuti.

Ethan yang mulai menyadari suatu hal segera berteriak, "Pakai mobil." Entahlah. Dia merasakan ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada Shisi.

Ali meraih cepat kunci mobil yang biasa dia pakai. Gegas memasuki kuda besi itu diikuti Ethan dan menancapkan gasnya. Meninggalkan dua teman mereka.

"Sial. Kita ditinggal." Chris menggerutu. Namun, Aldo yang tiba-tiba mendekat dengan motor segera membuat dia menaiki kuda besi itu.

"Ke mana?" tanya Ali ketika dia keluar dari mobil ketika sampai di sekolah.

"Tempat susah sinyal. Gudang!" teriak Ethan. Kedua pemuda itu meneriaki satpam sekolah agar membukakan pintu gerbang. Langsung berlari ke tempat yang diperkirakan Shisi berada.

Pintu gudang tergembok dari luar. Tak ambil pusing, kedua pemuda itu sama-sama mengambil batu dan secara bergantian memukul benda yang menghalangi itu.

Gembok telah hancur. Ali mendorong kasar pintu gudang dan melihat sosok Shisi yang tergeletak di samping sebuah kursi.

"Shisi," panggil keduanya secara bersamaan. Mereka mendekat dan Ali memegangi kepala Shisi.

Pemuda itu terkejut saat melihat bagaimana kondisi wajah Shisi saat ini. "Shi. Ini kenapa?" Tidak ada jawaban. Gadis itu hanya membuka mata pelan lalu tertutup kembali.

"Bawa ke rumah sakit!" titah Ethan. Tak butuh waktu, Ali meraih Shisi dalam gendongannya, berlari agar mereka cepat sampai ke rumah sakit.

***

Ali memegangi tangan Shisi. Ada sebuah penyesalan dalam dirinya ketika memutuskan pergi dari sekolah siang tadi. Kalau saja dia tidak pergi, mungkin Shisi tidak akan berada pada kondisi seperti ini.

Ada Aldo dan Chris yang duduk di sofa sudut ruangan, memandang iba pada sosok gadis yang dulu sering bermain dengan mereka. Setelah diperiksa oleh dokter, keterangan mengatakan kalau Shisi baru saja mendapatkan siksaan dati seseorang. Pertanyaannya. Siapa?

"Iya, Kak. Di rumah sakit HA." Ethan yang berada di luar ruangan Shisi baru saja menghubungi Asher untuk memberitahukan keberadaan gadis itu.

Pemuda itu masuk, berdiri di belakang Ali. Dari sana dia bisa melihat benar bagaimana sahabatnya ini masih mencintai Shisi. Ethan menghela napas dalam mengingat hubungan keduanya yang renggang akibat kesalahpahaman.

Mungkin ini waktu yang tepat untuk menjelaskan?

"Kalian ingat waktu kita mau main bilyard beberapa bulan yang lalu?" Ethan memandang Aldo, Chris dan Ali secara bergantian. Meskipun Ali tak membalasnya.

"Malam itu, waktu gue berangkat, gur nggak sengaja ketemu Shisi." Ethan membuka percakapan. Dia yakin Ali mendengarkan.

Ali yang memang mendengarkan Ethan mulai menggali memori di mana dia dan teman-temannya akan bermain bilyard. Yaitu di malam dia melihat Ethan membonceng Shisi. Malam awal dirinya yang mengira mereka telah mengkhianati dirinya.

"Gue tanya dia mau ke mana. Katanya ... bokap dia udah beberapa hari nggak pulang. Makanya dia mau nyari bokapnya. Sendirian malam-malam. Jelas gue nggak tega. Gue menawarkan bantuan untuk dia," jelas Ethan.

"Itu kenapa lo bisa melihat gue sama Shisi boncengan," lanjut Ethan.

Pemuda itu berdiri di samping Ali. "Gue bersumpah. Gue sama Shisi nggak pernah ngekhianatin elo. Kita berusaha jelasin tapi lo nggak mau dengar. Akhirnya Shisi nyerah karena ada hal yang lebih penting yang harus dia urus. Yaitu keluarganya."

Ethan menumpu tangan pada brankar di mana Shisi terbaring. "Dia sendiri, Li. Semenjak ibunya meninggal dia hanya tinggal sendiri. Ayahnya yang suka mabuk-mabukan, dan Kak Asher yang udah ngga peduli lagi sama dia."

Ali meremas tangan Shisi yang ada dalam genggamannya. Terjawab sudah pertanyaannya mengenai kejadian Shisi yang hampir dijual oleh ayahnya. Juga Asher yang tidak lagi tinggal di rumah.

Pemuda itu memejamkan mata berbarengan dengan air matanya yang jatuh. Tak peduli teman-temanya akan melihat. Bolehkah Ali menyesal kini.

Suara erangan membuat Ali membuka mata. Dia melihat Shisi yang mulai tersadar. Dia segera bangkit dai duduknya. "Shi. Lo nggak papa?" tanya Ali.

Bola matanya yang mengerjap membuat Shisi perlahan untuk mengenali sosok yang ada di hadapannya. "Li," panggilnya lirih.

Ali mengangguk dengan mata berkaca. Dia mencium punggung tangan Shisi. "Siapa yang udah nyakitin lo kayak gini, Shi? Katakan siapa?"

Shisi hanya bisa menarik senyum tipis. Kelapa matanya beberapa kali menutup. Tidak mungkin dia mengatakan siapa pelaku yang sudah menyakitinya. Setidaknya dia harus memastikan sesuatu dulu.

"Kasih dia minum dulu," ucap Ethan sembari memberikan segelas air pada Ali. Pemuda itu membenahi brankar Shisi agar gadis itu sedikit duduk.

"Minum. Pelan-pelan." Ali membantu Shisi untuk minum dengan pelan.

Shisi menerimanya. "Terima kasih," ucap Shisi di mana Ali langsung mengangguk.

Kegaduhan yang tiba-tiba terdengar membuat dia mengalihkan pandangan. Terlihat Asher yang mendekat dengan tatapan khawatir.

"Shi. Kamu kenapa bisa kayak gini, Shi? Siapa yang menyakiti kamu?" tanyanya beruntun. Ada Clarissa di sampingnya.

"Kak Asher." Shisi memeluk kakaknya erat. Dia memejamkan mata dan menumpahkan tangis di sana.

"Katakan sama Kakak. Siapa yang sudah membuat kamu seperti ini? Ayah?" tanya Asher.

Shisi menggeleng. Dia melihat sekitarnya lalu kembali menatap Asher. "Shisi mau ngomong sama Kakak berdua." Ucapan itu sudah cukup untuk semua. Perlahan, mereka uang tidak diperlukan pun keluar satu per satu.

Asher memandang sang adik. "Kamu mau ngomong apa?"

Shisi tersenyum. Rasanya tidak mungkin kalau kakaknya menjadi seorang pembunuh. Namun, dia harus tetap menanyakannya untuk memastikan. Menarik napas dalam dia mulai mengeluarkan suara.

"Apa benar Kak Asher membunuh kakaknya Thrisa?"




🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat sore semuaaaaa

Apa kabar kalian?
Semoga baik, ya.

Part terakhir yang diup di wp nih.

Wah. Apa, ya jawaban dari Kak Asher???

Bagaimana hubungan Ali dan Shisi selanjutnya?

Semua hanya ada di buku

😘😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top