🦊 24. Sesuatu yang Mengejutkan. 🦊
24. Sesuatu yang Mengejutkan
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
Shisi mencoba memberontak dari bekapan seseorang yang tidak tahu siapa. Ruangan yang gelap menyulitkan dirinya untuk melihat siapa pelakunya. Dia ke sini untuk menemui Ali tadi. Apakah Ali hanya mengerjainya?
Hingga saat dia didudukkan secara paksa, Shisi tahu siapa pelaku dari dari semua ini karena dia melihat sosok gadis yang juga duduk di hadapannya.
Ketika dia menoleh, sudah diduga. Rayhanlah pelaku yang membekapnya. Shisi tidak bisa memberontak ketika pemuda itu memaksa untuk membuat dirinya duduk dan mulai mengikat tangannya ke belakang tubuh.
"Kita harus membereskan Ali dulu." Thrisa mengangguk. Dia bangkit dan keluar dari gudang bersama Rayhan, tak peduli dengan teriakan Shisi.
"Thris, Ray. Lepasin gue!"
Dua orang itu tetap melangkah, berjalan menuju parkiran. Keduanya tersenyum melihat Ali yang duduk di atas motornya.
"Li. Lo belum pulang?" tanya Rayhan.
"Oh? Gue nunggu orang," jawab Ali. Dia memalingkan wajah tak ingin melihat Thrisa.
"Siapa?" Rayhan kembali bertanya. Namun, Ali hanya tersenyum tipis. Melihat itu cukuplah Rayhan mengerti kalau sahabatnya itu tidak ingin membuka suara.
Dalam hati tertawa karena melihat sikap Ali. Rayhan mengangguk. "Oke. Kalau gitu kita duluan." Baru saja dia akan berlalu, tetapi urung dan kembali menatap Ali. Sengaja memang.
"Oh, ya. Ethan sama Shisi udah jadian, ya?" Umpan termakan. Ali menatapnya dengan mata melotot. "Mm ... soalnya tadi gue lihat mereka pergi katanya mau beli sesuatu gitu."
"Apa?" tanya Ali dengan mimik terkejut.
"I—iya. Tadi mereka ...." Belum selesai dia berbicara, Ali sudah memakai helm dan menstater motornya.
Melihat kepergian Ali, Thrisa dan Rayhan tertawa, mereka melakukan tos bersama. "Kita lanjutkan. Kita lewat luar biar nggak ketahuan." Ucapan Thrisa mendapat anggukan. Keduanya keluar dari sekolah lebih dulu lalu memasuki gudang melalui jalan belakang untuk melanjutkan niat mereka.
Memasuki gudang, keduanya tersenyum melihat Shisi yang masih berada di posisinya. Memangnya bisa ke mana gadis itu dalam keadaan terikat?
"Apa yang kalian mau sebenarnya?" tanya Shisi. Dia memandang tajam dua orang di hadapannya. Muak ketika melihat Rayhan yang berdiri di samping Thrisa dengan kedua sosok itu menampilkan senyum mengejek terhadap dirinya.
"Mau gue," ucap Thrisa dengan menunjuk dirinya sendiri. Detik kemudian dia tertawa. Bangkit dan mendekati Shisi.
Thrisa menunduk, menempatkan wajahnya di depan wajah Shisi. "Kalau gue pengen lo mati gimana?" bisik gadis itu. Raut mukanya menunjukkan seorang sikopat yang siap membantai korbannya. Lihatlah senyum miring di wajah gadis itu.
"Ha?" Detik kemudian gadis itu tertawa. Menegakkan tubuh dengan kedua tangan yang ada di belakang tubuhnya.
Namun, tidak disangka ketika tiba-tiba gagis itu melayangkan satu tamparan keras ke wajah Shisi, menimbulkan suara bertemunya dua kulit yang cukup nyaring. "Ups." Thrisa menutup bibir dengan tangan yang baru saja memberi tamparan pada Shisi.
Bola mata gadis itu melirik ke kanan dan kiri. "Sorry. Sengaja," ucapnya sembari berbisik. Detik kemudian, dia tertawa bersama Rayhan seolah apa yang dilakukan barusan adalah hal yang menyenangkan.
Wajah Shisi terlempar ke samping. Saking kerasnya tamparan itu, dia merasa pengang pada telinga. Panas menjalari wajah, dan dia yakin kini pipinya pasti sudah melukis lima jari milik Thrisa.
Shisi merasakan betul sesuatu yang mengalir di sudut bibirnya. Cukup tahu apa itu. Memalingkan wajah, dia menatap dua orang yang ada di hadapannya yang masih tertawa.
"Apa salah gue sama lo?" tanya Shisi di tengah rasa sakit di kepala.
Thrisa memandang Shisi terkejut, dia membuat gestur itu sembari menatap Rayhan. Detik kemudian kembali tertawa. Berjalan mendekati Shisi, tanpa aba-aba dia menarik kasar rambut gadis yang dia sandra saat ini.
"Salah lo." Thrisa berucap dengan berbisik di samping telinga Shisi. "Salah lo banyak!" teriaknya sembari melepas tarikan rambut itu dengan mendorong kasar kepala Shisi, tidak lupa kembali melemparkan tamparan ke arah pipi gadis itu. Masih di tempat yang sama.
Shisi mendesis saat sakit itu mulai menyapanya kembali. Sekuat tenaga dia mendongakkan wajah untuk menatap Thrisa. Dari balik anak rambut yang menutupi wajah, dia mencoba mengayunkan kepala agar tiap helainya tidak lagi menghalangi.
Sedikit membantu meski masih tertinggal beberapa. "Ini soal Ali, kan?" tanya Shisi.
"Kalau soal Ali, gue udah putus sama dia. Gue juga nggak lagi berusaha deketin dia lagi." Gadis itu mencoba untuk menjelaskan meski bibirnya terasa sakit. Rasanya, langkah dia untuk kembali menjalin pertemanan dengan Ali atas saran Asher telah salah.
Thrisa dan Rayhan saling pandang, detik kemudian mereka tertawa keras. Thirsa kembali mendekati Shisi, menunduk mensejajarkan wajah mereka.
"Yah. Yah." Thrisa mengangguk beberapa kali. Entahlah. Wajah gadis itu benar-benar seperti sikopat saat ini.
"Yah. Karena Ali." Gadis itu menunjuk dadanya. "Gue ... udah suka sama Ali dari lama ...." Thrisa menekan kata lama dengan panjang, mengangkat tangan kirinya seolah menggambarkan berapa lama itu.
"Dari gue SMP," jelas gadis itu kemudian.
"Tapi lo." Thrisa mendorong kepala Shisi dengan kasar. "Lo yang baru dikenalnya pas SMA, dengan seenaknya datang menjadi pacarnya dia. Gue nggak terima," ucapnya dengan berbisik.
"Gue nggak terima!" Kali ini Thrisa berteriak di depan wajah Shisi sehingga membuat gadis yang duduk terikat itu harus memejamkan mata.
Tak lama Shisi membuka mata, menatap wajah Thrisa yang begitu dekat dengan wajahnya. "Cinta itu nggak bisa dipaksa, Thris. Gue dan Ali saling cinta. Bukan salah kita kalau kita mutusin buat pacaran. Bukan salah gue kalau Ali milih gue dibanding lo yang lebih dulu cinta sama dia." Gadis itu mencoba menjelaskan.
Apakah berhasil? Tentu kita tahu jawabannya.
Mimik wajah Thrisa berubah seketika. "Jangan sok cantik," ucap Thrisa dengan mimik songong.
"Jangan sok cantik!" teriak Thrisa tiba-tiba beserta gadis itu yang kembali menjatuhkan tamparan. Kali ini berulang kali bergantian dengan pipi kanan dan kiri.
Jangan tanya bagaimana keadaan Shisi lagi saat ini. Rasanya kepala ingin pecah. Bahkan untuk mengangkatnya saja terasa berat. Namun, dia tetap mencoba. Di tengah rasa pening dan pandangan mengabur dia mencoba memandang dua sosok di hadapannya.
Shisi mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba tetap tersadar untuk berbicara. Sedangkan Thrisa dan Rayhan masih tertawa di atas penderitaan Shisi.
Rayhan tampak menarik kursi, lalu mempersilakan Thrisa untuk duduk. Menumpu kaki kanan ke kaki kiri, Thrisa memandang Shisi yang tampak kesulitan membuka mata. "Bukan hanya itu sih," ucap Thirsa kemudian.
"Lo tahu? Gue benci banget sama kakak lo." Thrisa menekan di setiap katanya dan memandang Shisi tajam.
Meski dalam keadaan kesakitan, dan mencoba tetap tersadar, Shisi masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Thrisa. Kakaknya? "A—apa maksud lo?" tanya Shisi lirih. Rasanya membuka mulut untuk sekedar berbicara sedikit saja sulit. Rasa sakit itu benar-benar menyiksanya.
Pandangan Thrisa berubah dalam sekejap, ada kilat marah dan dendam juga sakit bercampur jadi satu dalam mata gadis itu. Bahkan giginya bergemeretuk. "Gue benci Kakak lo."
Thrisa bangkit, mencengkeram seragam Shisi dan menggoyangkan tubuh itu kasar sembari berteriak! "Gue benci kakak lo!" Setelahnya, dia melepaskan kasar. Terlihat jelas beberapa kancing seragam Shisi yang terlepas, memperlihatkan tengtop putih yang gadis itu pakai.
Shisi merasa tak karuan saat ini. Rasanya seperti remuk seluruh badan, dan Thrisa masih juga belum selesai. Gadis itu kini mencengkeram dagunya.
"Gue benci kakak lo!" Thrisa kembali berteriak di depan wajah Shisi. "Gara-gara kakak lo, kakak gue mati. Gara-gara kakak lo gue kehilangan kakak gue," ucapnya keras dan melepaskan cengkeraman tangannya di dagu Shisi.
Dada Thrisa naik turun. Dia seolah baru saja melampiaskan apa yang selama ini gadis itu pendam. Dituangkan segala kekesalan dan kebencian dalam dirinya.
Shisi? Jangan tanya bagaimana terkejutnya gadis itu. Masih dengan posisi kepala menoleh ke sisi kiri, dia memandang kosong apa yang ada di hadapannya. Apa tadi? Kakaknya ... Asher, menjadi penyebab kematian seseorang?
"Kakak lo pembunuh. Kakak lo pembunuh!" teriak Thrisa yang lagi-lagi meraih kepala Shisi dan kembali memberikan tamparan di wajah gadis itu.
"Kakak lo brengsek! Kakak lo kurang ajar. Cowok brengsek yang udah ninggalin kakak gue sampe kakak gue depresi dan bunuh diri. Kakak lo pembunuh!" teriak Thrisa tepat di wajah Shisi. Dia tidak peduli bagaimana kondisi gadis yang terikat itu, melabuhkan beberapa pukulan, menarik seragam hingga robek tak berbentuk lagi.
Kelopak mata Shisi terasa berat, tetapi dia tetap mencoba memandang Thrisa yang kini terlihat jelas tengah menunjukkan amarahnya. Masih di setengah kesadaran yang tersisa, dalam benak sana dia bertanya-tanya dengan apa yang baru saja dia dengar dari bibir Thrisa.
Rayhan yang melihat kondisi Shisi sudah tidak berdaya kini dia mendekati Thrisa. Memegang kedua pundak gadis itu dan mencoba menenangkannya.
"Gue rasa sudah cukup untuk hari ini. Dia udah nggak berdaya," ucap Rayhan sembari menunjuk keadaan Shisi yang tidak lagi berdaya. "Lebih baik kita pergi."
Thrisa mengangguk. Dia mendekati Shisi dan melepas ikatan gadis itu. Thrisa berbisik di telinga Shisi. "Gue ingin sekali ngebunuh lo. Tapi itu terlalu mudah. Kita lanjutkan nanti."
Thrisa melepaskan begitu saja tubuh tak berdaya Shisi. Membuat gadis yang kesadarannya tinggal beberapa persen itu jatuh tengkurap di lantai yang kotor. Tak peduli, kedua sosok itu pun pergi meninggalkan gudang dengan senyum kepuasan.
Shisi yang masih bisa membuka mata melihat ponselnya yang terlempar sedikit jauh dari keberadaan dirinya. Pelan, sekuat tenaga dia mencoba menggerakan tangan untuk meraih benda pipih itu.
Beberapa saat kemudian setelah dia bisa meraih ponselnya, Shisi menyalakan layar dan melihat ruang chat antara dirinya dan Ali. Shisi mencoba menekan gambar yang berbentuk gagang telepon untuk menghubungi pemuda itu.
Tidak terpikirkan lagi untuk menghubungi orang lain. Rasanya tubuh sudah tak kuat menahan segala sakit ini. Beberapa kali deringan, tidak ada jawaban. Shisi terus mencoba, bahkan di satu kesempatan Ali malah menolak panggilannya.
Shisi kembali menekan tanda itu. Namun, rupanya tubuh sudah berada di titik terendah untuk bertahan. Kelopak mata itu pun menutup sempurna, meninggalkan layar ponsel yang masih menyala dalam mode memanggil Ali.
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
Selamat sore pembaca Yakin Putus?
Ada yang menunggu di sini?
Atau sudah pergi? 😥😥😥😥😥😥
Bab baru sudah up.
Sesuatu sudah terkuak.
Hal yang mengejutkan
Jeduarrrrrrrr
Happy reading😋😋😋😋😋😋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top