🦊 23. Jebakan. 🦊

23. Jebakan

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊




"Lo dari tadi lemes mulu keliatannya. Diajakin makan di kantin juga nggak mau. Kenapa, sih? Sakit?" tanya Lusi ketika gadis itu baru saja datang dari kantin.

Shisi yang membenamkan wajah di antara lipatan tangan mendongak, dia menatap kedua temannya dengan senyum tipis. "Gue capek banget," ucap Shisi dengan senyum tipis.

"Abis lembur lo?"

Shisi mengangguk. "Seminggu lebih ini gue minta lemburan dengan gantiin bagian bersih-bersih kafe pas tutup," jelasnya.

Kening Lusi mengerut. "Kenapa dah? Bukannya kalau itu sudah ada bagiannya sendiri-sendiri, ya?"

Shisi mengangguk. "Iya. Tapi gue yang minta."

"Kenapa deh? Bikin capek aja."

Gadis itu malah menampilkan senyum di sela wajah lelahnya. "Ada yang mau gue beli sebentar lagi. Makannya gue nyari tambahan."

"Lah. Elo, kan udah tinggal sama pacar kakak lo. Hubungan sama Kak Asher juga udah baik, kan? Minta aja duit sama kakak lo."

Shisi mencebikkan bibir. "Mana bisa gitu? Sesuatu yang gue mau ini nggak boleh dibeli dengan uang minta." Dia mengakhiri ucapannya dengan cekikikan.

Bel tanda masuk berbunyi. Murid-murid yang ada di luar pun berbondong-bondong memasuki kelas. Setelah menunggu beberapa menit, seorang perempuan paruh baya turut masuk.

Senyumnya yang ramah menyimpan kemarahan buas jika para murid melakukan kesalahan. Tepat setelah guru hari itu duduk di kursinya, suara menggelegar terdengar.

"Kumpulkan PR yang saya berikan seminggu lalu."

"Mampus," ucap Shisi lirih dengan bola mata melotot. Bahkan gadis itu menepuk keningnya dengan tangan.

Dia memandang kedua temannya yang baru saja mengumpulkan buku secara bergantian. "Kenapa lo?" tanya Lusi.

"Ada PR?" tanya Shisi. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dilontarkan.

"Ya kali lo tanya. Lo nggak denger Bu Dewi tadi bilang apa?" ucap Lusi dengan memutar bola mata malas, sedangkan teman satunya terkekeh.

"Gue lupa." Shisi memasang wajah panik. Dia menggigit kuku jarinya sembari memandang sang guru dan kedua temannya bergantian.

"Gila lo." Lusi pun tak kalah terkejut. Baru saja bibirnya terbuka, tetapi suara Bu Dewi lebih dulu kembali menggelegar.

"Kurang dua. Siapa yang tidak mengerjakan?" Pandangan wanita itu tampak tajam, menelisik setiap ruangan kelas. Dari satu bangku ke bangku yang lain mencari siapa yang tidak mengerjakan tugas.

"Ayo. Siapa?" tanya Bu Dewi lagi.

Shisi menggigit bibir bawahnya. Sedangkan Lusi hanya bisa memandang temannya dengan tatapan iba. Tak ingin semakin mendapatkan kemarahan sang guru, Shisi pun bangkit dari tempat duduknya.

Dia berjalan pelan maju ke depan dengan menunduk dan memilin jari-jarinya. Hukuman apa yang akan dia terima setelah ini?

Bu Dewi memandang Shisi. "Kamu yang tidak mengerjakan PR?"

Shisi mengangguk. "Iya, Buk," jawabnya lirih. Takut-takut dia memandang ke arah Bu Dewi.

Bu Dewi menghela napas. Perempuan paruh baya itu tampak berpikir. "Hukuman apa kira-kira yang cocok untuk kamu?" Dia tampak berpikir. "Hormat di tiang bendera sudah biasa."

Beberapa saat hening, perempuan itu menghela napas panjang. "Ya sudahlah. Lebih baik kamu bersihin halaman belakang sana. Dan besok kamu harus setor pada saya tulisan saya tidak mengerjakan PR sebanyak seratus kalimat."

Bola mata Shisi melotot, bibirnya menganga, gadis itu sempat mengangguk saat mendapatkan sebuah hukuman untuk membersihkan halaman belakang. Akan tetapi, kenapa harus ditanya dengan hukuman menulis segala?

"Banyak sekali, Bu?" tanya Shisi. Detik selanjutnya dia menutup mulut karena baru menyadari kesalahannya.

Bola mata Bu Dewi melotot. "Kamu membantah?"

Shisi menggelengkan kepala cepat. "Akan saya lakukan, Bu," ucapnya sembari berlari keluar dari kelas. Hal itu membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-temannya karena ulah lucu gadis itu.

Shisi berlari menyusuri lorong sekolah untuk menuju ke taman belakang. Tidak diketahui, seseorang dengan map di tangan memandangnya dengan bingung.

Shisi meraih sapu lidi di sudut taman. Dia tampak asal-asalan membersihkan daun karena bibirnya tidak berhenti menggerutu, "Bu Dewi ini keterlaluan banget sih? Nggak tahu apa kalau gue capek udah kerja paruh waktu. Masih aja dihukum kek gini. Masih perlu nulis lagi."

Terus menunduk, Shisi mulai mengumpulkan daun-daun kering yang jatuh meski dengan rasa enggan. Dia tidak bohong jika tubuhnya benar-benar merasa lelah.

Karena pandangan hanya tertuju ke bawah, Shisi tidak menyadari kalau ada sesuatu di depannya. "Aduh." Gadis itu melihat ke depan di mana sebuah bangku kayu berada di sana.

Shisi memaki tempat duduk yang tidak bersalah. "Ish. Ngapain sih ini di sini? Siapa coba yang narok di sini? Kaki gue, kan sakit karena kejedot." Dia mengelus lututnya yang terasa linu.

Detik kemudian gerakan tangan Shisi pada lututnya memelan saat dia menatap lama bangku kayu itu. Shisi ingat. Beberapa hari lalu, dia dan Ali menghabiskan waktu istirahat dengan makan bersama di sini.

Beberapa saat kemudian senyumnya mengembang saat mengingat momen itu.

"Ngapain lo?" Suara seseorang mengejutkan Shisi.

Gadis itu menoleh lalu memutar bola matanya malas ketika melihat sosok pemuda yang baru saja lewat dalam pikirannya sudah berdiri di sampingnya.

Ali. Dengan sebuah sapu di tangan dan memandang Shisi dengan kedua alis yang saling bertaut. "Ngapain lo di sini? Pakek senyum-senyum lagi ngeliatin bangku?"

Shisi merutuk dalam hati. Tak habiskah kesialannya hari ini setelah mendapat hukuman? Kenapa dia harus dipertemukan dengan Ali juga? "Gue dapat hukuman," jawabnya malas.

Ali mengangguk dengan bibir membentuk huruf o. Detik kemudian dia menatap bingung lagi. "Dapat hukuman bukannya dikerjain malah senyum-senyum sendiri lihat bangku. Aneh."

Namun, detik kemudian Ali penampilan senyum sinis. "Lo lagi nostalgia, ya?"

Kali ini Shisi yang memandang Ali dengan kerutan di keningnya. "Nostalgia gimana?"

"Beberapa hari lalu, kan kita di sini makan bareng. Pasti lo lagi ngingetin momen itu, ya?" Ali menunjuk wajah Shisi dengan wajah mengejek.

Namun, bukannya malu, Shisi malah membalas tatapan Ali tak kalah mengejek. "Dengan lo mengatakan hal itu, sepertinya kita tidak perlu bertanya siapa yang selalu inget-inget momen itu."

Shisi memajukan wajah. "Bukan gue, tapi elo."

Niatnya ingin membuat Shisi yang merasa malu, kini malah dirinya yang mati kutu. "Enak aja." Tanpa kata Ali mengayunkan sapu di tangannya untuk mendorong daun kering ke arah gadis itu.

Shisi yang tidak terima pun melakukan hal yang sama. Beberapa waktu mereka melakukan hal itu, akhirnya diakhiri dengan tawa keduanya yang pecah.

"Lo ngapain sih di sini?" tanya Shisi saat keduanya sudah duduk di atas rerumputan.

"Gue dihukum sama Bu Dewi," jawab Ali. Dia mencabuti rumput dan melemparkannya dengan asal.

Shisi kali ini memandang Ali dengan mulut menganga. "Kok bisa?"

"Gara-gara nggak ngerjain tugas. Sial banget. Tahu gitu tadi nggak usah balik dari ruang Osis. Baru aja ngerjain tugas Osis, balik ke kelas ditagih PR. Kirain mau dikasih keringanan karena gue lagi sibuk. Nggak tahunya malah dihukum. Apes banget."

Tawa Shisi pun pecah seketika. "Sialan lo. Ngetawain gue?" tanya Ali dengan melempar rumput ke arah gadis itu.

"Sorry-sorry." Shisi mengangkat tangannya. "Ternyata kita sama. Gue juga nggak ngerjain PR. Makanya gue di sini disuruh nyapu." Tawa keduanya kini saling bersahutan.

"Udah ah. Mending kita nyapu biar cepet selesai," ucap Shisi. Gadis itu bangkit dari duduknya sembari membersihkan seragamnya.

Meski terlihat asal-asal, keduanya melakukan hukuman itu dengan berbagi tempat untuk dibersihkan. "Oh, iya. Pulang sekolah nanti ikut gue, ya?" Tiba-tiba saja Ali mengatakan hal itu pada Shisi.

Shisi menghentikan kegiatan menyapunya. "Ke mana?"

"Ada deh. Ikut aja," jawab Ali.

"Gue mau kerja lo."

"Tenang. Nggak sampai waktu ke kerjaan lo kok."

Shisi menimang. Detik kemudian dia mengangguk. "Oke."

***

Kelas tampak sepi saat istirahat kedua. Sebagian murid melakukan salat dhuhur dan yang non muslim serta berhalangan memilih pergi ke kantin.

Seseorang memasuki kelas dengan mengendap-endap. Meraih sebuah ponsel yang jelas dia hapal selalu ditinggal di dalam tas si pemilik. Dia mulai mengetik sebuah pesan dan mengirimnya ke seseorang. Senyum kepuasan terbit di sana.

***

"Kalian duluan aja. Gue masih ada urusan," ucap Ali saat melihat Chris dan Aldo sudah menyalakan motor mereka.

Dua pemuda itu memandang dirinya. "Mau ke mana lo?"

"Udah gue bilang ada urusan juga." Ali menjawab dengan senyuman tipis.

"Main rahasia-rahasiaan lo." Dua pemuda itu saling bertukar salam ala laki-laki. Selepas kepergian dua temannya, Ali pun kembali menunggu.

Seperti yang dikatakan ketika mereka mendapat hukuman bersama tadi, Ali akan membawa Shisi ke suatu tempat. Waktu berlalu, tetapi yang ditunggu tak juga datang.

"Ke mana coba? Bukannya tadi dia juga udah beresin mejanya?" tanya Ali pada diri sendiri. Dia ingat kalau tadi Shisi sudah memasukkan perlengkapan sekolahnya ke dalam tas saat dia keluar kelas lebih dulu.

Sedang di lain tempat, Shisi berjalan ke arah belakang sekolah dengan kerutan pada kening. Dia memasang wajah bingung. "Ngapain sih Ali ngajak ke gudang? Masa iya dia mau ngajak gue bersihin gudang?"

Tempat yang dituju sudah terlihat. Shisi mempercepat langkah. Tanpa ragu dia membuka pintu gudang dengan sekali dorong.

Tepat setelah pintu kayu itu terbuka, seseorang membekap dirinya dan membawa Shisi semakin dalam masuk ke gudang.


🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat malam.,😊 😊 ❤

Ada yang masih menunggu?

Ada yang masih bangun?

Coba mana suaranya?

Tim langsung baca karena udah nunggu,

Atau tim tidur dulu karena udah ngantuk nih?

😋😋😋😋😋

Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top