🦊 22. Di Taman Belakang. 🦊

22. Di Taman Belakang

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊






"Mau ke kantin?" tanya Lusi saat jam pelajaran sudah usai. Dia menatap Shisi yang masih duduk santai di bangkunya.

Shisi tersenyum dan menggeleng. "Gue mau ke kantor TU," ucapnya. Dia melanjutkan kata dengan berbisik juga mendekatkan wajah ke arah Lusi. "Mau bayar SPP gue yang udah nunggak tiga bulan." Gadis itu menunjukkan cengiran setelahnya. Seolah beban SPP itu sudah bisa diatasi dengan baik.

"Lo udah gajian?" Shisi mengangguk. "Nggak kerasa, ya lo udah satu bulan kerja jadi pelayan di kafe."

"Iya. Syukur banget." Tatapan Shisi jatuh pada Raisa. "Oh iya, Sa."

Gadis itu membuka tas ranselnya, mengambil selembar uang pecahan seratusan lalu mengarahkannya ke arah Raisa. "Ini uang yang dulu sempet gue pinjam. Gue balikin sekarang."

Raisa mendorong tangan Shisi. "Udah. Gue niat nolong lo kok. Nggak usah diganti."

"Tapi---"

"Udah. Kita mau ke kantin dulu. Laper." Raisa Meraih tangan Lusi untuk dia gandeng. Kedua gadis itu berjalan keluar dari kelas secara bersamaan.

Shisi yang melihat itu tersenyum, merasa bersyukur karena masih ada teman yang mau berada di sampingnya saat dirinya terpuruk. "Thanks, ya!" teriaknya agar Lusi dan Raisa mendengar karena mereka sudah ada di luar kelas. Dan tangan Lusi yang terangkat cukup menjawabnya.

"Mau ditemenin?"

Shisi menoleh dan melihat Ethan yang berdiri di sampingnya. Dia terkekeh. "Nggak usah. Gue bisa sendiri."

"O. Oke." Pemuda itu pun berlalu meninggalkan Shisi dengan santai. Kedua tangan dimasukkan pada saku celana dan tidak lagi menoleh ke arah belakang.

Shisi yang melihat itu mendengus kesal. "Dih. Apaan, sih. Jadi orang cuek banget pantesan nggak ada pacar." Gadis itu segera bangkit dengan membawa uang sejumlah tunggakan SPPnya.

Sebelum memasuki ruangan TU, tidak lupa dia mengetuk pintu terlebih dahulu, lalu masuk setelah mendapat izin. Seorang perempuan paruh baya menyambut Shisi dengan senyuman.

"Selamat siang, Bu," sapa Shisi dengan sedikit anggukan.

"Siang." Perempuan dengan jam tangan di lengan kanan itu membenahi kacamatanya. "Shisi? Duduk-duduk. Ada yang bisa saya bantu?"

Shisi tersenyum. Dia memberikan uang pada sosok di hadapannya. "Shisi mau membayar SPP Shisi yang menunggak, Bu," jelasnya sopan.

"Ah. Ibu lupa memberi tahu kamu kalau SPP kamu sudah lunas sampai kenaikan kelas nanti," jelas wanita dengan senyumnya rang ramah. Tahi lalat yang ada di atas bibir terangkat naik.

Tentu saja Shisi terkejut mendapati hal itu. "Ba---bagaimana bisa, Bu? Siapa yang membayarnya?"

Senyum meneduhkan dia dapat dari perempuan di hadapannya. "Sayangnya Ibu tidak bisa mengatakannya karena dia melarangnya, Shi. Yang jelas, SPP kamu sudah dia bayar sampai kenaikan nanti."

Shisi memegang tangan petugas TU yang ada di hadapannya. "Bu. Shisi mohon. Kasih tahu Shisi siapa yang sudah membayarkan SPP Shisi. Shisi harus berterima kasih sama dia, Bu. Shisi mohon." Gadis itu memberikan tatapan memelas berharap akan mendapatkan bocoran siapa pelaku yang sudah membayarkan SPPnya.

"Maaf, Shi. Ini adalah amanat. Ibu tidak bisa memberitahu kamu." Kekecewaan yang Shisi dapat. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan petugas TU yang sudah berjanji pada sosok berhati malaikat itu.

"Namanya saja, Bu." Shisi kembali memohon.

Sayangnya, hanya senyuman yang dia dapat. "Sudah. Lebih baik kamu ke kantin, lalu makan siang sana."

"Tapi, Bu---"

"Sudah." Tidak ada yang bisa Shisi lakukan selain mengangguk.

"Shisi permisi, Bu. Dan tolong ucapkan terima kasih Shisi untuk yang sudah membayarkan uang Spp Shisi," ucapnya. Setelah mendapat anggukan, gadis itu pun bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar.

Namun, ketika dia berada di ambang pintu, namanya kembali dipanggil. Senyumnya terbit karena mengira petugas TU telah berubah pikiran dan akan memberitahunya.

Sayangnya, tidak sesuai ekspetasi. "Kamu hanya harus yakin kalau dia adalah orang yang sangat menyayangi kamu." Penjelasan itu tak ayal membuat Shisi tetap menarik senyum tipisnya. Dia mengangguk dan melanjutkan langkah untuk keluar dari ruang TU.

"Lebih baik aku menyusul Lusi dan Raisa ke kantin." Gadis itu memilih untuk melewati jalan lain, melalui taman belakang karena dari ruang Tu lewat sini ke kantin jaraknya lebih dekat.

"Sial! Ribet banget sih?" Langkah Shisi terhenti saat mendengar sebuah umpatan dari seseorang. Pandangannya mengedar mencari siapa pelakunya.

Seorang pemuda berdiri di dekat bangku kayu dengan kedua tangan terangkat. Gelagatnya menandakan kalau dia tengah kesulitan. Menimang sebentar, Shisi berpikir apakah akan mendekat atau tidak.

Menarik napas dalam, dia pun memilih untuk mendekat. "Lo ngapain?" tanya Shisi pada Ali.

Ali mendongak, menatap malas Shisi dengan sebuah dengusan. "Lo nggak liat gua lagi  kesusahan? Pakai nanya lagi." Kedua tangan pemuda itu tampak belepotan dengan saus. Tangan kanan mengarah ke saku seragam untuk meraih sapu tangan.

Sayangnya, itu susah karena Ali khawatir kalau pakaiannya akan terkena saus yang ada di tangan. "Gara-gara Aldo sialan nih beliin makanan yang bersaus. Jadi ribet." Pemuda itu hanya bisa menggerutu.

Kembali mendongak menatap Shisi, dia memutar bola matanya malas saat melihat gadis itu hanya berdiri diam dan hanya memperhatikannya saja. "Kalau lo cuma mau nontonin gue doang di sana, mending lo pergi dari sini."

Shisi mengangguk pelan beberapa kali. "Oke." Shisi membalikkan badan.

Ali yang melihat kelakuan mantannya mendelik seketika. Dia berdecak dengan cukup keras. "Lo itu emang suka bikin naik darah, ya. Udah tahu gue kesusahan, bukannya ditolong malah ditinggalin."

Shisi membalikkan badannya. "Bukannya tadi lo yang ngusir gue, ya?" tanya Shisi. Dia menunjuk wajahnya sendiri dengan mimik polos.

"Heh. Lo itu bego atau lemot, sih." Shisi yang mendengar julukan Ali yang diberikan padanya mengerucutkan bibir dengan mimik kesal.

"Bantuin gue nih ambil sapu tangan buat bersihin tangan gue." Ali menunjuk aku seragamnya menggunakan dagu.

Shisi menggerutu, "Minta tolong kek. Ini malah merintah pakai muka songong lagi." Namun, tak ayal gadis itu tetap mendekat untuk membantu Ali.

Shisi meraih sapu tangan yang ada di saku seragam Ali, dia memberikan kain itu setelah mendapatkannya. Namun, bukannya diterima, Ali malah duduk dan mengulurkan tangannya. "Bersihin sekalian."

Memutar bola matanya malas, Shisi duduk di sebelah Ali dan mulai membersihkan tangan pemuda itu. Anggapp saja ini bentuk terima kasih dia untuk Ali yang beberapa kali sudah menolong dan membantunya.

"Pinter,"  ucap Ali setelah memperhatikan tangannya yang sudah bersih. Dia kembali pada makanannya. Mencoba kembali membuka bungkusan yang sebelumnya sudah robek sedikit dan membuat tangannya kotor.

Kali ini Ali menggigit ujung plastiknya, dan hal yang tidak terduga terjadi membuat pria itu menganga dibuatnya. Sedangkan Shisi yang ada di sampingnya juga turut terkejut melihat kejadian barusan.

Namun, beberapa saat kemudian gadis itu meledakkan tawa. Mata tajam milik Ali melirik sinis gadis di sampingnya yang jelas sedang menertawakan dirinya. "Kayaknya puas banget lo lihat gue susah."

Shisi sampai harus memegangi perutnya karena merasa keram akibat terlalu banyak tertawa. "Terus aja ketawa, sampai pingsan sekalian." Gerutuan Ali membuatnya semakin terpingkal-pingkal.

Beberapa saat kemudian, setelah mendapati tatapan tajam Ali mau tidak mau Shisi mengangkat tangannya. "Sorry-sorry. Abis lo lucu."

"Terus. Ketawa terus."

Shisi mengulum senyumnya. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangan dan kedua jarinya membentuk huruf v. "Sorry. Lagian elo, tangan udah dibersihin malah seragam yang jadi sasaran," ucapnya dengan sedikit kekehan.

Ali berdecak, menggeser seterofom makanannya ke arah Shisi. Pemuda itu mulai melepaskan setiap kancing seragamnya dan melepas kain putih yang sudah kotor itu. Menyisakan kaus hitam yang melekat di tubuhnya.

Shisi hanya mengedikkan bahu, dia membantu Ali membuka bungkusan makanan yang sepertinya sang mantan ini mengalami kesulitan. "Gampang gini kok dari tadi ribet amat mau buka aja."

Setelah terbuka dengan sempurna, Shisi kembali mendekatkan sterofom itu ke arah Ali. "Nih makan."

Namun, apa yang dilakukan pemuda itu? Ali malah menyandarkan punggung pada kayu kursi, meletakkan siku pada sandaran kursi di sisi tubuh. Dia membuka mulut dengan lebar.

Shisi yang melihat itu mengerutkan keningnya. "Ngapain?"

"Suapin gue." Ali melihat bibir Shisi yang terbuka. Sebelum gadis itu memprotes, dia segera memotongnya lebih dulu. "Anggap aja permintaan maaf lo karena udah ketawain gue. Lagian, gue nggak mau tangan gue kotor lagi gara-gara saus dari makanan itu."

"Lagak lo kayak raja."

"Emang," jawab Ali dengan percaya diri. "Tapi lo jangan GR. Bukan gue mau disuapi lo. Anggap aja terima kasih lo karena gue pernah nolongin lo."

Mulut Shisi menganga, tetapi mendebat Ali rasanya percuma. Dengan setengah hati, Shisi meraih sendok dan mulai menyendok makanan itu dan mengarahkan ke mulut Ali. Pemuda itu makan dengan lahap.

"Perhitungan banget," gerutu Shisi. Melihat Ali yang tampak lahap makan, perut Shisi yang memang sedang lapar karena belum makan pun meronta-ronta. Melirik jahil ALi, tanpa izin dia juga memasukkan makan mantannya ini ke dalam mulutnya sendiri.

Ali yang melihat itu melotot seketika. "Eh. Kok lo ikutan makan?"

"Mau gimana lagi. Gue laper. Gue, kan tadinya mu ke kantin. Eh malah kecantol ke sini." Dia mengambil makanan sedikit kasar lalu kembali memakannya.

Senyum miring terukir di bibir Ali. "Nggak bisa move on, ya? Makanya kecantol di sini?"

Bola mata Shisi melotot seketika. "Apaan? Fitnah."

Ali mengedikkan bahunya. "Nggak papa kalau lo malu ngakuinnya. Gue mah---" Ucapan Ali terpotong karena Shisi dengan tiba-tiba menyuapkan makanan ke dalam mulut pemuda itu.

"Lo ...." Ali sedikit kesusahan saat lagi-lagi mantannya ini berula. Membuat Shisi tertawa menikmati kesengsaraan dari Ali.

"Sialan. Bagaimana bisa mereka kayak gitu," ucap seseorang dengan kekesalan yang memuncak. Dia tampak frustrasi melihat interaksi Ali dan Shisi dari balik dinding.

"Tenang. Nggak usah kesel gitu. Kita pikirin aja caranya ngasih pelajaran sama gadis miskin itu." Pria yang selalu setia berada di sampingnya menenangkan. Dia menepuk pundak wnaita yang kini memasang wajah masam sembari menggemeretukkan giginya.

"Gue nggak mau tahu. Shisi harus menderita. Seperti penderitaan gue akibat kelakuan ...." Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya saat mengingat masa lalu yang sangat membuat hatinya hancur.

Dendam itu meninggalkan sakit yang teramat dalam, dan dendam itu harus terbalaskan.

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat sore. Apa kabar kalian semua?

Masih ada yang menunggu cerita ini tidak? 😋😋😋

Upnya sore-sore nih 😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top