🦊 17. Apartemen Ali 🦊

17. Apartemen Ali

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊



Shisi terbangun dari tidurnya. Bola matanya mengerjap dan berusaha menyadarkan diri. Sedikit terkejut kala mendapati diri tidak berada di kamarnya sendiri. Panik sempat menyerang gadis itu. Hingga kejadian semalam berkelebat dalam benaknya. Gadis itu hanya bisa menarik napas dalam lalu mengembuskannya pertanda kelegaan.

Pandangan Shisi mengedar, mencari sosok si pemilik kamar. Bangun perlahan, dia menyingkap selimut tebal hangat yang semalam menemani malam dinginnya. Kain yang menguarkan aroma milik Ali. Dulu, dia sering menikmati wangi ini, sebelum mereka putus. Duduk dengan menggantungkan kaki di pinggiran ranjang, Shisi sedikit merenggangkan otot.

Sayangnya, pergerakan itu terhenti saat pandangannya tidak sengaja jatuh pada jam dinding di mana jarum pendeknya menunjuk angka sembilan.

"Ya Tuhan! Gue telat!" teriaknya panik. Shisi melompat begitu saja. Sayangnya pendaratan yang dia alami tidak berjalan mulus. Saking paniknya dia harus terjatuh dengan posisi yang tidak elegan sama sekali.

Ali yang memang berada di luar mendengar suara gaduh dari dalam kamar segera mendekat. Coba bayangkan seberapa kerasnya gadis itu terjatuh. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Ali membuka kamar begitu saja. Dia memandang bingung Shisi yang tengkurap di lantai.

"Lo ngapain?" tanya Ali. Dia memandang Shisi dengan kerutan di kening.

Menahan malu, Shisi mendongak menatap Ali. "Gue jatuh," jawab Shisi lirih.

"Kok bisa?"

Shisi menunjuk jam dinding tanpa mengeluarkan kata-kata. Dia melihat raut kebingungan dari wajah Ali ketika mengalihkan pandangan kembali ke arah pemuda itu. "Jam sembilan," ucapnya kemudian.

"Lalu?"

Shisi menggeram menahan kesal. "Gue telat sekolah. Makanya gue buru-buru bangun tadi. Terus keserimpet makanya jatuh gini." Bibirnya mengerucut menahan kekesalan pada sang mantan.

Ali berdecak. Dia mendekati Shisi dan membantu gadis itu untuk bangun. "Ayo bangun." Dia memegang lengan Shisi.

"Aduh. Sakit." Shisi memandang lututnya yang ternyata mengalami memar. Pelan, dengan bantuan Ali dia mulai bangkit dan berjalan ke arah luar kamar. Pemuda itu mendudukkan dirinya pada kursi meja makan yang berdampingan dengan dapur.

"Lagian ngapain, sih pakai buru-buru segala? Pelan-pelan, kan bisa." Ali mendekati lemari pendingin, meraih beberapa balok es kecil dan membungkusnya dengan kain bersih.

Pemuda itu kembali berjalan mendekati Shisi. Berjongkok di hadapan gadis itu dan meletakkan es yang sudah dibungkus kain pada lutut sang mantan yang mengalami memar. "Dari dulu cerobohnya nggak ilang-ilang," gerutu Ali.

Shisi yang sebelumnya merasa terharu dengan sikap perhatian Ali kini kembali kesal dengan gerutuan pemuda itu. "Ya elo kenapa nggak bangunin gue? Udah tahu ini hari Senin, waktunya sekolah, ada upacara juga. Malah dibiarin tidur sampai bangun kesiangan."

Ali menghela napas. Masih mengompres memar Shisi, dia mendongak menatap wajah yang berada di atasnya itu. "Pertama. Kalau kesiangan ya udah nggak masuk aja apa susahnya? Dari pada kena hukuman kalau datang juga?"

Oke. Shisi membenarkan ucapan Ali. Tapi tetap saja, alfanya bertambah, kan karena hal ini?

"Kedua. Lo yakin bisa belajar setelah insiden semalam?" lanjut Ali. Ya. Ali benar lagi.

Ali  menarik tangan Shisi, dia meletakkan es yang dibungkus kain di sana. "Lanjutin. Tadi gue mau buat sarapan." Bangkit meninggalkan Shisi, pemuda itu berjalan ke arah dapur.

Shisi hanya memerhatikan Ali yang entah sedang memasak apa. Masih dengan kegiatannya mengompres lutut yang memar, dia mencoba bangkit berniat membantu Ali. Baiklah. Dia menyerah. Rasanya sangat sakit sekedar digunakan berdiri saja.

"Lo masak apa?" tanya Shisi. Gadis itu menyimpan siku di atas meja lalu menumpukan dagu pada punggung tangan.

"Nasi goreng," jawab Ali yang baru saja memasukkan nasi pada penggorengan.

Kerutan di kening Shisi timbul. "Emangnya lo bisa?" tanya Shisi agak menyangsikan. Pasalnya, seingat dia Ali tidak mengerti apa pun masalah perdapuran. Karena dulu dirinyalah yang selalu membuat dapur apartemen Ali menjadi hidup.

"Masak gini doang gue juga bisa. Tinggal masukkan irisan bawang sama nasi doang. Trus tambahin ini, jadi." Ali mengangkat sebuah bungkusan di mana gambar nasi goreng terpampang pada kemasan. Itu adalah bumbu bubuk untuk memasak nasi goreng yang hanya tinggal menuangkannya saja. Tanpa perlu menambahkan garam dan kawanannya karena sudah diracikkan.

Shisi memutar bola matanya malas. "Kalau pakai itu mah orang yang nggak bisa masak bisa masak. Tinggal tuang doang," ucapnya diakhiri kekehan.

"Kalau ada yang gampang, kenapa musti cari yang susah?" Ali berujar bangga. Tangannya sibuk mengaduk nasi yang mulai berubah warna hasil dari bumbu yang langsung tuang itu.

"Jangan salah. Sekarang jamannya kalau ada yang susah, kenapa musti cari yang mudah," balas Shisi. Sontak saja hal itu membuat keduanya tertawa. Hal yang sudah lupa kapan mereka lakukan bersama.

Ali menuangkan nasi goreng yang sudah matang pada mangkuk, membawa ke arah meja makan dan meletakannya di sana. Selagi pemuda itu mengambil piring, Shisi tampak menikmati aroma nasi yang mengepul bersama uap panasnya.

Ali menuangkan nasi pada piring. "Segini cukup?"

"Tambahin deh." Shisi menawar.

"Dasar rakus," ejek Ali. Namun, tak ayal pemuda itu juga menambahkan nasi pada piring Shisi. Meletakkannya di depan gadis itu dan beralih mengambil untuk dirinya sendiri.

"Oh, iya." Ali mengambil air minum terlebih dahulu dan mendudukkan diri di samping Shisi.

"Gimana rasanya?" tanya Ali ketika melihat Shisi sudah menyuapkan nasi ke mulutnya.

Mengunyah sesaat lalu menelannya. Shisi meneguk air putih yang sebelumnya dibawakan Ali dan menatap pemuda itu. "Ya elah, Li. Masakan karena bumbu jadi mah jangan ditanya gimana hasilnya. Kan bukan lo yang buat."

Ali berdecak.  "Ya tapi, kan setidaknya gue berhasil nyampurin tuh bumbu sama nasinya. Kasih nilai kek," Ali menggerutu. Dia sedikit menyendok nasi dan memasukkannya ke mulut dengan kasar.

Apa yang dilakukan Ali membuat Shisi terkekeh. "Iya-iya. Lo udah berhasil nyampurin nasi sama bumbunya sampai rata kok. Semua tercampur sempurna." Dia melihat senyum di bibir mantannya itu terbit.

"Meskipun bawangnya sedikit gosong," lanjut Shisi. Sontak saja apa yang dia katakan melunturkan senyum Ali. Langsung saja gadis itu tertawa melihat perubahan mimik wajah dari mantannya ini yang begitu siknifikan.

"Muji sama jatuhin kenapa musti dibarengin coba." Shisi masih tertawa. Namun, detik kemudian tawa itu harus berhenti saat suara bel apartemen Ali terdengar berbunyi.

Shisi dan Ali saling pandang. Seolah melalui tatapan gadis itu bertanya siapa yang datang. Ali tahu dan mengedikkan bahu. "Mungkin nyokap," jawabnya asal. Meskipun kecil kalau praduganya itu benar. Karena rasa-rasanya tidak mungkin sang mama datang ke apartemennya di hari paling sibuk, di jam seperti ini pula.

"Gue bukain dulu." Memundurkan kursi, Ali bangkit dan berjalan ke arah pintu depan. Dia mengintip sedikit melalui lubang pada pintu. Sontak saja keningnya mengerut melihat sosok yang ada di luar sana.

"Thrisa," ucap Ali lirih. "Ngapain dia ke apartemen gue sekarang? Bukannya dia harusnya sekolah?"

Bukannya membukakan pintu, Ali malah berjalan menjauh. Dia meraih ponsel di saku celananya untuk mendial nomor satpam apartemen. "Hallo, Pak. Ada tamu yang tidak diundang berada di luar apartemen saya. Bisa tolong Bapak usir orang itu? Mengganggu sekali soalnya." Ya. Ali memilih melaporkan hal ini pada satpam agar Thrisa bisa diusir dari depan apartemennya.

Tidak lupa juga dia memberitahukan berapa nomor kamar dan lantai berapa apartemennya berada agar satpam mudah menemukannya. Di samping itu, Shisi hanya bisa melihat dari tempat duduknya tanpa bisa melakukan apa-apa karena kaki masih terasa sakit jika dia mencoba untuk bangkit.

"Siapa?" tanya Shisi ketika Ali sudah duduk di tempatnya semula.

Ali menggeleng. "Orang nggak penting."

Namun, Shisi merasa aneh karena orang yang dimaksud tidak penting oleh Ali itu tetap membunyikan bel apartemen ini. "Mungkin ada perlu, Li. Coba lo buka dulu dan tanyain apa maunya."

Masih dengan menikmati nasi gorengnya Ali menggeleng. "Jaman sekarang jangan mudah ketipu sama orang asing. Tenang. Gue udah hubungi satpam untuk ngusir dia." Dia berujar sedikit susah karena berbicara dengan mulut penuh.

Ali menepuk pelan lengan Ali. “Abisin dulu itu di mulut kalau mau ngmong. Nggak sopan banget, sih?”

Tak lama, suara gaduh terdengar dari luar. "Tuh. Sepertinya satpam udah ngusir orang itu. Lupakan saja." Merasa apa yang dikatakan Ali ada benarnya, Shisi pun melanjutkan makan. Hingga beberapa detik kemudian mereka telah menyelesaikannya.

Ali membantu Shisi untuk duduk di sofa setelah dirinya mencuci piring. "Sorry, ya gue ngerepotin elo," ucap Shisi ketika Ali sudah duduk di sampingnya. Pemuda itu menyalakan tivi dan mulai menonton kartun kotak berwarna kuning yang tinggal di dalam laut.

"Nggak masalah. Kaki lo lagi sakit ini." Detik selanjutnya mereka sama-sama diam. Hanya ada suara tivi yang mendominasi. Sungguh. Mereka sama-sama tak suka ini.

Shisi menatap Ali. "Sejak kapan lo bisa cuci piring?" tanya Shisi. Dia sedikit mengulum senyum mengingat seorang Ali yang mencuci piring bekas mereka sarapan tadi.

Tanpa menoleh Ali menjawab, "Sejak nggak ada lagi orang yang cuci piring di apartemen gue."

Entah kenapa jawaban itu malah membuat Shisi merasa tersentil. Dia mengalihkan pandangan di mana suasana menjadi canggung kembali. Tatapan Shisi jatuh pada sebuah gitar di sampingnya yang menyandar pada lengan sofa.

Shisi meraih dan memangkunya, lalu mencoba memetik sinarnya untuk memainkan sebuah lagu. Namun, beberapa kali mencoba apa yang dia mainkan terasa tidak pas.

Ali yang mendengar pun mengenali lagu berdasarkan beberapa petikan yang benar barusan menoleh. "Kenapa lo main ancur banget? Bukannya lo udah bisa lagu itu?"

Shisi tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. Dia memandang Ali dengan tak enak hati. Pasalnya, dulu memang Ali yang mengajarinya sampai bisa. "Gue lupa," cicitnya pelan.

Ali berdecak. "Bisa-bisanya."

"Ya, kan gue nggak punya gitar. Ya nggak pernah mainin lah."

"Sini gue ajarin lagi." Ali mendekati Shisi. Pemuda itu mulai mengambil posisi untuk mengajari Shisi memetik gitar yang sesuai.

Jangan tanyakan bagaimana posisi mereka saat ini. Kalian tahu, kan bagaimana posisi cowok saat mengajari cewek main gitar?

Bukannya konsen, Shisi malah terpaku pada wajah Ali yang berada tepat di samping wajahnya. Posisi ini tidak pernah ia bayangkan akan terjadi semenjak Ali mengumandangkan kata putus di antara mereka.

Posisinya saat ini membuat mereka begitu dekat, mengalirkan rasa rindu yang tak bisa dijelaskan. Membawa Shisi pada kenangan mereka yang dulu sering mereka lalui di apartemen ini. Meski hanya secuil kisah tentang mereka yang bermain monopoli, di mana yang kalah akan mendapat coretan dari tepung di bagian wajah.

Bolehkah kini dia melepaskan ego dan mengatakan bahwa dia sangat merindukan Ali?

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat siang saudara sekalian. Ada yang dari luar jawa di sini?

Masa sih ada?

Cuaca panas di sini. Haruedang.

Tapi kalian, masih panas atau dingin setelah baca ini. Cus merapat.

Eakkkk😀😀😀😀😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top