🦊 15. Dijual 🦊

15. Dijual

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊



Sebuah rantang sudah ada di tangan Shisi. Hari minggu adalah kegiatannya untuk kembali mendatangi sang kakak. Bagaimanapun Asher adalah kakak satu-satunya. Dia tidak akan menyerah begitu saja meski mendapat penolakan berulang kali.

Kali ini, dia berangkat siang karena lelah bekerja semalam membuatnya harus mengistirahatkan diri terlebih dahulu.

Gadis dengan rok selutut itu menyusuri trotoar, dia harus berjalan kaki karena sepeda kesayangannya masih berada di kafe tempatnya bekerja. Tidak masalah. Dia hanya harus berjalan tidak sampai satu jam, bukan?

Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di sampingnya, Shisi tahu itu kendaraan milik siapa. Ikut berhenti sebentar dan memandang ke arah mobil berwarna hitam mengkilat, detik selanjutnya kaca hitam di depannya turun. Seorang pemuda memakai kacamata terlihat duduk di balik kemudi.

"Masuk," ucap pemuda itu. Bukan ajakan melainkan seperti perintah.

"Gue bisa sendiri." Satu kaki tertekuk dan memasang wajah kesal.

"Gua nggak suka dibantah," balas Ali yang memang suka seenaknya.

Shisi menghela napas dalam, akhirnya memilih masuk ke mobil daripada berdebat di pinggir jalan yang akan membuat mereka menjadi bahan perhatian juga menyita waktunya untuk ke tempat Asher.

"Ke mana?"

"Kosan Kak Asher," jawan Shisi. Pandangannya hanya tertuku pada pemandangan luar mobil.

Kening Ali terlipat. "Kakak lo ngekos?" Gadis itu hanya mengangguk. "Kenapa?"

Shisi menelan ludahnya kasar. Ali memang belum tahu jelas mengenai keadaan keluarganya. "Biar lebih dekat aja ke tepat kerjanya." Jawaban itu tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya.

Bersyukur Ali percaya. Melalui ekor mata dia melihat pemuda itu yang mengangguk. Shisi pun segera memberikan arah ke mana mereka harus pergi ketika mantannya itu bertanya. Beberapa waktu kemudian mereka telah sampai di tempat yang dituju.

"Terima kasih," ucap Shisi. Meraih rantang yang dia bawa untuk Asher, lalu membuka pintu. Keningnya terlipat saat melihat Ali turut turun. Pemuda itu tampak membenahi kacamatanya.

Ali yang menyadari Shisi tengah memandangnya pun membalas tatapan sang mantan. "Kenapa?" tanyanya. Satu alis naik dari balik kacamata.

"Lo kenapa turun?" tanya Shisi.

"Ada larangan gue turun?" Pertanyaan Ali benar-benar menguji kesabaran Shisi. Namun, dia tidak ingin harinya menjadi buruk saat ini. Memilih mengabaikan adalah pilihan Shisi.

Tidak memedulikan mantan kekasihnya, gadis itu berjalan ke arah pos satpam. "Pagi, Pak," sapanya dengan ramah.

"Pagi." Seorang pria tambun berseragam membalas. "Mau ketemu Mas Asher, ya?" tebaknya.

Shisi mengangguk. "Kalau begitu Mbaknya masuk saja. Kamar Mas Asher nomor empat. Maaf tidak bisa mengantar. Saya kebelet soalnya," ucap satpam itu dengan memegang perutnya belum lagi ekspresi yang ditunjukkan.

Tidak ada yang bisa lagi Shisi lakukan selain mengangguk dan menatap penjaga itu berlalu. Jujur saja, dia belum pernah memasuki area ini semenjak mengetahui tempat tinggal kakaknya.

Apalagi selama ini dia hanya mendapatkan penolakan. Tanpa masuk, dia sudah harus pergi.

"Kenapa masih diam? Nggak masuk?" Pertanyaan Ali mengejutkan Shisi. Gadis itu sekilas menatap sang mantan lalu mengangguk kaku.

Ragu, tetapi dia tetap melangkah memasuki area kosan yang khusus dengan penghuni laki-laki itu. Pintu dengan angka empat menjadikannya tempat berhenti.

Melirik Ali yang berdiri di belakangnya, lalu mengangkat tangan mengetuk pintu yang tertutup rapat itu. Beberapa kali dipukul, suara seseorang dari dalam terdengar menjawab.

Tidak lama sosok sang kakak terlihat saat pintu penghalang itu terbuka. "Kak," panggilnya dengan senyum mengembang.

Sedangkan Asher yang melihat kedatangan Shisi hanya memutar bola matanya malas. Dia melipat tangan di depan dada sembari menyandar pada kusen pintu.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Asher. Dia melihat sosok yang ada di belakang sang adik. "Pakai bawa bodyguard lagi."

Shisi menoleh sekilas saat mendengar kakaknya menyebut sang mantan bodyguard. Takut Ali merasa tersinggung. Namun, pemuda itu hanya diam sembari menunjukkan raut bingung. Shisi memutuskan untuk melanjutkan niatnya datang ke sini.

"Kak. Terima kasih kadonya." Memang itu niat Shisi datang. Ingin mengucapkan terima kasih atas kado yang diberikan Asher saat dia berada di rumah sakit.

Tidak menunggu respons sang kakak, dia melanjutkan niat lainnya. "Shisi bawa makanan buat Kakak. Kita sarapan bareng, yuk!" ajak Shisi. Dia mengangkat rantang yang dibawa.

Asher berdecak. "Gue udah berapa kali bilang. Nggak usa—"

"Pagi Asher." Sapaan itu membuat semuanya menoleh. Seorang wanita dengan jeans biru dan kaus putih bergambar kelinci datang dengan tas pundaknya.

Wanita itu menatap muda-mudi di hadapannya. Tatapannya menyipit sembari mengangkat tangan kepada Shisi. "Ini ... bukannya adik kamu?"

"Iya," jawab Asher lirih.

Sedangkan wanita itu mengulurkan tangan ke arah Shisi dengan senyum mengembang. "Hai, kenalin. Aku Clarisa. Pacarnya kakak kamu," ucap wanita bernama Clarisa dengan berbisik di akhir kalimat.

Shisi hanya tersenyum dan menerima jabatan tangan itu. "Shisi, Kak," jawabnya. Dia melirik Ali. "Kenalin temen Shisi, Kak. Ali." Kedua orang itu saling berjabat tangan.

Pandangan Clarisa jatuh pada benda yang ada di tangan Shisi. "Kamu bawa apa?"

Shisi menunduk ke arah rantang yang dibawa. "Mm. Makanan untuk Kak Asher."

Clarisa menunjukkan raut semangat. "Wah. Kebetulan sekali." Dia menatap sang kekasih. "Sayang. Aku boleh ikut makan, ya. Tadi aku bangun kesiangan karena semalam lembur. Nggak sempet masak deh."

Mendengar itu senyum Shisi pun terbit. "Boleh, kan calon adik ipar?" Pertanyaan itu sontak membuat Shisi segera mengangguk.

Asher, dia tidak ada pilihan. Selain membuka pintu kosannya dengan lebar dan mempersilakan adiknya untuk masuk.

Kebahagiaan Shisi terasa meningkat dengan momen makan bersama sang kakak. Semua ini berkat kehadiran wanita bernama Clarisa yang dia tahu adalah kekasih kakaknya. Kalau tidak, mungkin dia akan diusir lagi.

Lalu, bolehkah dia juga berharap kalau nanti akan bisa makan bersama ayahnya juga?

***

"Terima kasih udah mau anterin gue ke kosannya Kak Asher," ucap Shisi pada Ali. Keduanya saat ini sedang berada di dalam mobil perjalanan mengantar gadis itu pulang.

Waktu sudah menginjak sore. Tidak ada jawaban. Hanya deheman keluar dari sosok Ali yang sedang fokus mengendarai mobilnya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin pria itu tanyakan pada Shisi terkait sikap kakak dari mantannya ini.

Namun, entahlah. Rasanya berat hanya untuk sekadar bertanya.

Ketika kuda besi itu berhenti, sebuah motor jadul terlihat terparkir di depan rumah Shisi.

"Motor siapa?" tanya Ali. Karena seingat dia keluarga Shisi tidak mempunyai motor seperti itu.

Sedangkan Shisi yang tahu itu adalah kendaraan sang ayah sempat terkejut. Gadis itu segera menggeleng, perasaannya menjadi cemas. "Bukan siapa-siapa. Mungkin tukang sayur yang mau menanyakan soal sayur. Sekali lagi terima kasih tumpangannya. Lo bisa pulang."

Shisi segera turun dari mobil tanpa menunggu tanggapan Ali. Saat ini, memastikan mantannya pergi dari rumahnya adalah yang terpenting. Jika ayahnya pulang, pasti akan ada kerusuhan lagi. Dan dia tidak ingin Ali melihat betapa mengenaskan keadaan dirinya saat ini.

Shisi segera memasuki rumah ketika mobil Ali sudah melaju pergi. Dia melihat sang ayah yang duduk di ruang tamu dengan sebotol minuman di sampingnya.

"Ayah. Ayah kapan pulang?" tanyanya khawatir dengan keadaan pria yang sudah menjadi cinta pertamanya itu.

"Ada uang?" tanya pria paruh baya itu.

Shisi meremas ujung bajunya. Sedangkan pria itu tersenyum miring lalu bangkit. "Nggak ada?" tanyanya lagi.

Shisi menggeleng, takut kalau sang ayah akan kembali menyakiti dirinya karena dia tidak mempunyai uang untuk diberikan pada ayahnya. Memang dia sudah bekerja, tetapi, kan belum gajian karena dia bekerja juga belum ada satu bulan.

"Kalau begitu ikut sekarang."

Shisi mendongak? "Ke mana, Yah?" tanya Shisi.

"Nggak usah banyak tanya. Cepet jalan." Tidak ada bantahan. Shisi mengikuti langkah ayahnya keluar dari rumah.

"Naik." Menuruti adalah pilihan Shisi saat ini. Motor butut itu melaju membelah jalanan sampai malam. Sebuah tempat di mana sudah tidak tampak keramaian menyambut indra penglihatan Shisi.

"Ini di mana, Yah?" tanya Shisi yang mulai merasa takut.

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara motor yang mendominasi. Tidak lama, terlihat sebuah mobil hitam di depan sebuah bangunan yang tampak sepi.

Yang membuat Shisi terkejut, ketika ayahnya berhenti tepat di depan mobil itu.

"Turun." Lagi-lagi Shisi hanya menurut. Dia memindai keadaan sekitar yang tampak sepi dan gelap.

Melalui pandangan di tengah keremangan malam, dia melihat seseorang keluar dari mobil hitam itu lalu memberikan sesuatu pada sang ayah.

"Apa itu?" Hanya itu yang mampu dia tanyakan. Tak lama, ayahnya kembali. Senyum pun terbit karena Shisi merasa ini akan berakhir.

Namun, siapa sangka. Ucapan ayahnya kemudian membuat gadis itu membeliakkan matanya. "Ikut dia. Aku sudah menjualmu pada dia." Pria di hadapan Shisi menepuk amplop cokelat di tangan lalu menciumnya.

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊

Selamat malam. Maaf telat, ya updatenya. 😁😁😁

Maklum. Abis nyate🤣🤣🤣

Happy reading
Smeoga suka part ini

Love you All😘 😍 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top