🦊 14. Bangun Ali. 🦊

14. Bangun Ali

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊


Setelah pulang dari rumah sakit dua hari lalu, rasanya cukup bagi Shisi untuk beristirahat memulihkan keadaannya. Seperti rencana sebelumnya, dia pun hari ini akan kembali bersekolah dan juga bekerja.

Sore ini, gadis itu baru saja menstandartkan sepeda anginnya di depan kafe. Gadis dengan bandana merah muda itu memasuki kafe tempatnya bekerja.

"Shisi." Sapaan Bagas si pemilik kafe membuat gadis itu tersenyum. "Kamu sudah masuk?"

Shisi memperlihatkan senyuman deretan gigi putihnya. "Iya, Kak. Maaf ya karena sudah absen beberapa hari." Dia sedikit membungkuk.

Bagas mengibaskan tangan. "Tidak apa. Namanya juga orang lagi sakit. Sekarang sudah merasa baikan? Makanya kamu sudah masuk?"

Shisi mengangguk dengan senyum cerah. Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Ali dan ketiga temannya yang memasuki kafe. Bagas yang menyadari bagaimana status Ali dan Shisi sejak kejadian itu mengambil alih. "Biar Kak Bagas aja yang menyambut mereka."

Sayangnya, Shisi menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin menghindari Ali dan teman-temannya. Lagipula, ini memanglah sudah tugas dia. "Tidak,  Kak. Biar Shisi aja."

"Kamu yakin?" tanya Bagas agak menyangsikan.

"Yakin."

Setelah mengambil buku catatan, Shisi menghampiri bangku di mana Ali dan ketiga temannya berada. "Kalian mau pesan apa?" tanya Shisi. Dia sedikit bersyukur karena tidak ada Thrisa di sini karena gadis itulah yang lebih sering menjahili dirinya.

Masalah di kolam kemarin, dia tidak ingin memperpanjang meski Ethan dan kedua temannya memaksa dia untuk melaporkannya ke kepala sekolah.

"Eh, Shisi," sapa Chris. "Sudah baikan, Neng?" Dia bertanya keadaan Shisi.

"Lo tadi udah tanya di sekolah, Chris," ucap Shisi dengan kekehanya.

Satu pukulan mendarat di kepala Chris. Aldolah pelakunya. "Bego lo. Udah tanya masih aja tanya lagi."

Chris mengadu dengan mengusap  kepalanya beberapa kali. "Ya, kan tadi di sekolah. Gue pikir dia cuma sekolah aja, nggak kerja karena baru sehat. Elah." Mereka sudah tahu pelaku dari tragedi yang menimpa Shisi, akan tetapi mereka tdak bisa terlalu mengintimidasi sosok Thria yang juga adalah sahabat Rayhan.

"Gue pesen kentang goreng, deh."

"Iya. Gue juga," timpal Aldo.

Shisi mencatat pesanan dua pemuda itu, lalu menatap Ali dan Rayhan di mana dua pemuda itu sama-sama memesan steak untuk pesanan. Setelah mencatat semua, dia segera mempersiapkannya.

Beberapa menit berlalu, Shisi sudah kembali dengan pesanan mereka. Meletakkan satu persatu pada meja. "Selamat menikmati," ucapnya sopan.

Namun, di saat ketiga pemuda di meja itu memberikan respons berbeda, Ali hanya menatap Shisi dengan wajah datar. Membuat gadis itu merasa takut kalau telah melakukan kesalahan. Sungguh, dia tidak ingin membuat keributan di sini.

"Potongin," ucap Ali dengan melirik steak ayam yang sudah dia pesan.

Saat itulah Shisi hanya menghela napas dalam. Segera dia meraih piring makanan Ali dan memotong daging itu sesuai selera mantan kekasihnya ini. Tidak diketahui mereka, seorang gadis yang berdiri di ambang pintu kafe melihatnya dengan murka. Bahkan niat hati ingin menyusul pun urung dan membuat dia pergi.

***

Shisi membersihkan meja-meja kafe. Malam ini adalah tugasnya untuk membersihkan. Hanya tinggal dirinya dan Bagas di sini. Suara ponsel membuatnya menghentikan aktivitas dan mengalihkan pandangan sesaat. Terlihat Bagas yang tengah menerima sebuah panggilan.

Gadis itu mengedikkan bahu karena merasa bukan urusannya. Detik berlalu, terdengar Bagas memanggil dirinya. Shisi menoleh dan melihat pria itu mendekat.

"Ada apa, Kak?"  tanya Shisi.

"Kak Bagas harus pulang. Ada urusan mendesak." Pria itu mengulurkan sebuah kunci ke arah Shisi. "Nanti tolong kunci kafenya, ya?"

Shisi menerima kunci itu sedikit ragu. "Lalu besok Kakak bukanya bagaimana?"

"Kak Bagas bisa pakai kunci serepnya. Kakak tinggal, ya." Setelah mendapat anggukan dari Shisi, Bagas pun membalikkan badan. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, pria itu kembali menoleh ke arah Shisi.

"Oh, iya. Nanti sebelum pulang tolong bangunkan Ali, ya. Dia lagi tidur di dalam ruangan Kakak." Pria itu menunjuk sebuah pintu di belakang kasir.

"Ali?" tanya Shisi bingung.

Bagas pun mengangguk. "Iya. Tadi setelah makan katanya dia ngantuk. Makanya Kakak suruh tidur di ruangan Kakak. Ya?" Kali ini tanpa menunggu tanggapan Shisi, Bagas segera berlalu dari sana.

Membuat Shisi yang sebelumnya terbengong hanya bisa mengangguk ragu. "I---iya," jawabnya terbata.

Gadis itu tidak ingin berpikir lagi, lebih baik menjalankan tugasnya agar selesai lebih cepat. Setelah beberapa menit mengelap beberapa meja dan menatanya, Shisi menatap jam yang ada di dinding yang menunjukkan angka setengah dua belas. Dia tersenyum. Meski pulang terlambat, Bagas selalu memberi uang lebih untuk para karyawan yang kebagian membersihkan meja di akhir tutupnya kafe.

Sekarang, adalah tugasnya membangunkan Ali. Sebelum memasuki ruangan Bagas, Shisi memiliki keraguan yang sangat dalam. Bahkan tangannya beberapa kali mendekat dan menjauhi handle  pintu.

"Kalau enggak dibangunin, masa mau nginep di sini?" Tanyanya pada diri sendiri.

Terlalu lama menimbang, waktu terus berjalan. Waktu dia untuk beristirahat pun pasti akan berkurang. Beruntung karena besok adalah hari minggu. Akhirnya Shisi pun membuka pintu di hadapannya.

Gadis itu berjalan memesuki ruangan lebih dalam, terlihat sosok Ali yang terlelap di atas sofa panjang milik Bagas. Shisi berjalan mendekat, berjongkok di hadapan Ali. "Gimana banguninnya?" tanya Shisi.

Baiklah, Shi. Kenapa kamu harus bingung dengan cara membangunkan orang tidur? Di saat dirinya berpikir, dia mulai menikmati wajah Ali yang terlelap dengan begitu tenang.

Shisi mulai meneliti setiap bentuk wajah yang dulu sering dia raba dan cubit pipinya. Tangan Kiri itu sontak terangkat dan mendekati wajah Ali, tetapi mengambang saat di atas wajah pemuda itu.

Tangan Shisi terkepal, dia menariknya lagi. Mengembuskan napas lebih dalam. "Kalau nggak dibangunin, kasihan nanti di sini sendirian."

Shisi kembali mencoba memberanikan diri untuk membangunkan Ali. Dia menepuk pelan pipi sang mantan kekasih. "Li. Bangun, Li. Kafe udah tutup. Lo nggak mau pulang apa?"

Ali hanya menggeliat, tangannya malah terlipat dengan nyaman di atas perut. Namun, Shisi tidak menyerah. Dia kembali mncoba untuk membangunkan Ali dari tidurnya.

Tangan Shisi kembali menepuk pipi pemuda itu. "Li bangun. Tidurnya nanti diterusin di rumah. Kafe udah tutup. Lo harus pulang." Namun, apa yang Shisi dapat?

Tanpa disangka, Ali menggapai tangannya secara cepat. Shisi pikir pemuda itu sudah bangun, tetapi kelopak matanya masih tertutup rapat. Detik selanjutnya dia mendengar suara dari bibir pemuda itu. "Gue kangen lo Shi." Ali mengigau.

Katakan bagaimana Shisi harus menjelaskan ini. Berada dalam ruangan hanya berdua dengan Ali saja sudah membuat jantungnya senam aerobik, lalu ditambah dengan ucapan Ali yang barusan dia dengar. Mencubit pipinya, takut bahwa ini adalah mimpi, tetapi bukan.

Belum selesai dengan rasa terkejut akan kata yaang didengar barusan, Shisi semakin dibuat syok kala tiba-tiba saja tubuhnya tertarik paksa dan membuatnya jatuh ke pelukan dada Ali. Dia merasakan benar jantung pemuda itu yang berdetak begitu mendebarkan. Seolah menggambarkan keadaannya sekarang.

"Gue kangen lo, Shi." Lagi-lagi kata itulah yang dia dengar. Shisi tidak bisa melakukan apa pun kali ini karena posisinya saat ini yang masih dalam dekapan Ali.

Tidak gadis itu ketahui, kelopak mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Menatap langit-langit ruangan dengan hampa. Sesekali menarik napas untuk menikmati aroma rambut mantan kekasihnya yang jujur sangat dia rindukan.

Keduanya hanya diam dalam keheningan malam itu. Tidak ada yang bersuara atau pun bergerak sedikit pun. Hingga tidak lama Shisi merasakan kesemutan pada kakinya. Baiklah. Sekarang dia harus membangunkan Ali.

Pelan, Shisi mulai melepaskan diri dari pelukan Ali. Berhasil. Dia menepuk kembali pipi pemuda itu. Karena merasa percuma, dia pun mengeluarkan kekuatan untuk membangunkan sosok yang tidurnya bagaikan kebo ini.

Ali yang merasakan sakit di pipi akibat pukulan, membuat pemuda itu pun terbangun. Dia segera duduk saat melihat Shisi yang berada di sampingnya. "Lo apa-apaan sih mukul gue?"

Shisi mencebik. "Lagian lo dibangunin nggak bangun-bangun."

"Pelan-pelan, kan bisa," sungut Ali. Dia masih mengelus pipinya yang terasa panas.

"Dari tadi gue udah pelan, ya bangunin lo. Lonya aja yang kayak kebo tidurnya. Makanya nggak bangun pas dibangunin secara pelan." Shisi tidak mau kalah. Jelas tidak mau disalahkan karena hal ini.

"Udah malem, nih. Gue disuruh bangunin lo sama Kak Bagas," ucap Shisi kemudian.

"Emang Bang Bagas mana?" tanya Ali.

"Ada urusan katanya," jawab Shisi dengan raut kesal. Dia mencoba bangun tetapi tidak bisa karena kakinya masih merasakan kesemutan akibat posisinya tadi yang dipeluk Ali. Ya. Shisi memang tidak berharap banyak karena tahu Ali hanya mengigau.

Sedangkan Ali, dia segera meraih jaket di sandaran sofa, lalu bangkit dan bersiap untuk pergi. Namun, langkahnya harus terhenti saat tidak merasakan gadis itu mengikuti langkahnya.

Ali berhenti dan melihat Shisi yang masih berjongkok. "Lo ngapain di sana? Nggak mau balik lo?"

Shisi mencebikkan bibir. "Kaki gue kesemutan." Dia mencoba mengelusnya agar rasa itu cepat hilang.

Namun, Ali menggerutu. Kalau ditinggal, gadis ini akan sendirian di sini. Dia pun mendekati Shisi. berjongkok di hadapan mantan kekasihnya. "Cepetan naik."

Shisi terkejut. "Tapi---"

"Nggak usah banyak omong. Mau lo gue tinggal di sini dan tidur sama hantu-hantu di sini?" tanya Ali menakut-nakuti. Dia menoleh dari balik bahu dan menunjukkan seringainya.

Shisi mencebikkan bibirnya. Dia tahu Ali sedang mencoba menakutinya. Akan tetapi, kalau dia tidak menerima bantuan dari Ali, itu akan membuatnya lebih lama lagi berada di sini.

Ragu, Shisi pun mulai mengalungkan tangannya pada leher Ali, dan membuat pemuda itu menggendongnya. Di saat itulah, tanpa terasa Shisi menerbitkan senyum tipis di balik punggung mantan kekasihnya. Rasanya dia sudah lama tidak menghirup aroma sampo milik Ali.

"Lo bisa kunci kafenya sambil gue gendong, kan?" Pertanyaan Ali membuat Shisi tersadar.

Gadis itu mengangguk. "Iya."

"Ya udah buruan kunci." Akibat bernostalgia, dia sampai tidak tahu kalau mereka kini sudah berada di luar kafe. Masih dalam gendongan belakang Ali, Shisi mencoba meraih kunci dari tas pundaknya lalu mencoba mengunci pintu kafe.

Shisi dibuat bingung saat Ali menurunkan dia pada motor pemuda itu. "Kenapa gue didudukin di sini?" tanya Shisi dengan bingung.

Ali memutar bola matanya malas. "Lalu gue harus dudukin lo di mana?"

"Sepeda gue ada di samping kafe," jawab Shisi dengan menunjuk ke satu arah.

"Emang dalam keadaan kaki lo kesemutan gini lo bisa ngayuh sepeda butut lo itu?" tanya ALi denngan nada mengejek.

Shisi Diam. Dia hanya menggaruk belakang kepalanya yang tidak merasa gatal. Ucapan Ali memang ada benarnya. Sedangkan pemuda itu memutar bola matanya malas.

"Makanya jangan banyak bicara." Dia menaiki motor. "Sekarang diam dan pegangan. Gue anter lo pulang." Tidak ada yang Shisi lakukan selain diam dan mulai berpegangan pada Ali.

Bahkan bisa dibilang kini dia memeluk Ali seperti yang biasa mereka lakukan saat dulu masih bersama ketika keduanya menaiki motor Ali.

Suara bising dari kenalpot motor Ali menemani perjalanan malam mereka menuju rumah Shisi.

🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊



Selamat sore😍😍😍😍😍😍😋😋

Ada yang kangen aku? Sini bilang. Kira-kira ada yang kangen sama story ini nggak?

Eh
Eh
eh
Eh

Ada yg mau satu grup WA sama aku nggak?

Aku ada grup nih. Isinya tuh beberapa penulis dan pembaca. Kalai mau, sini dm aku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top