🦊 12. Momen Bahagia 🦊
12. Momen Bahagia
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
Sebuah pintu kamar milik gadis cantik yang malam ini genap berusia enam belas tahun terbuka perlahan. Si pelaku yang terdiri dari beberapa orang itu melakukannya dengan perlahan karena tidak ingin si pemilik kamar terbangun. Langkah dari beberapa kaki itu memasuki kamar dan mulai menyebar.
Salah satu dari mereka berdiri di samping sakelar lampu. Setelah hitungan ketiga yang entah bagaimana mereka tahu padahal kamar dalam keadaan gelap, detik selanjutnya kilatan cahaya memenuhi ruangan yang lebarnya hanya tiga kali dua meter itu.
"Happy birthday!" teriak semua yang ada di kamar kala sosok yang bergelung dalam selimut sudah terlihat.
Sedangkan si gadis yang terlelap itu tentu saja terkejut. Bahkan sempat menarik selimutnya untuk menutupi wajah karena silau yang tiba-tiba saja menerpa wajah.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you." Namun, suara nyanyian ulang tahun yang terdengar membuat gadis itu kembali membuka matanya.
Shisi. Sosok yang malam ini tengah bertambah usia itu mengembangkan senyum ketika melihat kedua orang tuanya, kakak, teman dan juga sang kekasih yang memberikan kejutan tepat di malam ulang tahunnya.
"Selamat ulang tahun, Sayang." Suara Ali yang menyapa membuat Shisi bangkit dari tidurnya. Dia mengusap wajah karena takut ada bekas tidur di sana.
"Kalian," ucapnya penuh haru. "Terima kasih." Dia menatap satu persatu semua orang yang ada di hadapannya.
Seorang perempuan paruh baya mendekat dengan sebuah kue di tangan. Senyum yang ditampilkan sangat meneduhkan, menempatkan kue tepat di hadapan Shisi. "Berdoa dulu sebelum meniup lilinnya," ucap sosok itu yang tidak lain adalah ibunya Shisi.
Shisi segera memejamkan mata. Berdoa dalam hati agar kebahagiaannya ini bertahan selamanya. Setelah dia membuka mata, gadis itu segera meniup lilin angka enam belas di atas kue kesukaannya.
Pasti buatan sang ibu. "Selamat ulang tahun, Sayang." Perempuan itu mencium keningnya lalu memeluk Shisi dengan satu tangan.
"Terima kasih, Bu." Shisi membalas pelukan perempuan yang telah berjasa dalam hidupnya itu.
Saat pelukan itu terlepas, berganti dengan pria paruh baya yang tidak lain adalah sang ayah. Cinta pertama dalam hidupnya. Sejuta doa dituangkan untuknya. "Semoga putri Ayah ini selalu bahagia, menjadi gadis tangguh dan kuat. Pantang menyerah, sehat selalu, tercapai cita-cintanya. Pokoknya doa terbaik untuk putri kecil Ayah."
"Terima kasih, Ayah." Shisi merangkul sang ayah.
Setelahnya, kini pemuda yang tidak lain adalah sang kakak mulai mendekat. "Selamat ulang tahun bocil. Adek kesayangan gue yang rese." Asher memeluk Shisi erat dan menghujani sang adik dengan ciuman bertubi-tubi di pucuk kepala. Persaudaraan yang sangat hangat.
Setelahnya semua bergantian mengucapkan selamat pada gadis yang tengah berulang tahun itu.
"Ya sudah. Tante sudah masak banyak. Yuk kita makan." Sorak sorai dari semua yang ada di sana terdengar keras. Tidak peduli kalau waktu kini sudah menunjukkan dini hari, tetapi bila urusan makan ayo sajalah.
Setelah acara makan-makan, kini mereka tengah bersantai di depan halaman rumah Shisi. Meski tidak terlalu luas, tetapi nyaman karena adanya berbagai tanaman dan jenis bunga yang dirawat baik oleh keluarga gadis itu.
Menepi dari yang lain, Shisi dan Ali duduk di kursi teras rumah. "Aku ada sesuatu untuk kamu," ucap Ali pelan. Tangannya menyelipkan anak rambut sang kekasih ke belakang telinga.
Kening Shisi terlipat. "Apa?" tanyanya.
Ali diam, tetapi tangannya merogoh celana bagian belakang. Tidak lama, sebuah kalung berada di tangan pemuda itu. Shisi menatapnya takjub dengan bibir menganga. "Ini ...." Bahkan gadis itu tidak bisa berkata-kata.
Ali menatap Shisi dengan senyuman. "Kamu suka?" Tentu saja gadis itu mengangguk semangat.
"Sini aku pakein." Shisi menuruti ucapan Ali. Dia mengubah duduk membelakangi sang kekasih dan sedikit mengangkat rambut panjangnya. Tidak lama, rasa dingin menyentuh lehernya pertanda bahwa benda itu sudah menyatu dengan dirinya.
"Dah," ucap Ali menepuk pelan pundak Shisi.
Shisi segera kembali menghadap Ali. Dia sempat menunduk dan memegang bandul kalung pemberian pria yang sudah menambah warna dalam hidupnya. "Cantik sekali," ucapnya. Dia menatap sang kekasih dalam. "Terima kasih."
Ali tersenyum, dia membelai kepala Shisi. "Sama-sama. Dijaga, ya. Jangan sampai hilang."
Shisi mengangguk semangat. "Iya. Dalam keadaan apa pun, aku akan menjaga kalung pemberian kamu ini. Tidak akan pernah aku lepas dan aku hilangkan. Janji."
"Pintar," ucap ali yang mengacak rambut Shisi, membuat keduanya tertawa lepas.
Namun, detik selanjutnya Shisi dibuat terkejut saat tiba-tiba seseorang mengambil paksa kalung itu dari lehernya. Terlihat Thrisa dengan wajah penuh seringai. "Lo nggak pantes pakai kalung ini."
"Thrisa balikin. Itu kalung gue." Shisi mencoba meraih tangan Thrisa tetapi tidak bisa. Dia menoleh ke arah Ali untuk meminta bantuan.
Namun, Ali tidak ada di sampingnya. Dia mengedarkan pandangan dan baru menyadari kalau semua orang yang baru saja merayakan ulang tahunnya tidak ada di sana. Lalu, ke mana mereka semua?
"Lo nggak pantes pakai ini." Suara Thrisa kembali membuat Shisi menatap gadis itu. Terlihat Thrisa yang sudah berdiri di samping tempat pembuangan sampah yang biasa digunakan ibunya untuk membakar sampah.
Anehnya, ada api di sana. Senyum misterius dari Thrisa membuat perasaan Shisi tidak enak. Apalagi saat gadis yang memang tidak menyukai dirinya itu mengulurkan tangan yang memegang kalungnya ke arah api.
Shisi menggeleng. "Tidak. Jangan." Thrisa tetaplah Thrisa dengan keegoisannya. Gadis itu tetap menjatuhkan kalung Shisi ke arah pembakaran.
"Tidak!" teriak Shisi. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Bahkan dia merasakan betul kalau kini dirinya penuh keringat.
"Shisi? Shi lo kenapa?" Lusi dan Raisa yang sedari tadi duduk di sofa pada kamar rawat Shisi terkejut saat mendengar teriakan dari sahabatnya. Di sana, Shisi sudah sadar bahkan duduk sehingga membuat keduanya mendekati brankar segera.
Pandangan Shisi terarah pada Raisa dan Lusi secara bergantian, lalu mengedarkan pandangan dan meneliti sebuah ruangan di mana dirinya berada saat ini. Dia tampak bingung, menatap gamang ke arah depan.
"Mimpi. Itu tadi mimpi setahun yang lalu," bisiknya lirih.
Raisa dan Lusi yang tidak terlalu mendengar saling pandang. "Apa?" tanya mereka berdua.
Namun, Shisi mengabaikan kala sudah mengingat di mana dirinya saat ini berada, juga apa alasannya dia bisa sampai di sini. Pandangan Shisi terarah pada kedua tangannya yang tidak memegang apa pun. Sontak saja gadis itu memegang lehernya berharap sesuatu yang dia cari ada di sana.
Namun, nihil. Tidak ada. "Kalung. Di mana kalungnya? Kenapa tidak ada?" Dia menyibakkan selimut mencari apakah mungkin kalung itu tertindih dirinya ketika tidur.
Lusi dan Raisa yang mengerti itu saling pandang. Terutama pesan Ethan sebelum pemuda itu pergi sebelumnya. Detik selanjutnya Raisa memegang kedua tangan Shisi. "Tidak ada," ucap gadis itu. "Kalung itu sudah tidak ada."
Shisi menatap Raisa tidak percaya. Bola matanya tanpa terasa mulai membentuk kaca bening di pelupuknya. "Gagal. Gue gagal jaga kalung itu," ucapnya lirih.
Raisa yang mengerti keadaan sahabatnya segera bangkit dan memeluk Shisi. "Udah, Shi. Lupain. Gue tahu lo sahabat gue yang paling kuat." Raisa mencoba menghibur Shisi. Dia menepuk punggung sahabatnya.
Sedangkan Shisi masih terpukul. Pandangannya jatuh pada jam digital yang berada tepat di hadapannya di mana di sana juga ada tanggal hari ini. Dalam hati Shisi berujar, "Besok adalah hari ulang tahun gue." Dia melempar pandangan ke luar jendela di mana langit sudah dalam keadaan gelap.
Dalam hati Shisi kembali berdoa, "Tuhan. Bisakah besok keadaannya seperti tahun lalu?" Meski menyadari itu akan mustahil, entah kenapa dia masih berharap akan hal itu. Ya. Kita tahu kalau ibunya sudah meninggal. Jadi, imposible.
Tanpa mereka ketahui, seorang pria berdiri di luar ruangan Shisi, menatap pasien di dalamnya dengan sendu. Katakanlah dia memang pengecut, dia pun mengakui itu. Keberanian untuk menemui Shisi tidak ada.
"Maaf. Gue nggak bisa nemuin lo. Gue terlalu egois dengan keadaan ini. Selamat ulang tahun." Pria itu menatap dua pemuda yang tertidur di kursi tunggu depan ruangan.
Pelan, pria itu meletakkan paperbag yang dia bawa tepat di depan pintu. Untuk sesaat dia memandang kembali ke dalam ruangan di mana dia memang bisa melihat dari kaca bening pada pintu.
"Selamat ulang tahun, Shi. Semoga lekas sembuh." Setelahnya, dia pergi begitu saja tanpa pamit. Ah, bahkan kedatangannya pun tidak diundang. Akan tetapi, jika Shisi tahu dia datang, pasti gadis itu akan sangat bahagia.
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
Selamat pagi. Ada yang kangen aku
😍😍😍😍😍😍
Sini dong kasih pelukan
😘😘😘😘
Sehat selalu untuk kalian.
Jangan lupa tekan bintang dan komentar seru kalian
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top