🦊 10. Luka Mantan. 🦊
10. Luka Mantan
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
"Lo itu ngapain, sih pakai acara berantem segala." Tangan Shisi telaten membersihkan luka-luka di wajah Ethan akibat lukisan dari tangan Ali saat pertikaian beberapa waktu lalu di lapangan.
Sedari tadi, dia tidak berhenti mengomel di sela kegiatan merawat Ethan. Apalagi saat merasa kesal, dia akan menekan luka itu tidak peduli si pemilik tubuh akan mendesis kesakitan.
Ethan memutar bola matanya malas. "Lo ada di sana tadi. Dan gue yakin lo juga tahu siapa yang mulai." Pemuda itu melipat tangan di depan dada dan memasang wajah jengah.
Tangan gadis dengan kaus olahraga itu menuangkan obat merah pada kapas dan mulai menyapukan pada luka Ethan. "Ya, kan lo nggak harus bales juga."
Ethan semakin jengah dengan apa yang dikatakan Shisi. "Ya kali gue bakal diem aja saat dipukuli, Shi. Makin bonyok muka gue."
"Udah bonyok," ucap Shisi menekan luka Ethan kembali. "Kalau gini mau bagaimana? Guru pasti tanya. Muka juga nggak ganteng lagi."
Ethan memiringkan wajah menatap Shisi. Satu sudut bibir membentuk smirk tercipta di wajah Ethan. "Jadi lo ngakuin kalau gue ganteng?"
Gerakan tangan Shisi terhenti. Dia menatap wajah Ethan dengan diam. Beberapa saat keadaan di ruang UKS itu hening dengan keterdiaman keduanya.
Hingga beberapa saat kemudian Shisi berdecak. "Gue yakin lo dengar teriak murid perempuan tadi di lapangan waktu lo buka seragam lo."
"Itu mereka. Gue, kan barusan denger dari lo langsung." Skak mat. Ucapan Ethan barusan membuat Shisi salah tingkah.
"Ini, Kak teh hangatnya." Seorang petugas UKS yang memang adik kelas mereka datang dengan segelas teh hanya yang diminta Shisi beberapa waktu lalu. Hal itu membuat Shisi bersyukur.
"Nih minum." Gadis itu mengulurkan teh hangat yang baru datang ke arah Ethan.
Rehan memang mengambil alih gelas itu. Namun, "Nanti saja. Lo ngerti nggak dengan kejadian barusan?" Pemuda itu meletakkan kembali gelas di sisi kanannya.
Shisi yang mendengar ucapan Ethan mengerutkan kening memandang pemuda itu bingung. "Maksud lo?"
Ethan berdecak. "Gue udah duga. Lo emang bego." Dia hanya memandang Shisi yang mengerucutkan bibir.
Ethan menghela napas dalam. "Lo tahu kenapa Ali mukul gue tadi?" Shisi hanya menggeleng. "Dia cemburu sama kita."
"Masa sih?" tanya Shisi yang menyangsingkan hal itu.
Ethan mendorong kepala Shisi menggunakan jarinya, tidak peduli gadis itu yang melotot ke arahnya. "Gue tahu benar siapa Ali. Dia bukan tipe orang yang gampang jatuh cinta. Dan sekalinya jatuh cinta, dia bukan orang yang gampang ngilangin rasa gitu aja. Dia itu masih cinta sama lo. Makanya dia marah tadi pas ngelihat kita main bersama."
Shisi mengalihkan pandangan. Dia masih tampak ragu dengan apa yang barusan didengar dari Ethan. "Ali emang keras kepala. Emosi yang dia depan. "Udah. Sana samperin dia." Ethan mendorong bahu Shisi.
"Tapi—"
"Nggak usah banyak mikir." Ethan meletakkan kotak P3K di pangkuan Shisi. "Pergi sana dan bawa ini. Dia pasti belum ngobatin lukanya. Gue yakin dia pasti ada di rooftop sekarang." Shisi masih ragu, tetapi Ethan terus mendorong dirinya.
Seperti yang Ethan katakan, dia pergi menaiki tangga menuju rooftop. Benar saja. Ketika membuka pintu yang berkarat itu, angin menerpa wajah, membawa aroma parfum yang sangat dia kenali.
Shisi menarik napas dalam meresapi aroma yang sangat dia rindukan ini.
Sosok Ali terlihat duduk pada sofa usang dengan menumpu kepala pada kedua tangannya. Pelan, Shisi mencoba mendekat hingga mereka tidak lagi berjarak.
Shisi menarik napas dalam beberapa kali. Mengumpulkan kekuatan dan keberanian sebelum memanggil pemuda yang berada di hadapannya. "Ali," panggilnya.
Tubuh Ali menegang seketika saat mendengar suara yang sangat dia kenali memanggil namanya. Dia mendongak, lalu bangkit dan membalikkan badan.
Terkejut. Itu yang dirasakan pertama kali. Awalnya, dia mengira kalau dirinya berhalusinasi mendengar suara Shisi, tetapi tidak. Beruntung dia bisa mengendalikan ekspresinya.
Sedangkan Shisi terenyak melihat Ali. Bagaimana kondisi wajah pemuda itu tidak jauh dari Ethan. Apalagi terlihat jelas kalau luka itu belum diobati sama sekali.
Berdiri tegak, memasukkan tangan pada saku celana, pemuda itu menarik senyum sinis. "Ngapain lo ke sini? Bukannya lo lagi mesra-mesra sama pacar baru lo?"
Shisi merasa kesal mendengar ucapan Ali. Dia sudah membuka mulut untuk menjawab perkataan mantan kekasihnya itu, tetapi urung saat kembali mengingat perkataan Ethan.
Shisi menarik napas dalam, menahan kesal yang dirasa. Gadis itu semakin mendekati Ali, menari tangan pemhda itu agar duduk kembali.
"Apaan lo?" Ali menarik tangannya yang digenggam Shisi.
Di saat seperti ini Shisi memohon pada Tuhan untuk diberi kesabaran sebanyak-banyaknya. "Bisa diem nggak? Nurut bentar apa susahnya!" bentak Shisi dengan pelototannya.
Seperti terhipnotis, seperti kembali pada waktu beberapa waktu silam di mana Shisi akan marah saat dirinya baru saja menyelesaikan tawuran karena hasil dari pertikaian itu bersarang di wajahnya.
Ali merasa dejavu akan hal ini. Dia hanya diam saat gadis di hadapannya mulai mengobati lukanya. Dalam hati dia bertanya kapan terakhir mereka berada dalam momen ini?
Rasanya sudah lama sekali.
"Dah." Ucapan Shisi menyadari Ali dari lamunan. Pemuda itu menatap mantan kekasihnya yang mulai membereskan kotak berwarna merah dengan lambang plus di bagian atasnya.
"Apa motif lo ngerawat luka gue? Biar gue maafin kalian gitu?"
Shisi menarik napas dalam kembali. Menghadapi Ali memang kudu punya kesabaran di atas rata-rata. "Gue mau tanya. Lo kenapa mukul Ethan tadi?"
Senyum miring kembali tercipta di wajah Ali. "Jadi, lo ngobatin gue karena ingin tahu alasan gue mukul pacar lo? Lo nggak terima kalau gue sakitin dia? Lo nggak terima gue ydah buat dia bonyok? Lo nggak terima kalau gue bikin dia ngga—"
"Lo masih cinta gue?" potong Shisi cepat.
"A—apa?" tanya Ali dengan ekspresi terkejut. Bahkan jantungnya terasa berdebar mendengar ucapan Shisi barusan.
Shisi mengangguk. "Iya. Lo masih cinta sama gue makanya lo marah lihat gue sama Ethan main basket bareng."
Detik terlewati dalam diam, beberapa saat kemudian tawa di bibir Ali pecah seketika. Bahkan pemuda itu sampai bangkit dari duduknya.
Saat tawanya berhasil diredam, Ali memandang Shisi dengan remeh. "Gue?" tunjuk pada dirinya sendiri. "Masih suka sama lo?"
Ali mendekatkan wajah mereka. "Mimpi," bisik pemuda itu dengan tajam.
Sosok ketua Osis itu semakin memandang matanya dengan meremehkan. "Asal lo tahu. Gue mukul dia karena gue belum puas ngehajar dia karena pengkhianatan kalian. Gua jadi kepo, apa mungkin lo udah pacaran sama dia sejak masih sama gue? Murah banget lo. Nggak nyangka gue. Bego banget gu—"
"Cukup!" teriak Shisi. Rasa sabar dan marah yang ditahan sejak tadi tidak lagi mampu dipendam.
Shisi turut bangkit dan berdiri di hadapi Ali. "Bisa nggak sih kamu mengesampingkan ego kamu. Dengerin dulu penjelasan aku. Jangan marah-marah nggak jelas dan ngambil keputusan secara sepihak!" teriak Shisi dengan mata memerah. Napas gadis itu terdengar berat bahkan bahunya naik turun.
Ali yang mendengar itu menjadi terpaku, lidah kelu untuk mengeluarkan kata. Kristal bening terlihat jatuh membasahi pipi gadis di hadapannya. Bahkan tangan itu mengusapnya kasar lalu berlari pergi dari hadapannya.
Ali menatap kosong kotak merah yang tertinggal pada sofa. Dia mendudukkan diri dan meremas rambutnya kasar. Pemuda itu berteriak keras dengan kaki menendang apa yang ada di hadapannya.
"Tidak. Ini nggak bisa dibiarin." Ketua Osis itu bangkit dan berlari memasuki pintu berkarat satu-satunya jalan untuk turun.
Sedangkan Shisi masih berlari menuruni tangga dengan tangis yang mulai deras. Tepat di belokan anak tangga bawah, dia melihat Ethan yang tampak berjalan dengan tertatih.
Shisi sempat terpaku. Kali ini dia tidak ingin menyembunyikan tangisannya seperti beberapa waktu lalu ketika mereka berada di perpustakaan. Tanpa kata, gadis itu berlari mendekati Ethan dan memeluk erat tubuh pemuda, menumpahkan tangis di pelukan pemuda yang akhir-akhir ini selalu ada di sampingnya ketika dia merasa bersedih.
"Ada apa?" tanya Ethan lirih. Jujur saja, dia merasa bingung dengan kehadiran Shisi yang tiba-tiba datang dan memeluknya sembari menangis.
Satu kesimpulan. Telah terjadi sesuatu antara Shisi dan Ali.
Shisi mencengkeram kaus Ethan. "Lo salah. Lo salah. Dia nggak cinta sama gue. Dia itu benci sama gue." Sesekali memukul dada pemuda di hadapannya.
Ethan mendengarkan baik setiap perkataan Shisi di sela tangis gadis itu, kemudian mendongak ketika merasakan kehadiran seseorang. Terlihat Ali yang berada di atas memandang keduanya dengan bola mata melotot.
Tangan Ethan yang sebelumnya mengambang karena rasa terkejut akibat pelukan tiba-tiba dari Shisi, kini bergerak pelan dan membalas erat pelukan itu.
Iris hitam itu masih menatap keberadaan Ali di anak tangga atas lalu berujar dengan lantang, "Kalau memang seperti itu, lo nggak usah khawatir. Ada jutaan laki-laki yang berharap lo menemani langkah mereka."
Tangan kanan Ethan mengelus rambut Shisi yang terurai, memandang tajam sosok yang masih berdiri mematung menatap ke arah dirinya dan Shisi.
🦊🦊🦊🦊🦊🍁🍁🍁🦊🦊🦊🦊🦊
Selamat pagi. Apa kabar kalian semua. Masih menunggu cerita Yakin Putus?
Apa nih yang kalian rasa saat baca cerita ini?
Jawab sini dong. Biar aku makin semangat gitu. 😁😁😁
Karena antusias kalian adalah mood terbaik aku
Love you all
😘😘😘😘😘
Jadi, siapa yang udah tahu pelaku pemukulan Ethan?
Ingin tahu bagaimana perkelahian mereka?
Hanya ada di ......
Jeng jeng jeng
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top