🦊1. Suasana Rumah Yang Berbeda🦊
Suasana Rumah Yang Berbeda
🍁🍁🍁🍁🍁🦊🦊🦊🍁🍁🍁🍁🍁
Shisi menstandartkan sepeda anginnya di depan rumah. Dia berjalan ke arah bangunan sederhana yang sudah menemani dirinya tumbuh besar. Menemani setiap kisah kehidupan seorang Shisi.
Sayangnya, kali ini suasana rumah sudah berubah. Semua ini terjadi semenjak perginya sosok pelita dalam keluarga—sang bunda yang telah dipanggil Tuhan untuk kembali kepada-Nya dengan sebuah kecelakaan yang menimpa.
Dia membuka pintu, mulutnya refleks terbuka yang langsung ditutupi oleh telapak tangan. Gadis itu terkejut mendapati keadaan ruang tamunya sudah hancur berantakan. Berbagai barang tidak berada di tempatnya.
Takut? Tidak. Tidak ada pikiran sedikit pun bahwa rumahnya akan disatroni oleh perampok atau pun maling. Memangnya apa yang akan mereka curi di dalam rumah yang sudah hampir tidak memiliki apa pun ini?
Tivi? Bahkan benda elektronik itu sudah dijual beberapa waktu lalu oleh sang ayah. Perhiasan? Percayalah. Benda itu tidak ada di rumah ini.
"Ayah," panggilnya. Itulah ucapannya ketika menyadari keadaan rumah yang berantakan. Dugaan pertama Shisi adalah sang ayah telah pulang ke rumah setelah beberapa hari tidak ada kabar.
"Ayah," panggilnya lagi. Shisi mulai melangkah pelan memasuki rumah. Menghindari serpihan kaca yang berserakan di lantai. Sepertinya ini kaca asbak yang biasa ada di atas meja.
Langkah Shisi semakin ke dalam memasuki rumahnya. Dia terus memanggil sosok pahlawan dalam keluarga. Ya. Sebutan itu masih tersemat pada sosok paruh baya yang telah membesarkannya. Setidaknya itu bagi Shisi.
"Ayah." Shisi telah berada di depan kamar kedua orang tuanya. Dia melihat sang ayah yang tampak tidur di atas ranjang dengan kaki yang menggantung.
Shisi mendekat, melepas sepatu sang ayah yang masih melekat di kaki beliau. Berusaha keras mengangkat kaki itu ke atas ranjang meski terasa berat. Dia hanya ingin tidur sang ayah terasa nyaman dan tidak membuat punggungnya sakit.
Shisi menarik selimut guna menutupi tubuh ayahnya. Aroma alkohol menyeruak pada hidung ketika dirinya berdiri di samping sang ayah. Tangan Shisi mengibas, berharap bau itu bisa sirna dari ruangan ini.
Tatapan Shisi jatuh pada jendela yang tertutup. Memang, dia tadi kesiangan sehingga belum sempat membuka jendela kamar orang tuanya. Shisi berjala ke arah kayu persegi yang membatasi kamar ini dan dunia luar. Dia buka dan mempersilakan udara memasuki ruangan.
Shisi kembali berjalan ke sisi ranjang, berdiri di samping sang ayah. Tangannya terulur membelai kepala dengan rambut yang mulai terlihat putih di beberapa helainya. "Ayah," panggilnya.
"Ayah udah dong mabuk-mabukannya. Itu nggak sehat untuk, Ayah. Shisi khawatir sama Ayah, sama kesehatan Ayah," ucapnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur ayahnya.
"Yah. Kapan kita main bareng lagi? Semenjak Ayah suka minum, Ayah seperti lupa sama Shisi. Shisi kangen sama Ayah," ucapnya serak. Pandangannya menjadi mengabur akibat kristal mulai berkumpul di pelupuk mata.
"Yuk, Yah. Luangin waktu buat Shisi, buat main sama Shisi. Kita main sepeda di taman kalau hari minggu. Atau nanam sayur bareng lagi," ucapnya yang kini mulai terisak.
Pipinya pun mulai basah, membuat Shisi harus mengusapnya kasar. "Shisi kangen, Yah. Shisi kangen sama Ayah yang dulu. Shisi kangen Ayah yang penyayang." Shisi mendekat, mencium kening ayahnya yang masih terlelap.
Setelahnya, dia keluar dari kamar kedua orang tuanya. Berjalan ke arah kamarnya sendiri untuk mengganti pakaian. Mungkin nanti dia akan memasakkan makanan untuk ayahnya. "Pasti Ayah belum makan."
Ya. Semenjak kematian bundanya, keadaan keluarga menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada kehangatan kasih sayang lagi di dalamnya. Tidak ada senda gurau ketika menghabiskan waktu bersama di akhir pekan.
Ayahnya menjadi sosok yang berbeda. Tidak lagi mau bekerja. Lebih suka mabuk-mabukan. Tidak pulang berhati-hari.
Sang kakak. Gerakan tangan Shisi menyisir rambut terhenti. Dia menahan sakit saat mengingat sosok sang kakak yang sudah lama tidak mau pulang dan menginjakkan kaki di rumah.
Dulu. Kakaknya itu akan selalu mengajaknya keliling kota jika mendapatkan gaji. Bukan. Bukan gaji sang kakak yang dia rindukan, melainkan sosoknya yang selalu merangkul Shisi. Bahkan jika dirinya terluka, sang kakak yang akan heboh dan panik berlebihan.
Akan tetapi, seperti yang dikatakan sebelumnya. Semua sudah berubah. Semua itu hanya tinggal kenangan. Rumah ini kini sunyi. Lebih tepatnya terasa kosong.
"Baiklah. Bangun Shisi. Tidak ada gunanya lo meratapi diri. Yang harus lo lakukan saat ini adalah menyatukan keluarga lo kembali," ucapnya memberi semangat pada diri sendiri.
Shisi segera menuju ke dapur mempersiapkan makanan untuk sang ayah. Ayahnya itu sudah jarang pulang. Jadi, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan saat sosok pahlawan berada di rumah.
Sebelum itu, Shisi mengambil kangkung di samping rumah yang sudah dia tanam. Salah satu keterampilan di mana ilmunya dia dapat dari sang ayah.
Ayah Shisi dulunya adalah pengepul berbagai sayuran. Sedangkan ibunya membuka jasa catring. Pekerjaan sederhana yang membuat keluarga mereka begitu kompak.
Mengandalkan keahlian yang dia miliki, Shisi mulai memasak kangkung itu menjadi cah kangkung. Tidak lupa irisan cabai rawit untuk membuat rasanya sedikit pedas.
Satu papan tempe dia potong beberapa bagian dan menggorengnya. Lalu ikan asin sebagai pelengkap.
Shisi menata masakannya di atas meja. Bertepatan dengan itu sang ayah keluar dari kamar. Shisi tersenyum. "Ayah. Ayah sudah bangun? Shisi sudah masak. Ayo kita makan."
Pria paruh baya itu tidak menjawab. Haya menggaruk kepalanya dengan menguap. Berjalan ke arah meja makan dengan sedikit terhuyung. Bahkan hampir saja terjatuh. Sepertinya kesadarannya belum kembali dengan sempurna.
Shisi menarik kursi untuk sang ayah duduk. Dia melayani dengan baik, mengambilkan nasi dan beberapa lauk. Ikut serta duduk di sisi sang ayah untuk makan bersama. Sudah Shisi bilang bukan kalau dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan?
"Minta uang," ucap sang ayah tiba-tiba.
Gerakan tangan Shisi yang menyendok nasi terhenti, dia menatap sang ayah di mana laki-laki itu masih menikmati makanannya. Pegangan tangan Shisi pada sendok menguat, dia menunduk. "Shisi ... Shisi tidak pegang uang, Yah," ucapnya lirih.
suara gebrakan pada meja membuatnya terkejut. Shisi menutup mata karena merasa takut. Yang dia ingat beberapa waktu yang sudah-sudah, ayahnya itu akan marah jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
"Jangan bohong! Asuransi ibumu sudah keluar. jadi jangan bilang kalau kau tidak mempunyai uang!" teriak sang ayah yang semakin membuat dia takut.
Shisi memberanikan diri untuk mendongak, dia menatap sang ayah yang menatap dirinya dengan tatapan tajam.
"Tapi itu untuk uang Shisi sekolah, Yah."
"Alah. Sekolahmu nggak penting." Bola mata Shisi melotot saat melihat sang ayah yang berjalan ke arah kamarnya. Pasti ingin mencari uang yang dimaksud.
Shisi segera bangkit dari duduknya. dia mengejar langkah sang ayah yang berjalan ke arah kamar. Dia semakin terkejut saat ayahnya membuka lemari pakaian di mana uang itu memang berada di sana.
"Yah. Ayah jangan, Yah. Itu uang untuk sekolah Shisi." Dia menahan tangan sang ayah yang terus membongkar tatanan pakaiannya.
Merasa terganggu, pria paruh baya itu mengibaskan tangan Shisi, menatap anak perempuannya dan tanpa ampun melayangkan tamparan keras yang berhasil membuat gadis itu terpelanting ke samping. Cap tangan pun terlukis di pipinya. “Sekolahmu nggak penting.”
Shisi menangis. dia mendongak dan berhasil melihat sang ayah yang sudah mengambil uang simpanannya.
Pria itu menunduk, menatap tajam dirinya. "Ini. Uang untukku." Tangannya dengan sengaja mendorong kepala Shisi. "Lain kali jangan bohong kalau orang tua tanya." Setelahnya dia pergi begitu saja tapa memedulikan putrinya yang baru saja disakitinya.
Shisi hanya meringkuk di bawah, menangis seorang diri tanpa melakukan apa-apa. Menggunakan suara lirih dia bertanya pada diri sendiri. "Kapan semua ini akan berakhir?”
***
Shisi memasuki area sekolah dengan menuntun sepeda anginnya. Jika biasanya dia akan bersama Ali di boncengan motor laki-laki itu, maka tidak untuk kali ini. Lebih tepatnya sejak beberapa waktu lalu hubungannya dan Ali yang mulai mereggang.
Suara motor yang digeber kenalpotnya membuat gadis itu menoleh. Dia melihat sosok Ali dan beberapa temannya baru saja datang.
Pemandangan itu sangat berbeda dari biasanya. Kelompok Ali yang biasanya terdiri dari lima orang, kini hanya terlihat empat orang saja. Meninggalkan sosok Ethan yang biasanya motor laki-laki itu berada di bekakang motor Ali.
Kening Shisi mengernyit ketika melihat sosok perempuan yang duduk pada boncengan Ali. "Thrisa?" tanya Shisi lirih.
"Kenapa? Cemburu?"
🍁🍁🍁🍁🍁🦊🦊🦊🍁🍁🍁🍁🍁
Selamat diang semua. Ada yang menunggu cerita ini up tidak?
😅😅😅😅
Semoga masih ada, ya😁😁😁😁
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya😘😘😘😘😘
Aku sayang kalian.
Mau tahu kapan updatenya, kalian bisa pantau ig dan Tiktok aku.
Ig : evi_edha94
Tiktok : Evie_Edha
Jangan lupa, ya😋😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top