X, Ex, Eks-∞. THE EPILOGUE

Skenario 1

Jauh bertahun-tahun sebelum anihilasi lahir, seorang nenek tua pernah berkata kepada anak laki-laki kecil sambil mengacungkan jarinya yang gemetar.

"Jangan keluarkan emosimu. Sembunyikan. Jika emosi itu bocor, tamat sudah riwayat dunia. Kau akan mati."

Dengan begitu, anak laki-laki kecil menabung keberanian untuk belajar mengenai dunia literasi sejak dini. Dia rajin berkunjung ke toko buku dan perpustakaan kota untuk membaca novel favoritnya sekaligus menambah pengetahuan.

Akhirnya, anak itu mencoba untuk mulai menuliskan kisah imajinatif sendiri berdasar dunia buatannya, menghasilkan satu karya berbentuk cerita pendek. Orang-orang sedikit memperhatikan, menaruh minat pada bakat si anak laki-laki. Dia pun menyimpan ingatan emas ini ke dalam peti memori.

Terutama insiden di sekolah dasar masa itu.

Seorang teman laki-laki memergokinya tengah berada di taman sekolah, membawa buku dan berlembar catatan. Anak itu kaget, si teman tak sengaja membaca catatan yang berhamburan.

"Jadi kamu itu orang yang menulis cerpen ini?" tanyanya antusias. Si anak pun mengangguk malu. "Wah, keren banget! Gimana kamu bisa menulis sebagus itu? Kamu 'kan masih kecil. Mana bisa kayak gitu ... ?"

"Buyutku pernah bilang, kalau emosi kita itu harus disembunyikan, jadi kita bisa mendapatkan apa saja yang kita mau. Aku sudah menyembunyikan emosiku, jadi aku bisa menulis cerita sebagus itu."

Berikutnya, dua anak berseragam putih merah tersebut hanyut dalam obrolan nan akrab, membicarakan topik santai sehari-sehari.

Hari esoknya, si teman berlari menghampiri di tempat yang sama, seraya menggenggam koran. Di salah satu halaman, ada cerita pendek bersambung yang juga ditulis oleh anak itu. Dia jadi makin malu, seolah-olah rahasianya satu per satu terbongkar.

"Kok cerpennya gak dilanjutin? Kan, bagus!" soal si teman.

Anak itu menjawab, "Kata editornya, bab selanjutnya gak nyambung. Malah jadi aneh. Akhirnya ditolak, dan katanya aku gak bisa diterima buat nulis lagi di situ."

"Wah, sayang banget. Memangnya habis si dokter ini dikepung warga desa, dia ngapain?"

Anak itu enggan merespons. Namun, temannya memaksa dengan sangat. Akhirnya jawaban pun diberikan, "Dia mengeluarkan sihir yang didapat dari kekuatan Raja Iblis Hitam terus menghancurkan desa itu. Habis itu, desanya lenyap dan jadi hutan angker."

Anak itu memalingkan muka, tak sanggup melihat balasan. Namun, tak disangka, si teman justru berbinar-binar, memuji dengan energik, "Keren banget imajinasimu! Aku bahkan gak bisa mikir sampai sana. Kamu hebat deh! Aku yakin kamu pasti bisa dapet tempat lain yang bisa nerima cerpen kamu!"

Teman ini benar-benar orang yang baik. Suka menghibur, punya semangat berapi-api, dan bisa dengan cepat akrab.

Anak itu bersemu merah, berkata, "Ini semua rahasia, lo, ya! Jangan kasih tau siapa-siapa! Aku malu banget ...."

"Oke, siap!" balas si teman.

Mereka kemudian sibuk dengan bacaan masing-masing. Si teman serius memperhatikan tulisan di koran, sementara anak itu melamun memikirkan lanjutan alur ceritanya.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya anak itu. Si teman pun menoleh.

"Andi. Kalau kamu?"

"X."

Skenario 2

Selepas masa nan menegangkan, akhirnya para siswa berseragam putih merah yang berbeda-beda model, tertib keluar dari sejumlah kelas. Rupanya mereka sehabis melaksanakan tes masuk SMP. Perbicangan tentang soal tes nan sulit maupun nan mudah pun terjadi di antara mereka.

Panggilan nama tak asing tertuju pada laki-laki yang akrab. "X!" Seorang remaja berkacamata berlari, datang mendekat. "Lama tidak jumpa!"

Laki-laki itu berbalik, mengenali si remaja berkacamata sebagai kawan semasa SD. "Oh? Hai! Kamu banyak berubah, ya!" Acara reuni kecil pun berlangsung singkat.

Pada adegan selanjutnya, mereka berdua saling hadap di bawah pohon kersen.

"X, aku ada permintaan." Remaja berkacamata tampak serius. "Tolong, jadikan aku sebagai korban perundungan. Buat teman-teman yang lain juga ikut merundungku."

Si laki-laki tentu tak paham. "Untuk apa?"

"Percayalah, ini semua demi keselamatanmu. Aku akan tetap menjaga rahasiamu."

Dengan kata-kata bujukan, akhirnya si laki-laki setuju. Kemudian, mengajak dua laki-laki yang sudah awal akrab padanya. "Ye! Zet!" Panggilan macam apa itu? "Itu adalah nama baru kalian supaya kita bertiga bisa lebih dikenal!" Setelah pendekatan yang ordiner, tujuan utama pun disampaikan. Walhasil, mereka merundung remaja berkacamata.

Beberapa waktu berlalu cepat, para remaja tumbuh menjadi taruna yang lebih dewasa. Termasuk si laki-laki dan remaja berkacamata.

Hari itu, tentang penyusunan rencana paling kejam. Mereka berdua membuat kontrak yang mengerikan.

Remaja berkacamata memohon dengan sangat, "X, tolong. Kirim santet itu ke aku saja. Aku akan menerima semua konsekuensinya."

Si laki-laki tak terima. "Apa maksudmu? Kau ingin aku menderita melihat kematian teman-temanku?"

"Tidak ... tapi, tolong bersabarlah menghadapi semua itu."

Marah, si laki-laki menghardik, "Aku pikir kita teman! Padahal aku sudah lakukan apa pun untukmu!" Dia kemudian berlari pergi.

Akan tetapi, rencana tetap berjalan dengan mulus.

Skenario 3

Laki-laki berjaket itu mengutuk si remaja berkacamata. Benar-benar menyumpahinya dengan kata-kata kotor lagi kasar.

Laki-laki tersebut tak bisa memahami mengapa remaja berkacamata mengatakan hal-hal aneh ketika mengunjunginya di kamar rumah sakit. Dia terus bertanya dan bertanya, "Ada yang salah dengan diri ini!". Si laki-laki menjadi lebih agresif dari biasanya, sering terlonjak marah, kemudian tertawa lepas, lalu bersedih tanpa alasan. Tampaknya syok akibat kematian teman-teman menghasilkan tekanan psikologis nan berat.

Oleh karena itu, dia dibawa ke rumah sakit jiwa.

Di bagian khusus yang merawat remaja bermasalah, si laki-laki diberikan perawatan khusus bersama orang-orang sebaya. Ada semacam kelas dan kegiatan rutin yang dapat membantu. Perlahan-lahan, program ini mampu memulihkan kejiwaan mereka yang terganggu akibat trauma atau stres lain.

Beberapa bulan berlalu, akhirnya laki-laki itu sudah dinyatakan pulih. Dia diberi tahu bahwa sekolah lamanya sudah kembali normal seperti sedia kala, dan teman-temannya yang mati telah diberikan pemakaman layak.

Dia bernapas lega. Dengan begitu, dia bisa balik bersekolah tanpa harus menanggung rasa bersalah jika memilih SMP di tempat lain. Lagi pula, tidak ada yang mengenalinya di SMP lama itu.

SMP Cendana adalah tempat barunya menuntut ilmu. Laki-laki yang berseragam putih biru rapi itu mengangguk kepada seorang guru pria, lalu mereka berjalan menyisir lorong sekolah.

Ruangan yang dituju mempunyai pelat bertulis VIII-B. Guru pria masuk terlebih dahulu, kemudian menyuruh ketua menyiapkan kelas. Pagi itu, katanya, "Hari ini kalian kedatangan murid pindahan baru. Dia setahun lebih tua dari kalian, tapi Bapak harap kalian bisa akrab dengannya." Lalu, dia mempersilakan si laki-laki masuk.

"Perkenalkan, nama saya Andi. Saya murid pindahan di sini. Senang bertemu dengan kalian!"

Laki-laki itu mempunyai postur tubuh agak kurus, dengan tinggi badan rata-rata. Wajahnya mungkin terkesan garang dengan kedua alis menukik. Dia memiliki rambut hitam senada dengan warna matanya. Merespons adanya murid baru, para perempuan berbisik-bisik, sedangkan para lelaki kebanyakan bersikap biasa saja.

Pandangan si laki-laki murid baru menangkap seorang lelaki berkacamata yang duduk di belakang, senyum-senyum sendiri melihatnya. Selepas guru menyilakan duduk, dia menuju bangku belakang pula, yang ternyata di sebelah si lelaki kacamata tadi. Selain itu, juga terdapat dua orang laki-laki yang tampaknya akrab dengan lelaki berkacamata.

Lelaki berkacamata mengulur tangan, seraya mengulas kernyih. "Hai, namaku X. Salam kenal, ya! Mereka berdua ini Y dan Z. Semoga kita bisa akrab!"

"Salam kenal." Laki-laki murid baru hampir menyambut lengannya, dan ....

Tirai pun menutup.

Tamat.

###

31 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top