X-5. THE END
Para siswa berseragam olahraga tidak lebih bisa mematung, termengung, berbisik-bisik. Saat jasad Andi yang terbungkus selimut diangkut menggunakan brankar oleh sejumlah petugas kesehatan masuk ke ambulans, kepala mereka dipenuhi rentetan pertanyaan.
X juga Ye dan Zet berdiri di antara kerumunan, sempat menyaksikan tubuh Andi terbungkus selimut, terbaring di atas brankar, kemudian dibawa petugas pergi. Tiga remaja itu memasang mimik peduli setan, masa bodoh, membuang muka. Andi memang tampak begitu mengenaskan. Lantas, mau apa?
Meski petugas sudah lalu, para siswa VIII-E masih berkerumun di sekitar teras, meresapi apa yang tengah terjadi. Siswa kelas lain untungnya tetap di kelas, tak dapat perkenan oleh guru untuk keluar.
"Gimana Andi bisa sampai berakhir kayak gitu ... ?"
"Aku lihat ada paku sama kawat dimuntahin Andi ...."
"Ngeri banget, dia gak gerak lagi ...."
Si guru olahraga datang, menyuruh mereka semua bubar, balik ke lapangan sepak bola. Para siswa pun terbirit-birit sebelum kena amukan masalah. Dua orang office boy membawa pel pula ember, kemudian membersihkan cairan merah pekat yang menggenang di lantai teras.
Meski siswa disuruh ke lapangan pun, olahraga tak dilanjutkan. Sempat tersebar kabar simpang siur, viral di antara warga sekolah. Para siswa VIII-E belaka bisa diam saja, atau berbincang pelan, barangkali berusaha menghindari pembahasan mengenai Andi. Mereka seolah tak mau terlibat, tak bersimpatik, tidak ingin ikut masalah.
Namun, X mulai geram. Tak tahan dengan sikap teman-temannya.
"Kakekane! Ini bukan salah kita!" terangnya, memecah hening, "Kita tak usah bersimpati ke dia! Soalnya memang itu adalah hasil dari kesalahan yang diaperbuat sendiri!"
Seorang perempuan yang membawa botol kecil bertanya cemas, "Tapi, kita gak tau apa yang terjadi sama Andi .... Katanya itu santet! Ngeri banget ...."
X menyilangkan tangan. "Kakekane! Ayolah, itu cuma santet. Tau rasa dia karena udah bersikap kayak gitu ke kita semua. Anggap saja dukun santet sudah memudahkan kita membalas perbuatannya selama ini. Bukankah ini kabar bagus? Kelas kita sudah tidak ada Andi. Maka, sudah seharusnya kita merayakannya, bukan?"
"Enak ya kalau ngomong!"
Ye maju dan menganjurkan tangan, barangkali guna menengahi. Namun, sebentar. Ada yang mengganjal. Gaya-gayanya, lelaki bertindik itu tetap mengenakan jaket merah maroon meski saat olahraga. "Benar apa yang dikatakan X. Bukankah kita harusnya senang kalau Andi sudah tidak ada di sini? Kan, Zet?"
Remaja yang dimaksud mengangguk dan berseru setuju. Tak luput tiga siswi yang dekat dengan Geng X juga mengiakan.
Laki-laki rambut semir yang menjadi pusat perhatian tersenyum penuh wijaya.
"Oke, bagus. Semuanya, ayo ikut aku!"
***
Pengumuman pulang awal tuntas dikumandangkan melalui pengeras suara di setiap penjuru koridor. Para pelajar SMP Piji berbondong-bondong menggermut meninggalkan sekolah, menuju kediaman masing-masing. Namun, lain cerita bagi kelas VIII-E.
Di dalam kelas VIII-E yang kumuh, masih banyak siswa yang tinggal. Sebagian orang sudah ganti seragam baju biru putih, beberapa tetap berpakaian olahraga. Seorang remaja laki-laki dengan penyuara jemala dikalungkan di leher sedang mengumpulkan barang-barang ke dalam kardus, yang merupakan milik Andi. Dua orang laki-laki turut membantunya, maka pekerjaan jadi lebih cepat beres.
"Sip, semua barang Andi, tas, LKS, buku, kotak pensil, alat tulis, sudah masuk," tukas lelaki yang mengalungkan penyuara jemala.
"Kira-kira mau X apakan, ya, barang-barang ini?"
"Katanya mau dibakar!"
"Hee no?!"
"Kita lihat saja nanti."
Baru hendak mereka bertiga keluar, X dan rombongan remaja lain (yang berseragam biru putih) masuk kelas dengan terbakar semangat. Orang-orang itu membawa banyak plastik berisi tanah sintetis imitasi, seikat kayu bakar, jeriken bermuatan minyak, juga sebuah patok pendek terbuat dari batu. X menyengkeling tangan seraya memasang ekspresi bangga. Ye dan Zet berada di sampingnya. Semua tatap mata terpusat pada ketiga remaja.
"Teman-teman, ayo kita mulai!"
Dengan arahan X, para siswa VIII-E memulai aksi tingkat lanjut.
Mula-mula, mereka menyingkirkan meja dan kursi Andi yang terletak di baris kedua nomor dua dari kanan, dilempar ke belakang kelas. Berikutnya, beberapa orang datang membawa plastik berisi tanah sintetik, membuka ikatan, kemudian menumpahkan muatan ke atas lantai. Sejumlah perempuan mengawat sekop merapikan partikel tanah yang berceceran, sedemikian rupa hingga membentuk gundukan oval memanjang. X memegang patok batu, menancapkan pada salah satu ujung onggokan tanah.
"Hebat, bukan? Tanah sintetik tidak akan bau. Jadi, aman! Yah, ini sebagai penghormatan terakhir kepada Andi. Amin ... !"
Teman-teman terkikih-kikih, tetapi lalu senyap kala X menunjukkan raut muka serius. Sehabis itu, mereka mengikuti gestur tangan X yang menengadah, layaknya dia berperan sebagai pemimpin doa.
"Amin!" sahut remaja-remaja.
"Dengan begini, kuburan ini sebagai tanda pernyataan bahwa Andi telah dianggap tidak ada."
Para murid VIII-E bernapas lega, saling tatap, senyum-senyum. Benar apa kata X bahwa Andi bernasib demikian bukan karena salah mereka.
Laki-laki berambut semir itu mesem memperhatikan teman-temannya. "Woi, Ditto!" X memanggil lelaki dengan penyuara jemala dikalungkan di leher. "Bawa kardus itu ke belakang sekolah! Semuanya, yuk, ikut ke sana!"
Para remaja VIII-E satu per satu mengikuti X dan gengnya, tak lupa barang-barang seperti kayu bakar, jeriken, serta kardus dibawa. Juga beberapa barang lainnya. Meja pula kursi di belakang pun turut diangkit.
Mereka dituntun sampai pada bak pembuangan sampah berukuran besar berupa ruangan khusus, yang penuh akan longgokan plastik serta sampah organik busuk, membuat harus menutup hidung pula mulut. X berbalik, menghadap teman-teman sekelas. Selanjutnya, tiga orang siswi maju atas instruksi laki-laki berambut cokelat itu.
"Perkenalkan miss universe kelas kita! Kiky, Ines, dan Hasni!"
Sebagai acara final atau puncaknya, trio primadona ditampilkan di atas panggunh utama. Kiky si tomboi yang suka memakai bando warna-warni. Ines si perempuan dingin yang beraura seram. Hasni si cantik idola sekolah.
"Mohon kerja samanya," ucap mereka dengan suara halus. Trio primadona itu agak membungkukkan badan dan kepala, berlaku sopan lemah lembut lir putri Solo.
Lalu ....
"BAKAR!" Mereka menciptakan teriakan lantang, jiwa berkibar-kibar. Para siswa bersiap-siap.
Potongan-potongan kayu bakar diletakkan pada tumpukan sampah. Minyak dari jeriken disiramkan sampai terkuras habis. Pentol korek yang menyala dilayangkan, lantas api raksasa berkobar.
Meja yang diangkit dicampak hingga patah karena reyot. Kursi pun turut ditolak sampai serkah pula. Kardus yang dibawa Ditto direbut, lantas isinya dilontarkan satu demi satu, mulai dari tas, buku tulis, buku pelajaran, kotak pensil.
Trio primadona beratraksi, berjoget, menyanyi lagu rock, seiring barang-barang dilempar. Menari diiringi kobaran api besar sebagai latar belakang.
X berdiri menyilangkan tangan, tersenyum puas. Salah satu primadona menghampiri, Hasni si perempuan cantik. Si lelaki menyerahkan sehelai kaus olahraga nan terlipat. Kaus milik Andi yang sempat hilang disembunyikan.
Sebelum Hasni melantingnya, dia mencium terlebih dahulu kaus itu. "Bau sabun bayi!" Para remaja tertawa semua, walau beberapa yang terlihat lemah tampak tertawa paksa.
"Ha ha ha! Saksikanlah! Nikmatilah pertunjukan ini! Rayakanlah kemenangan ini!"
X merentangkan tangan, melakukan tarian perayaan nan aneh. Ye dan Zet tahu-tahu ikut-ikutan menari tidak jelas. Teman-teman sekelasnya hanya bisa menonton sambil membatin.
Momen setelahnya, ada teman perempuan yang mendatangi X sambil menatap khawatir. Dia mengatakan bahwa, "X, bagaimana tentang isu harga santet itu? Ada yang bilang kalau harga santet adalah nyawa ... ?"
X berhenti menari, langsung menaiki pitam, "HAH? Apa maksudmu? Mana ada yang kayak gitu?! Gak usah menyebar yang aneh-aneh! Mending diam saja! Payah!"
Si perempuan menunduk gemetar. "Ah, maaf .... Kalau begitu, apa yang harus kita bayar ... ?"
"Kalian tinggal siapkan uang buat beli kemenyan dan lain-lain. Gampang, lah!"
"Ba-baik ...." Perempuan itu mengacir.
Ye beserta Zet tertawa-tawa. "Haha! X, kalau memang nyawa itu bayarannya, gimana kalau kita taruhan?" tawar Ye.
"Hah?"
"Kalau aku sama Zet mati duluan, nanti kamu pakai baju perempuan, foto di depan makam kita! Haha!"
Zet menyetujui. "Wah! Ide bagus! Boleh tuh!"
X tahu-tahu terdiam. Baru bisa berkata setelah berdeham. "Kakekane! Kalian jangan bercanda seperti itu, lah. Gak baik. Nanti kalau ada setan lewat ngaminin, gimana? Lagian, kalau kalian gak ada, nanti aku main sama siapa, woi?"
Ye dan Zet terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Padahal X sedang amat sangat serius dengan perkataannya.
Acara pun selesai. Kerumunan bubar.
***
Semua orang sudah pulang. Saat X berjalan kembali ke kelas tanpa Ye dan Zet, dia tiba-tiba terpaku oleh pemandangan di tempat kejadian perkara. Di atas lantai teras, lelaki kurus itu melihat bekas darah Andi yang mengering.
X berkedip.
Jasad Andi terkulai lemas, bermandikan darah di sana. Tanpa bola mata, tanpa ruh. Lengan serta tungkainya terpuntir dalam posisi nan ganjil.
X berkejap.
Jasad Andi menghilang. X pun menghela udara lega. Menggeleng, mengelus dada.
X berkerlip.
Bekas darah Andi hilang. Hanya tampak lantai putih yang mengilap. X terperanjat bukan main. Namun, ternyata, memang teras tersebut sedang dipel oleh seorang petugas kebersihan.
Surya ditelan horizon ungu kemerahan, awan-awan gelap mengelana angkasa lembayung kelam. Sesosok manusia terhuyung-huyung diterpa hawa petang, berdiri pada pijakan teratas suatu menara sutet nan tinggi. Wajah teduh, satu titik hitam pada sisi muka kanan, bulu kepala cokelat, adalah ciri-cirinya. Rambut pula pakaian si laki-laki berkibar-kibar tertiup angin kencang.
Ditemani sinar terakhir sang surya, sosok berseragam sekolah terjun bebas lajak menuruni menara.
[Repeat]
[Retry]
###
7 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top